※Part [04] - Penjara D'fruk※

Aloohhaa~
Anggep aja ini THR buat Readers yang nungguin nao update. Cerita lain belum bisa nao publish untuk saat ini :'3
Nao lagi kena WB lantaran baper ngeliat kemesraan baohan... Mereka liburan ke Batam!!!

Itu bikin gue bayangin yang iya-iya kalau mereka lagi di kamar hotel //Readers nabok massal

Thanks buat beberapa orang yang selalu menyemangati Nao di bulan yang sangat menyiksa ini. Terutama buat papa dan Ayah //lol

*N/N: Kalau ada Typo dan kesalahan lainnya tolong beritahu Nao.*

Enjoy♥~

※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Pengantin sang Iblis:
Part [04] — Penjara D'fruk
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※

Ghias meluruskan sepasang kaki mungilnya saat duduk di lantai loby asrama, memijit bagian lutut yang terasa pegal. Sudah sepuluh menit ia menyusuri lantai satu tapi calon pengantinnya belum juga ditemukan. Jubahnya yang lembab terasa berat, namun tidak bisa dia tanggalkan begitu saja. Sementara Dark, si kucing hitam, hanya diam di atas sofa yang tersedia di sana sejak tadi. Memandang malas Ghias yang berteriak memanggil nama calon pengantinnya tadi.

Sesungguhnya Ghias curiga dengan jejak lumpur yang mengarah kedapur, tapi dia tidak bisa pergi. Selain tidak bisa pergi tanpa Dark, kucing hitam itu enggan untuk masuk lebih dalam. Tapi perasaannya mulai panik karena calon pengantinnya tidak juga muncul meski suara Ghias sudah menggema di dalam gedung.

"Dasar pelayan tidak berguna! Mau tidak mau kamu harus ikut." Ucapnya seraya menghampiri Dark.

Belum sempat kucing hitam itu kabur, Ghias sudah terlebih dahulu meraih bagian belakang lehernya, dan menjinjing kucing hitamnya yang sedang kesulitan memberontak. Langkahnya menghampiri jejak berlumpur dan mengikutinya menuju dapur. Aura aneh dan bau amis darah tercium di udara. Tidak mengindahkan geraman kucing hitamnya, Ghias menghampiri sebuah pintu yang terbuka di dalam dapur. Keadaan di dalam pintu itu gelap gulita, membuat Ghias mau tidak mau mencari saklar penerangan di area dapur. Namun lima menit bocah itu mencari ia tidak kunjung menemukannya juga. Hingga akhirnya Ghias menghela pasrah dan mulai menuruni tangga dalam kegelapan.

Klik

Lorong tangga itu tiba-tiba berubah terang saat tangan mungil Ghias yang meraba-raba dinding menekan sesuatu. Merupakan saklar yang ia cari tadi ternyata berada didalam lorong itu dengan posisi yang rendah. "Jenius, meletakannya di posisi yang rendah." Gumam Ghias senang.

Zea dan Fifian melonjak kaget lantaran tiba-tiba keadaan ruang bawah tanah menjadi terang. Tapi keterkejutan mereka tidak berlangsung lama. Zea segera menarik tangan Fifian untuk lari dari makhluk itu. Belum ada sepuluh meter mereka melangkah, perempuan bersurai biru menubruk punggung Zea dengan kencang. Menyebabkan pemuda itu jatuh tersungkur kedepan, sementara Fifian yang hendak terhuyung kedepan justru kembali tertarik kebelakang.

"Agh!" Perempuan bersurai pink itu memekik saat punggungnya menubruk tiang besi di dinding. Po baru saja melemparnya.

Zea meringkik saat berusaha bangkit bangun, namun kembali tertelungkup di lantai lantaran tiba-tiba mendapat beban berat di punggungnya. Membuat dagunya mengahantam lantai cukup keras. Po segera mengambil garpu di tas pinggangnya dan menancapkan benda itu di bahu Zea.

"AAGH!"

Po tertawa nyaring mendengar teriakan Zea. Perempuan itu menahan tangan Zea yang berusaha berontak. Bahkan perempuan itu menginjak punggung tangan Zea dengan tumit kakinya, berniat meremukan tulang-tulang pemuda bersurai dark grey itu. Bibir po mengulas senyum, dengan keras dijambaknya rambut Zea hingga ia meringis dan mendongak.

"Kau begitu menggoda." Bisiknya.

Po membuka mulutnya lebar-lebar di sisi leher Zea. Liurnya menghiasi rongga mulut berlidah keunguan itu, sementara gigi taringnya mulai memanjang. Sudah lama dia tidak makan daging segar, karena Po tidak suka memakan mainannya selain satu bagian tertentu. Rahim.

Fifian yang sudah dapat berdiri tegak, segera mengambil linggis yang tergeletak di lantai. Memegang benda itu dengan kedua tangannya dan berdiri di belakang Po yang masih di atas punggung Zea. Matanya mem-blur saat akan melakukan niatnya, dan  kata 'maaf' meluncur dalam bisikan bibir Fifian.

Kuping Po bergerak mendengar itu. Dibatalkan niatnya untuk menggigit leher Zea, dan menoleh kebelakang. Bertepatan dengan itu Fifian mengayunkan linggisnya dengan cepat menghantam kepala Po hingga menimbulkan bunyi nyaring. Tubuh perempuan bersurai biru itu terjatuh dari punggung Zea, yang langsung dimanfaatkan Fifian untuk menyelamatkannya. Setelah melepaskan garpu di punggung Zea, keduanya segera lari.

Zea ingin sekali keluar dan kabur dari makhluk bernama Po tadi. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok di ujung lorong yang mengarah ke tangga. Keberhentian Zea yang tiba-tiba membuat Fifian menabrak punggungnya, tapi Zea tetap bergeming. Apalagi saat sosok itu berseru senang.

"Zea!" Ghias berlari kearah Zea. Membuat pemuda itu mundur beberapa langkah.

Semeter dari calon pengantinnya Ghias menghentikan kakinya yang berlari. Matanya sontak terpejam dan hidungnya mengendus-endus udara kosong. "Harum sekali." Mata itu kembali terbuka menampilkan sepasang manik merah yang berkilat aneh. "Apa ini darahmu, Zea?"

Fifian yang melihat tingkah aneh Zea, baru menyadari aura gelap yang memancar dari bocah didepannya. Mau tidak mau Fifian menyingkir membiarkan Ghias mendekati Zea yang masih terus mundur menjaga jarak. Perhatian Fifian beralih pada seekor kucing yang mendesis yang di jinjing Ghias. Bulu-bulu di tubuh binatang itu berdiri tegak dengan ekor yang menegang. Menandakan dia tidak suka akan sesuatu.

Sementara Ghias mengernyit tidak suka melihat dagu Zea yang lecet, dan aroma darah yang menguar. "Kamu terluka? Karena apa?"

ZRAAK!!

Mereka bertiga menoleh saat mendengar sesuatu yang jatuh terjerembab. Mata Fifian dan Zea membelalak ngeri melihat makhluk bersurai biru itu merangkak di atas lantai dengan hanya menggunakan tangannya. Bagian kening sampai ubun-ubunnya penyok, sementara mata kirinya membelalak besar seolah matanya nyaris keluar.

"Teganya kau menghancurkan tubuhku!!" Ringiknya melengking.

Ghias mengerjap melihat makhluk itu. Baru kali ini dia melihat manusia yang setipe dengan 'monster'. Atau dia mungkin memang monster.

"Kamu bukan lagi... manusia." Perkataan itu meluncur begitu saja dari mulut Ghias.

Po yang tengah berusaha bangkit berdiri, melirik bocah berjubah aneh itu. Tubuhnya nampak lemas bagaikan hanya terisi kapas saat mencoba berdiri. Sedikit oleng saat menghentakan badannya untuk berdiri tegak. Bibir pucatnya membentuk seringaian yang menampilkan gigi taringnya.

Dark, kucing Ghias, mendesis nyaring di cengkraman sang majikan. Bulu-bulunya berdiri tegak dengan ekor yang menegang. Kejadian selanjutnya begitu cepat saat Po melesat kearah bocah itu. Tangannya meraih kepala Ghias dan membanting bocah itu kedinding hingga menimbulkan bunyi debuman keras. Dark yang terlepas dari tangan Ghias ditendangnya hingga kucing itu menghantam jeruji besi.

Sedang Zea hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka. Terkejut  saat makhluk yang tadi nampak lemas lunglai tiba-tiba bergerak cepat dan membanting Ghias dengan kasar. Zea melihat Ghias yang berusaha bangkit, sedikit merasa tidak tega terhadap bocah itu.

Po yang melihat Ghias masih bisa bergerak, mengeluarkan beberapa pisau bedahnya. Menyelipkan di antara sela jemari yang ia kepalkan. Dan dengan kecepatan yang sama seperti tadi perempuan bersurai biru itu melesat kearah Ghias. Mengangkat tangan kanannya dan berniat mencakar dengan pisau-pisau bedah itu. Ghias yang menyadari itu segera menghindar dengan menjatuhkan diri dan berjongkok. Bertumpu pada kedua tangan dan salah satu lututnya, kaki kiri Ghias menjulur dengan cepat. Menendang tulang kering Po, hingga perempuan itu terhuyung dan kepala yang membentur dinding. Tidak berhenti sampai disitu, Ghias segera menegakan tubuhnya. Menghantamkan kepalanya pada dada Po hingga terjengkang kebelakang.

Fifian ternganga melihat seorang bocah yang kini meraih salah satu kaki Po. Menempatkan salah satu kakinya keselangkangan Po dan menekannya, sementara kedua tangan kecilnya menarik kaki Po hingga putus. Dari mana kekuatan sebesar itu? Batinnya ngeri.

"AAAAKKKHHHHHH!!!!"

Jeritan melengking Po menggema di ruang bawah tanah itu. Darah segar dari nadi-nadi yang terputus menyembur menyiprati tubuh Ghias. Dan bocah itu menyeringai puas. Sayangnya seringaiannya harus hilang dengan cepat saat kaki Po yang satu lagi berayun menghantam leher Ghias. Cepat dan keras.

Zea menahan nafas saat kepala bocah itu menghantam lantai dengan keras. Tubuhnya bergerak sendiri meraih linggisnya yang tergeletak karena jatuh entah kapan. Menghampiri Po yang sedang berusaha bangkit dan menghantamnya kembali tepat di bagian kepalanya. Makhluk itu tersungkur jatuh, dimanfaatkannya untuk meraih Ghias dan menjauhkannya.

"AAGH!!" Zea berteriak keras.

Makhluk itu menyeringai puas dalam posisi tertelungkupnya, Po menancapkan salah satu pisau bedahnya di punggung Zea dan menariknya turun dengan kasar. Kulit punggung Zea robek berserta jaket dan kausnya. Darah menyiprat bersamaan dengan helaian benang yang berhamburan karena tarikan. Fifian menjerit ngeri dan segera tidak sadarkan diri.

Sepasang manik merah itu membelalak melihat pemuda bersurai dark grey yang berniat menyelamatkannya, terjatuh tertelungkup di pangkuannya. Kedua shapire itu tersembunyi di balik kelopak mata yang menutup. Rembesan darah makin melebar di punggungnya.

Rasa amarah segera merasukinya. Tidak ada yang boleh menyentuh pengantinnya, apalagi sampai melukainya. Tidak ada yang boleh melakukannya, kecuali dia. Maka, saat Ghias melihat Zea terkapar tidak berdaya di pangkuannya, bocah itu tidak segan-segan untuk melenyapkan makhluk bersurai biru itu. Tanpa harus mengotori tangannya lagi.

Dark yang sedari tadi terkulai di sisi jeruji besi, entah sejak kapan sudah bangkit. Kucing hitam itu menampilkan gelagat aneh. Bunyi gemelutuk seperti tulang patah terdengar saat tubuhnya membungkuk aneh. Tubuhnya membengkak dan kakinya meninggi serta membesar. Kuku cakarnya mencuat keluar dari jari-jari kakinya. Gigi taringnya memanjang dengan air liur menetes deras, sementar moncongnya makin maju layaknya moncong anjing. Dan makhluk mungil berbulu itu kini sudah sebesar sapi dengan ekor panjang yang mengibas kasar.

Tidak memakan waktu lama, Dark sudah menerjang Po yang tadi menatap ngeri kearahnya. Menginjak punggung Po saat perempuan itu berusaha kabur. Menggigit tangan po saat perempuan itu berusaha mendorongnya menjauh. Meraup kepala Po dengan moncongnya dan menariknya hingga putus. Mencabik-cabik tubuhnya hingga hancur, menimbulkan cipratan merah dengan potongan daging yang menjijikan.

Sementara sang majikan, masih memangku pengantinnya. Tangan mungilnya mengelus surai Zea yang mulai di hiasi cipratan darah dan potongan daging. Lalu berpindah menyingkap jaket beserta kaus pemuda itu, menampilkan punggungnya yang terluka parah.

"Kau belum boleh pergi pengantinku."

Dan lidahnya yang berwarna keunguan itu terjulur menjilati punggung Zea.

●●●

[[Zea POV]]

Putih. Itulah hal yang pertama kali kutemukan saat membuka mata. Mengerjabkan mata beberapa kali saat pandanganku memburam dan pening yang menyerang. Lalu menyadari jika langit-langit kamarlah yang kulihat tadi. Kutolehkan kepalaku ke samping, menemukan kepala bersurai coklat yang terkulai di atas lengan yan terlipat di atas ranjang. Mengulurkan tangan dan mengusapnya pelan.

"Nggh... Ah, Zea!?" Ibu segera sadar dari tidurnya. Wanita itu segera menatapku dan meraih tanganku, menggenggamnya erat. "Syukurlah kau sadar!!"

Percayakah kalian jika 'ibu' adalah makhluk bagaikan berlian? Indah dan kuat, serta berharga. Entah itu binatang atau manusia, entah itu wanita atau pria. Sosok yang menyandang status 'ibu' adalah hal yang terhebat, entah sekotor dan sekejam apa di mata dunia.

Aku tersenyum lembut melihat ibu berurai air mata dan mengecupi punggung tanganku berkali-kali. Bibirnya tidak henti mengucapkan rasa syukur.

"Ibu..." Aku sedikit tertegun saat menyadari suaraku yang serak dan terdengar lemah. "Apa yang terjadi?"

Aku mengernyit saat mencoba mengingat apa yang terjadi. Mengurut keningku saat merasakan pening yang menyerang. Ibu mengusap-usap punggung tanganku sebelum menjawab. Desahan berat meluncur dari bibirnya.

"Kau tahu tentang penjahat yang kabur dari D'fruk? Si pencuri rahim?" Tanya ibu. "Kemarin petugas keamanan penjara sana dan beberapa polisi datang ketempat ibu dan menanyakan tentang penjahat ibu. Ooh Zea... ibu tidak tahu jika wanita itu adalah seorang psychopath. Maafkan ibu."

Ibu kembali terisak seraya menggenggam tanganku di samping wajahnya. "Buat apa ibu minta maaf?" Ucapku heran.

"Karena sudah memasukan orang berbahaya di sekitarmu. Untunglah ada Fifian dan keamanan penjara juga tidak mempermasalahkan matinya buronan mereka."

Aku membelalakan mata dan merasa heran. Po mati? Makhluk mengerikan itu mati. Oleh siapa? Dan bagaimana dengan bocah kecil itu? Ghias... apakah dia juga...

"Bagaimana keadaan Fifian, bu?"

"Tenang saja sweatheart, dia sudah membaik dari dua hari yang lalu."

"Dua hari?!"

Ibu mengangguk dan salah satu tangannya terulur membelai kepalaku dengan lembut. "Kau tidak sadarkan diri selama lima hari, padahal kau tidak mendapat luka parah. Ibu kira akan kehilanganmu."

Aku tidak sadarkan diri selama lima hari. Ditambah lagi ibu bilang aku tidak terluka parah. Bagaimana dengan punggungku? Aku langsung menggerakan tanganku dan melipatnya ke balik punggung, meraba-raba disana. Tidak terasa sakit dan tidak ada perban.

Bagaimana bisa?! Aku ingat sekali bagaimana perempuan berambut biru itu melukai punggungku saat akan menolong Ghias. Ah, lagi-lagi aku teringat dengan bocah itu. Ibu sedari tadi tidak menyebutkannya. Apakah dia mati?

"Istirahatlah sayang. Nanti malam ibu akan menengokmu lagi."

Aku hanya mengangguk dan menatap kepergian ibu dari kamarku. Wanita itu sempat tersenyum sebelum menghilang di balik pintu. Hembusan nafas berat meluncur di bibirku, lalu memandang langit-langit kamar.

Ghias.

Aku meletakan salah satu punggung tanganku di atas wajahku. Memejamkan mata dan mencoba meredam rasa bersalah akan bocah itu. Aku tidak tahu ia baik-baik saja atau tidak. Tapi, pemikiran-pemikiran yang negatif terus menerus memenuhi kepalaku.

"Ghias..."

"Ya?"

"UAAH!!"

Aku melonjak kaget dan segera mengangkat tangan dari wajahku. Mendapati wajah seorang bocah tidak jauh dari wajahku. Bocah itu duduk di atas perutku entah sejak kapan dalam keadaan membungkuk. Lengannya bertumpu di dadaku hingga wajahnya benar-benar terasa dekat.

"Merindukanku? Hehehe."

Aku tidak memperdulikan pertanyaannya ataupun kekehannya. Tidak perduli dengan ekspresi polosnya. Dengan cepat aku mengulurkan tanganku dan memeluk bocah itu. Perasaan lega  dan bahagia memenuhi rongga dadaku. Membuat kepalanya berada di ceruk leherku karena ku peluk dengan kuat. Entah kenapa aku merasa senang.

"Syukurlah kau baik-baik saja."

Aku benar-benar merasa lega. Meski takut dan merasa risih dengan keberadaan bocah ini, aku tidak akan memaafkan diriku jika sampai terjadi sesuatu dengannya.

Kuelus kepalanya setelah menyingkirkan tudung jubahnya. Merasakan hembusan nafasnya di leherku, dan tangannya yang mencoba bebas dari himpitan tubuh kami. Melingkarkan kedua tangannya ke leherku. Sebelah tangannya ikut membelai surai rambutku.

Sejenak aku terdiam menatap langit-langit kamar. Merasakan sesuatu yang berdegup dengan kencang. Oh, itu jantungku. Tapi kenapa degupannya terdengar sampai telingaku? Tidak mungkin jika aku merasa gugup hanya karena bocah kecil ini.

"Aku suka mendengar musik ini." Gumamnya di leherku menimbulkan rasa geli.

"Huh?"

"Jantungmu berdetak dengan merdu."

Kudorong bocah itu jauh dari tubuhku, dan mendapatinya menyeringai. Seringaian yang entah kenapa membuat wajahku terasa panas. Astaga! Ada apa dengan diriku? Dia hanya bocah kecil.

Ghias tertawa dengan tawa khas anak berusia sepuluh tahun. Bocah itu bangkit dari atas tubuhku dan duduk di sisiku. Membantuku untuk bangkit duduk dan menata bantal di belakang punggung. Dia benar-benar bocah yang aneh.

"Kau tahu tentang monster kemarin?" Tanyanya dan merangkak ke pinggir ranjang. Meraih sesuatu di atas nakas, yang ternyata remot TV.

"Monster?"

"Iya, perempuan berambut biru~"

"Maksudmu Po? Kenapa dengan dia?"

"Ternyata monster itu berasal dari satu tempat yang kubenci!" Ucapnya sebal dengan bibir mengerucut. Melihat itu mau tidak mau aku mengulas senyum tipis. Ghias menyalakan TV dan memilih salurannya dengan tampang yang masih kesal.

"Maksudmu penjara D'fruk. Semua orang membenci tempat itu." Aku mengerutkan kening karena bocah itu justru memilih saluran yang menampilkan berita.

"... pukul 13.56 diperkirakan ledakan itu terjadi. Ledakan yang tidak terlalu besar ini berasal dari dapur penjara dan beberapa ruang sel. Buruknya, lubang di dinding serta kekacauan yang diakibatkan ledakan itu di manfaatkan para tahanan untuk kabur. Terdaftar 38 tahanan kabur yang belum tertangkap lagi. Di mohon untuk para warga agar lebih berhati-hati untuk berkeliaran seorang diri, terutama di tempat sepi atau pun malam hari..."

"Lihat!" Aku melonjak kaget saat bocah itu melongokan kepalanya di depan wajahku. Wajah kami hanya berjarak sejengkal. "Tiga puluh delapan monster yang kabur dari tempat mengerikan itu."

"Belum tentukan semua tahanan seperti Po." Aku mendorong kepala bocah itu menjauh.

"Terserah, yang jelas aku tidak sabar lagi untuk bermain dengan tiga puluh delapan makhluk itu."

Bocah itu berucap girang dan sedikit berjingkrak. Aneh. Ghias adalah bocah paling aneh yang pernah ku temui. Dari penampilannya, sifatnya, cara bicaranya, sampai hawa di sekitarnya. Seolah-olah dia bukanlah sesuatu yang normal.

"Ghias..."

"Ya."

"Apa kau yang membunuh Po?"

Senyuman di wajahnya langsung hilang digantikan ekspresi datarnya. Sepasang mata bermanik merahnya menatapku tajam, mengakibatkan bulu kudukku berdiri. Aku meneguk ludahku dengan susah payah saat Ghias merangkak kepangkuanku.

Tangannya terulur meraih pipiku dan menangkupnya. Sementara dia duduk di pangkuanku, tubuh bagian atasnya menempel seperti lintah. Kepalanya beralih kesisi kepalaku dan berbisik.

"Siapa pun yang melukaimu, aku akan membunuhnya." Bisiknya dengan suara barithon.

Aku menahan nafasku saat mendengar suara itu. Berat dan serak, layaknya suara orang dewasa. Berbeda dengan suara Ghias yang biasa aku dengar.

Nafasku tercekat saat merasakan sesuatu yang dingin. Kutundukkan kepalaku, dan betapa kagetnya melihat tangan bocah itu di tubuhku. Kancing bagian atas piyamaku dibukanya hingga menyisakan dua kancing terakhir. Jantungku berdegup kencang saat merasakan tangan dinginnya di atas kulitku, sementara matanya menatap tubuhku intens.

"Kau begitu indah, pengantinku."

"Aku bukan pengantinmu." Desisku sebal. Kuraih tangannya yang lebih kurus dan berniat menyingkirkannya. Tapi sialnya bocah itu justru menggerakan tangannya kemasing-masing dasaku.

"Angghh..." aku mendesah saat merasakan dingin telapak tangan Ghias menggesek putingku.

SIAL!! Dasar bocah mesum!! Wajahku langsung memanas saat menyadari reaksiku tadi. Menatap tajam sekaligus sebal pada Ghias yang masih ada diatas tubuhku. Sementara bocah itu mengerjapkan matanya menatapku.

"...Zea." Panggilnya dengan nada tidak percaya. Wajahnya langsung bersemu merah dan menundukkan kepala. "Suaramu membuatku berdebar."

Aku terperangah melihat reaksi bocah ini. Ghias nampak seperti gadis perawan yang tengah mencoba hal baru di malam pertamanya. FUCK!! Dia bahkan membuatku terlihat seperti pedhofil mesum.

"La-lagi!" Serunya tiba-tiba dan meremas dadaku. Membuatku melenguh kaget.

BRENGSEK!!!

"Aouch! Kenapa kau mendorongku lagi?" Protesnya yang jatuh menggelinding dari ranjang setelah kudorong dan kutendang. Ghias mengusap-usap kepalanya dengan mempoutkan bibir.

"Dasar bocah mesum!! Keluar kamu dari kamarku." Aku berang. Mengancingkan kancing piyamaku tanpa mengalihkan tatapan tajamku dari.

"Tcih! Baiklah aku akan pergi." Ghias menepuk-nepuk jubah lusuhnya. "O iya! Kamu suka anak kecil?"

"Suka." Jawabku sambil lalu.

"Sekitar usia berapa?"

"Aku lebih suka yang masih bayi. Dibawah satu tahun mungkin. Kenapa?"

Ghias hanya menyeringai dan berbalik menuju pintu balkon kamarku. Pergi meninggalkanku diiringi nyanyian anehnya.

 "Tidurlah dengan nyenyak...
Agar kau tidak sadar kedatanganku
Janganlah kau terjaga...
Agar tidak perlu merasakan lara."

Ghias berhenti sejenak saat membuka pintu kaca dan berbalik.

"Wahai pengantinku... engkaulah yang terpilih
Dengan senang hati, aku akan membawamu berkelana." Manik merah Ghias melirik kearahku dan lagi-lagi dia tersenyum. "Berkelana melihat kematian... la~ la~ la~ la~"

[Part 4 End]

Multimedia ⇨ Dark♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top