Bab 5
Gendhis sadar semalam itu mimpi buruk yang tak diinginkan jadi nyata, tapi ia sudah di hancurkan. Ia sudah doi nodai. Setelah berhasil menyelinap pergi setelah Emran tidur, ia ke kamar mandi lalu mengguyur badannya dengan air hingga menggigil. Dirinya kotor, guyuran air tak mengubah apa pun. Ia sampai di sekolah jam enam kurang karena sengaja kabur meninggalkan rumah lebih awal agar tak melihat wajah Emran atau disuruh ibunya mengantarkan sarapan.
Di sekolah ia hanya melamun sembari duduk, tak berniat mengobrol dengan temannya seperti kebiasaannya ketika datang. Ia juga tidak menyalin PR atau membaca buku pelajaran untuk ilangan nanti. Hidupnya sudah hancur, masa depannya suram. Se-pintar, se-rajin apa pun dirinya, tak ada pria baik, soleh yang mau memperistri seorang gadis yang sudah ternoda.
"Gendhis..."salah satu kawannya datang. "Punya permen mint gak? Biasanya kamu bawa."Gendhis bagai patung, tak memberikan jawaban. "ya sudah aku ambil di tas kamu ya."
Gendhis malah menangis sebab pikirannya berada di malam kelam itu. Ia yakin jika temannya yang ini tahu jika Gendhis bukan gadis, maka tak ada yang mau berteman dengannya lagi. Semua anak sekelas akan menggunjingkannya dan menjauh darinya. "Permennya aku balikan kalau kamu gak mau ngasih tapi jangan nangis." Tangis Gendhis malah semakin kencang ketika melihat temannya menatap ngeri padanya.
"Ambil aja semua permennya. Aku kasih tapi kamu masih mau temenan sama aku kan?"
"Ya Allah Gendhis. Aku tetap mau jadi temenmu walau kamu gak punya permen." Pada akhirnya keduanya malah saling berpelukan dan menangis bersama.
🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅
Emran bangun ketika matahari sudah tinggi. Kepalanya di hantam pening. Ia sudah terbiasa dengan keadaan ini makanya di meja samping tempat tidur selalu ada aspirin sebagai peredanya. Tapi siang ini, keadaannya berbeda. Emran terbangun tanpa busana, dengan keadaan ranjang yang carut marut. Apa semalam begitu panas. Ia ingat menyewa dua pelacur tapi tak mengijinkan keduanya masuk kamar.
Emran pelan-pelan memijit pelipis, menggali ingatannya semalam. Ada suara teriakan seorang perempuan tapi dengan tangannya yang besar, perempuan itu berhasil di bekap. Emran meraba ranjangnya, ada bayangan seorang perempuan kecil yang dibanting di sini. Samar-samar ia menangkap bayangan Gendhis yang menangis.
Emran menggeleng keras demi menemukan ingatannya kembali tapi sekarang semua puzzle seolah menyerang otaknya dan memberikan sinyal yang mengejutkan. Semuanya jelas sekarang, Ia tidak tidur dengan pelacur. Ia menghabiskan malam dengan Gendhis, lebih tepatnya memperkosanya. Gendhis meronta, menolak dan minta di lepaskan.
Emran berusaha melompat dari tempat tidur walau akhirnya terhuyung karena pusing. Ia kembali duduk di ranjang. Matanya menyipit ketika melihat noda darah yang telah mengering. Emran mengumpat sebab tahu darah apa itu. Ia telah menodai Gendhis, ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya.
Ketika Emran sudah lebih sehat, sudah mandi dan bersiap pergi. Rumah Gendhis terkunci. Munah pergi bekerja, Gendhis pasti berangkat sekolah. Emran akan menjemput gadis itu di sekolah dan meeka harus bicara.
🍐🍐🍐🍐🍐🍐🍐
"Ndhis, kakakmu jemput."
Mata Gendhis menyipit. Kebetulan hari ini ia dapat giliran untuk piket. "Kakak siapa?"
"Bang Emran." Gendhis menjatuhkan sapu karena terlalu terkejut. Ia ngeri sekaligus takut karena teringat peristiwa sadis semalam. Gendhis buru-buru mengambil tasnya lalu menarik temannya Mitha untuk pulang. Tanpa peduli jika kawannya yang lain akan marah karena ia meninggalkan tugasnya setengah jalan.
"Kamu mau ke mana. Kok kita lewat belakang? Bang Emran nunggunya di depan."
"Pulang. Nanti aku pulang ke rumahmu dulu sampai ibuku pulang."
"Eh tapi kenapa?" Gendhis bersikap aneh sejak pagi. Kini sahabat Mitha itu menyeret tangannya untuk kabur.
"Udah jangan banyak nanyak!"
Gendhis tidak mau melihat wajah Eman atau bicara pada pria itu. Penyerangan Emran semalam sangat membekas hingga menyebabkan trauma. Ia takut jika tindakan Emran akan terulang lagi. Gendhis akan berusaha sekuat tenaga untuk bertemu dengan Emran tanpa di dampingi orang lain. Untuk mengadukan perbuatan Emran pada ibunya, Gendhis belum mampu. Hati Munah pasti hancur pemuda yang selama ini menjadi kebanggaan dan juga tumpuannya menghancurkan sang putri kandung.
🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒
Gendhis begitu gesit, saat Emran masuk ke kelasnya. Gadis itu sudah raib lewat pintu belakang. Sialan memang, ingin mengajak bicara sulitnya seperti ini. Emran masih diam berdiri di sisi motor sport-nya, ia memegangi helm sembari melihat anak-anak SMA yang berlalu lalang. Saat menengok ke pergelangan tangannya, Emran ingat ada janji. Masalah Gendhis mungkin bisa sampai nanti malam tapi dapatkah ia jujur pada Munah tentang apa yang terjadi. Emran jelas bukan pengecut namun melihat mata Tua Munah berderai air mata sepertinya Emran tak akan sanggup.
Gendhis pulang setelah ibunya lewat di depan rumah Mitha. Dengan alasan belajar kelompok, Gendhis menggandeng lengan ibunya sembari bergelayut manja.
"Kamu kenapa nduk? Mau minta jajan? Gak biasanya manja sama Ibu."
Sayangnya Gendhis menggeleng keras. Saat ini ia hanya butuh rangkulan ibunya untuk pulang lalu mandi dan mengunci diri di kamarnya yang sempit. Gendhis akan mencari beribu alasan untuk menolak perintah ibunya untuk ke rumah Emran.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Kebiasaan Gendhis berubah. Ia berangkat sangat pagi dan pulang menjelang ibunya pulang bekerja. Walau Emran berusaha berkunjung ke rumah atau menunggunya pulang sekolah. Gendhis akan mencari cara untuk menghindarinya. Gendhis bukan lagi gadis yang sama. Ia lebih banyak diam, tidak menyeletuk sembarangan bahkan lebih banyak mengatakan iya. Mitha sendiri menyadari gelagat aneh pada sahabatnya apalagi ia sering melihat Gendhis melamun sembari menangis dalam diam. Kecurigaanya semakin meruncing ketika abang Gendhis datang secara pribadi bermaksud meminta tolong.
Kaki Gendhis terpaku di tempat saat mengetahui siap yang berdiri di hadapannya. Ia memegang erat lengan Mitha sebagai pegangan sampai sang sahabat mengaduh kesakitan.
"Kamu pulang sama abang ya?" tangan Emran sudah mengulur namun Gendhis malah berlindung di belakang tubuh kecil Mitha.
"Ndhis, kakakmu ngajakin kamu pulang."
Mitha hanya bisa menelan ludah karena terjepit dengan keadaan ini. Gendhis menggigit bibir, sebab katakutan bercampur dengan rasa tak enak hati. Ia bingung, memilih berlari kencang atau mengikuti Emran.
"Kita pulang sekalian ngobrol di jalan." Tangan Gendhis yang gemetaran, Mitha elus. Sedang Emran malah meraih lembut lengan Gendhis. "Kita harus bicara." Pegangan Gendhis terlepas. Ia terpaku gemetaran ketika Emran mengajaknya ke temapt motor pria itu di parkir.
"Aku gak mau ikut abang." Sela Gendhis ketika gadis itu sudah punya cukup keberanian untuk berbicara.
"Kamu gak bisa selamanya sembunyi, kejadian beberapa malam lalu adalah sesuatu yang serius." Raut muka Gendhis berubah tajam serta ngeri ketika diingatkan malam laknat itu. "Aku siap kamu pukul, kamu maki kalau itu membuat hati kamu terasa lega."
Namun Gendhis malah terisak.
"Abang tega sama aku."
"Abang jahat, abang brengsek, abang binatang! Harusnya itu yang kamu katakan." Bahu Gendhis turun naik. Emran mengambil sapu tangan yang ada di saku celana untuk menghapus air mata gadis itu. "Abang minta maaf untuk kejadian beberapa malam lalu. Abang sadar kesalahan abang tidak bisa di maafkan bahkan abang ikhlas kalau seumur hidup kamu akan benci abang."
Perkataannya yang lembut dan lirih tak membuat tangis Gendhis surut. Gadis itu menangis semakin kencang dan membuat perhatian beberapa orang tertuju kepada keduanya. Emran tak mau dikira mnyakiti gadis di bawah umur mengingat Gendhis masih memakai seragam sekolah dan juga menggendong tas ransel. "kamu mau ikut abang ke suatu tempat untuk bicara?"
Emran bersabar, menunggu gadis ini tenang. "bisa tapi aku gak mau di bonceng abang."
"Oke. Aku akan memanggilkan taksi tapi kamu tidak boleh kabur." Kemudian Gendhis mengangguk pelan. Emran merasa sebongkah batu besar baru saja di angkat dari bahunya.
🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕🥕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top