Bab 9
Cobaan Gendhis berhubungan dengan Emran tak usai begitu saja. Ibunya melemparkan perwaliannya untuk mengambil raportnya pada Emran. Sudah berangkat dan pulang selalu di antar jemput, sekarang pun kelemahannya terhadap pelajaran juga harus dibuka.
Emran juga kenapa datang ke sekolah memakai kemeja biru tua serta celana kain hitam di padukan sepatu mengkilat. Emran berdandan seperti orang yang hendak ke kantor. Apalagi ditambah kaca mata hitam yang meresahkan itu. Wali kelasnya saja sampai terpesona, karena Emran datang membawa mobil hitam mengkilat. Gendhis tahu pesona suaminya begitu kuat terlebih pada kaum wanita, mulai dari guru, wali murid sampai siswa. Untungnya Para kawannya Cuma tahu kalau Emran adalah abang Gendhis.
“Abangmu tambah cakep.” Sejak sering di antar pulang, Mitha menjadi fans garis keras Emran. Apa yang menarik dari sosok Emran, Cuma tampan tapi akhlak nol. Mereka tak tahu kalau Emran itu pedofil, bernafsu sama anak di bawah umur belum lagi pekerjaan Emran begitu misterius. Kerja belum ada setahun tapi pria itu sanggup memberinya uang banyak serta membeli mobil baru. Begitu-begitu Gendhis juga pernah naksir dulu.
“Dia kapan punya istrinya?” tanya Nur menambahi. “Aku lulus SMA saja terus nikah sama dia, gak apa-apa. Aku ikhlas lahir batin.” Gendhis yang tak ikhlas jika harus dimadu dengan kawannya.
“Dia Dulu sempat mau nikah tapi gagal.”
Mitha dan Nur langsung merapat ke arah Gendhis.
“Yang bener kamu. Kesempatan kita dapatin abang kamu masih terbuka lebar.” Sayangnya Kesempatan mereka tak sengaja Gendhis hanguskan.
“Eh siapa yang bilang. Bang Emran sudah punya calon istri, berkali-kali lipat lebih cantik dari kalian.” Gendhis tersenyum culas. Yang dimaksudnya adalah dirinya sendiri. Tak apa narsis sedikit. Tak jelek jadi istri Emran, hanya ia keberatan jika harus melayani pria itu di ranjang.
“Gendhis ayo pulang.” Panggil Emran dari kejauhan dan istri kecilnya langsung pamit meninggalkan temannya dengan perasaan dongkol. Khusus untuk hari ini Gendhis tak menyediakan tebengan. Berdua di dalam mobil tidak menakutkan lagi. Sejauh ini Emran tak berani menyentuhnya tanpa ijin.
🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒
Buku bersampul biru, kumpulan nilai raportnya sudah tergeletak di meja. Menyisakan Emran yang menyilangkan tangan serta duduk berongkang-ongkang kaki. Mata pria itu sejak tadi terus mengawasi Gendhis yang duduk di seberang. Jaraka keduanya Cuma terhalang meja kayu persegi panjang. Gendhis tahu sebentar lagi ia akan menghadapi sidang paripurna.
“Nilai raport kamu jelek. Kata gurumu, kamu suka tidur di kelas dan juga ijin ke toilet tapi melimpir jajan ke kantin.”
Gendhis yang didudukkan sebagai terdakwa, Cuma mengalihkan pandangannya ke atas untuk menatap ternit. “Kamu juga pernah bolos.” Rupanya wali kelasnya memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk bersama dengan suaminya. Semua bobroknya di kuliti hingga tak tersisa. “kalau kamu begini terus, kamu gak bisa ke perguruan tinggi nanti.”
“Memang aku gak niat buat kuliah. Aku itu capek mikir.”
Emran menarik nafas mengumpulkan kesabaran. Gendhis memang tidak pintar, tapi bukan tolol. Anak ini memang sejak kecil tidak suka sekolah dan belajar namun di masa depan jika Emran melepasnya. Gadis ini harus punya pegangan serta bekal. “Kalau cuma lulus SMA, mau jadi apa kamu?”
Gendhis benci jika ada orang yang menganggap pendidikan rendah bermuara pada masa depan yang suram. “Jadi penjaga toko atau kasir juga bisa. Kebetulan alfamart dan indomaret selalu buka cabang.” Bahu Emran merosot. Gendhis tidak akan pernah sejalan dengannya di masa depan. Bagaimana Emran bisa tahan dengan perempuan yang tidak mau belajar dan kabur setiap menghadapi matematika.
“Cita-cita kamu Cuma sebatas itu? "
“Cita-cita Gendhis yang utama itu bahagiain Ibuk, sisanya urusan Tuhan.”
Gendhis melipat tangan lalu menaikkan dagu. Tak ada yang salah dengan cita-citanya. Cita-cita yang sangat sederhana tapi terkesan dalam. Emran boleh mengambil kegadisannya tapi bukan masa depannya. Pria ini harus berhenti mengurusi Gendhis ketika lulus sekolah nanti.
“Gimana mau bahagiain Ibu kalau kamu kerjanya Cuma kasir.”
“Ibu gak matre, dia dapat baju baru aja udah bahagia.”
Emran mengembungkan pipi, untuk menarik pasokan oksigennya ke luar. Munah bertambah tua, tenaganya sudah terkuras habis karena kebanyakan kerja di masa muda. Wanita paruh baya itu sering sakit dan mengeluh dadanya sakit. Emran berusaha menyembunyikan keadaan Munah dari Gendhis.
“Tapi ibu bakal sedih kalau nilai kamu jelek, sekolah yang dia usahakan ternyata gak menanggapinya dengan serius. Ibu bekerja keras untuk biaya sekolah kamu, tapi kamu-nya malah suka ninggalin pelajaran.”
Gendhis langsung menunduk sebab sadar akan sesuatu. Ia bisa seenaknya tanpa memikirkan perasaan sang ibu. Mungkin selama setahun terakhir biaya sekolahnya, Emran yang ambil alih tapi bagaimana sebelum itu. Ibunya suka memijit tangan, kakinya karena pegal. Gendhis suka melihat ibunya jika malam selalu menangis dalam doa, menginginkan yang terbaik untuk Gendhis.
“Kamu bilang pingin membahagiakan ibu tapi kamu sudah buat kecewa dia duluan.” Perkataan lanjutan Emran membuat air matanya turun. Gendhis selalu menjadi cengeng jika menyangkut masalah ibunya.
Gendhis merasakan sapuan jemari pada bawah matanya. Kepalanya tersentak mundur setelah tahu jempol siapa yang menghapus air matanya. “Ini ada tisu, kalau gak mau abang sentuh.”
Gendhis mengambil tisu yang Emran beri. Pikirannya berkecamuk sekarang. Yang Emran nasehatkan semua benar. Bahwa hidupnya yang main-main harusnya disudahi ketika ia setuju untuk menikahi pria ini. Tubuhnya bukan miliknya sepenuhnya. Masa depannya dipaksa berbaur dengan Emran yang akan turut andil di dalamnya.
“Terus Gendhis harus gimana?”
“Ya berubah. Berubah dimulai dari meningkatkan nilai-nilai kamu.” Emran mengambil duduk di atas meja lalu dengan lembut memandang sang istri.
“Abang akan cariin guru les, kamu bisa belajar secara privat.”
Guru les pribadi. Dahi gendhis mengerut dalam. Emran selalu mengusahakan yang terbaik untuknya. Karena perhatiannya itu Gendhis perlahan tersentuh, membuka diri dan mencoba untuk tak jijik lagi. Setidaknya mereka bisa berjabat tangan sebagai teman. Bayangan mereka berpasangan bisa dipikirkan nanti. Toh Gendhis tidak yakin akan menua bersama Emran.
🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊🍊
Bisnis yang Emran jalani berkembang pesat. Ia merenovasi arena gelanggang menjadi lebih besar dan memiliki dua lantai. Untuk lantai atas yang luas sekali, ia tak berpikir mau dijadikan apa selain tempat sasana tinju. Senjata yang Emran jual pun laris karena harganya lebih murah dari senjata dengan lisensi resmi. Yang paling mencengangkan adalah bisnis ganja. Tanaman kering itu terjual dengan cepat dan mudah. Emran sendiri ingin membeli kebun untuk menanam ganja di pulau sumatra, tapi niatnya agak terhambat karena belum bisa bepergian jauh meninggalkan istri dan juga bisnisnya di sini.
Kesuksesan dan kemandirian Emran dicium oleh ayah biologisnya, Ferdinant Ang. Pria paruh baya itu terusik, merasa jika Emran harusnya tak terlihat agar dosanya di masa lalu juga ikut terkubur. Keberadaan Emran yang semakin maju membuatnya resah. Bagaimana kalau anak itu sukses besar lalu menjadi sorotan. Wajah Emran bak pilang di belah dua dengan dirinya pada masa muda. Orang-orang pasti menyadari bahwa Ferdinant pernah berhubungan dengan pelacur rendahan hingga melahirkan anak jadah.
Maka dengan muka sombong serta congkak, ia secara pribadi mengunjungi putra sulungnya. Ferdinant berdiri di depan arena yang lebih mirip stadion ini lalu mendongakkan wajah ke langit. Anak yang tak diharapkannya menjadi pemilik tempat ini padahal Emran dulu berusaha ia singkirkan dan jatuhkan. Yang membuat hatinya merasa tak terima adalah Emran berhasil dengan usahanya sendiri melampaui dua putra sah-nya yang bodoh dan lemah itu.
Begitu masuk dan menapakkan kaki. Ferdinant merinding ketika mengawasi arena tarung. Bukan rahasia lagi Emran adalah juara bertahan di pertandingan bebas itu. Putranya bertahan hidup dengan menggadaikan keberanian serta nyawa, yang harusnya Ferdinant beri acungan jempol.
“Mau apa kamu ke sini?”
“Itu ucapan pertama ketika bertemu ayah kandungmu?”
Rambut Ferdinant boleh nampak memutih, namun ketekatan serta pikiran culasnya masih awas. Pria ini datang tanpa diundang dan menjejakkan kaki seperti memiliki tempat ini.
“Baru sadar jika memiliki putra lain?”
“Aku sadar itu ketika kamu lahir.”
Emran geram karena Ferdinant menjawab pertanyaan dengan santai. Sadar ia ada tapi tidak mau mengakui dan membiayai. Bahkan kunjungan Terakhir Emran membuahkan sakit hati tapi karena penghinaan itu juga Emran bisa jadi seperti sekarang ini.
“Nama baikku akan tercemar jika mengakuimu sebagai anak.”
Emran tersenyum pahit. Pria ini adalah pria yang sangat egois, pria yang tak punya hati, bahkan setua ini pun masih main perempuan. Emran tahu istri sah Ferdinant baru saja meninggal, pria ini mungkin berniat mencari penggantinya.
“Nama baik? Apakah itu masih ada.”
Ferdinant menggeram rendah. Emran adalah satu-satunya putranya yang sangat lencang serta berani bahkan punya potensi untuk menumbangkannya. Ferdinant menggeleng pelan sembari tersenyum iblis. Manusia kotor harus ditempatkan di antara para lumpur. Sekuat apa Emran bangkit maka Ferdinant akan dengan senag hati menenggelamkannya.
“Aku ke sini bukan untuk memperbaiki hubungan kita jadi jangan berharap banyak.”
Sudah Emran duga. Ferdinant menemuinya pasti karena menganggapnya sebuah penghalang.
“Lantas kenapa pria terhormat seperti Anda mau datang? Katakan apa yang Anda inginkan, maka anak Anda yang berbakti ini akan mengabulkannya.”
Ferdinant sadar betul, kata halus yang Emran ucap mengandung sebuah ancaman tersirat. “Aku ke sini hanya memperingatkanmu. Jangan terlalu bertingkah apalagi mencoba menggapai posisiku. Jangan menunjukkan diri sehingga orang-orang menyangka kita punya hubungan dekat.”
Emran menganggapinya dengan tawa terbahak namun terdengar begitu pedih dan sarat akan luka yang tak kasat mata.
“Anda meminta saya untuk mundur dari posisi saya yang sekarang. Apakah Anda takut jika anak haram ini bisa menumbangkan saudaranya. Oh...bukan.” Emran menggeleng. “Anda takut saya akan membalas dendam. Sayangnya saya bukan anak berbakti dan saya sedang mempertimbangkan untuk menjadi saingan Anda.”
Ferdinant kehilangan kesabaran, biasanya kalau sesuatu tak sesuai kehendaknya maka pria itu selalu melemparkan benda apa saja yang ada di dekatnya namun tak ada benda yang bisa dijadikan sasaran amukan. Ferdinant memilih mengepalkan tangan sebagai opsi penyaluran amarah.
“Jangan berani melakukan itu! Mau bersaing denganku? Bahkan kepalamu saja tak pantas menyentuh kakiku. Ku peringatkan, berhenti di sini lalu hiduplah berkecukupan dan damai.”
Emran selalu menginginkan lebih. Di pusara ibunya, ibu berjanji akan hidup sukses dan bisa membayar air mata serta keringat ibunya dengan membalas Ferdinant Ang. “Mengancamku heh? Pergilah dari sini sebelum anak buahku membuangmu seperti yang kau lakukan padaku dulu.”
Ferdinant mengangkat jari telunjuk siap menghardik Emran tapi pria itu malah bersiul sembari melemparkan senyuman culas. Para pria berbadan kekar, sudah merapat ke arah mereka berdua. Ferdinant tahu jika Emran membuktikan ucapannya.
“Tolong usir pria ini.”
Dua orang pria sudah mencekal lengan Ferdinant di kiri dan kanan. “Aku bisa keluar sendiri!” teriaknya murka.
“Lepaskan dia dan awasi pria tua ini sampai ke pintu ke luar.”
Ekspresi Emran berubah jadi dingin dan muram ketika melihat ayah kandungnya di giring ke luar. Semakin tua, pria itu tak berubah malah semakin kejam dan seperti anak-anak yang selalu meminta permintaannya dituruti. Emran awal mulanya Cuma mau sukses tapi ancaman Ferdinant mengubah arah pikirannya. Pria tua bangka itu harus membayar air mata, penderitaan, dan keringat ibunya sampai lunas.
🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top