Part [09] - Tik Tok
Detik jam seolah menjerit nyaring di depan telinganya. Memaksanya bergerak untuk lebih cepat karena dikejar waktu yang semakin menyempit. Rintikan hujan semakin mempersulit langkahnya melewati jalanan terjal di tengah kegelapan hutan malam. Lampu senter mulai meredup dan cahayanya tidak dapat menjangkau jarak yang jauh.
Hembusan angin dingin menerpa. Suara dedaunan yang saling bergesekan sesekali terdengar mengiringi hujan yang tidak begitu lebat. Sementara beberapa gagak di dahan pohon terus berkoak beberapa kali sambil mengikuti seorang manusia di bawah sana.
Suara langkahnya seolah menggema menyamarkan suara hujan di dalam kegelapan. Deru desah nafasnya terdengar begitu nyaring bagai dengkuran seekor naga. Sementara jantungnya berdegup cepat dengan suara yang terasa menulikan telinga.
Setelah berjalan cukup lama akhirnya tempat itu ia temukan juga. Entah sejak kapan hujan berhenti dan saat sadar keadaan sekitar lebih terang karena cahaya jingga yang menerpa. Dia menunduk dan melihat bayangannya yang mengarah ketempat itu. Membuatnya yakin jika dia tidak salah tempat.
Liu melanjutkan langkahnya dengan perlahan. Keluar dari tanah lembab penuh dedaunan menuju halaman berumput kering. Seluruh tubuhnya basah namun belum setetes air pun jatuh.
Liu terus mengikuti bayangannya. Saat bayangannya sedikit menyerong maka langkah Liu akan menyesuaikan agar dia benar-benar searah dengan bayangannya.
"Tap tap.. ku dengar suara langkahmu dan ku tahu kau ada di sini."
Langkah Liu terhenti seketika saat dia mendengar suara itu. Lirik lagu melantun dari suara seorang anak kecil.
"Tap tap.. teruslah melangkah karena aku sudah menunggumu dari tadi."
Liu meneguk ludahnya susah payah dan menoleh ke arah sekitar. Tapi tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Lalu suara nyanyian itu terus terdengar mengiringi langkahnya.
"Tap tap.. jika kau takut ini saat yang tepat untuk kembali pulang ke rumah."
Liu menaiki undakan tangga menuju teras bangunan bertingkat dua itu. Hawa hangat yang dia rasakan saat di halaman langsung menghilang begitu dia ada di teras. Sepasang daun pintu setinggi dua meter tidak jauh berada di depannya.
"Kini kau datang kepadaku untuk meminta permen."
Liu kembali meneguk ludahnya dan mendekati pintu itu.
"Dapat kurasakan ketakutan yang menggelayutimu."
Sebelah tangannya terulur pada kenop pintu.
"Tapi kau begitu menginginkan permen itu."
Sensasi dingin dirasakan Liu saat memegang kenop pintu dan memutarnya.
"Dan kini kau tidak dapat kembali lagi."
Suara derit pintu terdengar begitu mencekam. Tangan Liu gemetaran saat terus mendorong pintu itu. Sedikit demi sedikit Liu dapat melihat kegelapan yang berada di dalam.
"AAAAAAAAKKHHH!!!"
Liu menjerit takut dengan tiba-tiba. Menjatuhkan buntalan kain yang sedari tadi dia gendong kelantai. Tubuhnya ikut terjatuh saat mencoba berbalik namun tersandung buntalan kain itu.
Beberapa boneka anak kecil setinggi lima puluh centi meter keluar dari balik pintu. Liu menjerit ketakutan melihat boneka dengan rupa mengerikan itu. Dia berniat bangun dan kabur dari tempat itu namun boneka-boneka itu lebih cepat menangkapnya.
"Tap tap.. aku menyambut kedatanganmu dengan sedikit kejutan."
Boneka bocah lelaki berkulit gelap naik keatas punggung Liu dan membekap mulut Liu. Sementara yang lain mulai menarik tangan dan kaki Liu.
"Tap tap.. ayolah masuk ikuti langkahku karena akan kuberi kau permen."
Liu menyentak boneka yang menarik tangannya dan merangkak menahan tarikan boneka-boneka di kakinya. Tapi tanpa di duga boneka yang ada di punggungnya memasukan tangan kedalam mulut Liu.
"Tap tap.. permen kau terima entah suka atau tidak."
Tangan boneka itu menarik ujung mulut Liu. Membuat Liu mengerang kesakitan dan memborantak makin kencang.
"Aku tersenyum senang saat kau menerima permen itu."
Kulit pipi Liu sedikit demi sedikit robek karena boneka itu terus menariknya. Boneka-boneka yang lain kembali menarik Liu masuk kedalam. Pada saat itulah Liu melihat buntalan kain yang tergeletak di lantai bergerak.
"Kau pun mulai memakan permen itu meski dengan terpaksa atau kupaksa."
Mata Liu berkaca-kaca diantara sakit yang dia rasakan. Sebuah tangan muncul dari kain itu sebelum akhirnya tersingkap.
"Kini aku semakin tersenyum bahagia karena kau mendapatkan permenmu."
Seorang lelaki muncul dari buntalan kain. Tubuhnya yang berlumuran darah dan wajahnya yang pucat nampak jelas di mata Liu. Lelaki yang seharusnya sudah tidak bernyawa kini menatap kearahnya tanpa cahaya kehidupan di matanya.
"Dan kau menangis karena harus membayar permen yang kuberikan."
Liu mengerang saat tubuhnya semakin tertarik kedalam. Tangannya terulur berusaha menggapai sosok yang terduduk diam itu. Namun pintu segera tertutup dan menjepit pergelangan tangannya hingga putus.
Suara dedaunan bergesekan karena hembusan angin mengisi kesunyian itu. Lelaki berwajah pucat terus duduk diam di tempatnya. Tidak bergerak sedikitpun saat ada seorang pemuda berjubah hitam yang menghampirinya.
Seekor kucing hitam meloncat dari gendongan pemuda itu. Mendekati lelaki berwajah pucat yang memperhatikannya.
"Kini kau sudah bangun. Bagaimana jika kau membuat arena permainan untukku...
.
.
.. Annucal."
※※※※※※※※※※※※※※※
Pengantin sang Iblis:
Part [09] - Tik Tok
※※※※※※※※※※※※※※※
"Apa yang kau inginkan?"
Ghias sangat suka dengan pertanyaan itu. Setiap kali bibirnya melontarkan kalimat tersebut dia tahu para manusia akan menyerahkan jiwa padanya. Meski sesungguhnya dia tidak mendapatkan jiwa yang dimaksud, bukankah menyenangkan saat melihat manusia telah jatuh dalam kesesatannya.
Ghias tidak mampu menahan diri untuk tidak menjilat bibirnya saat melihat ekspresi Zea saat ini. Dia sungguh tidak sabar semua ini berakhir dan membawa Zea ke kastil. Menawan pemuda itu dalam kegelapan.
"Kau bilang gadis itu inang virus ini, berarti berita itu salah. Bukan binatang peliharaan buronan yang menularkan virus itu, tapi para buronan itu sendiri, dan gadis kecil tadi adalah salah satunya kan?" Bukannya menjawab Zea justru memberikan pertanyaan lain.
Hal itu membuat Ghias sedikit terkejut namun melihat ekspresi ketakutan Zea, ia segera menghilangkan keterkejutannya.
"Itu berarti ibu juga... karena dia berasal dari D'fruk."
Ghias menaikan sebelah alisnya dan melihat tangan Zea yang terkepal. Bibirnya sedikit demi sedikit menyunggingkan senyum sampai ia tidak mampu lagi menahan tawa yang mulai muncul. Dia benar-benar tertawa sekarang.
"Apanya yang lucu?!" Bentak Zea geram.
"Ketidakpekaanmu." Suara Ghias di tengah tawa gelinya. "Kapan pertama kali kamu bertemu dengan ibumu?"
"Tentu saja saat aku berumur enam tahun."
"Di mana? Kapan? Bagaimana? Ceritakan semuanya padaku."
Ghias melipat tangannya di depan dada. Menahan senyum geli melihat ekspresi bingung Zea.
"Saat malam berhujan setelah aku kabur dari panti ibu menemukanku yang duduk meringkuk di pinggir gedung restoran. Dia yang baru saja makan di restoran itu bersama Alfred melihatku dan segera membawaku masuk kedalam mobil. Singkatnya ibu membawaku pulang dan mengangkatku sebagai.. kenapa kamu tertawa?"
Zea kali ini benar-benar merasa kesal saat lagi-lagi Ghias tertawa. Entah datang dari mana Dark sudah muncul di sisi Ghias dan bocah itu menggendongnya. Mata bermanik merah Ghias berkilat aneh.
"Seperti apa ibumu dulu?" Tanya Ghias yang langsung dijawab mantap oleh Zea. "Dia muda dan cantik!"
"Sekarang?"
"Tentu saja dia masih cantik! Tidakkah kamu melihat ibuku sekali saja?" Zea memutar bola matanya.
"Kalau begitu aku mengganti pertanyaan."
Ghias berjalan mendekat kearah Zea. Dia sangat menyukai semua yang ada pada pemuda itu. Rambut dark grey-nya. Kulitnya yang pucat dan sepasang manik bermata shapire itu. Tidak sia-sia dia menunggu selama empat puluh tahun.
"Seperti apa Alfred dulu dan sekarang?"
"Dulu Alfred sangat tampan dan serasi dengan ibu, saat ini pun dia masih tampan meski sudah sangat.. tua..." Ucapan Zea terhenti. Terdiam sejenak sebelum akhirnya melirik Ghias.
Bagaimana bisa dia tidak menyadarinya selama ini? Perubahan fisik seseorang karena usia setelah empat belas tahun lamanya pasti akan nampak terlihat jelas. Alfred yang dulu lebih muda saat pertama kali dilihatnya kini sudah terlihat jauh berbeda. Tapi seseorang bersama Alfred tidak jauh berbeda hingga saat ini. Ibunya bahkan seolah hanya nampak dua atau tiga tahun lebih tua dari yang dulu.
Kenapa Zea tidak menyadari itu?
Ibunya selalu memakan daging saat mereka bersama. Wanita itu pernah terjatuh dari lantai tiga dan tidak mengalami luka parah atau patah tulang. Wanita itu jarang tidur dan tidak pernah nampak kelelahan..
"Tidak mungkin." Zea bergumam dan mengulas senyum tipis. "Bukankah ibu memang awet muda."
Zea segera mengambil langkah dan pergi tanpa memperdulikan jika dia meninggalkan Ghias. Dia ingin sampai di rumah dan bertemu dengan wanita yang dicintainya di dunia ini. Dia yakin jika ibunya bukanlah seperti dugaan Zea sekarang.
Tapi pada akhirnya semua perkiraan yang muncul di kepala Zea hanya membuatnya ketakutan. Dia percaya jika ibunya hanyalah mantan penjahat dari D'fruk dan bukan salah dari makhluk-makhluk itu. Zea belum pernah sekalipun melihat ibunya menyerang orang lain seperti para kanibal itu. Meski tidak jarang sikap wanita itu lebih mengerikab dari para makhluk pemakan daging.
Atau jika mengiris kuping seorang pria dengan ekspresi bahagia hanyalah hal biasa menurutmu.
Zea menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang. Melihat Ghias yang masih di tempatnya sambil menggendong Dark. Tatapan bocah itu seolah sedang membodohinya.
"Kamu tidak mau ikut bersamaku?" Tanya Zea sedikit berseru.
Tapi Ghias bergeming. Tidak menjawab pertanyaan Zea sepatah kata pun.
Zea berdecak kesal dan kembali berbalik menghampiri Ghias. Di tariknya tangan bocah itu hingga Dark terlepas dari tangan Ghias. Mengangkat Ghias dan menggendongnya.
"Aku membencimu." Desis Zea tiba-tiba. "Semenjak ada kau, hidupku berubah total!"
Ghias menatap wajah Zea yang frustasi. Tanpa bersuara, bocah itu menangkup kedua pipi Zea dan menarik wajahnya. Langkah Zea sontak terhenti saat pandangannya tiba-tiba berpaling dari jalanan. Tangannya tanpa sadar mencengkram baju Ghias.
Dark yang mengikuti di samping ikut berhenti juga. Mendongak dan memperhatikan ke duanya dengan ekor yang bergoyang gemulai. Sepasang matanya memantulkan bayangan bulan sabit yang sesungguhnya tertutupi awan mendung.
●●●
Melengkung indah bagai bulan sabit, bibir itu tersenyum. "Siapa namamu?" Ucap Elhya.
"Annucal."
"Hello Annucal. Aku Elhya, izinkan aku memeriksamu." Senyuman Elhya tidak pernah luntur dan Annucal menyukainya.
Annucal bertemu dengan Elhya setelah turun dari gunung di mana dia terbangun pertama kali. Tepatnya di sebuah bangunan bertingkat dua yang berada di gunung tersebut. Elhya yang melintas dengan jeepnya segera berhenti dan menawarkan tumpangan untuk Annucal pulang. Tapi mendengar cerita Annucal mengapa dia bisa berada di gunung itu, Elhya membawanya ke sebuah tempat di mana orang-orang berjubah putih berkeliaran.
Annucal membuka pakaian yang masih melekat di tubuhnya seraya memerhatikan keadaan sekitar. Setelah pakaian terakhir lepas Elhya mendekat dan menyentuh lengan Annucal. Mengelusnya perlahan menuju pundak, leher, dan berhenti di depan dada.
Tangan Elhya yang lain menyentuh luka di pinggang Annucal dan memperhatikan perubahan ekspresi lelaki itu. Annucal tidak bereaksi. Elhya menusukan jarinya ke luka itu dan hanya mendapati mata Annucal yang melirik ke bawah. Bahkan jatung Annucal masih berdetak stabil.
"Auuw.. mungkin akan menakjubkan jika aku menciptakan Annucal-annucal lain sepertimu."
Setelah mengucapkan itu Annucal lebih sering berhubungan dengan orang-orang berjubah putih di bandingkan Elhya. Annucal tidak menolak apapun yang mereka lakukan padanya. Karena saat melihat senyum bahagia Elhya adalah hal yang paling dia sukai.
Meski pada akhirnya setelah kebangunannya dari kematian hanyalah untuk beberapa saat saja. Dan kembali tidur panjang dengan para Annucal lain yang justru mulai membuka mata mereka.
"Ini sulit untuk menghilangkan rasa sakit pada mereka."
Elhya menghela nafas berat. "Berapa yang masuk ke dalam tahanan dan yang di pindahkan ke 'asrama'?"
"Dari lima Annucal yang terlahir dua di antaranya bisa masuk ke 'asrama' untuk di periksa lebih lanjut. Satu laki-laki dan satu wanita."
Elhya menerima data yang di berikan dan membaca sekilas.
"Anda ingin menamai mereka apa?"
Elhya memperhatikan dua foto pada dua lembar kertas. Satu foto merupakan foto seorang laki-laki bersurai putih dengan manik mata abu-abu. Sementara foto yang lain merupakan foto seorang wanita bersurai coklat dengan manik madu.
"Yang laki-laki Huan, dan yang perempuan...
.. Jamearu."
●●●
Jamearu menoleh saat mendengar namanya dipanggil. Sejenak ia menghentikan langkahnya saat melihat Clea terjebak dalam jepitan besi yang biasa digunakan pemburu. Dengan panik Jamearu kembali menghampiri Clea yang berusaha melepaskan jepitan besi itu di kakinya.
Hujan terus mengguyur diiringi angin kencang dan waktu mereka semakin sempit sebelum orang-orang Elhya menemukan mereka.
Jamearu dan Clea adalah dua annucal yang tercipta tujuh dan delapan tahun yang lalu. Ke duanya memutuskan kabur setelah mengetahui tujuan diciptakannya puluhan annucal. Pada akhirnya annucal-annucal yang katanya sempurna kembali lagi diuji dengan menyiksa mereka untuk mengetahui seberapa besar mereka dapat bertahan dengan luka yang diberikan.
Para annucal yang lain tidak mengetahui itu. Mereka dilatih bertarung dan bertahan hidup sebelum di undi keluar dari 'asrama'. Mereka yang masuk undian dijanjikan akan keluar dan menjalani kehidupan diluar layaknya manusia dengan bekerja melindungi negara. Meski sesungguhnya mereka kembali memasuki arena latihan bertahan hidup yang lebih ekstrim.
"Tinggalkan aku Jamearu!" Seru Clea saat berhasil terlepas dari jepitan besi. Bagian pergelangan kaki kirinya terluka parah.
"Kita sudah janji untuk keluar dari sini." Ucap Jamearu dan memapah Clea.
Keduanya kembali melanjutkan langkah dan hujan mulai mereda. Sesampainya di pantai hujan benar-benar sudah berhenti meski ombak masih sedikit lebih besar dari biasanya.
"Kau yakin kita bisa menyebrangi lautan ke pulau utama hanya dengan itu?" Tanya Clea melihat speedboat yang berada di pelabuhan bersama beberapa kapal fery.
"Tentu! Aku pernah melihat bayang-bayang kota di ujung lautan. Kuyakin pulau itu tidak jauh dari sini!" Jawab Jamearu meski sesungguhnya dia sedikit ragu.
Clea terdiam sebentar. Dilepaskannya tangan Jamearu yang memapah dirinya dan mendorong Jamearu pelan.
"Pergilah. Aku akan menahan mereka."
Mata Jamearu membelalak mendengar hal itu. "Apa maksudmu? Kita akan pergi bersama!"
Clea melepaskan pita baju dipinggangnya dan melilitkan kain berwarna merah itu di kaki kirinya dengan erat. Kemudian mengambil pisau lipat di saku celana. Digunakannya pisau itu untuk menotong rambut hitam panjangnya.
Jamearu yang sedari tadi mengoceh segera terdiam. Menatap tidak percaya pada helaian surai yang mulai berterbangan karena angin.
"Pergilah.. mungkin ini yang dinamakan pengorbanan seorang adik. Meski kita sangat tahu kita bukanlah saudara seperti di buku-buku cerita itu."
Clea memeluk Jamearu sekilas dan mendorongnya kembali.
"Pergilah.."
Jamearu melangkah mundur perlahan. Menatap Clea yang justru kini berbalik membelakanginya dan mengambil tongkat besi dari sarung dipunggungnya. Dilihatnya annucal yang setahun lebih muda itu membuat kuda-kuda.
Tidak lama orang-orang Elhya berdatangan dan Jamearu segera berlari menuju speedboat. Clea tersenyum senang saat Jamearu benar-benar pergi. Digenggamnya erat saat melihat orang-orang itu membawa puluhab anjing. Mungkin ini bisa menjadi latihan terakhirnya.
●●●
"LARI!!"
Zea menoleh kaget dan melihat pria kurus yang ditemuinya tadi muncul dari pertigaan jalan. Berlari dengan gadis kecil yang di depan menuju kearahnya. Dibelakangnya muncul orang-orang yang ikut berlari panik.
Zea mengernyit bingung sementara Ghias yang ada di gendongangan tersenyum tipis. Mulut Zea terbuka dan ingin bertanya ada apa saat Sai mulai semakin mendekat. Tapi tidak sempat keluar sepatah kata pun dan Zea mulai ikut berlari menyusul Sai yang melewatinya.
Ada sekitar dua puluh orang yang berlarian panik di belakang Zea. Namun yang membuat Zea ikut berlari bukanlah orang-orang itu. Melainkan pulahan orang kanibal dan bebarapa monster bungkuk aneh yang mulai mengejar mereka.
●●●
"Kau sudah sadar?"
Jamearu mengerjapkan matanya dan bangun perlahan. Seorang anak kecil berjongkok di sisinya. Anak itu mengulurkan sebuah kain tebal kepada Jamearu.
"Tubuhmu basah." Ucap anak itu dengan senyuman membuat jantung Jamearu berdegup aneh seketika. "Terimakasih." Ucap Jamearu.
"Uhm! Siapa namamu."
"Jamearu. Dan.. kau?"
"Aku.."
Anak itu tersenyum lembut yang lagi-lagi Jamearu merasakan perasaan yang aneh. Jamearu merasa lapar saat ini. Sangat lapar. Tapi entah kenapa perasaannya tidak menginginkan menyakiti anak itu.
"... namaku Alfred."
[Chapter 9 End]
Akhirnya Nao bisa nyelesain Part ini.. di sini lebih terfokus ke masa lalu jadi ZeaXGhias-nya sedikit hihihi
alurnya nao buat ngebut hahahahaha
Typo?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top