※ Part [01] - Pertemuan di hari senja※
A/N: Zea⇧
Tadinya cerita ini mau Nao update bulan juli barengan "KUTUNGGU DUDAMU!" tapi nggak pa-pa kali ya kalau diupdate sekarang ╮(╯▽╰)╭
Warning!: Gore in this Chapter ♥
Masih part awal jadi nggak terlalu sadis~
※※※※※※※※※※※※※※※※※
Pengantin Sang Iblis:
Part [01] — Pertemuan di hari senja
※※※※※※※※※※※※※※※※※
•
•
"Zea... Aahn Zea... Please... A-aahk please Zea.. nggh.. i-it's hurt."
Hampir semua yang ada di dunia ini kotor, tidak terkecuali. Dari apa yang kita makan, sesuatu yang digunakan, air yang kita minum, sampai-sampai udara yang kita hirup. Terlepas dari itu, apa yang kita kerjakan pun adalah kotor. Tidak sepenuhnya seratus persen bersih. Termasuk dunia dimana kita tinggal.
Aku bahkan lupa kapan terakhir kalinya melihat biru cerahnya langit dari atas menara. Tanpa ada awan gelap yang menutupinya maupun kepulan asap dari cerobong pabrik.
"Zeaahh... Aanggh!!"
Seorang wanita yang tangannya terikat terpisah di tiang penyangga tidak henti-hentinya mengerang dan menyebutkan namaku. Tubuhnya yang telanjang dan terbaluri oleh cairan merah, mengkilap saat terkena cahaya remang lampu. Bau amis dan busuk mulai menyebar dari luka-luka yang terdapat di kulit langsat itu. Membuat ruangan ini memiliki udara yang tidak sedap.
Namaku Zea. Hanya Zea, tanpa nama belakang ataupun nama keluarga. Aku merupakan anak angkat seorang mucikari sekaligus pemilik bar terkenal di distrik kami. Meski pun ibuku merupakan seorang mucikari, dia tidak pernah membiarkanku untuk terjun dalam bisnisnya. Dia bahkan melarangku untuk berkeliaran di kantornya dan terlibat dalam pekerjaan. Kecuali untuk saat ini.
"Zeaahh..." Lagi. Perempuan berambut blonde itu menyebut namaku lagi dengan suara paraunya.
Aku hanya terdiam menyaksikan semua ini. Berdiri di belakang ibu yang tengah duduk di single sofanya. Membiarkan anak buahnya menyiksa perempuan itu hingga sekarang.
"Ck!" Aku melirik ibu yang berdecak kesal. Jemari dengan kuku berkutek pink itu menyisir helaian surai coklatnya. Bibir penuh yang berpoles lipstik merah itu berkata, "Jahit bibirnya yang dengan lancang memanggil putraku!"
Alfred, pria berusia lima puluh dua tahun yang merupakan pelayan kesayangan ibu, mengangguk patuh. Diulangnya perintah ibu pada bawahannya. Seorang pria berusia dua puluhan yang segera mengambil jarum jahit berukuran besar. Sementara seorang perempuan—yang kuyakini pekerja ibu—dengan pakaian minim, mengambil sebuah kotak di dalam lemari. Perempuan itu melangkah menghampiri ibu.
"Momy ingin menggunakan apa untuk menjahit bibir Laudy?"
Di dalam kotak yang ditunjukannya terdapat beberapa benda lentur dan panjang yang bisa digunakan untuk menjahit. Dari jarum, benang biasa, senar, sampai kawat tipis.
"Hmm... Zea, menurutmu bagusan yang mana?"
Ibu mendongak kearahku dengan jari telunjuk kanannya yang berada di dagu, sementara tangan kirinya terlipat di bawah dada. Dari posisi seperti ini aku dapat melihat belahan dada berukuran 36D yang ditangkup bra hitam.
"Senar." Jawabku singkat.
Ibu kembali menoleh dan mengangguk pada perempuan itu. Perempuan itu menyerahkan gulungan senar pada rekan prianya yang sedang memegang jarum. Menyiapkan alatnya sebelum menjahit bibir Laudy, perempuan yang tengah di siksa kini.
"A-apa yang akan kau lakukan?" Laudy bergetar saat perempuan yang merupakan anak buah ibu mencengkram dagunya. "Ti-tidak! Hentikan... Zea! Zea, please help me!!"
Sebelumnya, kedua bola mata bermanik jade yang indah milik Laudy telah ditusuk sumpit oleh ibu. Membuat perempuan itu kini tidak dapat melihat lagi apa yang akan terjadi. Darah yang keluar dari sela kelopak matanya terlihat seperti air mata.
"UNGGHHH!!"
Aku tidak dapat melihat bagaimana bibir Laudy yang sedang dijahit karena dua orang itu menutupinya. Selain itu, ibu yang bangkit berdiri dan menarikku keluar dari ruang eksekusi membuatku tidak dapat menonton semua ini. Karena ibu segera mengakhirnya.
"Jual dagingnya ke pasar gelap di ujung distrik!"
Pintu besi itu tertutup setelah kami berdua keluar. Tangan berjari lentik ibu masih menggenggam lenganku dan menariknya menjauhi ruangan itu. Berjalan menuju anak tangga, meninggalkan ruang bawah tanah ini.
"Dasar jalang tidak tahu diri!" Gumam ibu dengan bibir mengerucut.
Aku tersenyum melihatnya. Mengulurkan tangan dan mengusap kepala wanita yang tingginya hanya sedadaku ini. Dia melirikku dan menggembungkan pipi dengan manisnya. Tidak akan ada yang percaya jika wanita ini berumur tiga puluh enam tahun. Siapa pun akan menyangkanya berumur dua puluh delapan tahunan.
"Jangan mau didekati mereka lagi Zea." Rengek ibu dan menggelayut di lenganku. Kakinya yang terbalut pump membimbing kami menuju ruang makan.
"Tidak akan, bu." Kukecup puncak kepalanya.
Ibu selalu melarangku untuk dekat dan menjalin hubungan dengan salah satu pekerjanya. Dia bilang, aku hidup bersama seorang jalang dan banyak jalang yang berkeliaran di sisiku, setidaknya ia ingin aku bersama dengan wanita baik-baik. Dan itulah mengapa Laudy di hukum, wanita itu berniat memperkosaku saat aku berkunjung ke asrama pekerja ibu.
Sesampainya di ruang makan, aku langsung duduk di bangku utama sementara ibu meminta koki menghidangkan makanannya. Wanita itu segera duduk di pangkuanku saat makanan sedang ditata diatas meja. Jangan salah sangka, meski dia intim terhadapku, ibu tidak pernah bertindak lebih jauh selain mencium pipiku. Duduk di pangkuanku adalah kebiasaannya sejak aku menginjak usia lima belas tahun.
Sesekali tangan ibu menyuapiku meski aku masih bisa makan sendiri walau sambil memangkunya. Tubuh mungil ibu tidak begitu berat, dia justru sangat ringan dari semestinya. Kami makan dalam keadaan hening, hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang mengisi kesunyian.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" Ibu mulai membuka percakapan.
"Baik." Jawabku singkat. "Bagaimana dengan pekerjaan ibu?"
"Seperti biasa, makin banyak para pria kaya dengan hati bercabang yang datang dari distrik lain untuk bersenang-senang."
Banyaknya pelanggan yang datang dari distrik lain karena asal tempat mereka tidak sebebas di distrik ini. Dimana bar dan rumah bordil dibuka secara terang-terangan tanpa takut ada petugas sipil yang meringkus. Dan distrik ini pun salah satu tempat yang di sebut surganya prostitusi. Mereka tidak akan pernah ditangkap karena pekerjaan mereka jika di sini.
Tapi tidak semua distrik ini merupakan tempat-tempat seperti itu. Hanya saja seperempat bagian dari distrik ini sudah seperti pasar malam para manusia yang haus belaian.
"Bagaimana dengan para pekerja di asrama?" Tanyaku lagi. Meraih gelas yang berisi air putih dan menegaknya.
"Buat apa kau menanyakan para jalang itu? Gara-gara kau sering berkunjung keasrama, kau hampir saja diperkosa salah satu dari mereka." Ibu mendengus sebal dan menggigit garpunya. Membutnya nampak imut saat menatapku sebal dengan gaya seperti itu.
"Mereka tetap temanku. Bukankah ibu yang memperbolehkanku berteman dengan siapa saja, termasuk para pekerja ibu." Kulingkarkan tanganku di pinggangnya dan mengecup pipinya.
Ibu memang tidak pernah melarangku berteman dengan siapa saja asalkan mereka memang pantas untuk dijadikan teman. Dia bahkan seperti seorang ibu pada umumnya. Mengajariku beberapa hal dan memarahiku layaknya seorang ibu jika aku berbuat kenakalan. Diluar dia disebut mucikari, tapi di dalam rumah ini, bahkan setiap saat ada di sampingku, dia hanyalah seorang ibu.
"Hmm... tapi kau jangan jatuh cinta pada mereka." Lagi, ibu memperingatkan. "Aku ingi kau bersama orang yang menjadikan kau pertama dan terakhir untuknya. Yang tidak akan menjual apa yang menjadi milikmu, yaitu dirinya sendiri."
Aku tersenyum lembut dan mengangguk. Kuputuskan menyudahi makan malamku yang baru habis setengah, dan memperhatikan ibu yang masih melanjutkan makan malamnya.
"Nyonya!"
Alfred, tanpa diundang muncul mengganggu makan malam kami. Ditangannya telah tergantung mantel bulu berwarna putih milik ibu. Tanda jika wanita ini harus kembali ke bar.
"Apa kau akan keluar malam ini?" Ibu menegak air minumnya sebelum turun dari pangkuanku.
"Tidak. Aku akan langsung tidur saja setelah menyelesaikan tugasku."
Wanita itu mengangguk dan mencium pipiku. "Have a nice dream, baby."
Kuperhatikan tubuh setinggi 158cm itu melesat menghampiri Alfred. Dengan gerakan gemulai tangannya menulusup kedalam lengan mantelnya. Menutupi tubuhnya yang semula hanya terbalut minijeans dengan boots selutut dan bra hitam. Aku tersenyum tipis saat wanita itu mengibaskan rambut coklatnya keluar.
"Aku berangkat dulu baby." Teriaknya sambil berlalu diikuti Alfred dan dua anak buah ibu lainnya.
Aku menghela nafas dan memanggil Nani —kepala pelayan di rumah ini— untuk membereskan sisa makan. Bangkit dan melangkah pergi menuju lantai dua di mana kamarku berada. Sesampainya di sana aku tidak melakukan seperti apa yang aku bilang pada ibu. Aku duduk di kursi di balkon kamarku, menatap langit yang dihiasi beberapa bintang. Menikmati hawa dingin angin malam yang memeluk begitu erat.
●●●
Ketukan sepatu menggema saat aku memasuki ruang utama asrama pekerja ibu. Tempat di mana para prostitusi tinggal pada siang hari. Setelah tadi menyapa Beny dan Gio —penjaga asrama— kini aku di sambut wanita bertubuh subur, Cecilia —pengurus asrama. Wanita itu segera tersenyum saat menghampiriku, memeluk tubuhku yang membuatku dapat mencium aroma parfumnya yang menyesakkan.
"Oh, syukurlah kamu baik-baik saja Zea. Kuharap wanita itu telah dikirim ke neraka oleh ibumu." Ucapnya setelah melepaskan pelukannya.
Cecil adalah salah satu orang yang mengetahui kejadian penyerangan Laudy terhadapku. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Membiarkan wanita itu menarikku menuju ruang tengah di mana para pekerja biasanya sedang berkumpul siang hari.
"Oh, Zea! Aku merindukanmu!!" Suri segera melemparkan tubuhnya yang segera kutangkap dalam pelukan.
Perempuan yang baru saja pergi selama seminggu ini karena disewa untuk diajak liburan oleh pelanggan setianya akhirnya terlihat lagi di tempat ini. Salah satu pekerja ibu yang dekat denganku.
"Halo Zea, tumben baru datang kemari jam segini?" Tanya Rose yang sedang tiduran seraya menonton TV. Di sampingnya Demian sedang mengemil setoples kacang.
Yang menjadi pekerja ibu bukan hanya perempuan saja. Pria manis seperti Demian sampai pria perkasa seperti Tea juga ada. Sayang sekali pria seksi itu sedang di sewa seorang janda pemilik sebuah kapal pesiar.
"Tadi ada pelajaran tambahan dari Mr. Smith." Ujarku dan ikut duduk bersama mereka.
Demian bersiul. "Profesor seksi itu? Tanyakan kapan dia akan mampir ke bar lagi."
Cecil segera menempeleng Demian yang membuat aku, Suri, dan Rose tertawa melihatnya. Semuanya tahu bahwa Cecil mengincar profesor tampan itu, tapi sayang Mr. Smith hanya akan melirik yang ramping. Padahal Cecil cukup cantik.
"Tumben sepi sekali." Aku melihat kesekeling. Tidak ada siapa pun yang berkeliaran di gedung besar ini.
"Semuanya memutuskan untuk tidur empat jam sebelum bersiap-siap bekerja nanti." Jelas Suri.
Aku mengangguk mengerti. Kami berbincang-bincang seperti biasa seraya menonton TV. Acara yang sedang marak kali ini adalah berita tentang kaburnya penjahat di penjara D'fruk. Penjara yang terletak di pulau yang dikarantina.
Kabarnya penjahat itu berhasil mengelabui penjaga dengan masuk kedalam truk pembawa sampah. Membunuh lima polisi yang berhasil mengenalinya dan berpindah-pindah dari satu distrik ke distrik lain.
"Cecil, barang baru sudah datang." Keila yang baru datang mengintrupsi acara mengobrol kami.
Berdiri di ambang pintu dengan wajah kantuknya. Dibelakangnya terdapat tiga perempuan lain yang baru kali ini kutemui. Mungkin itu barang baru yang dimaksud Keila, atau lebih tepatnya calon prostitusi.
Cecil memerintahkan agar ketiga perempuan itu menghampirinya dan membiarkan Keila pergi. Dua diantaranya memiliki penampilan yang mencolok, satu bersurai biru dan satu lagi bersurai pink. Ya, pink cerah layaknya permen kapas.
"Perkenalkan diri kalian." Perintah Cecil.
"Xui." Ucap perempuan berambut hitam yang dicepol dua.
"Fi-Fifian." Perempuan berambut pink terlihat gugup.
"Po." Ucap perempuan terakhir dengan rambut biru.
"Hah?" Cecil, Demian dan Suri berseru bersamaan.
"Po. Namaku Po." Ulangnya lagi.
Suri dan Demian terkikik entah kenapa. Mungkin karena nama perempuan itu. Sementara Cecil hanya menggedikkan bahu cuek. Wanita bertubuh subur itu bangkit dari duduknya.
"Ayo, aku akan mengantar kekamar kalian dan menjelaskan apa saja yang harus kalian la—"
"Rambutmu berwarna tembaga?" Seru Po tiba-tiba memotong perkataan Cecil. Perempuan itu segera menghampiriku dan membungkuk. Jemarinya mengambil sejumput rambut dan bergumam, "Keren. Ini warna asli?"
"Kau! Lancang sekali menyentuh Zea." Suri mendorong Po hingga perempuan itu terjengkang kebelakang.
Aku yang tidak ingin ada keributan menghentikan Suri yang masih berniat melancarkan aksinya dan Cecil yang baru ingin beraksi. Kubantu Po bangun dan mengajak duduk bersama kami.
Apa yang dikatakan Po benar, aku memiliki surai berwarna temabaga atau silver, atau mungkin abu-abu. Entahlah aku tidak tahu pasti. Dan warna itu asli. Kulitku pun putih halus yang lagi-lagi membuat Po memuji kagum. Perempuan itu polos sekali.
"Dengar, dia adalah anak dari nyonya. Atau calon momy kalian." Jelas Cecil setelah Po puas memujiku. "Namanya Zea. Zea mungkin tidak masalah jika kalian dekat dengannya, karena baginya semua yang ada di sini adalah teman. Maka dari itu kalian jangan berbuat lancang dan macam-macam apalagi berpikir jatuh cinta padanya. PAHAM?"
Ketiga perempuan itu mengangguk serempak saat Cecil membentak di kata terakhir. Lalu dia membawa ketiganya pergi. Jujur aku sedikit tidak suka dengan perkataan Cecil tadi.
"Cih, dasar perempuan tidak tahu sopan santun." Sungut Suri yang membuat Rose tertawa.
Aku hanya tersenyum. Bangkit berdiri dan menyambar tas yang kubawa tadi.
"Mau kemana Zea?" Tanya Demian.
"Pulang." Jawabku singkat lalu pergi setelah pamit.
Langit sudah senja saat aku keluar dari gedung asrama. Aku memutuskan untuk memutar jalan dari biasa yang ku lewati karena saat jam pulang kerja seperti ini jalan raya sangat ramai. Aku tidak suka berjalan di trotoar dengan kepulan asap kendaran di setiap langkahnya. Maka aku pun melewati gang-gang diantara gedung.
Sebuah tanah kosong sepanjang dua ratus meter dibelakang sebuah gedung menyambutku saat aku keluar dari gang. Sinar senja berwarna oranye menerpa tanah kosong bererumputan kering. Membuatnya terlihat seperti ladang gandum emas.
Aku berjalan mengikuti bayanganku melewati tanah kosong ini. Kurasakan angin berhembus menimbulkan suara dari rerumputan yang saling bergesekan. Bibirku mengulum senyum menikmati hembusan angin di sore hari yang cukup segar.
Kakiku melangkah ringan masih mengikuti bayangan. Lagi-lagi angin kembali berhembus, hanya saja kali ini membawa bau aneh. Dan kusadari itu bau amis saat angin kembali berhembus.
Perasaanku yang tidak enak, membuatku mempercepat langkah. Aku akan kembali memasuki gang diantara gedung setelah melewati tanah kosong ini lalu memasuki perumahan. Namun langkahku terhenti setelah melangkah sekitar seratus meter.
Suara isakan tangis membuatku menengok kesekeliling. Tapi yang ada hanya tanah kosong dengan rerumputan tinggi dan beberapa pohon tersebar ditengahnya.
"Hiks... hiks... hiks."
Suara itu kembali terdengar di tanah kosong itu. Penasaran, aku pun melangkah keluar dari jalan bebatuan menuju tanah kosong. Melangkah menembus ilalang setinggi paha mengikuti suara tangis tadi.
Semakin terdengar suara tangis tersebut, semakin hilang bau amis saat angin berhembus. Dan setelah berjalan cukup jauh aku terkejut menemukan seorang anak lelaki menangis di bawah pohon. Posisinya yang jongkok membuatku tidak dapat melihatnya tadi. Aku pun membungkuk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut.
"Kamu kenapa?"
Anak lelaki itu melonjak kaget dan menghentikan tangisannya. Kepalanya mendongak menampilkan sepasang iris berwarna merah dengan pipi yang basah karena air mata. Tubuhnya terbalut jubah hitam yang aneh.
Dia masih diam menatapku. "Kamu kenapa menangis?" Tanyaku ulang.
"Hiks... ti-tidak ada yang mau main denganku." Jawabnya dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa begitu? Lagi pula ini sudah sore, kenapa kamu tidak pulang saja."
Bocah itu menggeleng pelan. Tangan berjemari kecilnya berusaha menghapus jejak air mata di pipinya. Melihat itu aku merasa kasihan. Kuselipkan kedua tanganku diantara lengannya, dan mengangkat tubuhnya untuk kugendong.
"Siapa namamu?"
Kugendong disebelah tangan dan membantu menghapus jejak air matanya dengan tanganku yang lain. Dia menatapku sejenak sebelum membalas.
"Ghias. Namaku Ghias."
"Kalau begitu kakak akan menemanimu bermain sebentar. Tapi setelah itu kamu kakak antar pulang ya?" Aku tersenyum saat melihat Ghias tersenyum dan mengangguk dengan semangat.
"Kalau gitu kita main gulat ya kak." Ucapnya dengan cengiran.
Aku menatapnya heran dan masih mengulum senyum. Kurasakan tangan kecilnya memegang tengkukku. Dan merasakan semakin lama cengkramannya mengeras.
"Kakak tidak mau itu. Bagaimana kalau kita main rumah-rumahan." Usulku membuat Ghias menatap heran dan melepaskan tangannya dari tengkukku.
"Rumah-rumahan?"
Aku menganggukkan kepala dan menurunkan Ghias dari gendonganku. Sementara bocah itu masih menatapku heran.
"Iya, aku jadi ayahnya kamu jadi anaknya." Jelasku.
"Aku tidak mau jadi anak!" Ucap Ghias itu menghentakkan kakinya sebal.
Aku tertawa melihat bocah lelaki berumur sepuluh tahun yang memberenggut dengan menggemaskan di depanku ini. Kuulurkan tangan, dan mengusap puncak kepala bocah berjubah hitam itu. Rambut hitam panjangnya terasa halus di kulit tanganku.
"Kalau begitu, kau mau menjadi apa?" Aku membungkuk dengan tangan yang bertumpu pada lutut. Pertanyaanku disambut seringaian oleh Ghias.
"Aku ingin menjadi suami, dan kau istrinya!"
Aku sedikit terhenyak saat mendengar itu. Tapi karena tidak mengambil pusing aku pun menganggukinya. Ghias bersorak girang yang membuatku terkekeh melihat sikapnya.
"Oh iya, aku ingin kakak berjongkok!" Pinta Ghias yang segera kulakukan.
Tanpa kuduga bocah itu menangkup wajahku dan mendekatkan wajahnya. Menempelkan bibirnya di bibirku, dan itu berlangsung cukup lama.
Ghias tersenyum setelah menjauhkan wajahnya. Tangannya masih tetap menangkup wajahku. Aku masih terdiam karena shock. Apa ciuman pertamaku baru saja diambil bocah lelaki berumur sepuluh tahun?
"Sebagai tanda kalau kita sudah resmi menjadi pasangan suami istri." Ucapnya riang.
Dengan cepat Ghias kembali mencium bibirku. Aku sangat kaget saat dia mengulum bibir bawahku dan menggigitnya. Menbuatku refleks mendorong bocah itu hingga terjengkang. Kurasakan wajahku memanas saat menggosok kasar bibirku.
Ghias meringis dan mengusap pantatnya. Tapi bibirnya masih membentuk seringaian.
"Kenapa kau mendorongku?" Tanyanya dan menghampiriku.
Aku yang berniat bangun justru jatuh terduduk kebelakang. Sedikit ngeri dengan gelagat bocah di depanku kini. Ghias menaruh tangannya di atas lututku yang sukses membuat bulu kudukku berdiri.
"Sebagai istri yang baik tidak seharusnya menolak suami. Kau juga tidak boleh selingkuh, karena kau hanya milikku." Seringain Ghias menghilang diganti tatapan tajam. "Baru ciuman saja kau sudah mendorongku, apalagi nanti. Saat kita melakukan..."
Aku merasa tidak enak dengan hawa anak lelaki ini. Dia pasti bukan bocah biasa. Dan mataku terbelalak saat Ghias mengucapkam satu kata tidak terduga untuk melanjutkan kalimatnya.
"...sex."
Bugh!
Aku menendang Ghias dan bangkit untuk segera pergi. Mengacuhkan fakta bahwa aku baru saja menendang seorang anak kecil. Aku berlari keluar dari tanah kosong ini. Berlari menuju gang yang tadi ingin ku tuju hingga akhirnya aku keluar dari gang dan tiba di daerah perumahan. Nafasku terputus-putus dan tanganku masih gemetaran.
Kudongakan kepalaku dan ada beberap orang yang berlalu lalang yang melihatku cemas, namun mereka segera cuek ketika tahu aku sudah bisa bernafas lega. Aku mendongak dan baru kusadari langit sudah gelap. Tidak kusangka jika bersama bocah tadi cukup lama.
Mengingat Ghias membuatku kembali bergidik ngeri. Kugelengkan kepalaku untuk mengusir kejadian tadi. Semoga saja aku tidak bertemu dengannya lagi.
[Part 1 End]
Next Chapt ⇨
oh iya ada yang tau warna rambut Zea itu nama.a apa? ╯ 3╰
Nao bingung~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top