🦋 | Bab Dua Puluh Satu

Bab Dua Puluh Satu
~~~🦋~~~

Drttttt ... Drtttt .... Drtttt.

Langkah Nisa yang awalnya hendak melangkah ke kamar mandi untuk menyikat gigi sebelum tidur langsung tertahan karena ponselnya yang berdering. Wanita itu berjalan kembali ke arah tempat tidur, lebih tepatnya ke gawai itu yang berada di atas nakas, terletak di samping kepala tempat tidurnya.

Mas Raiden

Nisa? Ke kamar, ya.
Daniel nangis.

Kening wanita itu mengernyit heran, biasanya kalau Daniel menangis, Raiden tidak akan meminta bantuan Nisa seperti ini. Pria itu sendiri yang akan mengurus
Daniel sampai Nisa yang datang sendiri karena menyadari suara anak itu.

Meskipun sedikit aneh bagi Nisa, ia tetap saja melangkah keluar dari kamar dan berjalan ke ruang yang berada di sebelah kirinya.

Karena pintu apartemen itu memiliki dua kunci, salah satunya ada di tangan Raiden dan satu kunci lagi pria itu berikan kepada Nisa. Wanita itu pun menempelkan card tersebut di arah pintu yang memiliki sensor untuk membuka pintu tersebut secara otomatis.

Nisa melangkah dengan ringan masuk ke dalam kamar Raiden tanpa menaruh curiga.

Satu langkah, Nisa masih biasa-biasa saja karena mata wanita itu hanya fokus ke lantai berwarna putih susu di bawahnya.

Langkah kedua, saat kepala Nisa mulai terangkat perlahan, memandang apa yang sedang terjadi di depan sana.

Tingg!

Card kamar hotel yang berada di genggaman Nisa terjatuh begitu saja ke dasar, mata Nisa memanas bersama dengan dadanya yang terasa diremas-remas hingga hancur.

Di depan sana, di atas sofa berwarna cokelat itu, terdapat Raiden dan Jessica yang sedang bercumbu panas. Jessica yang berada di bawah Raiden, dan Raiden yang menindih tubuh wanita itu. Bahkan Tangan Jessica dengan leluasa menelusuri setiap tubuh pria itu.

“Nisa?” Raiden menoleh seraya menjauhkan tubuhnya dari Jessica.

Wajah Raiden menjadi pucat pasih, tidak menyangka bahwa apa yang dilakukannya dilihat oleh Nisa.

Nisa memundurkan langkah perlahan bersama dengan air mata yang sudah membendung di pelupuk matanya. Tangan wanita itu tergenggam erat hingga kuku-kukunya memutih dan meninggalkan bekas biru keunguan di sana.

Hati Nisa sangat pedih sekarang, sakit sekali! Nisa menggeleng kepalanya, mencoba berusaha untuk tidak menangis di depan Raiden.

Jangan sampai Nisa terlihat menyedihkan di depan pria itu! Jangan! Seru wanita itu pada dirinya. Nisa kemudian pergi dari sana, dari hadapan Raiden yang terdiam seribu bahasa.

”NISA! MAS BISA JELASIN! INI NGGAK BENER!” teriak Raidan sambil mengikuti langkah Nisa yang berlari keluar dari kamarnya.

Nisa berjalan keluar dari hotel itu dengan hati yang terasa dicabik-cabik. Sakit, sakit sekali. Air mata tidak bisa dibendung lagi, tanpa peduli ia menerobos orang-orang yang ada di sekitarnya di dalam hotel itu.

Suasana di luar sedang hujan deras, angin, kilat dan guntur gila-gilaan di luar sana. Namun langkah Nisa tidak berhenti, ia berjalan keluar dari hotel meskipun harus berhadapan dengan badai itu. Nisa tidak takut.

Pikiran wanita itu kini tengah kalut, benar-benar kalut. Hati Nisa pun benar-benar hancur sekarang.

Ternyata hari-hari penuh pelangi kini benar-benar pergi dari Nisa. Meninggalkan badai yang mematahkan hatinya menjadi dua bagian yang wanita itu pun tidak tau bagaimana caranya mengembalikan patahan hati itu lagi seperti sediakala.

“Nissaa!” seru seseorang yang mengikutinya dari belakang.

Nisa terus berjalan cepat, menghiraukan panggilan itu. Sudah cukup! Nisa tidak sanggup lagi jika harus disuruh untuk bertahan, hatinya sudah tidak mau lagi diajak berkompromi sekarang.

Langkah Nisa semakin cepat, yang diinginkannya sekarang adalah menjauh dari pria itu untuk sementara, ia tidak mau melihat wajah Raiden dulu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Nisa sangat kecewa dengan Raiden, hatinya sangat benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Jika Raiden memang ingin kembali dengan Jessica, kenapa pria itu masih memberikan harapannya kepada Nisa? Mengapa ia terus mengatakan hal-hal yang membuat wanita itu berharap?

Sejak tadi pun, Raiden lebih perhatian kepada Jessica, apalagi wanita itu mengatakan bahwa tempat pertama mereka kencang selain di Jakarta adalah di batu, lebih tepatnya mereka berdua pergi ke Paralayang. Tidak hanya itu, wanita itu terus saja mengatakan tentang kenangan lama yang membuat hati Nisa memanas. Sedangkan Raiden hanya mengangguk, dan terkesan menerima dan mengenang kembali masa-masa mereka berdua. Pria itu juga masih mengingat apa yang disukai wanita itu, dan alergi apa.

Sungguh! Cukup!

Air mata Nisa menyatu dengan air hujan yang membasahi tubuhnya. Hawa dingin seakan tidak terasa di tubuhnya. Meskipun begitu giginya bergemelatuk bersama dengan tangisannya.

“NISAAA! TUNGGU!” panggil Raiden dengan suara sebesar mungkin yang dirinya bisa karena suasana yang ribut akibat suara hujan.

Di samping jalan itu, di atas trotoar dan beberapa kendaraan yang masih berlalu lalang melewati hujan deras itu menjadi saksi kisah Nisa yang sangat menyedihkan baginya, dan Raidan yang berusaha mengejar wanita itu menjelaskan apa yang sebenarnya tadi.

Nisa menggeleng kuat-kuat kepalanya, ia tidak mau mendengar apapun penjelasan dari pria itu. Tidak mau!

“Nisaa!”

Langkah Nisa tertahan, karena pergelangan tangannya di tahan oleh sosok yang sedari tadi memanggilnya.

“LEPAS!” bentak Nisa sambil menarik tangannya dari genggaman pria itu.

Raiden mengembuskan napas lelah. Di tengah-tengah guyuran hujan deras itu ia menatap mata Nisa dengan sungguh-sungguh. “Kalo kamu nggak mau denger penjelasan Mas, setidaknya ikut mas kembali ke hotel, Nisa. Sekarang hujan, kamu juga mau kemana malam-malam gini?” tutur Raiden.

“Jangan pegang aku!” gumam Nisa sambil menjauhkan tangannya dari Raiden.

Keras kepala, itulah yang sedang Nisa gunakan sekarang saat berhadapan dengan Raiden. Wanita itu kembali memutar tumitnya, menghiraukan ucapan Raiden tadi.

Raiden mau tidak mau harus mengejar langkah Nisa yang menjauh dengan langkah lebarnya.

Dalam satu hentakan, pria itu menarik tangan wanita itu lagi, hingga menabrak tubuhnya dengan cukup keras. “Please! Kamu bisa pergi besok pagi aja, tapi jangan keluar hujan-hujanan layak gini, Nisa!”

Nisa mendongak, menatap Raiden dengan matanya yang sudah memerah. “Anda siapa sampai-sampai harus mengurus saya?” seru Nisa datar.

Kembali helaan napas berat datang dari Raiden. “Jangan kayak gini, Nisa. Mas tau, Mas salah! Tapi jangan keluar, jangan pergi dulu!” kekeuhnya.

“Jangan pergi lagi biar anda bisa buat saya sakit lagi?” sarkas Nisa. “Biarkan saya tenang dulu! Jangan ganggu saya!” peringat Nisa seraya melepaskan diri dari pria itu lagi.

Pada akhirnya Raiden menyerah. Bersama hujan deras di malam itu, pria itu berjalan di belakang Nisa, mengikuti langkah wanita itu yang tak tentu arah. Hanya berjalan tanpa tujuan yang jelas, yang pasti, Nisa harus tenang dulu dengan keadaan yang baru dirasakannya. Wanita itu, sedang terluka.

Hujan perlahan merendah, suasana pun mulai kembali ramai karena hujan tadi menghambat perjalanan mereka. Nisa juga sudah berhenti menangis karena air matanya sudah mengering dan tidak ada lagi emosi yang dirasakan wanita itu sekarang.

Raiden menarik tangan Nisa sambil menarik pelan wanita itu untuk masuk ke sebuah angkot yang sudah berhenti tepat beberapa langkah di belakangnya.

Lebih baik mereka pulang dengan angkot daripada hilang arah dengan keadaan basah seperti sekarang, pikir Raiden.

To be Continued

A.n:

Seperti biasa. Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Ada typo? Kalimat belibet dan ambigu? Komen guys!

Raiden ngadi-ngadi banget yeh? ✋😭

P.s: kata sang Alkemis, ikuti pertanda satu ke pertanda lainnya. Artinya, jangan sia-siakan kesempatan yang ada. Okay? Tetap semangat! -3-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top