🦋 | Bab Tiga Puluh Delapan
Catatan Kaki: Bimo = Max
Bab Tiga Puluh Delapan
~~~🦋~~~
Sesuai permintaan Nisa tadi subuh, di sinilah mereka berada. Di sebuah rumah yang lebih besar dan mewah dibandingkan dengan milik Raiden. Keluarga pria itu memang tidak main-main, sungguh orang kaya.
Raiden menggendong Daniel dan menggenggam tangan Nisa dengan sedikit kencang. Entah karena apa, ia merasa sedikit merasa bersalah untuk bertemu Alex, mungkin karena kemarin ia pergi begitu saja, mengabaikan teriakan sang Daddy yang memintanya untuk tidak pergi.
Perubahan suasana hati Raiden sejak dalam perjalanan menuju rumah Alex bisa dirasakan oleh Nisa. Di dalam mobil pun Nisa berusaha untuk membuat Raiden untuk lebih rileks, dan itu sedikit berdampak, meskipun pria itu kembali murung saat mereka keluar dari mobil.
“Ayok, Mas?” tegur Nisa karena Raiden tidak juga melangkah masuk ke dalam sana.
“Ah. Ayok.” Raiden menarik napas dalam-dalam, mereka pun berjalan.
Wina yang berjalan keluar rumah karena melihat kedatangan Raiden dan keluarganya. Wanita paruh baya itu tersenyum lebar, sangat senang dengan kedatangan Raiden, Nisa, dan Daniel.
“Hadu, kalian kok nggak bilang mau datang semua? Kan Mommy bisa siap-siap, sama masak buat kalian,” seru Wina, “Ayok masuk,” lanjutnya.
“Nggak papa kok, Ma,” jawab Nisa sambil tersenyum lebar.
“Sini-sini, Daniel sama Mommy aja,” kata Wina, tangannya terulur kepada anak kecil itu yang langsung menerima tawaran Omanya.
“Duduk aja kalian, bebas mau ngapain, jangan ragu-ragu.” Kembali Wina berseru dengan semangat, matanya kini berpindah kepada Nisa. “Anggap aja rumah Raidan.”
Setelah itu Wina pergi, naik ke lantai dua bersama Daniel dalam gendongan, mungkin saja ia ingin memberitahukan kepada Alex tentang kedatangan Raiden dan keluarga kecilnya.
Nisa memalingkan wajah, menatap Raidan yang terdiam seribu bahasa sejak tadi, bahkan hanya tersenyum tipis, yang mungkin saja tidak terlihat jika tidak teliti.
“Mas? Kamu baik-baik aja” tanya Nisa hati-hati.
Raiden mengangguk. “Iya Dear. Mas nggak papa.” Tangan Raiden bergerak menggenggam tangan Nisa.
Mereka pun duduk di kursi sofa yang berada di ruang keluarga itu sambil menunggu kedatangan Alex.
Tidak menunggu waktu yang lama, Alex berjalan dari lantai dua sambil menatap Raiden dan Nisa dengan sendu.
Dari arah berlawanan Alex, datang juga seorang laki-laki berambut hitam yang sedikit panjang dengan setelan tuksedo hitam berbahan satin.
“Daddy,” sapa pria berusia 26 tahun itu sambil tersenyum manis kepada Alex.
Alex menepuk pundak Max, anak satu-satunya bersama Wina, yang juga merupakan anak bungsu dari keluarga Purnama. Dialah yang akan melanjutkan perusahaan Alex nantinya.
“Mari kita ketemu kakakmu,” ajak Alex yang dijawab Max dengan anggukan kaku.
Wajar memang, karena selama ini, interaksi antara Max dan Raiden sangat jarang terjadi. Entah karena sama-sama canggung atau sungkan untuk memulai obrolan.
“Max! Gedong dulu keponakan kamu ini, belum pernah ketemu kan?” Wina tiba-tiba datang dan memberikan Daniel kepada Max.
Max yang kaku menerima Daniel dari mommy-nya. Mentap bocah satu tahun itu dengan wajah datar, bukannya tidak suka dengan anak Raidan itu, hanya saja Max sama sekali tidak tahu bagaimana cara berinteraksi dengan anak kecil.
Mata Wina berputar malas. Tangan wanita paruh baya itu memukul pelan lengan Max. “Max! Kamu nggak bisa senyum? Daniel bisa nangis kalo wajahmu kaku macam semen kering, Nak!”
“Iya Mommy!” Max mendengkus kesal dengan ujaran Wina.
Walaupun Max masih merasa aneh, ia tetap menuruti ucapan Wina. Ia tersenyum tipis, lalu berkata. “Halo Daniel, ini om, om Max.”
Daniel yang tadi tanya diam sambil mengamati keributan diantara orang-orang di sekitarnya pun mulai bergerak, memukul dada Max dengan tangan mungilnya.
“Ooom Mackh!” panggil Daniel, meniru Max..
Dari bawa sana, ada Raiden dan Nisa yang memperhatikan orang-orang yang berada di lantai dua dengan perasaanyang sama, yaitu nyaman dan menghangatkan hati, walaupun ekspresi keduannya kontradiksi, Nisa tersenyum manis, Raiden hanya terdiam seribu bahasa.
“Itu adikmu kan?” tanya Nisa tanpa memalingkan wajahnya. “Wajah kalian hampir mirip, sama seperti ayah. Hanya, mata kamu bulat, tapi Max tajam.”
“Kamu satu-satunya orang yang bilang kami mirip,” gumam Raiden tanpa sadar.
“Munurutku pasti banyak yang ingin bilang seperti aku, Mas, cuma, mereka nggak berani ngomong ... Atau Mas memang nggak mau dengerin fakta itu.” Nisa kini menatap Raiden dalam.
“Sekali lagi kamu bener, Dear,” akuh Raiden, membalas tatapan Nisa dengan senyum kecut.
Perkataan Nisa menusuk hati Raiden, seperti satu persatu jarum yang sedang tertanam di dada pria itu sedang dicabut satu persatu, sakit sekali, bahkan mengeluarkan darah, namun baik untuk Raiden.
Tanpa mereka sadari keempat orang yang tadi berada di lantai dua sudah sampai di bawah.
“Daddy? Boleh ngomong sebentar?” Raiden tiba-tiba berseru sambil berdiri dari sofa.
Suasana tiba-tiba saja hening. Semua mata saling melemparkan lirikan satu sama lain, kecuali Alex dan Raiden yang terus menatap satu sama lain.
Alex berdehem. “Ikut Daddy.”
Semua pasang mata di sana hanya bisa menahan napas dan berharap saja apa yang dibicarakan oleh ayah dan anak itu tidak berakhir dengan amukan amarah satu sama lain.
”Eh? Nisa? Mau ikut Mommy masa di dapur?” Wina berjalan ke arah Nisa dengan tatapan berbinar, mencoba untuk mencairkan suasana yang sempat menegang tadi.
Nisa sejujurnya saja mau masak bersama Wina, hanya bagaimana dengan Daniel yang ....
“Nanti Daniel sama Max, aja,” cetus Wina. Ia kemudian beralih pandang ke arah Max. “Kami main dulu sama keponakanmu, bila perlu bawa Daniel ke kantor, kenalin juga ke pacarmu, pokok hari ini kamu mommy kasih tugas jagain Daniel!”
Max hanya bisa terpana dengan ucapan dan tatapan Wina yang tidak menerima penolakan. Ia pun segera pergi bersama Daniel dalam gendongan entah kemana, tentu saja ia sudah meminta izin kepada kakak iparnya yang menatap Max tidak enak.
“Ayok, Nis, ikut mommy ke dapur,” ujar Wina sambil memeluk tangan Nisa dan mereka berjalan ke dapur.
Nisa takjub dengan luas dan mewahnya dapur di rumah ini. Semua peralatan dari yang biasa saja sampai luar biasa ada di sana. Bahan-bahan makanan juga lengkap dan sudah terjamin kualitasnya.
“Mama suka masak banget yah?” tanya Nisa.
“Iya. Mommy dulu kan pernah sekolah tata boga.” Wina menjawab.
“Pantesan, Mama jago banget. Nanti Nisa mau diajarin sama mama,” harap istri Raiden itu.
Wina mengambil beberapa bahan-bahan masakan di dalam lemari es, kemudian membawanya di depan meja dapur.
“Kalo gitu kamu dan Raiden pindah aja ke sini, biar kita sering ketemu, dan mommy bakal ajarin kamu banyak masakan enak,” ajak Wina yang diakhiri dengan kekehan kecil.
Suasana berubah menjadi hening. Benar kata Wina, sudah seharusnya mereka menetap di Jakarta, karena semua orang yang Raiden kenal ada di sini. Nisa tercenung.
“Hey Nisa? Ada apa?”
“Ah. Nggak papa ma, cuma kepikiran sesuatu.”
To be Continued
A.n:
Ehehehe. Hai hai hai.
Btw, tinggal 2-3 bab lagi tamat hiks. Besok aku tamatin, atau ntar malam. ^^
Hooo iya. Sebelumnya adik Raiden namanya Bimo, di sini jadi Max. 😂
Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Typo? Komen beb.
Ps: Hmmm
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top