※Part [05] - Hadiah Untukmu※
Typo? Kasih tau Nao ya :D
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Pengantin Sang Iblis:
Part [05] - Hadiah Untukmu
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
•
•
•
Sepasang kelopak mata itu terbuka, menampilkan manik berwarna shapirenya. Berkedip beberapa kali untuk mengatur pandangannya. Siempunya manik itu, pemuda berambut dark grey, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Mengerutkan kening saat melihat keadaan sekeliling, sebuah ruangan serba putih yang menjadi tempatnya berada.
Zea mengangkat kedua telapak tangannya, menatapnya selama beberapa detik sebelum menyadari penampilan dirinya. Entah sejak kapan di salah satu dinding ruangan itu terdapat cermin setinggi dua meter yang menampilkan pantulan dirinya. Berkulit pucat dengan mengenakan baju terusan sebatas lutut berlengan panjang. Kebingungan Zea bertambah saat melihat helaian surainya yang memanjang sampai bahu.
Tuk! Tuk! Tuk!
Kepala bersurai dark grey itu menoleh kala mendengar suara ketukan sepatu. Tapi diruangan serba putih itu hanya ada dirinya, bahkan di sana tidak ada pintu.
"Khekhekhekhe"
Bulu kuduk Zea berdiri mendengar kekehan aneh entah dari mana. Kepala dan tubuhnya menoleh dan berbalik, dan hanya ada dia seorang di ruangan itu. Tidak ada siapapun.
"Khekhekhe"
Tuk! Tuk! Tuk!
"Siapa di situ?" Pemuda itu terlonjak saat mendengar suaranya yang menggema sangatlah berbeda dari biasanya. Itu suara perempuan.
"Khekhekhe..."
Tuk! Tuk! Tuk!
"Khekhekhe..."
Tuk! Tuk! Tuk!
"Oee... oee..."
Shit! Sekarang Zea mendengar suara tangisan bayi. Kakinya mulai bergerak menyusuri ruangan itu. Meneliti setiap perabotan yang ada; lemari, kursi, meja, dan grand piano. Tapi tidak ada apapun.
"Oee... oee... Oee..."
Zea mengernyit saat suara tangisan itu terdengar lebih jelas. Dengan ragu-ragu kakinya menghampiri cermin tadi yang tersandar di dinding. Sedikit membungkukkan tubuh saat tiba di depan benda berpermukaan dingin itu, dan melongokan kepalanya kesamping untuk mengintip kecelah diantara dinding dan cermin.
"Mama!"
Zea melonjak kaget kala mendapati wajah bayi di celah itu. Matanya yang pucat tiba-tiba terbuka dan memanggilnya 'mama'.
Karena terkejut pemuda itu melangkah mudur dengan refleks. Membuat tumitnya menginjak sesuatu yang lembek disusul suara tangisan. Itu suara tangisan bayi. Dan benar saja, saat Zea membalikan tubuhnya dia mendapati bayi yang tertelungkup di lantai dengan setengah tulang tengkoraknya penyok.
Apa karena kena kakiku?! Batinnya ngeri.
"Mama!"
Suara itu terdengar lagi, tapi bukan dari bayi yang menjerit tangis di lantai. Itu berasal dari arah yang berbeda. Bulu kuduk Zea berdiri secara serempak. Tubuhnya membeku kaku dengan keringat dingin yang mulai bermunculan di setiap pori-pori kulitnya. Rasa takut seolah membelitnya di tempat, mencekik dengan kejam.
Bayi-bayi berusia di bawah satu tahun bermunculan. Dari bawah meja dan grand piano, dari balik kursi. Bahkan ada yang melesak dengan susah payah dari lantai. Mereka merayap mendekati Zea. Pemuda itu mungkin tidak akan dilanda takut jika saja penampilan mereka 'normal'. Bayi-bayi itu semuanya berkulit pucat dengan keadaan tidak utuh. Ada yang tidak memiliki tangan atau kaki, atau bahkan keduanya. Ada yang hanya setengah badan atau ada pula yang kepalanya terkulai dengan leher hampir putus. Warna merah darah menghiasi ruangan putih itu.
Tubuh Zea gemetar, rasa takut mulai mencekiknya. Sementara pemuda itu tidak dapat bergerak untuk sekedar pergi dari sana. Melihat mereka merayap menghampirinya membuat jantung Zea berdentum gila-gilaan.
"Mama! Mama!"
"Mama!"
"Mama! Mama!"
"Mama!"
"Mama! Mama!"
Mengerikan saat bayi-bayi itu mulai berteriak memanggilnya dengan suara pekikan yang memekan telinga. Dan jantung Zea terasa lolos saat menyadari salah satu di antara mereka berhasil meraih kakinya. Manik shapirenya melirik kebawah, sedikit heran saat melihat bagian dadanya menggembung. Tapi dia tidak memikirkan itu, Zea segera menyentakan kakinya agar makhluk mungil dengan kepala yang hancur sebelah-menampilkan otak dan matanya yang menggantung-terlepas dari kakinya. Bayi itu terlempar.
Seluruh makhluk yang merayap mendekatinya terdiam melihat salah satu dari mereka terlempar dan menabrak dinding. Lalu menoleh menatap Zea secara serempak. Meneguk ludahnya susah payah, Zea berharap semuanya segera berakhir.
"AAAAHHHHKKKKKKKK!!!!!!"
Tangan Zea refleks menutup kedua telinganya saat makhluk-makhluk kecil itu berteriak secara bersamaan. Kupingnya berdengung dengan menyakitkan. Matanya yang refleks terpejam mengintip dengan perlahan, ruangan itu tiba-tiba kosong bersamaan dengan hilangnya suara jeritan tadi. Tangannya terlepas dari telinga dan menatap ke sekeliling. Sama seperti tadi, kini dia hanya mendapati dirinya seorang.
Seeerrr...
Keningnya mengerut saat lagi-lagi mendengar suara lain. Suara seperti gemericik aliran air. Menyapukan pandangannya kesetiap sudut ruangan, Zea tidak menemukan apapun. Dengan rasa penasaran pemuda itu bergerak melangkah.
Cpak!
Kepala bersurai dark grey itu menunduk saat mendengar bunyi kecipak air. Matanya sontak membelalak saat mendapati baju yang dikenakannya bernoda bercak darah di bagian perut bawah. Darah segar mengalir deras dari paha menuju lantai, bagai mengalami pendarahan.
Shit! Sebenarnya apa yang terjadi dengan tubuhku?!
Zea panik. Perutnya mulai melilit sementara darah segar terus mengalir dari sana. Pemuda itu jatuh bersimpuh seraya memegangi perutnya dan meringis nyeri. Dalam hati Zea mengumpat dengan apa yang terjadi padanya.
"Mama..."
Suara itu terdengar lagi. Namun lebih lirih dan bergetar.
Bayi berusia sekitar delapan bulan duduk dua meter di hadapannya. Kulitnya membiru pucat dengan tubuh membengkak bagaikan akibat tenggelam di air seharian. Di beberapa bagian terdapat jahitan yang mengeluarkan cairan putih berbau anyir. Matanya yang putih bermanik abu-abu pucat menatap Zea dengan sendu.
"Mama..." Giginya bergerigi tajam layaknya gergaji saat mulut dengan bibir terkelupas itu terbuka.
Zea memandang horor bayi itu. Tidak, itu bukan bayi. Itu lebih mirip monster berukuran kecil. Masih dalam keadaan meringkuk menahan sakit di perutnya Zea terus menatap makhluk itu.
"Kenapa... " suaranya menggema. Milik suara seorang kakek tua. "Kenapa kau membunuhku?"
"Kenapa kau membuangku. Mama, tidak senangkah kau dengan kehadiranku? Hingga dengan tega membuangku ke sungai koror itu. Membiarkan aku terbawa arus dan membentur benda-benda yang ada di sungai."
Mulut Zea terbuka saat melihat setitik air hatuh dari mata pucat makhluk itu. Tapi tidak ada suara apapun yang muncul darinya.
"Padahal aku merasa beruntung kau tidak menyakitiku seperti teman-teman. Mengirimkan benda-benda itu kedalam tempat bermimpi kami sebelum muncul ke dunia. Aku merasa bahagia tidak di potong-potong sebelum sempat melihat dunia. Membiarkan menjerit tanpa suara padahal tubuhku baru saja tercipta untuk menghadapi dunia. Bahkan ada yang dilenyapkan sebelum mereka sempat memiliki tangan dan kaki. Mama... aku bahagia karena membiarkanku sempat merasakan udara dunia dan merasakan pelukanmu. Tapi mengapa hanya sejenak sebelum akhirnya kau membuangku? KENAPA?!"
Makhluk itu menerjang Zea setelah berteriak dengan lantang, membuatnya terjengkang kebelakang. Kuku-kuku jarinya menancap di kulit Zea, menembus kain bajunya. Tangan pemuda itu berusaha keras menyingkirkan makhluk yang kini menempel di tubuhnya dengan sekuat tenaga. Namun makhluk itu tetap bergeming.
Menakutkan saat makhluk itu mencengkram pinggang Zea dengan kuat, seolah berniat merobeknya. Ditambah lagi dia membuka mulutnya lebar-lebar kala Zea menjauhkan kepala botak itu darinya. Menampilkan gigi-gigi tajam yang memenuhi rongga mulutnya, dengan benang liur yang menghiasi.
ZRASH!!
Zea menjerit kencang saat makhluk itu menggigit dada kirinya. Rasa sakit segera menjalar keseluruh tubuhnya. Gigi tajam itu menancap dan merobek dadanya dengan rakus.
Crash... craash... crassh
Kaki jenjang itu mengejang hebat, sementara si empunya masih terus menjerit kesakitan. Rasanya sakit sekali. Zea tidak dapat berhenti berteriak saat makhluk itu memakan dan mencabik dadanya dengan brutal. Tangannya masih berusaha menyingkirkan makhluk itu.
Cairan darah mulai menggenang. Berasal dari luka di dadanya dan di antara dua kakinya. Baju terusannya mulai penuh dengan noda darah. Surainya menjadi kusut karena gerakan kepalanya di atas lantai.
Sakit dan panas di rasakan Zea. Dia lebih memilih langsung mati dari pada merasakan kesakitan yang berkepanjangan. Menyiksanya dengan begitu kejam.
Entah sudah berapa lama akhirnya Zea bisa bernafas sedikit lega saat tangannya dapat menjauhkan kepala itu. Kondisinya mengenaskan dengan terbaring tertelentang di antara genangan darah dan dadanya yang terkoyak. Wajahnya begitu pucat, keringat dingin menghiasi. Manik shapire itu melirik makhluk yang masih berada di atas tubuhnya.
Dia merasa lelah, ingin rasanya dia terlelap. Tapi matanya segera terbelalak melihat kedua tangan makhluk itu dengan cakarnya yang tajam menekan perut. Memaksa melesak masuk dan merobeknya.
"AAAAAAHHHHHKKKKK!!!!!!"
"ZEA!!"
Mata itu mengerjap beberapa kali. Mamandang tidak fokus meski di hadapannya terpampang wajah seorang bocah yang sudah lagi tidak asing. Memancarkan kecemasan dari sepasang manik merah itu saat melihat pemuda yang baru saja terbangun dengan keadaan buruk. Nafas Zea memburu.
"Kau bermimpi buruk." Bisik Ghias.
Bocah itu segera berguling dari atas tubuh Zea dan jatuh dari ranjang saat pemuda bersurai dark grey mendorongnya kasar. Bangkit duduk dan meraba-raba tubuhnya, sebelum akhirnya tangan itu memeriksa rambutnya. Dengan panik Zea turun dari ranjangnya, menghampiri lemari bercermin besar di sudut kamar. Dia melihat pantulan dirinya. Mengenakan piyama dan berambut pendek tanpa payudara di dadanya.
Helaan nafas lega meluncur dari bibirnya. Merasa sangat bersyujur jika tadi hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang mengerikan dan terasa sangat nyata. Zea bahkan masih meraskan jantungnya berdegup cepat atas sensasi yang masih sedikit dia rasakan.
"Apakah aku harus jatuh berguling seperti ini terus setiap pagi nanti?" Suara cempreng itu terdengar.
Zea menolehkan kepalanya dan berbalik. Melihat Ghias yang sedang menghampiri dirinya seraya mengusap-usap kepalanya.
"Sudah merasa lebih baik?" Tanya bocah itu.
Zea mengangguk pelan. "Kenapa kau ada di sini?"
"Aku mau memberimu hadiah!!" Pekik Ghias girang.
Zea melirik jam di dinding yang menunjukan waktu tengah malam. Masih sedikit heran mengapa bocah ini dapat muncul dan pergi dengan mudahnya? Ah, Zea selalu heran dan merasa aneh dengan setiap hal yang berhubungan dengan Ghias.
Ghias melangkah menuju nakas. Di mana hadiahnya yang berukuran cukup besar berada di sana. Ghias merasa yakin jika Zea akan menyukainya meski saat memilihnya Dark mengerang protes. Memberitahu bahwa pilihannya itu sangat buruk.
Diambilnya kotak itu dan menghampiri Zea yang masih bergeming di tempat. Mengulurkan kotak itu pada pemuda yang menatapnya penuh curiga.
"Aku tidak mau jika itu hanyalah benda aneh." Desis Zea melirik ngeri kotak itu.
"Ish! Apa susahnya menerima hadiah dariku?"
Mau tidak mau Zea menerima kotak itu setelah mendengus sebal melihat Ghias yang merengek. Sedikit terasa berat dan nampaknya isinya cukup besar. Dengan perasaan yang lebih tenang Zea membuka kertas koran yang membungkus kotak itu. Hadiah apa yang di bungkus dengan kertas koran? Batinnya geli.
Zea mengernyit saat kotak yang di pegangnya terbalik. Membuatnya melihat bagian belakang kotak sementara ujung jarinya menyentuh sesuatu yang licin seperti plastik. Di baliknya kotak itu hingga dia dapat melihat bagian depan serta isinya.
Drak!!
Zea melempar kotak itu, membuat Ghias menjerit panik dan memungutnya. Matanya terbelalak ngeri setelah tahu apa isinya. Seperti boneka, atau tepatnya seorang bayi. Berkulit pucat dengan banyak jahitan, persisi seperti makhluk yang ada di mimpinya.
"Kenapa kau melemparnya?" Tanya Ghias sebal seraya mengeluarkan bayi itu.
Tidak tahukah Ghias jika Zea menatap horor makhluk yang ada di gendongannya. Keringat dingin mulai menghiasi kening dan leher jenjang pemuda itu. Tubuhnya bahkan mulai bergetar.
"Buang makhluk itu!" Teriak Zea.
Ghias mengerutkan keningnya heran. Melihat kepanikan Zea di hadapannya entah kenapa terasa menarik untuk bocah itu. Melangkah menghampiri Zea sementara pemuda itu terus mundur menghindarinya.
"Ada apa Zea? Ini anak kita."
Mata Zea membelalak. "Itu adalah makhluk yang mengerikan!"
"Tidak. Dia hanyalah makhluk rapuh yang tidak beruntung." Ghias mengulurkan bayi yang masih memejamkan matanya. "Ayolah... dia begitu manis."
Bocah gila! Rutuk Zea. Matanya terus memperhatikan bayi yang diulurkan Ghias. Jakun di lehernya bergerak dengan gelisah saat dia susah payah menelan ludah. Dan Zea refleks melonjak saat bayi itu tiba-tiba membuka matanya. Menampilkan pupil berwarna pucat.
"Mhamha..." terdengar lirih. Tangan kecil yang mengepal itu terulur perlahan kepada Zea. Tapi pemuda itu enggan meraihnya. "Mhamha..."
"BUANG ITU GHIAS!!!" Bentak Zea yang semakin didera ketakutan.
"TIDAK!! Aku tidak akan membuangnya sebelum kamu memeluknya."
Zea menatap sengit Ghias yang sedang menatapnya tajam. Menahan amarahnya karena lebih didominasi rasa takut.
"Ayolah, tidakkah kau kasihan padanya? Orang tuanya membuang makhluk tidak tahu apa-apa hanya untuk menutupi aib dan membuang beban baru. Dia hanya makhluk yang tidak sempat merasakan kasih sayang."
"Tapi dia menggigitku di dalam mimpi!!" Desis Zea.
Ghias memutar matanya jengah dan masih mengulurkan bayi itu. Matanya menatap tajam Zea agar menuruti perintahnya.
Zea takut. Jika saja saat dia meraih makhluk itu tangannya akan tiba-tiba digigit. Tapi Zea merasa lebih terintimidasi dengan tatapan Ghias. Dengan ragu tangan Zea terulur pada makhluk mungil yang kini menggeliat. Bau amis yang menguar membuatnya semakin enggan.
"Mhamha..."
Terasa lembek dan lengket saat telapak tangannya mengenai kulit itu. Mengambilnya dari Ghias dan menggendongnya dalam pelukan dengan sebelah tangan. Pucat dan bengkak. Belum lagi bau amis dan kulitnya yang lengket.
"Mhamha..."
Mata pucat itu menatap Zea sendu. Kedua tangan mungilnya terkepal di depan dada sementara kakinya menggeliat tidak nyaman. Zea meringis saat merasakan dadanya berdesir aneh.
"Mhama..."
"Y-ya.." untuk pertama kalinya dia menyauri panggilan itu.
Degupan jantungnya terdengar lebih cepat dan dadanya menghangat kala makhluk mungil yang ada dalam gendongannya menyipitkan mata. Bibir mungil berwarna keunguan itu melengkung menampilkan gusinya yang telah hitam membusuk. Dia tertawa.
"Mama..."
Zea mengulurkan tangannya yang lain, memberikan telunjuknya pada tangan mungil yang terkepal itu. Dan saat tangan mungil itu meraih jarinya, sekeliling Zea langsung berubah. Lantai keramiknya berubah menjadi hamparan rumput hijau, ruangan kamarnya berubah menjadi alam terbuka. Dia berdiri di atas bukit dengan rerumputan yang dihiasi berbagai macam bunga. Pemandangan hutan pinus dengan air terjun di sebrang bukit memukau pandangannya. Belum lagi hembusan angin yang terasa lembut menerpanya, membuat Zea enggan untuk beranjak pergi dari situ.
"Mama..."
Kepala Zea menunduk, dan keadaan sekelilingnya kembali seperti semula. Bayi di gendongannya tertawa, menggenggam telunjuk Zea dengan gemas. Entah sejak kapan makhluk pucat tadi berubah menjadi bayi mungil berkulit kemerahan. Mungil dan menggemaskan.
Nafas Zea tertahan. Inikah sosok asli yang ditakutinya tadi? Betapa kejamnya orang-orang yang membuang makhluk menggemaskan ini. Merubahnya jadi nampak mengenaskan.
"Mama..."
"Ya..."
Bayi itu tertawa. Menghantarkan desir hangat di dada Zea. Membuat pemuda itu lebih mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
"..."
Setetes air mata lolos dari sepasang mata Zea, meluncur bebas di wajahnya sebelum akhirnya jatuh. Kalimat yang tidak terucap itu sangat menghujam hatinya. Makhluk tidak berdosa yang harus menanggung ego manusia.
Perlahan Zea dapat melihat kulit bayi itu mengelupas. Wajahnya yang menampilkan senyuman hancur dengan perlahan menjadi puluhan kupu-kupu berwarna pelangi yang mengepak bebas. Terbang keudara sebelum akhirnya berguguran menjadi helaian kelopak bunga. Dan lenyap perlahan sebelum menyentuh lantai.
"Mama, maafkan aku yang telah terlahir kedunia. Hingga engkau tega membuangku begitu saja. Untulah Ia berbaik hati membawaku kembali kesisi-Nya, hingga aku tidak perlu merasakan sakit dan kekecewaan yang lebih lama. Mama, aku memohon pada-Nya agar engkau dimaafkan, tapi hanya senyuman yang diberikan. Aku menyayangimu dan telah memaafkanmu. Semoga adikku kelak dapat sempat merasakan hangatnya pelukmu..."
Zea masih menatap kupu-kupu yang mulai berterbangan meninggalkan lengannya. Menghapus sosok mungil yang baru saja dipeluknya tadi. Air matanya tidak dapat berhenti mengalir. Dalam hatinya dia merasa iri, bagaimana seorang perempuan mendapat peran penting di kehidupan. Tetap dicintai meski telah melukai.
"Bagaimana kau suka?!" Pekikan cempreng Ghias menghancurkan semuanya. Zea mengerutkan keningnya dan melayangkan tatapan nyalang pada bocah yang tengah menatap dengan mata berbinar. Hei, bocah itu baru saja merusak suasana.
Zea mendengus dan melangkah meninggalkan Ghias. Entah kenapa dia jadi merindukan ibunya. Sesosok wanita yang pernah mendekapnya erat dalam kehangatan meski bukan wanita yang melahirkan Zea. Tapi kaki Zea terhenti saat seorang bocah berjubah memeluk kaki kanannya.
Ghias memandangnya dengan mata memelas, membuat Zea berdecak sebal. "Kau tidak menyukai hadiahnya?"
"Aku... suka."
"Benarkah?"
"iya, thanks."
Bibir Ghias langsung mengulas senyum lebar. Ditenggelamkannya wajahnya di pinggul pemuda itu, membuat Zea memekik kaget. Tapi Ghias tidak melepaskannya, dia sudah terlanjur senang mendapat ucapan terimakasih yang dihiasi senyuman dari pemuda itu.
Zea yang dipeluk hanya bisa berdiam diri bersandar pada daun pintu. Menahan geli di pinggulnya saat Ghias menggesek-gesekan kepalanya di sana. Tapi pemuda itu ikut tersenyum kala tawa Ghias terdengar. Mendaratkan telapak tangannya di atas puncak kepala bocah itu dan mengusapnya.
"Ayo kita buat bayi juga!"
Dan dengan senang hati Zea mendorong kepala itu dengan kencang menjauhi dirinya. Membiarkan Ghias yang terjengkang kebelakang. "Dasar bocah mesum!" Umpatnya seraya membanting pintu dan pergi menuju kamar ibunya.
[Part 05 End]
Next Chap ⇨
Chapter ini didedikasikan khusus untuk para readers yang berjenis kelamin 'perempuan/wanita/gadis' intinya kaum hawa.
Kalau nanti nggak mau dapat 'hadiah' dari-Nya jangan berbuat itu di luar nikah. Helooo kita manusia, bukan binatang yang bisa coblos-coblosan seenaknya dan sama siapa aja. Dari pada membunuh mereka yang tidak berdosa :p
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top