12 - Sambutan Hangat


"Kamu ini kok enggak bilang kalau mau pulang? Tahu gitu ibuk masak makanan kesukaanmu." Wanita itu mengomel sambil menangkupkan kedua tangan di pipi Azim.

"Takut ibuk kecewa kalau tiba-tiba saya tidak jadi pulang," jawab Azim setelah mencium tangan sang ibu.

Millie berdiri diam dengan perasaan iri yang meletup di dada. Cara wanita itu memeluk Azim sungguh membuatnya iri. Begitu hangat. Penuh cinta. Millie tak berhasil mengingat kapan terakhir Lalita memeluknya seperti itu. Mungkin tidak pernah. Mungkin pernah, tetapi Millie lupa. Entahlah, Millie merasa Lalita hanya memperlakukannya sebagai mesin pencetak uang, bukan anak yang perlu disayang.

"Ini siapa?" Wanita itu tersenyum ramah ketika akhirnya menyadari kehadiran Millie.

"Saya Ana, Tante," jawab Millie sambil meraih tangan ibu Azim dan menciumnya.

Kini Millie tahu dari mana wajah tampan Azim berasal. Gurat wajah Azim begitu mirip dengan sang ibu, termasuk juga warna kulitnya yang cenderung bersih. Sang pengawal sering bercerita kedua orang tuanya sering bekerja di sawah, tetapi tak ada jejak matahari di kulit wanita itu. Ibu Azim memiliki kulit yang terlihat lebih terang di banding wanita desa lain. Matanya yang cenderung sipit semakin meyakinkan Millie bahwa ada darah Tionghoa yang mengalir dalam tubuh Azim.

"Di sini semuanya pada manggil saya, Buk Lis. Panggil saja Ibuk," ujar Lis hangat. "Ayo terus ke rumah. Kalian pasti capek. Ini dari Jakarta naik apa?"

"Kami naik mobil dari Bali, Buk. Kemarin ada kerjaan di Bali." Azim menjawab. Tangannya telah kembali menjinjing tas berisi pakaiannya dan Millie.

"Kamu kok enggak bilang kalau ajak teman. Tau gitu ibuk belanja dulu di pasar. Nanti kamu beli sate saja di depan kantor kecamatan buat makan malam ya. Ibuk cuma goreng pindang sama masak jangan otok, itu pun cuma sedikit." Lis terus mengoceh sambil mengiringi Azim dan Millie.

Letak rumah Azim terletak lebih tinggi dibandingkan rumah-rumah lain. Mereka bertiga perlu mendaki jalan setapak untuk menuju ke sana. Lebar jalan tersebut tak sampai dua meter, hanya dapat dilewati motor.

Di samping rumah Azim terdapat tanah kosong yang cukup luas dan dipenuhi pepohonan. Terdapat tiga pohon rambutan, dua pohon mangga, dan satu pohon yang tak Millie ketahui jenisnya. Rumah Azim sendiri berbentuk L. Bagian yang lebih luas telah berdinding bata dan berlantai keramik, sedangkan sisi yang lebih kecil masih berplester semen dengan setengah dinding terbuat dari anyaman bambu.

Azim meletakkan tas di kursi ruang tamu lalu pamit ke kamar mandi, sedangkan Lis mengantarkan Millie ke kamar.

"Di sini kamarnya cuma ada dua. Nanti Ana tidur di kamar Azim saja ya, biar Azim tidur di ruang tamu. Maaf rumah kami sederhana begini. Pasti beda jauh dengan rumah Ana." Lis merendah. Dia mengeluarkan selimut dari lemari dan meletakkannya di atas dipan.

"Enggak kok, Buk. Rumahnya sangat nyaman. Saya langsung merasa betah begitu masuk."

"Syukurlah kalau begitu. Silakan kalau mau baring-baring dulu. Ibuk keluar dulu ya. Mau bikin kopi. Kamu mau kopi juga?"

Millie menggeleng pelan. "Tidak perlu, Buk. Saya tidak terbiasa minum kopi."

"Ya sudah, teh saja kalau begitu ya."

"Lho. Enggak perlu repot-repot, Buk," cegah Millie tak enak hati.

"Tidak repot kok. Ibuk tinggal ke belakang dulu ya."

Senyum Lis yang begitu hangat membuat Millie sungkan menolak tawaran wanita itu.

Gadis itu merebahkan badan ke kasur. Sprei putih yang membungkus kasur terasa begitu halus dan masih wangi deterjen. Lis rutin mengganti sprei meski kamar itu nyaris kosong sepanjang tahun. Wanita itu juga menjaga letak barang-barang Azim sebagaimana waktu ditinggalkan penghuninya. Millie mengedarkan pandangan ke seisi kamar, mencoba mereka-reka masa muda seperti apa yang dilewati Azim.

***AmelA***

Azim menyisir rambutnya yang basah dengan jemari. Setelah menimba air dari sumur dan mengisi bak penuh-penuh, dia memutuskan sekalian mandi saja. Karena daya listrik yang terbatas, keluarga Azim memang tak memasang pompa air.

"Bak mandinya sudah penuh?" tanya Lis pada putranya.

"Sudah, Buk," jawab pemuda itu dengan anggukan kepala.

"Ana itu siapamu, Zim?" Sejak tadi Lis menahan diri untuk tidak bertanya di depan Millie, takut menyinggung perasaan tamunya.

Azim mendekat pada sang ibu. "Dia majikan saya, Buk. Saya bekerja sebagai bodyguard-nya."

Lis menghentikan gerakan tangannya yang tengah mengaduk kopi. Kedua matanya menatap tajam pada sang anak semata wayang. "Bodyguard? Memang siapa dia, Zim? Anak pejabat?"

Tawa Azim langsung pecah. Dia melingkarkan tangan pada pundak ibunya. "Makanya sekali-kali nonton televisi, Buk. Dia itu penyanyi terkenal."

"Lalu kenapa dia ikut ke sini? Kamu tidak sedang membawa lari dia dari keluarganya kan?" tanya Lis. Kekhawatiran tersirat jelas di wajahnya.

"Enggak kok. Kemarin ada masalah di Bali. Dia pingin menyepi dulu ke sini. Sudah izin manajernya kok. Enggak mungkin lah saya bawa lari anak orang, Buk." Azim berusaha meyakinkan sang ibu.

Lis berangsur lega, tetapi wajahnya kini menunjukkan rasa kecewa. "Ibuk pikir calon mantu. Ah, kamu ini sudah terlanjur bikin ibuk senang."

"Maaf ya, Buk." Azim mengecup pipi ibunya sekilas. "Doain aja saya dapat jodoh secepatnya."

"Kalau artis terkenal mana mau ya punya mertua miskin kayak ibuk? Duh kamu kok enggak bilang dari awal sih, ibuk sudah terlanjur ngarep-ngarep Ana jadi mantu ibuk."

Azim terkekeh ketika mendengar omelan Lis yang selama ini dia rindukan. "Millie rendah hati kok buk. Dia enggak beda-bedakan orang dari status sosial dan kekayaannya. Ngomong-ngomong, tolong rahasiakan identitas Millie dari tetangga ya, Buk. Takutnya nanti ada yang bocorin ke media. Bisa ribet nantinya."

"Terus ibuk mesti bilang apa kalau ada yang tanya? Kalau dia artis terkenal, pasti ada yang curiga dong."

"Warga desa ini kan hampir kayak ibuk semua, jarang nonton televisi. Kalau pun ada mungkin hanya sebagian anak mudanya saja, nanti Azim yang urus." Azim mengecup pipi ibunya sekali lagi sebelum berpamitan masuk ke sisi dalam rumah.

"Gimana mau nonton televisi, isinya semut semua," gumam Lis.

Gerutuan sang ibu berhasil membuat tawa Azim kembali pecah. Pemuda itu berhenti di depan kamarnya yang kini ditempati Millie lalu mengetuk pintu pelan.

"Mil. Kamu mau mandi enggak? Mumpung masih terang. Kamar mandinya di tengah kebon, nanti kamu takut kalau mandi malam-malam."

Wajah manis Millie menyembul dari balik pintu. Bekas bantal di pipi sebelah kirinya menunjukkan bahwa gadis itu sempat terlelap selama beberapa saat.

"Aku lupa bawa handuk," kata Millie.

Azim menghilang ke salah satu ruangan. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan handuk di tangan. "Handuknya enggak selembut yang biasa kamu pakai. Tapi ini bersih kok," ujarnya sambil menyerahkan handuk berwarna biru kepada Millie.

"Ayo kutunjukin kamar mandinya."

"Sebentar, Bang. Aku ambil baju ganti dulu."

Millie kembali masuk ke kamar. Saat Azim di kamar mandi tadi, dia telah memisahkan baju-bajunya dari dalam tas. Millie menggelung rambutnya tinggi-tinggi, setelah itu keluar kamar dengan memeluk handuk dan baju ganti, Gadis itu membuntuti Azim ke bagian belakang rumah.

Lis tersenyum lebar ketika melihat Azim dan Millie melintas di dapur. "Azim. Ini airnya sudah mendidih. Bawa ke kamar mandi, biar Ana bisa mandi dengan air hangat."

"Enggak perlu, Buk. Saya sudah biasa mandi pakai air dingin." Millie terpaksa berbohong. Kamar mandi pribadinya tentu saja dilengkapi water heater sehingga Millie tak pernah benar-benar mandi dengan air dingin. Hanya saja, dia tak enak hati pada tuan rumah.

"Di sini kalau sudah jam segini airnya dingin. Dari pada kamu masuk angin." Lis mengusap lengan Millie dengan lembut. "Airnya sudah siap, jadi tinggal tuang saja ke ember nanti."

Azim mematuhi titah sang ibu. Setelah melapis telapaknya dengan kain tebal, dia mengangkat cerek dari atas tungku dan membawanya ke belakang. Millie akhirnya tak menolak. Gadis itu terus membuntuti Azim.

Angin sore langsung menerpa wajah Millie ketika kakinya melangkah keluar dari pintu belakang. Suasana pedesaan begitu kental terasa. Sebaris pagar kayu setinggi pinggang membatasi halaman belakang rumah Azim dengan lereng bukit yang cukup curam. Di kaki bukit, terdapat sungai yang alirannya cukup deras. Berhektar-hektar sawah terhampar di seberang sungai itu.

Millie setengah berlari menuju sumur dan mengintip ke dalam. Baru kali ini dia melihat langsung sumur terbuka lengkap dengan katrol dan ember timba. Di samping sumur, terdapat bilik kecil yang berfungsi sebagai kamar mandi. Dinding bilik dilengkapi ceruk yang terhubung langsung dengan bak mandi. Mereka dapat menuang langsung air dari ember timba melalui ceruk itu untuk mengisi bak mandi.

"Hati-hati, Millie. Jangan sampai kecemplung sumur!" tegur Azim ketika melihat Millie menjorokkan kepala ke lubang sumur yang terbuka.

Gadis itu tak menyahut. Millie justru mendekati pagar. Matahari tengah menggelincir turun di kaki langit. Semburat jingganya seolah menghipnotis mata.

"Dulu tempat ini bukit kecil. Gumuk kalau orang sini bilang. Bapak membelinya dari keluarga Lek Sam, lalu membangun rumah di sini," jelas Azim sambil mengambil tempat di sebelah Millie. Ditatapnya wajah Millie yang tampak berseri-seri. Binar mata Millie seolah mengunci pandangannya.

Jika Millie tengah terpana pada pemandangan senja yang begitu alami, Azim justru terpukau pada lekuk wajah gadis delapan belas tahun itu. Azim tahu bahwa Millie cantik. Hal itu sudah menjadi rahasia umum. Namun, setelah enam bulan menghabiskan hari-harinya bersama Millie, baru kali ini Azim berdebar memandangi wajah mungil itu.

Azim buru-buru membuang muka. Tak ingin Millie menyadari wajahnya yang merona. "Cepat mandi, Millie! Nanti keburu dingin lagi airnya. Lagian kalau malam di sini gelap lho."

"Bang. Kayaknya aku jatuh cinta," ucap Millie lirih.

Celetukan Millie seolah menghantarkan kejutan listrik ke tubuh Azim. Wajahnya kini terasa terbakar. Jantungnya seakan melompat dari rongga dada.

"Ma-maksud kamu, Mil?" tanya Azim dengan tergagap.

Millie menoleh dan menatap Azim dengan senyum lebar. "Aku jatuh cinta sama tempat ini. Apa kalau sudah pensiun aku pindah ke sini saja ya? Harga tanah di sini mahal enggak?"

Azim mendengkus. "Sudah jangan aneh-aneh. Cepat mandi! Kalau kelamaan aku tinggal masuk nih."

Wajah Millie langsung berubah pias. Langit yang meredup dan desau angin yang sepintas terdengar seperti suara bisikan tiba-tiba membuatnya merinding. Jemarinya meremas lengan kaos Azim.

"Jangan, Bang! Please, tungguin sampai aku selesai mandi ya."

***AmelA***

"Saya mohon Bapak dan Ibuk mau merahasiakan identitas Millie dari tetangga. Saya khawatir nanti ada yang menyebar informasi ke media." Azim mengulang kembali permintaan yang sempat dia utarakan pada sang ibu di dapur sore tadi.

Dirman, ayah Azim, yang sejak tadi tak banyak bicara akhirnya bersuara, "Jadi kamu minta Bapak berbohong sama tetangga?" tanya pria paruh baya itu tegas.

Azim menundukkan kepala. Ternyata tak mudah menjalankan rencana yang telah dia susun. Dia lupa memperhitungkan bahwa bapaknya sangat menjunjung nilai kejujuran. Azim kini menyesali keputusan menceritakan yang sebenarnya pada sang ayah.

"Bu-bukan bohong, Pak. Hanya tidak perlu menceritakan siapa saya sebenarnya. Nama lengkap saya Mileta Anarisa Gunawan. Jadi tidak bohong jika memperkenalkan saya sebagai Ana. Saya memang tinggal di Jakarta. Dan saya bertemu Bang Azim saat bekerja." Millie berusaha meyakinkan.

Lis akhirnya ikut membujuk sang suami. "Tidak berbohong kok, Kang. Benar kata Ana. Kita perkenalkan saja dia apa-adanya, tidak perlu mengungkit-ungkit hal lainnya."

Wajah Dirman melunak. Dia kembali menyendok nasi. "Terserah kalian saja."

Azim dan Millie mengembuskan napas lega. Mereka sempat khawatir Dirman akan marah.

"Ayo. Ayo ditambah lagi lauknya, Ana," ujar Lis sambil menyendokkan nasi dan memindahkan lima tusuk sate ke piring Millie.

"Enggak perlu, Buk. Saya benar-benar sudah kenyang."

Kali ini Millie tak berbohong. Perutnya memang benar-benar terasa penuh. Sebelum makan tadi dia sudah menghabiskan sepiring mangga yang disuguhkan ibu Azim. Gadis itu juga telah menghabiskan sebungkus pentol tusuk saat menemani Azim membeli sate,.

Millie menatap nanar pada nasi dan lauk di piringnya. Kalau dipaksakan makan lagi, dia bisa muntah. Namun jika tak dimakan, Millie takut akan menyinggung orang tua Azim.

"Sudah sini kalau enggak habis." Azim meletakkan piringnya yang telah kosong dan merebut piring Millie.

"Ana tadi sudah ngabisin sebungkus pentol tusuk sendirian waktu nungguin sate, Buk. Lambungnya kecil, sesuai ukuran badannya yang mini. Memang enggak bisa diisi makanan penuh-penuh," gurau Azim berusaha untuk mencairkan suasana.

Millie menelan kembali ucapan terima kasih yang nyaris meluncur dari bibirnya. Dia menahan rasa dongkol. Andai saja di ruangan itu tidak ada orang tua Azim, ingin rasanya Millie mengomeli sang pengawal yang mengejek tubuh mungilnya.

***AmelA***

Azim mengantarkan Millie ke kamar. Sekeliling mereka begitu sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dan hewan-hewan malam lainnya. Pemuda itu memastikan Millie berbaring nyaman di atas dipan dan menyelimuti tubuh mungil gadis itu. Tangan kanannya membelai lembut rambut Millie.

"Selamat tidur, Anak Beruang." Bibirnya mengecup lembut kening Millie.

Azim menghirup udara dalam-dalam. Berusaha menyimpan wangi tubuh Millie rapat-rapat.

"Mimpi indah ya. Kalau butuh apa-apa, aku di ruang tamu," pesan Azim sambil beranjak meninggalkan kamar.

Tangan Millie meraih lengan Azim. Mencoba menahan pemuda itu.

"Jangan pergi, Bang! Aku takut. Abang tidur di sini aja. Temani aku." Millie memohon. Wajah memelasnya membuat hati Azim meleleh, tak tega menolak.

Millie bangun dan menggeser posisinya. Memberi ruang agar Azim dapat duduk di tepi tempat tidur. Pemuda itu menggengam tangan Millie erat.

"Di Bali kemarin, Abang kan juga ngejagain aku pas tidur. Tolong jagain juga di sini" Millie terus merayu.

Gadis itu kini beringsut merapat pada Azim. Sorot matanya semakin berani. Wajah mereka kini begitu dekat sehingga mereka dapat saling merasakan embusan napas satu sama lain.

"Ta-tapi ini beda Millie." Azim menelan ludah. Entah kenapa malam itu Millie tampak begitu menarik dalam gaun tidur putih yang dia kenakan. Tatapan Millie seolah meluluhlantakkan segala pertahanannya selama ini.

"Bukankah orang-orang mengira kita berpacaran. Kurasa mereka akan maklum kalau kita tidur bersama. Iya kan?" tanya Millie dengan suara mendayu.

Kalimat Millie kini hanya serupa lantunan nada tanpa kata. Pikiran Azim kini hanya fokus pada satu hal. Bibir Millie yang semerah buah ceri. Bibir itu terus bergerak seolah mengundangnya datang. Tanpa pikir panjang, Azim pun melabuhkan ciuman. Millie kaget dengan serangan yang tiba-tiba itu, tetapi tak berusaha melepaskan diri.

Gadis itu melingkarkan lengan ke leher Azim. Ada rasa bahagia yang meledak di kepala mereka. Keduanya memejamkan mata dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang rasa yang tengah melanda.

Plak ...

"Abang ... Bangun! Temani aku ke kamar mandi!" rengek Millie dengan suara sengaja direndahkan agar tak membangunkan kedua orang tua Azim. Kedua telapaknya terus menepuk-nepuk pipi sang pengawal dengan tak sabaran.

Azim pelan-pelan membuka mata dan melihat langit-langit ruang tamu. Dia tengah berbaring di kasur lipat yang dihamparkan di lantai. Bukan di kamarnya. Bukan di sebelah Millie.

"Abang. Ayo. Nanti aku keburu ngompol ini," desak Millie tak sabaran. Gadis itu menarik tangan Azim kuat-kuat.

Alis tebal Azim bertaut di tengah. Dipandanginya pakaian Millie. Kaos hitam dan celana training abu-abu. Bukan gaun malam putih seperti saat mereka tadi ... berciuman.

Azim mengusap wajah dengan gusar. Akhirnya dia sadar bahwa ciuman tadi hanyalah bunga tidur. Rasa lega menghampiri Azim. Tak terbayang kalau peristiwa tadi adalah nyata, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Untuk menutupi rasa canggung dan mencegah pikirannya mengembara tak tentu arah, Azim melepas tawa dengan cukup keras. Millie buru-buru membekap mulut sang pengawal, takut penghuni rumah yang lain terbangun.

"Abang, apa-apaan sih? Malah ketawa tengah malam. Nanti Bapak sama Ibuk bangun, disangkanya kita lagi ngapain," desis Millie dengan mata melotot.

Wajah Azim langsung memerah ketika pandangan matanya tak sengaja tertumbuk pada bibir Millie. Bibir yang ranum serupa buah ceri. Rasanya pun semanis buah ceri ketika dia mencium gadis itu di dalam mimpi tadi. Azim menelan ludah dan memaki diri sendiri dalam hati. Kini dia penasaran apakah rasanya juga sama di dunia nyata.

"Malah bengong. Ayo temenin ke kamar mandi. Aku takut."

Azim menyisir rambut dengan jemari. Pemuda itu pun bangkit dari tidurnya. Berbahaya jika mendengar rengekan manja Millie lebih banyak lagi. Pikiran Azim masih dibayang-bayangi mimpi tadi. Jika Millie kembali merengek, Azim khawatir dia benar-benar tak bisa menahan diri ingin membungkam bibir ranum gadis itu.

"Ayo. Katanya kebelet pipis," ajak Azim dengan dingin. Dia masih berusaha mengatur degup jantung yang tak wajar sejak terbangun dari mimpi anehnya tadi.

Millie mengikuti Azim tanpa protes. Mereka berjalan ke dapur tanpa saling bicara.

Begitu Azim membuka pintu belakang, Millie langsung lari menuju kamar mandi. Azim menghirup udara pagi dalam-dalam, berusaha menyegarkan kepalanya dan mengusir jauh-jauh bayangan mimpi tadi. Tangannya melempar ember ke dalam sumur dan mulai mengerek katrol. Setelah mengambil wudu, Azim lanjut menimba air. Dia perlu bergerak untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian dalam mimpi tadi. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top