※Part [12] - Pengantin tak Tergenggam 2※
Hai!! Kali ini kalian nggak perlu nunggu sebulan atau setahun buat baca chapter ini ヾ(*´∀`*)ノ
Nggak ada seminggu Nao berbaik hati mempublish chapter ini dengan SUENANG HATI!! *evil laugh
Silahkan sayang~ :*
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Pengantin Sang Iblis:
Part [12] -Pengantin tak Tergenggam 2
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
.
.
Sepasang kelopak mata itu terbuka dan menampilkan manik shapire yang indah. Zea memandang sebuah lorong panjang dengan bingkai-bingkai foto yang menghiasi dinding dengan penerangan minim. Pandangannya beralih ke kaki yang berbipijak pada rumput kering yang menutupi tanah. Lalu kembali mendongak dan betapa kagetnya saat seseorang berpakaian badut telah berdiri di ujung lorong sambil tersenyum ke arahnya.
Badut itu berlari meninggalkan Zea di belokan lorong. Rasa penasaran membuat Zea menggerakan kakinya mengejar badut itu. Sebenarnya Zea benci badut. Kostum yang biasa digunakan untuk menghibur anak kecil itu nampak menakutkan di mata Zea. Jika disuruh memilih, Zea akan memilih berhadapan dengan binatang buas ketimbang harus bertemu dengan badut spychopath.
Zea terus mengejar badut itu hingga keujung lorong. Dimana lorong itu buntu dengan bingkai besar tanpa foto. Kakinya berhenti melangkah saat dilihatnya si badut yang kebingungan mendapati kebuntuan. Di sela napasnya yang memburu bibir Zea tersenyum.
"Puurr puur puurr... "
Kening Zea mengkerut saat mendengar suara dengkuran kucing. Apalagi saat badut itu berbalik mengarah kepadanya, menampilkan wajahnya yang penuh dengan luka tusuk dan lumuran darah.
"Zea.. Kau milikku." Badut itu berbicara dengan suara yang tak asing bagi Zea. Melangkah maju menghampiri Zea dengan tangan yang terulur.
Rasa takutnya kepada sosok itu kembali muncul.
"Zea.. "
"Zea."
Zea mengedipkan matanya beberapa kali. Silaunya sinar lampu membuatnya kembali memejamkan mata dengan rapat sebelum membukanya perlahan.
Sshh.. Nanti dia bangun."
Suara bisik-bisik itulah yang mengganggu mimpi Zea. Perlahan Zea membuka matanya dan berniat mengusap wajahnya, tapi kedua tangannya tidak dapat digerakan sama sekali.
"Mimpi Indah, sayang?"
Ghias tersenyum mendapati Zea yang terkejut saat melihatnya. Zea meronta berusaha menjauhkan diri dari Ghias. Namun percuma karena kedua tangannya terikat pada tiang besi di lemari. Dan entah sejak kapan dirinya sudah terbaring di atas matras. Zea menyapukan pandangannya untuk mengetahui dia ada di mana saat ini. Masih ruangan tadi, hanya saja pemuda itu tidak ingat kapan dia jatuh tertidur dan pindah ke atas matras yang ada di ruangan ini.
"Hih!!?" Zea berjengit saat merasakan tangan dingin Ghias mengusap pahanya. Dan, hei! Sejak kapan Zea hanya mengenakan celana dalamnya?! Kemana jeans yang tadi dia kenakan.
"Ya ampun seperti film dewasa, ya?" Ghias terkikik menyeramkan.
Melihat sikap bocah yang seperti itu membuat Zea merinding. Lebih menyeramkan lagi untuk Zea saat melihat pisau di tangan kiri Ghias. Entah apa yang akan dia lakukan dengan pisau itu kepadanya. Yang pasti bukan hal bagus!
"Biasanya di film dewasa, akan melakukannya lewat lubang itu." Jemari Ghias menyusup perlahan ke balik celana dalam Zea. "Tapi, kamu kan punyanya penis. Bagaimana kalau kita buang agar berlubang?"
Jantung Zea serasa jatuh ke tempat yang dalam saat Ghias berkata seperti itu dengan pisau terarah ke wajahnya. Zea berharap langsung mati saja dari pada harus di siksa seperti itu. Pemuda itu kembali meronta. Berusaha menendang Ghias dengan kakinya yang bebas.
"Diam!" geram Ghias sambil mencengkram selangkang Zea. "Atau aku akan menguliti dulu sebelum memotongnya."
Kaki Zea berhenti meronta dan menjepit tangan Ghias dengan pahanya. Zea mengigit bibirnya dan memalingkan wajah saat Ghias menatap tajam. Entah rasa takut atau emosi, Zea tidak tahu. Bersamaan dengan itu Ghias merasakan sesuatu yang hangat ditangannya. Ghias mengalihkan pandangan. Bibirnya terbuka sedikit sebelum akhirnya mengulas senyum, menyeringai dan kemudian tertawa.
"Astaga! Aku tidak menyangka jika kau setakut itu hingga kencing di celana!" Bocah itu terbahak. Ditariknya tangan dari jepitan paha Zea yang gemetar dan menjilat telapak tangannya yang basah.
Zea tidak memperdulikan suara tawa Ghias atau apa yang sedang bocah itu lakukan saat ini. Dia terus menghindari bertemu pandang dengan bocah itu. Lebih baik ditertawakan Ghias daripada bocah itu akan menguliti—
"Argh!" Zea mengerang kesakitan saat Ghias merobek celana dalam Zea dengan pisau dan mengenai pangkal paha pemuda itu.
"Ups! Sengaja." Ghias menyeringai.
Jari telunjuk berkuku tajam Ghias menyentuh luka gores yang ia buat di pangkal paha Zea. Menekan hingga kukunya menancap di sana. Lalu Ghias membuka luka gores itu dengan gerakan mencungkil. Zea kembali mengerang, kali ini cukup keras.
Napas Ghias memburu dengan wajah merona, "Aku tidak pernah bersemangat seperti ini saat bermain."
Zea melirik Ghias yang memandang kagum ke arah lukanya. Mata Zea sudah berair karena rasa sakit dan takut. Sementara dadanya naik turun dengan napas yang memburu. Bocah itu psikopat gila! Zea ingin langsung mati saja.
"Jangan mati dulu dong." Ejek Ghias seolah bisa membaca pikiran pemuda bersurai dark grey itu.
Ghias merangkak ke atas tubuh Zea dan duduk di perut pemuda itu. Napas bocah berjubah hitam itu memburu dengan seringain aneh saat menjilat darah Zea di pisau yang dia gunakan tadi. Zea hanya bisa menebak dan menunggu apa yang akan dilakukan Ghias selanjutnya. Meski tangannya terus bergerak, namun ikatan itu tidak melonggar sedikitpun.
"Ukh!" Zea berjengit saat jari telunjuk Ghias mendarat di salah satu putingnya. Maniknya sempat memperhatikan jari itu yang terus diam di Puncak puting Zea sebelum melirik Ghias. Melihat bagaimana bocah itu memandangnya dengan pandangan lapar dan buas.
"Stop, Ghias! Lepaskan aku."
Jari itu tidak menekan, hanya menempel dan bergerak maju mundur. Menimbulkan sensai aneh untuk Zea. Apalagi saat Ghias memainkan puncaknya dengan ujung kuku, membuat tubuh pemuda itu bergetar.
"Ngh!" Zea mendesah saat tiba-tiba Ghias mencubit putingnya.
Ghias menyeringai melihat reaksi Zea terhadap sentuhannya. "Kau membuatku gila, Zea."
"No! Berhenti, Ghias. A-aah.. Kumohon." Zea semakin tak mampu menahan desahannya.
"Aku menebak reaksimu akan berbeda jika aku memotongnya." Ucap Ghias sambil menempelkan pisau di kulit dada Zea dan Ghias menjilat bibirnya.
Zea menatap bocah itu dengan horor. Tubuhnya gemetar karena rasa takut dan rasa aneh saat dinginnya logam itu menempel di daerah sensitifnya. Membuat Zea berpikir, mungkin ini yang dirasakan orang-orang yang disiksa ibunya dulu. Zea hanya mampu menutup mata dan menunggu pasrah akan rasa sakit yang diberikan Ghias.
Namun bukannya rasa sakit yang dirasakan, justru sensasi hangat yang meraup bagian sensitif dadanya. Zea membuka mata dan betapa kagetnya saat melihat Ghias mengisap putingnya.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Zea dengan wajah merona.
"Memakanmu." Ghias menjawab tanpa melepaskan mulutnya dari puting Zea. Bocah itu terus menghisap seperti bayi.
"Be-berhenti.. Sudah cukup!" Zea hanya bisa bergerak gelisah.
Pemuda itu menggigit bibirnya saat merasa akan mendesah. Gerakan mulut Ghias yang mengisap dan lidah Ghias yang menjilat membuat kepala Zea menjadi kacau. Dia tidak tahu lagi apakah rasa takut yang ia rasakan atau bukan. Entah kenapa rasanya nikmat—
"AAARGH!" Zea menjerit tiba-tiba. Matanya terbuka lebar dengan tubuh melengkung yang gemetar hebat.
Ghias menyeringai melihat reaksi Zea saat dia melakukan hal yang tak terduga. Disekanya mulut yang berlumuran darah sementara mulutnya terus mengunyah. Bocah itu menggigit puting Zea hingga putus.
Rasa panas dan sakit di dada kirinya membuat pemuda itu tidak mampu berkata-kata. Hanya bisa mengerang dan mengaduh. Kakinya menghentak udara dengan gelisah. Sakit sekali! Zea merasa dadanya terbakar.
Ghias menjambak rambut Zea agar mendongak. Mengecup bibir Zea beberapa kali sebelum melesatkan lidahnya kedalam mulut Zea saat pemuda itu mengaduh lagi. Ghias terus mencium Zea. Menggigit dan meraup bibir pemuda itu atau menghisap lidahnya. Sementara jari Ghias melesak masuk luka di dada Zea dan menggaruk dagingnya. Tidak memperdulikan erangan tertahan Zea atau bulir bening yang terjatuh dari pelupuk mata pemuda itu.
Saat bibir mereka berpisah, isakan bergetar Zea terdengar. Darah sudah menghiasi kulit tubuh pucat pemuda itu saat Ghias memperhatikan keadaannya. Ghias hanya menyeringai puas dengan apa yang baru saja dia lakukan. Toh dia bisa mengembalikan Zea seperti semula karena dirinya sendiri yang menorehkan luka-luka itu.
"Aku tidak akan melakukannya sekarang, karena kau belum menjadi pengantinku seutuhnya." Kata Ghias sebelum menjilat luka menganga di dada Zea.
Seperti magic, luka itu menimbulkan asap dan kembali menutup setelah Ghias menjilatnya. Rasa sakit yang dirasakan Zea pun segera menghilang. Ghias tersenyum tipis saat melihat Zea menghembuskan napas lega.
"Ghias.. Kumohon lepaskan aku." Lirih Zea memelas.
Ghias mengusap pipi Zea dan tersenyum. Diambilnya pisau yang sempat dia campakan di samping kakinya. Dan tanpa peduli protesan Zea atau bagaimana ekspresi takut pemuda itu, Zea menusukan pisaunya di perut Zea.
Darah menyembur keluar dari mulut Zea, dan Ghias tidak berhenti dengan apa yang dilakukannya. Bocah itu menarik pisaunya yang tertancap diperut Zea ke samping. Membuat luka menganga lebar dan jeritan Zea yang mengggema diseluruh ruangan itu.
"Kau harus terbiasa dengan rasa sakitnya Zea." Tukas bocah itu dan mengecup bibir Zea yang terbuka lebar.
BRAK!!!
Mengalihkan pandangan dari Zea, Ghias tersenyum pada sosok yang baru saja tiba mendobrak pintu. Surai coklat yang menutupi sebagian wajah seorang wanita tidak menyulitkan Ghias untuk mengenali sosok itu. Liur menetes dari mulutnya yang menggeram.
"Anakmu begitu lezat Jamearu." Ujar Ghias dan menjilat bibirnya yang dihiasi darah Zea.
Jamearu menggeram sebelum melesat cepat menuju Ghias. Meraih kepala bocah itu dan melemparnya hingga menabrak dinding. Tidak membiarkan Ghias bangkit, Jamearu melempar tabung gas yang ada disana hingga menindih kepala Ghias.
Tidak ada yang boleh menorehkan luka sekecil apapun di setiap jengkal kulit anaknya. Bahkan Jamearu ingin melarang siapapun untuk menyentuh Zea. Jamearu menggeram penuh emosi. Jamearu berniat mencabik-cabik tubuh bocah itu, jika saja Dark tidak menyerangnya dari belakang. Dark meraup kepala Jamearu dan mengayunkan tubuh Jamearu dan membenturkannya kedinding berkali-kali.
Setelah benturan ke empat kali, Jamearu meraih rahang Dark. Membuka dengan paksa hingga monster itu berhenti membenturkan Jamearu ke dinding. Saat wanita itu berhasil membebaskan kepalanya dari mulut Dark, tanpa melepaskan sebelah tangannya dari mulut atas monster itu, Jamearu segera melayangkan tangannya ke mata kiri Dark.
"Ngiik.. Ngiik"
Mulut Dark yang terbuka tepat di depan wajah Jamearu tidak bergerak maju. Saat Jamearu menarik tangannya tubuh besar itu segera terjatuh tak berdaya dengan kepala berlubang karena Jamearu berhasil menembuskan tangannya lewat mata kiri Dark.
Jamearu mendengus jijik melihat cairan hitam di tangannya. Segera di hampirinya Zea yang terbaring dengan perut bersimbah darah. Jamearu ingin menangis melihat keadaan putranya.
"Tidak! Kamu nggak boleh mati, Zea." Jamearu melepaskan ikatan tangan Zea.
"Ma.. " shapire Zea bergulir memandang sosok Jamearu kini. Tidak ada lagi wajah cantik bermake up tebal, yang ada hanya wajah dengan kulit keriput dengan mulut yang menyerupai congos.
"Tetaplah hidup, sayang." Jamearu menggenggam tangan Zea. "Maaf, karena kau harus terlahir dari monster seperti—"
Kalimat Jamearu terhenti saat sebuah tabung gas menghantam kepalanya. Wanita itu tentu tidak akan terkapar hanya karena benda seperti itu, kepala Jamearu hanya sedikit terkantuk. Perlahan, Jamearu menoleh kebelakang dan melihat Ghias yang sedang memungut Dark. Monster itu telah kembali ke wujud kucingnya dan nampak tidak berdaya di tangan Ghias.
Jamearu menggeram. Ghias menyeringai. Sepasang manik cognaz bertemu dengan sepasang manik berwarnah merah darah. Ekor Jamearu mengibas dan menghentak lantai dengan keras. Sementara tubuh Ghias kembali menyusut menjadi bocah berumur lima tahun saat beberapa boneka kayu bermunculan.
Empat boneka kayu seukuran manusia berdiri berjejer menutupi sosok Ghias. Jamearu berbalik dan membungkuk di lantai menutupi Zea dari tatapan boneka-boneka itu. Saat salah satu boneka melesat dari tempatnya Jamearu segera mengibaskan ekornya pada boneka itu. Suara benturan terdengar keras karena boneka yang menghantam dinding.
Dua lagi maju menyerang. Boneka kembar dengan berbeda gender. Boneka laki-laki segera menarik tangan boneka perempuan yang langsung kaku memanjang dengan mulut terbuka lebar. Saat Jamearu melayangkan ekornya pada mereka, boneka perempuan segera menggigit ekor Jamearu, dan boneka laki-laki mengayunkan boneka perempuan. Tubuh Jamearu tertarik dan terlempar kesisi lain ruangan. Membuatnya lebih dekat dengan Ghias dari pada Zea.
"Padahal jika kau menyerahkan Zea dari awal, semua akan berakhir dengan tenang. Dan kau masih bisa bersama dengan mayat hidup itu." Ghias mendengus kesal.
Perlahan Jamearu bangkit dan bertanya, "Apa kau akan membunuh anakku?"
"Huh?!" Tawa Ghias meluncur. "Jika aku akan membunuhnya, lebih baik sejak pertama kali bertemu dengannya, Aru." Ghias mengelus Dark yang mulai sembuh dari lukanya. "Tenang saja, Zea akan terus hidup bersamaku selamanya. Setidaknya selama dunia kotor ini belum berakhir."
Jamearu mendecih melihat senyuman Ghias. Kini dirinya bimbang, membiarkan Ghias memiliki Zea atau melenyapkan iblis ini dari kehidupan mereka. Opsi kedua mungkin mustahil, tapi tetap saja wanita itu tidak rela memberikan Zea pada Ghias.
"Aaarggh!! IBU!!!"
Jamearu menoleh saat mendengar jeritan melengking Zea. Hatinya mencelos saat du boneka tadi memasukan tangannya kedalam luka di perut Zea. Dengan emosi Jamearu kembali menoleh kepada Ghias dan menatapnya nyalang.
"Apa yang kau lakukan pada anakku?! ITU PENGANTINMU!!" Geram Jamearu.
"Kenapa? Dia milikku jadi terserah aku mau diapakan dia. Lagipula dia tidak akan mati selagi aku yang melakukannya."
"PERSETAN!!" Umpat Jamearu.
Wanita itu segera berlari menghampiri Zea yang terus menjerit karena perlakuan boneka-boneka Ghias. Boneka laki-laki segera bangun saat menyadari kedatangan Jamearu. Tetapi Jamearu langsung menubruknya dan menghancurkan kepala boneka itu sebelum dia sempat mengelak.
Boneka perempuan yang semula hanya diam, segera menendang Jamearu saat wanita itu masih menggenggam serpihan kepala si boneka laki-laki. Tidak membiarkan Jamearu sempat bangun dan menindihi tubuh wanita itu.
"Kenapa manusia selalu mengelak saat ditagih hutang, sih?" Ghias menggelengkan kepalanya. "Aku memang senang kau mengajakku bermain, tapi aku lelah jika harus menguras tenagaku seperti ini."
"Kalau begitu.." Jamearu memandang Ghias memelas, "lepaskan kami."
Ghias terdiam mendengar kalimat Jamearu, lalu tertawa lantang seolah permintaan Jamearu adalah hal paling bodoh. Ya, baginya Jamearu benar-benar bodoh. "Kau harus membayar semuanya dan Zea akan terus menemaniku."
"AAAAARRRRGGH!!"
Tepat Ghias menyelesaikan kalimatnya suara jeritan Zea kembali terdengar. Jamearu membelalakan matanya sebelum akhirnya wanita itu menunduk dan terisak pilu. Dia tidak mau lagi mendengar jeritan Zea yang tersiksa. Cukup! Lebih baik Jamearu mati saja dari pada harus melihat anaknya terus menerus disiksa oleh iblis itu.
Isakan Jamearu terputus saat merasakan rambutnya dijambak oleh Ghias. Melihat bocah itu dengan pandangan buram dan wajah penuh air mata.
"Kumohon.. Lepaskan kami, Ghias." Jamearu menangis tersedu-sedu.
"Kau..."
"Setidaknya biarkan Zea. Lepaskan anakku dari jerat rantai siksaanmu!" Kali ini Jamearu menjerit.
"Sialan!"
"Tapi kau tidak mau mendengarkanku.. " seulas senyum terukir di bibir wanita itu. "Aku tahu kenapa kau mati-matian mendapatkan Zea. Aku tahu permintaan apa yang tidak bisa kau wujudkan."
Ghias menghantamkan kepala Jamearu ke lantai. Bocah itu menginjak kepala Jamearu dan berjalan melewati boneka yang menduduki Jamearu. Rahangnya mengatup rapat dan tangannya mengepal kuat-kuat saat melihat kepala Zea yang sudah terpisah dari tubuhnya lantaran ekor Jamearu yang menghancurkan leher pemuda itu.
"Permintaan yang tidak bisa kau wujudkan.. " suara Jamearu menusuk indera pendengarannya, "adalah keinginanmu sendiri, Ghias."
Detak jantung yang selama ini mengalun Indah kembali menghilang dari kegelapannya. Mungkin Ghias dapat membuat tubuh itu kembali utuh dan bergerak, tapi dia tidak akan pernah mengembalikan Zea kedunia ini.
"Pengantinku... "
[Pengantin sang Iblis - End]
Bagaimana kalian senang?
Puaskaaan???
Nggak usah berterimakasih ke Nao, Ini udah tugas Nao menamatkan cerita ini (´ヮ')
Iya Zea nya mokat sayang :)
Iya ceritanya TAMAT beb :*
#Maling nih cerita gue santet lu!
Bye~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top