※Part [02] - Pencuri Rahim※
Warning! Gore & typo(?)
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
Pengantin Sang Iblis:
Part [02] - Pencuri Rahim
※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※※
•
•
Petir itu menyambar sebuah perkomplekan gedung bekas pabrik. Kilatnya membentuk bayangan dari benda-benda yang diterpanya sebelum akhirnya suara gelegar guntur menggema. Suaranya yang begitu keras membuat tanah sampai terasa bergetar.
Seorang perempuan berambut ikal, nampak duduk di sudut celah diantara dua gedung. Seluruh tubuhnya kotor akibat debu dan lumpur, serta peluh yang membanjiri. Rambut ikalnya nampak lepek dan berantakan. Sementara tubuhnya gemetar karena rasa takut.
Kedua tangan perempuan itu membekap mulutnya sendiri. Menghalau suara yang tidak mampu dia tahan hanya dengan bibirnya. Wajahnya basah karena air mata yang tidak henti-hentinya mengalir.
Dirinya sangat takut. Dia ingin pulang saat ini juga, kembali keasrama. Menyesali perbuatannya yang kabur dari asrama untuk menghadiri pesta yang diselenggarakan salah satu pelanggannya. Dirinya kini sendiri, teman-temannya yang lain sudah tidak diperdulikannya masih hidup atau tidak. Yang dia inginkan hanya bisa kabur dari makhluk mengerikan itu.
Lagi, petir kembali menyambar di daerah itu. Membuatnya melonjak lantaran kaget. Suara rintihan makin sulit ditahannya karena rasa takut. Rose-nama perempuan itu-hanya menginginkan kembali ke asrama. Tempat di mana menjadi tujuannya pulang dan melindunginya.
Rintikan hujan mulai berjatuhan dari langit. Malam masih panjang sampai sang surya terbit nanti. Tapi Rose sudah merasa lelah sedari tadi kabur mengitari perkomplekan pabrik. Dia ingin istirahat, namun kewarasannya memerintah Rose agar terus terjaga.
Hujan akhirnya turun dengan lebat. Beruntung di atas tempatnya bersembunyi terdapat sisi atap. Rose merapatkan kakinya dalam pelukan. Menghindari air hujan sekaligus mencari kehangatan. Rose berharap makhluk itu telah pergi.
Detik-detik mulai berlalu dan berganti menjadi menit. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Rose berdoa agar ketika makhluk itu menemukan dan berniat membunuhnya dia tidak merasakan sakit. Hingga dengan pasrah perempuan itu mendaratkan kepalanya di atas lipatan tangan di atas lututnya.
Suara gemericik air hujan menjadi pengiring nina bobonya menuju alam mimpi. Sayangnya Rose harus menahan kantuknya saat mendengar suara tawa. Atau dia berharap tetap tidur saja sampai kematian menjemputnya tanpa dia sadari.
"Hihihi"
Rose menatap kedepan. Berdoa agar kegelapan dapat menyembunyikan keberadaannya. Hatinya ketar-ketir jika sosok itu berjalan melewati celah yang menjadi tempat persembunyian Rose kini.
"Hihihihi."
Rose ingin sekali menangis. Nafasnya mulai sesak karena menahan emosi dan ketakutannya. Terlebih lagi saat menyadari jika suara itu sangat dengat.
"HIHIHIHIHI..."
Rose menatap ujung celah yang menjadi tempat persembunyiannya. Tubuhnya gemetar dan dia semakin beringsut kesudut.
"Rose..."
Air mata Rose kembali membanjiri wajahnya yang semakin pucat karena rasa takut. Suara isakannya sukses meluncur dari balik tangan dan tidak ia perdulikan. Percuma saja jika dia masih mencoba bersembunyi jika ternyata dia sudah ditemukan. Dengan perasaan kalut karena ketakutan, perlahan Rose mendongak. Hanya kegelapan yang ditemukannya sampai kilat petir kembali menyambar menampilkan sosok yang tengah menatapnya dari atap gedung yang hanya setinggi satu meter dari kepalanya.
"I catch you Rose hihihihi..."
"AAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!"
Jeritan melengking itu terdengar dibarengi suara gelegar guntur.
●●●
Zea menghentikan langkahnya dan berbalik saat merasakan seseorang mengikutinya. Namun tidak ada apapun yang mencurigakan selain para pejalan kaki yang berlalu lalang di trotoar sama sepertinya. Bahunya menurun lemas saat helaan nafas keluar dari bibirnya. Sudah dua hari Zea tidak bertemu dengan bocah berjubah bernama Ghias itu, tapi sudah dua hari pula Zea tidak merasa ketenangan seperti biasanya. Dirinya selalu merasa diawasi dan diikuti entah oleh siapa.
Mencoba mengacuhkannya, Zea kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Siang ini dia akan kepasar di ujung distrik untuk mencari pesanan ibunya. Sebuah pasar gelap yang menjual apapun yang tidak mungkin dijual di pasar biasa. Seperti hewan-hewan liar untuk di pelihara, perjual-belian berbagai macam daging, barang-barang hasil curian, sampai organ dalam manusia. Anehnya, pasar yang terpisahkan oleh sebuah sungai selebar empat meter dari pemukiman penduduk itu tidak pernah diringkus petugas.
Dan hanya di distrik inilah semuanya terasa lebih bebas dan berbahaya. Maka dari itu jangan kaget jika dalam satu hari akan terjadi pencurian dan pembunuhan di beberapa rumah dalam satu blok.
Ketukan sepatu yang di kenakan Zea saling bersahutan dengan ketukan sepatu dari orang lain saat langkahnya menaiki jembatan kayu membusur diatas sungai. Bibirnya menyinggungkan senyum kala berpapasan dengan beberapa orang dengan wajah yang tidak asing baginya. Lima meter dari jembatan hiruk pikuk pasar yang sedikit sepi itu menyambutnya.
Kaki Zea membawanya lebih masuk ke dalam pasar menuju sebuah toko yang berada di bagian paling dalam toko. Kakinya sempat terhenti di sebuah toko dengan banyak kandang yang berisi berbagai macam hewan langka. Sedikit penasaran dengan kandang yang berada di atas meja di samping pintu masuk.
"Srraaaahhsss!!"
Pemuda bersurai dark grey itu melonjak kaget saat binatang aneh di dalamnya mendesis kearahnya. Binatang yang menyerupai kucing hutan namun berkaki enam dengan dua pasang kaki depan itu menunjukan taringnya. Ekornya yang panjang dengan bagian ujung berduri layaknya landak mengibas sebagai perlindungan diri. Sementara sepasang mata beriris hitam dan kecoklatan itu mulai melebarkan pupil matanya.
Cool! Batin Zea kagum.
"Oh... jangan dekat-dekat dengan dia, boy! Hewan ini bisa saja menyabitmu dengan ekornya yang berduri tajam itu." Ealy, sang pemilik toko menghampiri Zea.
"Dari mana kau mendapatkannya, Ealy?" Zea masih memandang kagum hewan aneh itu.
"Hahaha... dari pria asing yang baru saja singgah semalam di distrik ini."
"Berapa kau membayarnya?"
Ealy tidak menjawab. Membuat Zea penasaran dan mengalihkan pandangannya pada wanita berusia tiga puluhan itu. Namun yang dilihat Zea hanya senyum kecut Ealy.
Tidak begitu peduli akan jawaban atas pertanyaannya, Zea melenggang pergi meninggalkan toko Ealy. Pikirannya masih terbayang pada hewan aneh itu sampai tiba di tempat tujuannya. Sebuah toko daging yang ia kenal betul.
Tanpa ragu Zea masuk kedalamnya. Bau amis menyengat menyambut Zea. Membuatnya sedikit mengernyit namun tetap bersikap acuh tak acuh.
"Damon." Panggil Zea pada seorang pria kekar yang tengah melayani pelanggan.
Pria yang dipanggil Damon itu segera menoleh. Memanggil anak gadisnya untuk menggantikannya melayani pelanggan. Melepaskan apron lusuh bernoda darah sebelum menyuruh Zea mengikutinya.
"Aku belum menyentuhnya setiba dia di sini." Ucap Damon membuka percakapan.
"Aku masih bingung, kenapa ibu meminta kepala pengiriman dagingmu."
"Ibumu sungguh menginginkan kepalanya?"
Zea mengangguk. Bulu kuduknya berdiri saat hawa dingin menerpa begitu membuka pintu pendinginnya. Sebuah ruangan bersuhu dingin dengan puluhan daging yang menggantung. Kaki Zea mengikuti langkah Damon memasuki ruangan itu.
Matanya membelalak saat melihat sesuatu di depannya. Mengerikan. Namun Zea masih mengenali sosok yang terbujur kaku mengenaskan yang bersandar pada dinding.
Perut Zea segera bergejolak. Makan siangnya merengsek keluar menjadi muntahan yang tidak kalah menjijikan berceceran di lantai. Sungguh pemandangan di depannya sangat mengerikan.
Seonggok mayat wanita tanpa busana dengan selangkangannya yang hancur. Zea bahkan dapat melihat usus yang hancur menggantung dan jantung yang mengintip dari balik tulang rusuk. Payudara perempuan itu hancur sebelah dengan tangan yang buntung. Zea sangat mengenali sosok wanita itu.
Rose, pekerja ibu sekaligus temannya.
"Maaf, mengotori lantainya."
Damon menggeleng. "Tidak apa. Adikku, Rai, bahkan sampai pingsan saat melihatnya."
Damon melangkah kesudut ruangan meninggalkan Zea. Mengambil sebuah pisau dari atas meja.
"Keluarlah lebih dulu. Aku akan menyiapkan pesanan ibumu."
Tanpa diperintah dua kali Zea segera meninggalkan tempat itu. Ini baru pertama kalinya dia muntah melihat bangkai. Padahal sebusuk apapun bau toko Damon, Zea tidak pernah sampai muntah.
Yui, anak gadis Damon, menyambut Zea di bagian depan toko. "Kau sudah melihatnya?" Zea mengangguk.
"Itu sudah yang ketiga kalinya kami dapat kiriman seperti itu." Yui membersihkan pisau dagingnya.
"Siapa yang melakukannya?"
Gadis itu mengangkat bahu. "Kasus seperti ini pernah terjadi di distrik lain, dan mereka menyebut sang pencuri rahim untuk pelakunya."
"Pencuri rahim?"
"Yup, karena kesamaan sang korban adalah tidak adanya rahim dalam mayat mereka. Sudah empat di distrik ini yang di tangani polisi, dan tiga yang dijual kemari."
Zea mendengus. Bahkan masalah seperti ini saja nampak biasa. Maksudnya, dengan mudahnya mayat diperjual belikan seperti ini.
"Dan pelakunya sama, belum tertangkap." Tambah Yui.
Zea melirik Yui. Perkataannya tidak sempat keluar saat melihat Damon muncul dengan sebuah kotak. Zea dapat menebak isi kotak itu.
Tanpa berkata apapun Zea menerima kotak itu dan pergi setelah berpamitan pada Yui dan Damon. Saphirenya tidak henti-hentinya melirik kotak putih yang dia apit di lengan sebelah kirinya. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya.
Ini bukan pertama kalinya Zea mendapati hal buruk akan pekerjaan ibunya. Tapi ini pertama kalinya terjadi kasus pembunuhan sekeji ini. Demi sebuah rahim? Astaga, orang gila mana yang melakukan ini? Batin Zea tidak percaya.
Sebelum keluar pasar, Zea menyepatkan diri ke toko Ealy dan mendekati sebuah kandang. Binatang berkaki enam itu kembali berdesis dan memojokan dirinya kesudut saat Zea membungkuk menatapnya.
"Kamu manis sekali. Sayang aku tidak punya banyak uang untuk membelimu." Gumam Zea dengan bibir mengulum senyum.
Kakinya kembali melanjutkan langkah. Membawa kotak itu pergi meninggalkan pasar. Tanpa Zea sadari, sepasang manik berwarna merah mengamatinya dari kejauhan. Sebuah seringaian muncul di bibir si empunya manik merah tersebut.
●●●
Ketukan suara pump menggema di loby asrama. Suri melangkahkan kakinya dengan terburu-buru menuju tangga. Berniat untuk kelantai tiga di mana kamar para pekerja baru berada. Matanya yang biasanya dihiasi eyeliner kini nampak bengkak dengan wajah tanpa polesan make up apapun. Rambut panjang hitamnya ia biarkan tergerai dan sedikit berantakan. Kematian sahabatnya membuat Suri cukup terpukul.
Berita kematian Rose dan beberapa rekan lainnya telah sampai di telinga Suri. Tentu saja, karena semalam nyonya memanggilnya, Cecil, Tayler dan Ren untuk memberi kabar memilukan itu. Pembunuhan sadis menimpa tujuh orang pekerja yang kabur dari bar, yang salah satunya sahabat Suri, Rose.
Suri tidak percaya akan rumor si pencuri rahim yang sedang memanas di beberapa distrik. Sangat mustahil ada seorang psychopath yang mampu berpindah-pindah ke berbagai distrik dengan melakukan kekacauan tanpa tertangkap pihak keamanan ataupun polisi. Kecuali jika psychopath itu bukanlah manusia.
Suri akhirnya sampai di lantai tiga setelah menaiki puluhan anak tangga. Beberapa juniornya segera menyingkir saat melihat kedatangannya dengan wajah masam. Ini masih pukul tiga sore lewat sebelas menit, jam kerja masih tiga setengah jam lagi.
Tiba di sebuah pintu yang dituju, tanpa basa-basi perempuan bersurai hitam itu membukanya kasar. Masuk kedalam membuat dua perempuan bersurai dengan warna berbeda dan mencolok melonjak kaget. Langkah Suri menghampiri perempuan bersurai pink, Fifian.
"Kau pasti yang melakukannya!" Geram Suri dan melayangkan tamparan pada pipi Fifian.
Fifian mengaduh keras. Wajahnya yang lecet kini bertambah sakit lantaran Suri menamparnya keras. Tidak berhenti sampai di situ, Suri menjambak rambut Fifian dan kembali menamparnya. Membuat Po yang melihat itu memisahkan Suri dari Fifian dengan panik.
"Kau pasti yang membunuh Rose kan!! Kau pasti yang membunuhnya!" Jerit Suri geram saat Po menjauhkannya dari Fifian.
Jeritan itu memancing beberapa orang yang mendengarnya. Bahkan pintu kamar Po dan Fifian kini telah tertutupi orang-orang yang menonton kejadian itu. Kenapa mereka hanya menonton sih? Batin Po kesal.
Suri yang merasa terkekang tanpa ampun menyikut rusuk Po, hingga perempuan itu mengaduh kesakitan. Melepaskan kukungannya pada Suri begitu saja.
Suri menebak bahwa Fifianlah yang membunuh sahabatnya lantaran dua hari yang lalu Rose dan beberapa orang mempermalukan Fifian di bar. Saat itu momy sedang tidak ada, membuat para senior tergoda untuk mengerjai para juniornya. Salah satunya Fifian yang dipaksa menari telanjang di atas meja oleh Rose.
Kecurigaan Suri makin membesar karena dari delapan orang yang pergi dan terbunuh, hanya Fifianlah yang kembali dengan selamat. Meski di tubuhnya banyak luka. Dan bukankah Fifian baru datang ke distrik ini? Semakin jelas jika bisa saja perempuan inilah psychopath yang kabur dari D'fruk.
"BERHENTI!" Suara itu segera menghentikan tindakan Suri yang tengah memukuli dan menjambaki Fifian.
Seorang wanita yang biasa dipanggil momy oleh para prostitusi di asrama itu memasuki ruangan. Mantel berbulu coklat tersampir dipundak mungilnya. Sementara dada berpayudara besar itu membusung.
"Kau mengecewakan Suri!" Satu tamparan telak mengenai sisi wajah Suri. "Sudah kubilang jika ini harus dirahasiakan bukan?"
Suri hanya bisa terdiam bergetar. Kemarahan momy adalah hal yang paling ditakutinya. Sementara Fifian menghambur dalam dekapan Po yang sedari tadi berusaha melindunginya.
"Kita belum tahu apakah Fifian pelakunya atau bukan. Tapi kau justru membeberkan apa yang sudah terjadi." Geram wanita itu. "Cecil, kurung Suri di ruang bawah tanah!"
"Apa?! Tapi momy-"
"TIDAK ADA BANTAHAN!" Bentakan itu membuat Suri bungkam. "Dan yang lainnya cepat kembali kekamar masing-masing."
Tidak mau ikut terkena bentakan apalagi masalah seperti Suri, semua yang menonton segera berhamburan pergi begitu juga wanita yang di panggil Momy. Kecuali dua perempuan sang empunya kamar dan pemuda berambut dark grey. Pemuda itu menatap Fifian sejenak sebelum ikut pergi keluar.
Langkah Zea terburu-buru mengejar Suri yang di bawa Cecil. "Suri!" Panggil Zea membuat kedua perempuan itu berhenti.
Air mata Suri segera merebak membasahi kelopak matanya. Tangannya segera menghentak tangan Cecil yang menariknya dan segera menghambur kedalam pelukkan Zea. Tangisnya pecah saat pemuda itu mendekapnya erat.
"Ssssttt... kita pasti dapat menemukan pelakunya." Bisik Zea sementara tangannya mengelus punggung Suri.
"Akan kurobek vaginanya jika aku menemukan dia!" Jerit Suri.
"Ya... kau boleh melakukan apa saja jika menemukannya." Zea mengusap kepala Suri dan mengecupnya sebelum melepaskan Suri. "Pergilah, ibuku bisa tambah marah jika kau melawan."
Suri mengangguk dan berbalik meninggalkan Zea. Tangannya sibuk membersihkan jejak air mata yang membasahi pipinya. Sementara Zea ikut berbalik kembali menuju tempat yang ditinggalkan tadi.
●●●
[Fifian Pov]
Aku menatap pemuda yang duduk di hadapanku. Iris shapirenya menatapku menuntut apa yang dia inginkan.
"Kau pasti melihat pelakunya bukan?" Tanya pemuda bernama Zea itu.
Aku mengeratkan pelukanku pada Po saat bayang-bayang mengerikan itu muncul. Melihat para seniorku dibunuh satu persatu dengan dua di antaranya di hadapanku. Tubuhku kembali bergetar saat didera rasa takut kembali.
"Maaf, Zea. Lebih baik lain kali saja kamu menanyakan ini." Ucap Po yang menyadari keteganganku.
Tapi Zea tetap tidak bergeming, dia masih diam di tempatnya menatapku dengan pandangan menuntutnya. Aku menenggelamkan wajahku di dada Po menghindari tatapannya. Sungguh saat ini aku tidak ingin mengingat kejadian mengerikan itu.
"Baiklah. Tapi besok aku akan kembali lagi." Ucap pemuda itu.
Aku mendengar langkah kakinya menjauh dan pintu kamar yang dibuka dan ditutup lagi. Setelah keadaan hening aku menolehkan kepalaku. Tangan Po masih mengusap-usap punggungku.
"Lebih baik kita istirahat. Momy memberi kita seharian ini untuk libur." Jelas Po.
Aku menurut saja saat Po mendorong tubuhku berbaring. Dengan baik hatinya dia memelukku agar membuatku tenang. Ya, setidaknya ini membuatku lebih tenang.
.
.
.
Tes
Tes
Tes
Suara tetesan air menggema di ruangan temaram di mana tempatku berdiri kini. Disekelilingku hanya ada drum-drum besi setinggi dua meter. Aku meras tidak asing dengan tempat ini.
Kakiku melangkah begitu saja entah kemana. Membawaku melewati drum-drum itu dan pada ruangan besar dengan kolam air keruh. Aku memandang kesekeliling.
"AAAAAAAAA!!!!!"
Tubuhku melonjak kaget saat mendengar teriakan itu. Dan betapa mengerikannya saat aku melihat diriku yang lain tengah duduk bersandar pada jaring besi. Aku melihat diriku sendiri?
"Fi... tolong aku..."
Pandanganku menoleh pada suara lirih di arah yang berbeda. Keila, seniorku yang lain tengah merangkak kearahku. Salah satu kakinya bengkok dengan arah yang aneh dan bersimbah darah. Di belakangnya ada siluet seseorang yang menghampiri Keila.
Aku tahu kejadian ini.
Tubuhku membeku di tempat dengan kaki yang kaku seperti terpaku di lantai. Bibirku kelu dan pandanganku hanya terkunci kedepan. Jantungku berpacu dengan cepat dan keringat dingin mulai menghiasi seluruh permukaan kulitku.
"Fifian!! Kumohon..." Keila menangis saat menyadari di belakang sudah ada orang yang dihindarinya.
Tangannya merangkak dengan putus asa. Berusaha bergerak lebih cepat menghampiri diriku yang lain yang tengah berada di kurungan jaring besi. Tapi gerakannya tidak lebih cepat dari sosok yang mengerikan itu.
Aku tidak mau melihat ini! Ini paati mimpi. Aku ingin segera terbangun. Siapa saja bangunkan aku!!
"Fifian!" Jerit Keila saat kakinya diinjak sosok itu.
Aku berusaha memejamkan mataku saat menyadari sesuatu yang mengerikan sebentar lagi akan terjadi. Tapi kelopak mataku kaku untuk hanya sekedar berkedip.
"FIFIIAANNN!!!" Jeritan Keila seolah menjadi awal dari penderitaannya.
Sosok itu duduk di punggung Keila. Kedua tangannya menarik tangan Keila agar terbentang di lantai dan menginjaknya. Tangannya kemudian beralih mencengkram rahang Keila hingga mulutnya terbuka. Aku hampir menjerit saat melihat sosok itu memasukan tang kedalam mulut Keila dan menariknya paksa keluar.
"Aaangghhaa!!!" Erangan lara meluncur kala sosok itu masih menarik lidah Keila menggunakan tangnya.
Zrrat!!
Satu tetes air mata meluncur dari kelopak mataku. Tubuhku mulai bergerak karena gemetar rasa takut. Darah mulai mengalir dari mulut Keila, sementara sosok itu melemparkan tang yang masih menjepit lidah perempuan itu.
Pisau yang ada di tangannya mulai menarik garis rahang dari bawah telinga hingga keujung lainnya. Membuat darah kembali mengalir dari sana. Tapi luka menyayat itu tidak dalam karena aku melihat Keila masih dapat bergerak karena rasa sakit.
Jleb!
Aku ingin memejamkan mataku saat pisau itu menancap di salah satu mata Keila. Lalu menariknya dan membentur-benturkan kepala Keila berkali-kali kelantai. Menimbulkan bunyi dentuman keras.
Kulirik diriku yang lain yang tengah menggoyang-goyangkan kurungan jaring besi itu. Aku tahu apa yang sedang dilakukan. Karena saat itu aku berharap kurungan yang kuyakini lift itu segera beranjak kebawah. Hingga akhirnya merosot jatuh.
BRAK!!
Yah, lift yang kugunakan jatuh dari lantai tiga. Tanpa ku inginkan mataku bergerak kembali melirik Keila yang sudah tidak bergerak. Sosok itu sedang berjongkok diantara kedua kakinya. Merogoh-rogohkan tanannya keselangkangan yang bersimbah darah itu.
Aku ingin bangun! Siapa pun bangunkan aku.
Ketakutanku makin menjadi saat sosok itu mendongak dan memandangku. Wajahnya tertutupi topeng aneh hingga aku tidak tahu ekspresi apa yang ditunjukannya. Tapi mengerikan saat melihatnya bangun dan berjalan menghampiriku.
Astaga!! Kenapa tubuhku tidak dapat digerakan? Siapapun bangunkan aku! Aku yakin ini hanya mimpi.
Tenggorokanku tercekar saat melihat banyak pisau di pinggangnya. Tangannya yang berlumuran darah terulur kepadaku. Tidak! Aku masih hidup! Aku masih hi-
"Fifian!!"
Aku membuka mataku dengan cepat. Dihadapanku ada Po yang tengah memandangku cemas. Tetesan dari rambutnya yang basah mengenai wajahku. Aroma shampoo dan sabun tercium darinya.
"Kau mengigau panik..." bisiknya cemas.
Tanpa aba-aba aku segera bangun dan memeluknya erat. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Aku takut... Po, aku takut."
●●●
[Zea PoV]
Aku memandang ngeri sosok di depanku. Tubuhku mematung di ambang pintu kamarku. Bagaimana bisa dia ada di sini?
"Dari mana saja kau, istriku?" Tanya Ghias dengan raut wajah bosan. Disamping bocah yang tengah duduk di ranjangku terdapat kucing hitam.
Aku memandang muak pada bocah yang kini berbaring di ranjangku. Jubah kumalnya mengotori bedcoverku.
"Keluar!" Bentakku padanya.
Ghias yang mulai bermain dengan kucing itu terdiam dan menatapku. Mata beriris merah itu memandangku tajam. Tapi aku tidak mengacuhkannya.
Kakiku melangkah masuk kedalam kamar. Menghampiri bocah yang sedang berbaring di ranjangku. Ku tarik tangannya agar bangkit bangun dan menyuruhnya turun. Tapi bocah itu justru berusaha menahan diri. Membuatku harus mengeluarkan tenaga ekstra.
"Kau tidak boleh memperlakukan suamimu seperti ini Zea!"
Gerakanku terhenti. Aku menoleh dan memandang Ghias yang sedang menatapku geram. Tangannya menghentak tanganku hingga terlepas. Balas berbalik mencengkram tanganku dan menarik kasar. Membuatku terhuyung dan jatuh bersimpuh di hadapannya. Darimana tenaga sebesar itu untuk bocah seumurannya?
Ghias mencengkram rahangku dengan tangan kecilnya yang hanya bisa menangkup daguku. Menarik kasar agar wajahku mendekat pada wajahnya.
"Kau harus dihukum, Zea." Bisiknya.
Darimana dia tahu namaku?
[Part 2 End]
Next Chapt ⇨
Typo?
Kalau ada typo kasih tau ya. Biar nao perbaiki nanti :3
Fanvotment please!
See u~ ♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top