Bab 7
Pernikahan keduanya tak ada yang istimewa. Gendhis melaksanakan semua kewajibannya mulai dari menyuci baju, mengurus Emran, menyiapkan makanan tapi tidak mau memenuhi kebutuhan rohani pria itu. Emran maklum karena tahu awal mereka menjalin hubungan, telah menjawab semuanya.
Sebuah kotak kardus kecil di sodorkan saat Gendhis sedang menyikat baju Emran di kamar mandi rumah pria itu. Awalnya Gendhis meliriknya malas namun terbelalak saat mengeja tulisan yang tertera.
“Ini buat kamu.”
“Beneran?” Sebelum menerima hadiah Emran. Gendhis terlebih dulu mengelap tangannya yang di penuhi sabun. “Ini kan ponsel keluaran terbaru.” Tentunya hanya beberapa anak yang punya di sekolahnya. Gendhis girang lalu perlahan keceriaannya turun digantikan tatapan curiga.
“Iya.Inih terima.”
“Abang gak minta imbalan lain kan?” Banyak gadun di luar sana menukar gadis belia dengan barang mwwah sejenis ini. Gendhis tak akan jadi salah satunya. Harga dirinya terlalu mahal jika ditukar dengan ponsel tapi ia berpikir lagi. Harga dirinya di mana ketika sudah tidak perawan. Ia menggeram pelan ketika ingat itu.
Emran mendesah kecewa, sebab sebulan setelah mereka menikah. Gendhis masih tidak percaya padanya bahkan sampai sekarang gadis ini tetap tak mau disentuh. “Ambil saja. Abang beliin karena katanya ponsel kamu layarnya sudah retak.”
“Iya sih tapi masih bisa dipakai kok.”
“Sudah ganti ini saja. Ponsel kamu juga udah jadul. Abang kasihnya ikhlas.” Emran menggoyang-goyangkan kardus ponselnya. Agak memaksa supaya hadiahnya diterima. Gendhis melihat keseriusan suaminya. Nampaknya hadiah ini bisa diterima setelah insiden penodaan itu. Tetap saja ponsel ini tak sebanding. Gila saja kalau Emran menukar perjanjian mereka dengan hadiah.
“Makasih ya Bang.”
“Uang saku yang abang kasih masih kan?”
“Masih.” Emran memberinya uang saku terlalu banyak. Dua ratus ribu untuk seminggu. Selain itu masih ada uang lainnya untuk memasak. Sebagai ibu rumah tangga baru, Gendhis lumayan punya uang. Sebagai gadis remaja, ia bisa dibilang kaya raya. Mau jajan apa saja juga bisa.
“Kalau butuh apa-apa gak usah sungkan minta. Sekarang kamu tanggung jawab abang. Makan kamu, uang saku, uang sekolah itu semua abang yang nanggung. Kamu ngerti?”
Gendhis mengangguk patuh. Ya jelas begitu, setelah apa yang Emran lakukan semua ini belum sebanding. “Bang, boleh nanyak gak?”
“Nanyak apa?”
“Sekarang abang kerjanya apa?”
Emran mengigit bibirnya pelan lalu tersenyum menampilkan lesung pipitnya.
“Kerjanya ada dan mapan tapi bukan kantoran.” Apa pun itu asal jangan jadi tukang pukul.
“Abang gak bertarung lagi kan?”
“Enggak.”
“Ya sudah.”
Emran berbalik untuk pergi meninggalkan bagian belakang rumahnya. Ia menarik nafas setelah sampai di ruang tamu. Untuk pekerjaannya sekarang Gendhis tak perlu tahu. Anak semuda istrinya tahu apa tentang merintis suatu bisnis. Memang anak itu tahunya apa sih selain main, belajar dan jajan.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Berkeluarga dengan gadis belia itu ada banyak kendala walau tak kentara. Gendhis melaksanakan tugasnya seperti memberinya makan, mencuci, membersihkan rumah walau mereka tidak tinggal satu atap. Emran seperti memperkerjakan orang bukan memiliki istri. Namun sore ini lain, Gendhis masih berada di rumahnya sambil bermain ponsel lalu tertawa cekikikan. Apa yang remaja ini tengah lakukan? Memberikan Gendhis ponsel itu pilihan bijaksana atau tidak. Ponsel membuat anak itu malas belajarkah?
“Kamu masih di sini?”
“Iya soalnya tunggu abang pulang.”
“Kenapa?”
“Mau minta uang. Nanti malam teman-teman ngajak ke pasar malam.”
Emran berdiri lama sembari menatapnya penuh curiga. Ia bahkan belum mandi dan makan tapi sudah ditodong uang jajan tambahan. Ponsel baru memberikan Gendhis pandangan luas dan juga teman yang banyak. Apa teman yang berjenis kelamin pria juga. Gendhis lupa kodratnya sebagai istri atau gadis ini memang menyangkal keras di posisikan sebagai seorang yang telah bersuami. Kalau Emran yang jadi Gendhis, Menurutnya apa bijak memaksakan keadaan pada gadis yang menata rambut saja kesusahan.“Teman cewek apa cowok?”
“Ya campur. Ada cewek, ada cowok.”
Kecurigaannya kian meruncing ketika Gendhis menjawab singkat dan langsung menundukkan pandangan. Tak apa kan memberi kesempatan anak ini untuk bahagia dan menikmati masa muda. Anak seumur Gendhis memang rentan jatuh hati atau pacar-pacaran. Tanpa pikir panjang, Emran mengeluarkan selembar uang yang berwarna merah. “Ini.”
“Makasih Bang.”
Tanpa basa-basi Gendhis langsung meninggalkannya, kembali pulang. Mengenai Gendhis mau pergi bersama siapa biar di urus saja nanti. Toh anak seumur Gendhis bisa apa selain jalan-jalan dan jajan.
🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅
Sehabis adzan Isyak, Gendhis sudah berdandan cantik memakai bedak tipis dan juga kaos biru kesayanagnnya yang bergambar anak beruang. Gendhis melenggang pergi menemui temannya yang menunggu di ujung gang. Gadis yang belum genap berusia enam belas tahun tak sadar sedang di kuntit Emran. Emran tersenyum geli melihat istrinya berjalan riang sembari mencangklong tas yang talinya disampirkan ke bahu namun bibirnya segera merengut ketika tahu jika yang ditemui Gendhis adalah seorang pemuda kerempeng berwajah setengah oriental. Gendhis berbohong, mereka Cuma berdua, berjalan sambil ngobrol.
Sebagian hati Emran merasa terkhianati tapi sebagian lagi merasa kasihan pada Gendhis yang kehilangan masa remajanya. Bukannya wajar anak seusia Gendhis merasakan yang namanya cinta-cintaan, cinta rasa monyet dan jalan-jalan menggandeng tangan lawan jenis. Emran mengikuti istrinya dengan mengambil jarak tak jauh. Dilihat selintas pun Gendhis terlampau bahagia hingga tak sadar jika dikuntit. Emran mau melabraknya pun tak tega. Apa salahnya janjian dengan pemuda ingusan walau batinnya menjerit keras jika yang Gendhis lakukan memang tak pantas.
Dua anak remaja itu Cuma jalan-jalan di pasar malam, naik wahana di sana dan jajan. Kegiatan itu saja bisa membuat Emran kelelahan dan juga memendam kekesalan. Apa enaknya pacaran di tempat ramai seperti ini, jajan es di plastik dan juga makanan yang tak terjamin kebersihannya. Emran mendongak ke atas ketika melihat istri dan sang pemuda yang naik wahana kora-kora. Ngilu jelas menghinggapi tapi kenapa Gendhis malah tertawa sembari menjerit bahagia. Emran jamin akan muntah kalau ia yang berada di sana.
Kedua anak itu pun pulang setelah dua jam berkencan. Sang pemuda mengantarkan Gendhis pulang sembari berceloteh jika lain waktu mereka akan ke sana lagi. Tentu untuk kedua kali Emran tak mengijinkan. Cukup sekali ia melonggarkan aturan. Tapi bagaimana jika nanti Gendhis menangis, merengek lalu marah-marah padanya karena kehilangan masa muda. Amukan Gendhis bisa di pikirkan nanti.
Cupp
Emran membelalakkan mata ketika melihat pemuda itu mengecup pipi sang istri. Ya ia lengah sedikit, sudah kecolongan. Pemuda itu langsung lari terbirit-birit karena malu, meninggalkan Gendhis dengan tangan yang mengelus pipi yang telah berubah menajdi merah. Emran meradang, andai si kerempeng tidak kabur. Sudah pasti Emran akan senang memukul lalu menekuk tubuh si pemuda dan melemparkannya ke got terdekat.
Sayangnya suasana hati Emran kian tak karuan ketika Gendhis malah tersenyum lalu mengamati si pemuda yang berlari semakin jauh. Gadis itu tidak sadar sebuah tubuh besar sudah berdiri murka di belakangnya.
“Habis jalan-jalan?”
“Iya.” Sayangnya Gendhis juga lambat berbalik. “Abang?”
Emran terpaksa tersenyum. “Katanya tadi kamu jalan sama teman cewek sama cowok. Kenapa abang liatnya Cuma satu?”
“Yang lain batalin. Cuma dia yang datang.”
Emran memajukan kepala, hingga kepalanya dengan Gendhis Cuma berjarak beberapa centi. “Kenapa dia gak jemput di depan rumah?”
Gendhis tersentak, lalu mengambil kesempatan untuk mundur. “Abang mata-matai aku?”
Bukan Cuma mematai namun juga menguntit selama beberapa jam. “Kalau laki-laki baik bakal jemput di depan rumah masuk rumah pamit sama Ibu.”
Gendhis merotasi bola mata. Dengan dengusan malasnya, ia seperti menuduh Emran sebagai pria paling buruk. “Aku mau pulang, sudah malam.”
“Yang tadi jangan diulangi lagi.”
Gendhis berhenti melangkah, pikirannya bertarung antara menyanggah atau menurut. Ia Cuma ingin tahu rasanya berpacaran dengan anak seumuran makanya ia menyetujui ajakan Yudi. Kecupan pipi terasa menggelikan tapi lebih baik dari pada ciuman Emran yang brutal.
“Aku pingin ngrasain gimana punya pacar.”
Emran memandang Gendhis kasihan. Semua harusnya bisa Gendhis rasakan sebelum pemerkosaan itu. Selain masa depan, Emran juga menghancurkan impian kecilnya. “Abang tahu kamu masih remaja. Kalau mau pacaran, pacaran sama Abang aja. Kita juga udah halal.”
Mendengar tawaran itu, Gendhis mengernyit jijik. Ia menggeleng tak percaya. Tawaran itu dulu begitu indah dan diidam-idamkan namun setelah kejadian pemerkosaan itu, di sentuh Emran saja Gendhis sudah ketakutan setengah mati. “Makasih Bang. Tapi Enggak deh.” Tak menunggu di suruh pun, Gendhis mengambil seribu langkah untuk berjalan menuju rumah. Berduaan dengan Emran di malam hari bisa dikategorikan keadaan gawat darurat.
🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟🍟
Cerita Gendhis hanya ada di KBM ya. Gak ditempat lain, gak ada ebooknya.
Cerita lain juga ada di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top