※Part [03] - Wanita Psychopath※

A/N: Pict of Po ⇧
Warning! Gore++... siapkan kantung plastik buat muntahan.

Bila ada typo tolong beritahu Nao. :3

※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Penganting sang Iblis:
Part [03]-Wanita psychopath
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※


[[Zea POV]]

"Kau harus dihukum, Zea." Bisiknya.

Aku menatap sepasang manik merah gelap milik Ghias. Tangan berjari mungilnya yang mencengkram daguku berubah menjadi mengelus-elus. Elusannya berpindah menuju pipi sebelah kananku.

Anehnya aku tidak dapat berpaling dari sepasang manik yang menenggelamkan itu. Sampai sebuah seringaian muncul di bibirnya, aku masih terpaku. Wajah Ghias semakin lama semakin mendekat.

"Kau tidak akan pernah bisa berpaling lagi denganku." Bisiknya di telingaku.

"Aangh..." Desahan meluncur begitu saja saat Ghias menggigit dan menjilat daun telingaku. Membuat bulu kudukku meremang karenanya.

Merasa aneh dengan semua ini, akhirnya tubuhku bisa kugerakan. Aku segera mendorong tubuh mungil itu menjauh dariku. Bangkit berdiri tegak dan mengusap daun telinga yang sedikit lembab, lalu menatap tajam bocah itu. Anehnya tubuhku segera meremang kembali saat Ghias balas menatapku tajam.

"Ini sudah yang kedua kalinya kau mendorongku!" Bentaknya dengan suara cempreng khas anak kecil.

Aku melangkah mundur saat bocah itu maju menghampiriku. Entah kenapa aura yang dikeluarkannya membuatku takut. Bahkan membuatku mundur hingga menabrak dinding.

"Kau..." aku berusaha mengendalikan diriku. Tidak akan kubiarkan bocah ini mengambil alih ketakutan tidak berdasarku. "Keluar kau dari kamarku. Dasar bocah mesum!"

Aku melihat Ghias terhenyak dan menghentikan langkahnya. Membuatku semakin berani melanjutkan ucapanku.

"Kamu hanya bocah aneh yang berkata tidak semestinya. Sampai kapanpun dan bagaimanapun wujudmu aku tidak sudi jadi pasanganmu!" Aku menekan pada akhir kata setelah puas menunjuk-nunjuk bocah itu.

Ghias hanya diam terpaku menatapku. Sepasang mata bermanik merahnya mulai berkaca-kaca. Sementara bibir bawah mungilnya digigit untuk menahan emosinya.

Aku masih menatap bocah yang sedang berusaha menahan isak tangisnya. Jujur, aku mulai merasa aneh dan takut terhadap bocah ini. Mulai dari penampilan dan sikapnya membuatku ngeri.

Tubuhku melonjak kaget saat mendengar gedoran di pintu kamarku. Kepalaku menoleh memandang pintu yang di baliknya mulai terdengar suara ibu.

"Zea... Kamu kenapa? Ada siapa di kamarmu?"

Aku berniat menjawab saat kepalaku kembali menoleh. Dan tidak ada satu kata pun yang keluar begitu menyadari Ghias sudah tidak ada di tempatnya. Begitu juga dengan kucing hitam aneh itu. Kuedarkan pandanganku keseluruh penjuru kamar, namun nihil. Aku tidak dapat menemukan keberadaan bocah itu.

"Zea! Kau baik-baik saja?"

Aku menghela nafas, melangkah menghampiri pintu yang tidak hentinya digedor brutal. Membukanya dengan memasang wajah sebiasa mungkin. Tapi tidak kusangka ibu justru menyeruak masuk. Memandangi seluruh kamarku mencari sesuatu. Tubuh mungil itu berbalik menghadapku yang masih di ambang pintu. Menatapku dengan pandangan bertanya.

"Dimana dia?"

"Siapa?" Tanyaku pura-pura tidak tahu.

Kening ibu mengernyit. "Bukankah kau marah-marah dengan seseorang?"

Senormal mungkin aku tertawa dan menjawab, "Tidak. Mungkin hanya imajenasi ibu." Ibu sering berimajenasi jika dia sering mendengar suara-suara lain, dan sekarang aku memanfaatkannya. "Ibu pasti kelalahan, istirahatlah."

Aku melangkah menghampirinya dan melingkarkan kedua tanganku di pundaknya. Mendaratkan kecupan di puncak kepala ibu. Wanita itu hanya berdeham sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamarku.

Setelah ibu benar-benar keluar dari kamarku, aku segera memeriksa semua sudut kamar. Bahkan aku sampai keluar menuju balkon memastikan bocah aneh itu telah pergi. Dan benar saja, dia tidak ada di manapun.

"Sial!" Umpatku seraya menjambak rambutku gemas.

●●●

Fifian berjalan dengan terburu-buru melewati loby asrama yang hari ini lebih ramai dari biasanya. Menundukan kepala karena tatapan dari para penghuni dan gunjingan mereka lewat bisikan tepat di depan mata Fifian. Fifian pikir, saat dirinya pasrah untuk dijual ibunya, hidup Fifian akan lebih baik saat menjadi prostitusi. Tapi nyatanya kini dia justru terlibat masalah besar.

Sedikit berlari Fifian menuju lantai tiga di mana kamarnya berada. Kantung plastik putih yang dibawanya berbunyi saat isinya berayun kacau. Hari ini, sampai besok Fifian dibebaskan dari pekerjaannya. Padahal kemarin saat hari pertamanya, Fifian belum mendapatkan satu pelangganpun. Meski dia harus mengalami kejadian memalukan.

Sesampainya di lantai tiga Fifian segera menuju kamarnya yang ada di ujung koridor. Langkahnya bergerak cepat saat keadaan koridor tidak sepi. Tidak berniat untuk bersapa ria ataupun berbasa-basi busuk. Nafas lega meluncur saat dirinya sampai di depan pintu kamar. Tanpa membuang waktu perempuan itu segera masuk.

Fifia melirik ranjang lain yang di atasnya terdapat orang yang yang tengah tidur. Rambut berwarna biru itu tergerai di atas bantal dari sela selimut. Po, tengah terbaring di atas tempat tidurnya sejak semalaman bergadang menemani Fifian. Menghindarkan Fifian dari mimpi buruk.

Apa dia masih sakit? Batin Fifian saat melihat selimut menggelembung itu bergetar.

Fifian merasa bersalah membuat Po semalaman terjaga, dan akhirnya perempuan itu harus terserang sakit kepalanya. Po bilang kalau sakit kepalanya kambuhan dan akan segera sembuh jika dibawa tidur, tapi sepertinya sakitnya bukan main.

"Po, aku membelikanmu obat." Fifian menghampiri ranjang berpenghuni itu dan duduk di sisinya. Mengguncang tubuh Po lembut.

"Ung... Apa, Fi?" Erang Po. Menyibak selimutnya dan mengucek mata yang terasa berat.

"Bagaimana dengan sakit kepalamu?"

Po menggeleng. "Tidak hilang. Mungkin aku akan minta izin Cecil untuk tidak bekerja lagi malam ini."

Fifian semakin merasa bersalah mendengar suara rendah dan berat Po. Dilihatnya sesekali Po mengernyit dengan mata terpejam seolah menahan rasa sakit yang teramat sangat.

"Aku akan membantumu meminta izin." Ucap Fifian yang disambut senyuman lemah Po. "Ah, aku tadi juga membelikanmu obat sakit kepala."

Po bangkit dari tidurnya dan duduk. "Tapi aku belum makan." Ujarnya setelah menerima obat dari Fifian.

"Aku juga membelikanmu roti isi, Po. Tidak perlu khawatir." Fifian mengeluarkan roti dari plastik yang berbeda berserta sebotol air mineral. "Ini makanlah dan setelah itu minum obat."

Po menatap Fifian sebentar sebelum kembali tersenyum lemah. "Terimakasih, aku jadi tidak tega."

"Hahahaha, tidak apa-apa. Aku masih kuat kok tadi jalan meski tubuhku luka-luka."

Po kembali tersenyum dan mulai memakan rotinya. Begitu juga Fifian yang duduk di sampingnya. Fifian menyenderkan kepala di bahu Po. Kehadiran perempuan itu membuat Fifian tidak merasa kesepian.

Tok! Tok!

Suara pintu diketuk mengganggu ketenangan keduanya. Dengan malas Fifian menjauhkan kepalanya dari bahu Po dan bangkit berdiri. Beranjak pergi untuk membukakan pintu. Fifian berharap semoga saja itu bukan para seniornya yang selalu ingin tahu akan apa yang kemarin terjadi.

Seorang pemuda bersurai darkgrey berdiri di hadapan Fifian dengan ekspresi datarnya. Mata shapire itu sesaat sukses membuat Fifian terpesona, sampai perempuan itu tersadar akan sesuatu.

"Ya?"

"Boleh aku masuk?" Tanya Zea dengan nada menuntut.

"Eh, oh. Silahkan." Fifian bergeser dari tempatnya mempersilahkan Zea masuk.

Pemuda itu melangkah masuk. Pandangannya segera menangkap keberadaan perempuan bersurai biru yang tengah makan roti di atas tempat tidurnya. Mengambil tempat duduk di ranjang lain dan melihat Po tersenyum kearahnya.

"Hai, Zea! Kamu tidak sekolah?" Tanya Po. Dimasukannya potongan terakhir sekaligus memenuhi mulutnya hingga kedua pipinya menggembung.

Zea terkekeh melihatnya. Merasa gemas dengan keadaan Po yang mirip tupai saat ini. Pemuda itu menggeleng dengan senyum tipisnya. Fifian menyusul bergambung dengan keduanya. Duduk di sisi ranjang Po, tepat di samping kaki Po yang berada di balik selimut.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Zea.

"Sedikit sakit kepala."

"Aku tidak bertanya padamu Po, aku bertanya pada Fifian."

Fifian terkekeh saat melihat Po cemberut. "Sudah jauh lebih baik."

"Baguslah. Apa nanti malam kau akan langsung kembali bekerja?"

"Nyonya menyuruhku istirahat sampai besok. Tapi..." Fifian menoleh dan melihat wajah pucat Po. "Setidaknya salah satu diantara kami harus bekerja."

Zea melirik Po yang mulai membuka obatnya. Ternyata perempuan itu masih sakit sejak kedatangannya. Zea kembali melirik Fifian. Keadaan perempuan itu belum jauh lebih baik dari kemarin yang dia lihat.

"Kalian berdua istirahat saja." Zea bangkit dari duduknya. "Biar aku yang meminta izin untuk kalian."

"Eh?! Sungguh?" Tanya Po.

"Yup! Kau jaga temanmu ini biar tidak ada singa betina yang mencakarnya lagi." Gurau Zea.

"Hahahaha, siap kapten!"

Zea pergi meninggalkan kedua perempuan itu. Hembusan nafas lega meluncur dari Fifian. Membuat Po melirik heran.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa." Fifian menarik kantung plastik obat yang ada dipangkuan Po. "Loh?"

"Ada apa lagi, Fi?"

Fifian menggeleng. "Kupikir bungkusnya agak berbeda.

●●●

Suri menatap cahaya keemasan yang menembus ventilasi kecil di sudut atas ruangan. Sudah satu malam dua hari dirinya terkurung dalam ruangan berkururan tiga kali dua meter. Ruangan yang hanya ada ventilasi kecil sebagai lubang udara di ruangan yang pengap itu. Detik terus berjalan berganti menit dan berubah jam. Suri masih saja memandangi cahaya yang mulai meredup itu.

Saat malam, ruangan itu akan gelap gulita. Tidak ada setitik cahayapun.

Setetes air mata mengalir dari manik berair Suri. Kepalanya yang terus memutar kenangan saat bersamanya membuat kepedihan kembali memeluk Suri. Menyadari bahwa kenangan itu tidak akan lebih banyak. Rose, adalah seseorang yang paling dia percayai di dunia ini. Sahabat yang telah ia anggap sebagai kakak. Tapi sekarang wanita itu telah pergi, bahkan tanpa pamit dan dalam keadaan mengenaskan.

Kepala Suri jatuh di atas lutut yang ditekuknya. Memeluk kedua kakinya erat setiap isak tangis itu meluncur berat. Dia hanya butuh seseorang yang dianggapnya keluarga agar dia tahu ke mana ia akan pulang. Tapi kini, semuanya telah hilang.

Tanpa disadari wanita yang masih dirundung duka itu, seseorang melangkah mengitari belakang sebuah gedung. Dimana diatas tanah bagian bawah gedung itu terdapat belasan atau mungkin lebih dari dua puluh jendela ventilasi kecil.

Kaki telanjangnya menyusuri di atas rerumputan basah. Lalu berhenti tepat di jendela ventilasi ke enam dan berjongkok. Tangan pucatnya merogoh sebuah kertas dari saku jaketnya dan pematik. Membakar kertas itu sebelum melemparnya masuk kedalam jendela ventilasi itu.

Seulas seringaian terbentuk di bibirnya dan bangkit berdiri. Awan mendung yang menutupi langit mulai bergerak memperlihatkan sang candra yang tengah purnama. Sinarnya menyinari sosok yang tengah berdiri dengan kepala mendongak. Memperlihatkan matanya yang berwarna hitam dengan iris merah.

"Operasi dimulai!" Desisnya.

Dengan ringan langkah kakinya menjauhi tempat itu menuju bagian samping gedung. Dengan sigap tangannya berpegangan pada pipa besi berdiameter sepuluh centi yang tertempel di dinding. Bagaikan seekor tupai atau binatang pohon lainnya, sosok itu memanjat dinding dengan cepat. Hanya dengan berpegangan pada pipa besi itu tangannya dengan cepat merayap bergantian keatas. Masuk kedalam salah satu jendela teratas yang terbuka.

Tidak masalah baginya untuk meninggalkan jejak, karena setelah ini dia akan kembali pergi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mencari kebebasan yang selama ini diimpikannya.

Setelah berada di dalam kamar sosok itu melangkah keluar tanpa suara melewati pintu, tidak menginginkan siempunya kamar terbangun. Meski diyakininya perempuan itu telah meminum obar tidur yang ditukarnya tadi. Menutup pintu itu dan lanjut melangkah menyusuri koridor. Sangat sepi. Tentu saja, karena semua penghuni gedung itu sedang bekerja dan penjaga hanya ada di post jaga. Tepatnya di depan pintu.

Ah, ini begitu mudah.

Dengan langkah ringan dia menuruni anak tangga hingga lantai dasar. Lalu berbelok ke koridor menuju dapur. Untung saja malam sebelumnya dia sudah menyusuri gedung ini, hingga dia hafal seluk beluk gedung dan arah tujuannya kini.

Setelah sampai di dapur sosok itu berbelok menuju pintu penyimpanan daging. Tidak, bukan pintu itu tapi sebelahnya. Dimana sebuah tangga menuju kebawah berada di baliknya.

Sosok itu menyempatkan diri mengambil beberapa garpu dan pisau potong sebelum melangkah masuk. Senandung riang mulai terdengar dari bibirnya saat menuruni tangga. Masih berlanjut saat menyusuri koridor dengan puluhan pintu besi.

Kaki berlumpurnya berhenti di salah satu pintu yang terkunci rapat. Disimpannya pisau potong dan garpu tadi di dalam tas pinggang bersama belasan pisau bedah lainnya. Menarik nafas sebelum menempelkan tangannya di pintu besi tersebut dan menekannya.

Dia merasa beruntung saat orang-orang aneh itu menyuntikan berbagai macam cairan menjijikan kedalam tubuhnya. Merubahnya menjadi monster yang haus darah. Sekaligus memiliki kekuatan luar biasa yang sangat menguntungkan.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat pintu itu terbuka dan terlepas dari engselnya. Menampilkan seorang wanita yang terduduk bersandar di dinding dalam keadaan setengah sadar. Sepertinya kertas bius yang dibakarnya cukup mempan dan dapat hilang dengan mudah.

"K-kau... " Suri, wanita itu, menyipitkan matanya agar dapat melihat sosok yang menghampirinya.

"Halo senior! Bersiap untuk merobek vagina?"

●●●

Zea membalikkan tubuhnya dengan gelisah di atas ranjang. Sudah dua jam lebih ia tidak dapat tertidur. Biasanya juga dia selalu terserang insomnia, dan itu bukan masalah. Hanya saja malam ini perasaannya mendapatkan firasat tidak enak.

Di kepalanya terbayang-bayang akan kondisi Suri saat Zea menjenguk sahabatnya tadi. Perempuan itu nampak pucat dan pipinya agak tirus. Zhang yang menjaga ruang bawah tanah pun memberitahu jika Suri menolak untuk makan. Padahal semakin buruk keadaan perempuan itu, semakin lama dia akan keluar dari ruangan pengap yang mengurungnya.

Zea bangkit duduk dari tidurnya dan menghela nafas. Lebih baik dia menemui sahabatnya agar Suri sedikit merelakan apa yang sudah terjadi. Toh ibunya kini sedang ada di kantornya dan Zea yakin sahabatnya mungkin butuh seseorang untuk menemani. Setelah meraih jaketnya, pemuda bersurai dark grey itu pergi meninggalkan rumahnya.

Menyusuri jalanan distrik yang cukup ramai, karena Zea trauma mengambil jalan yang sepi. Hoodienya ia kenakan untuk menutupi rambutnya yang berwarna mencolok. Terus berjalan dengan langkah tergesa-gesa karena perasaan tidak enak menyergapnya.

Sepuluh meter darinya, seorang anak kecil berjubah mengikutinya dari belakang. Berlari-lari kecil dengan kucing hitam di sampingnya. Tidak jarang orang melihatnya yang berpenampilan aneh akan segera menyingkir memberikan jalan untuk anak itu. Sekilas anak kecil itu seperti anak pada umumnya, namun orang-orang yang dilewatinya menyadari jika aura anak itu berbeda dengan orang pada umumnya.

Ghias-bocah kecil itu-memelankan langkahnya saat melihat Zea memasuki area gedung apartement tua. Di jalan itu banyak gedung-gedung yang tidak lebih dari tiga lantai. Nampak sepi meski ada orang yang berkeliaran. Matanya terus mengawasi pemuda di depannya dengan langkah kaki yang terus mengikuti.

Kening Ghias mengernyit lantaran Zea memasuki salah satu gedung yang di jaga seorang pria yang memilih tidur di posnya. Bukan karena gedungnya Ghias enggan masuk kedalam, namun karena aroma sesosok makhluk yang menguar dari gedung itu. Dark, kucingnya bahkan melompat kedalam pelukannya. Memberitahu lewat bahasa tubuhnya agar sang majikan tidak melangkah lebih jauh.

"Kita harus masuk." Gumam bocah itu dan melangkahkan kakinya. Menyusup dengan perlahan melewati celah besi gerbang yang untungnya pas dengan ukuran kepala dan tubuh kurusnya. Kucing yang di pelukannya mengeong protes. "Ssshhh... aku tidak bisa membiarkan pengantinku dalam bahaya."

Setelah berhasil masuk bocah itu mengikuti Zea masuk kedalam gedung. Langkahnya terburu-buru karena ia kehilangan pemuda itu. Dengan sebelah tangan dia mendorong pintu besar, di mana ruangan luas berupa loby menyambutnya. Kepala Ghias menyapukan pandangannya kesetiap sudut, mencari pemuda yang diuntitnya tadi.

"Kemana dia?"


"Aku di sini." Desis seorang perempuan yang bersembunyi dibawah bupet kosong.

Zea yang berniat mengunjungi sahabatnya Suri di ruang bawah tanah, dikejutkan dengan jejak berlumpur dari arah tangga menuju koridor dapur. Membuat pemuda itu was-was akan keadaan sahabatnya. Langkahnya terhenti di dapur saat mendengar suara bersin seseorang. Dan tidak disangka si gadis berambut pink sedang meringkuk di bawah bupet mengantikan panci besar.

"Sedang apa disini?" Zea berjongkok di depan Fifian.

"Err... kau sendiri?"

Kening Zea mengernyit saat perempuan itu justru bertanya balik kepadanya. Dengan sekali hentakan dikeluarkannya Fifian dari persembunyiannya. "Kamu bisa dituduh macam-macam." Ujar Zea seraya melipat tangan di depan dada.

"Tapi aku hanya bersembunyi."

"Bersembunyi dari apa?"

Perempuan itu mengerang. Dia tidak yakin untuk memberitahukannya karena dia sendiri masih ragu dengan apa yang dilihatnya. Disusurinya dapur mencari sesuatu, mengambil pisau daging dan linggis sepanjang satu meter. Lalu mendekati Zea dan menyerahkan linggis itu padanya.

"Kurasa, sahabatmu dalam bahaya." Desisnya dengan tangan gemetar yang menggenggam pisau.

"Apa maksudmu?" Zea yang masih belum mengerti masih menatap Fifian. Gadis itu mengalihkan pandangannya sebelum melirik Zea kembali, mendekati pemuda itu dan berbisik. "Aku melihatnya."

●●●

"Ungh... Nggh hhh hhh..."

Lenguhan tertahan itu samar-samar terdengar di area ruang bawah tanah. Suri, satu-satunya penghuni disanalah si empunya lenguhan tersebut. Kedua tangannya terikat pada tiang besi dengan celana panjangnya, dalam keadaan terbaring tertelentang. Matanya membelalak lebar dengan air mata yang mengalir di setiap sudutnya sementara tangannya terkepal kuat menahan rasa sakit.

Sosok lain yang menemani Suri itu menyeringai puas. Membiarkan kedua paha Suri disanggah kayu panjang, sementara tangannya yang memegang pisau bedah perlahan mendorong benda itu. Melesakkan pada tubuh Suri lewat bagian bawah dengan secara lambat. Kaki Suri mengejang lantaran rasa sakit yang menghujamnya, tubuhnya membusur frustasi. Celana dalam yang disumpalkan kemulutnya menahan setiap erangan dan teriakan yang meluncur dari dasar tenggorokannya.

Perempuan itu sudah tidak dapat berfikir lagi. Yang dia inginkan lebih baik mati dari pada harus tersiksa seperti ini. Suri merasakan dirinya terbelah, dengan sangat menyakitkan. Ditambah lagi sosok itu terus mendorong pisaunya yang membuat kulit dalamnya terluka karena tergores.

"ANGH!!!" Jeritan tertahan meluncur saat sosok itu melesakan pisaunya dengan kasar.

Tubuh Suri mengejang hebat. Cairan pekat berwarna kemerahan itu mengalir mengotori lantai. Sementara sosok yang melakukan permainannya tertawa puas. Sampai tawanya terhenti karena sorotan cahaya, membuat matanya menyipit karena merasa silau.

"SURI?!" Zea yang membawa senter itu berseru tidak percaya melihat keadaan sahabatnya. Mengenaskan, bahkan Suri yang nampak sekarat lebih mengenaskan dari mayat Rose.

Manik shapire Zea bergulir menatap sosok lain di ruangan sempit itu. Seorang perempuan berambut biru yang di kenali Zea. Namun saat yang bersamaan dia baru pertama kali melihatnya. Sosok itu...

"Po?" Bisik Fifian tidak percaya di belakang Zea.

Yang dipanggil menyipitkan matanya. Sosok itu memang Po, teman sekamar Fifian. Namun keadaan perempuan itu jauh berbeda dari sebelumnya. Kulitnya putih pucat dengan mata hitam bermanik merah.

"Kenapa kamu ada disini? Seharusnya kamu tidur di kamar kita." Geram Po. Tangannya meraih pisau potong yang tergelatak di samping kakinya. "Aku sedang bermain, kenapa kalian menggangguku!?"

Mata Fifian dan Zea membelalak saat mendengar perempuan itu berteriak. Fifian menutup mulutnya dengan tangan, sementara Zea hanya bisa mematung. Po, perempuan itu menancapkan pisau potongnya berkali-kali diselangkangan Suri. Perempuan itu bahkan sampai tidak menyadari jika akhirnya Suri merenggang nyawa.

"Ah?! Kenapa dia mati?" Sentaknya begitu sadar, dan melempar pisau yang dia gunakan. Po segera naik keatas perut Suri. "BANGUN! Aku belum puas bermain!"

Zea dan Fifian sudah berwajah pucat. Po menampar wajah Suri hingga terdengar bunyi 'krek'. Lalu menampar lagi karah berlawanan, begitu seterusnya hingga pukulan kuatnya berhasil melepaskan kepala Suri dari lehernya. Bagian tubuh itu mental menabrak paha Zea, membuat pemuda itu tersentak kaget, lalu memantul dan jatuh menggelinding kearah kaki Suri.

Jantung Fifian dan Zea berdentum gila-gilaan. Keringat dingin mulai membasahi tubuh mereka, kaki Fifian bahkan bergetar hebat. Po melihat benda bundar itu dan menatapnya sejenak, sampai pandangannya beralih pada dua orang yang masih memandangnya. Dia masih belum puas menyalurkan hasratnya.

Dan perempuan yang diyakini bukan manusia lagi itu berkata, "Kalian harus menggantikannya."

[Part 3 End]

Next Chapter ⇨

Update lebih cepat dari perkiraan :D
Semoga kalian suka sama chapter ini hihihihi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top