Bab 29

“Saya Fatima. “

“Pacar kamu cantik banget ya Le. Namanya persis seperti anaknya rosul. “Pamela tahu ibunya paling suka sesuatu yang berhubungan dengan agama makanya ia mengusulkan Gendhis supaya memalsukan namanya. Pamela juga bernafas lega Nampaknya sang ibu sangat menyukai sosok Gendhis. “ udah berapa lama kenal anak ibu? “


“Udah lama banget Bu. Tempat kita kerja kebetulan sebelahan. “ Pamela sengaja menginjak kakinya sambil mengedipkan mata. Mereka sudah janji tak akan mengatakan hal di luar kesepakatan. 

“Kamu gak cerita to Le kalau tempat kerja kalian deket. “

“Ya Ibu kan gak semua harus diceritain. Fatima ini kerjanya di minimarket sebelah tempatku kerja Bu. “Tak mungkin bilang kalau Gendhis pemilik mini marketnya. Mana nyambung kurir paket dapat majikan. 

“Ibu seneng kalau kamu betah kerja di Jakarta. Ibu sempat khawatir waktu ada tetangga kita bilang kalau kamu jadi banci salon. “ Gendhis hampir menyemburkan minuman yang baru ia teguk. Ia menatap Pamela yang tertegun sejenak lalu berusaha sesantai mungkin menanggapi ocehan ibunya walau Gendhis yakin kalau jantung Pamela saat ini mau lepas. “Tetangga kita kalau ngomong memang keterlaluan. Mereka iri sama ibu yang sering kamu kirimi uang. Uang itu Ibu kumpulkan buat beli tanah di kampung supaya kalau kamu ulang punya lahan untuk digarap. “ Bukan rahasia lagi kalau di desanya itu rata-rata memang bertani tapi Pamela langsung meringis diingatkan dengan mata pencaharian orang tuanya yang bercocok tanam, mana cocok Pamela memegang cangkul serta membungkuk menancapkan bibit. Bisa hitam legam kulitnya yang dirawat dengan susah payah dan menghabiskan uang jutaan. 

“Apalagi kalau kamu udah nikah. Lumayan tanah kamu nanti buat anak kamu. “Sekarang giliran Gendhis yang meringis karena binar mata Ibu Pamela terlempar ke arahnya. 

“ibu itu masih lama. “

“Man, man... umur kamu sudah hampir tiga puluh tahun. Penghasilan juga udah mapan, mau cari apa lagi? Dunia kalau dicari terus gak ada ujungnya. “ Alis Gendhis mengerut, Man? Siapa nama asli Pamela. Ia tak pernah tahu dan tak pernah bertanya. Nanti ia akan bertanya kalau perlu menggeledah ktpnya. “Ibu sudah tua, pengen lihat kamu bahagia dengan nikah dan punya anak. “

“Sekarang Ibu udah di sini. Aku bakal ngajak ibu jalan-jalan dan seneng-seneng. Kita makan apa aja yang Ibu mau. Ibu mau apa? Ibu mau belanja, beli baju atau apa? “ tawaran Pamela hanya dijawab dengan senyuman tipis oleh sang ibu. Gendhis juga ikut tak enak hati. Membahagiakan orang tua kadang dengan hal yang sederhana bukan barang mewah. Setiap orang tua menginginkan anaknya hidup mapan dan nyaman dalam lingkungan keluarga. Sayang impian Ibu Pamela akan terkubur jika sang banci salon tak urung merubah perangainya. 

Pamela harus sadar. Tak selamanya ia dapat menyembunyikan semaunya dari sang ibu. Ada kalanya rahasianya akan terbongkar. Meski akhirnya harus sakit akan lebih baik sekarang dari pada nanti. 

Gendhis melakoni peran Fatima dengan apik. Ia hanya melempar senyum pada setiap ibu Pamela ucap. Ibu Pamela adalah perempuan desa yang baik dan juga tak banyak menuntut ini itu. Gendhis sedikit merasa melankolis teringat sosok ibu kandungnya yang telah tiada. Jika Munah masih ada, pasti wanita itu sangat gembira dengan keadaannya yang sekarang dan mungkin ia tak akan merasa ditelantarkan. 

“Makasih banyak ya. Lo udah bikin ibu gue seneng. “

Setelah seharian bersenang-senang. Sore tadi ia dan Pamela mengantarkan ibunya kembali ke kampung dengan naik kereta. Sebenarnya Pamela ingin ibunya menginap lebih lama tapi wanita paruh baya itu tak bisa meninggalkan ternak dan juga sawahnya. Gendhis salut dengan Ibu Astuti walau Pamela sudah mencukupi tapi tetap mau bekerja keras. 

“Ibu lo baik. Gue jadi ingat ibu gue yang udah meninggal. “

“Gue lebih beruntung. “ ada yang mengganjal hati Pamela dari kemarin. Gendhis sepertinya tertimpa banyak masalah. Masalah dengan Mitha dan mungkin suaminya. 

“lo udah baikan ama Mitha? “ Gendhis menggeleng lemah. “Hubungan lo sama Bang Emran baik kan? “ pertanyaan kedua Cuma dijawab dengan kebisuan semata. “Kalau lo ada masalah cerita aja. Lo kan sering bantu gue juga. “

Gendhis menarik nafas, seperti menahan hujan kesenduan dan air mata. Masalahnya dengan Mitha maupun Emran berhasil memporak porandakan hatinya. “Gue udah nikah lama. Gue pengen anak tapi Bang Emran belum kasih ijin. 

“alasannya? “

“Kami belum siap atau dia yang belum siap. “

Kerutan pada dahi Pamela muncul. Aneh sekali jika mereka belum siap mengingat keadaan ekonomi dan mental mereka yang sangat kokoh. “laki memang suka cari alesan kalau suruh nambah tanggung jawab. “

“Anak itu nanti sepenuhnya di bawah pengasuhan gue. Anak itu gak akan ganggu urusan Bang Emran. “

Pamela melihat Gendhis dengan tatapan kasihan. “Anak itu, anak kalian diasuh berdua. Laki gak pernah siap kalau disuruh opunya anak tapi setelah punya mereka tetap aja sayang tengah mati sama anak malah kadang istri dilupain. “

“Begitu ya?” 

“Lo pengen banget punya anak? “ Gendhis mengangguk cepat layaknya anak anjing. “Lo masih pasang alat kontrasepsi? “ Giliran pertanyaan yang ini ia mengangguk lemah. “Gue punya solusinya. “

“Apa? “

“lo copot aja alat kontrasepsi lo tanpa Emran tahu. Gampang kan? “

Gendhis terdiam. Ide Pamela gila tapi bisa dipertimbangkan. “Kalau ketahuan gimana? “

“Itu gampang. Kalau udah hamil masak mau marah terus nyuruh gugurin gak mungkin kan? “tentu saja tak mungkin. Emran bukan pria yang sekejam itu. “Apalagi kalau bocah itu lahir, pasti sebagai ayah, Bang Emran bakal sayang setengah mati. “

“Lo yakin?” 

“Yakin dua ribu persen. Tinggal  pintar-pintarnya lo ambil kesempatan. Misal lo ajak Bang Emran liburan pas masa subur lo. Kualiti time berdua bikin anak. “ucap Pamela sambil berkedip manja. Yang jadi pikiran Gendhis, suaminya akan semurka apa jika diakali seperti itu tapi sudah waktunya Gendhis berhenti menurut, mempunyai keputusan sendiri. 

“Bakal gue coba. “

“Harusnya lo coba dari dulu. Suami istri kalau gak ada anak, istilahnya gak ada tali pengikatnya. Kadang ada banyak anak aja, laki-laki masih suka belok. “ 

Pembahasan tentang masalah Gendhis sudah usai. Giliran ia ingin mengetahui tentang Pamela apalagi setelah ibunya datang. 

“Nama kampung lo siapa sih? Ibu lo panggil lo Man. “

“Kepo lo tapi nama gue bagus kok. Muhammad Sarman. “ Gendhis bergidik nama begitu mulia masak diganti dengan Pamela. Pamela sepertinya belum pernah tertimpa azab. 

“Ibu lo kalau di kampung ama siapa? “

“Saudara banyak di sana. Saudara ibu, saudara bapak.” Tatapan Pamela melalang buana. Ada kesedihan, rasa haru, bangga serta senyum tentram nan bahagia. 

“Lo gak punya Kakak atau adik gitu? “

“Gua anak tunggal. Setelah gue lahir ibu gak bisa punya anak lagi.” Celakanya keturunan keluarga Pamela akan berhenti di generasi ini. “Berkat lo, gue gak bakal dijodoh-jodohin lagi ama gadis kampung. “

“Lo gak pengen gitu bikin Ibu lo seneng. Nikah misal, berusaha normal. “

“anjritt lo kira gue gak normal. Gue pengen nikah, suka sama orang tapi gue lebih suka cowok dari pada cewek, “jawabnya sambil cekikikan. “gue nikahnya di luar negeri, tahu sendiri di sini gue bisa dibilang kafir. “

“Lo gak pengen terus terang sama Ibu lo kalau lo sukanya ama cowok. “

Pamela menunduk lama mengamati sepatunya. Keduanya masih berjalan santai di trotoar menuju salon. “gue takut banget bikin ibu gue sedih. Tapi gue capek bohong. “

Pamela mulai menangis, hatinya melankolis. Walau tampangnya laki-laki namun jiwa Pamela begitu feminin. Awalnya Gendhis menawarkan tisu eh tapi Pamela lebih membutuhkan pelukan dan tepukan hangat ala sahabat. “gue takut... gue takut... ibu gue kenapa-napa kalau gue jujur. Cuma dia yang gue punya. “

Namun suasana sendu antara dua sahabat itu terganggu dengan derap langkah cepat seseorang yang menarik Pamela lalu melayangkan pukulan. 

BBugh

Emran datang dengan amarah membesar karena melihat istrinya berduaan dengan pria asing. Pria itu berani memeluk Gendhis. “Bang! “ Gendhis memegang erat tangan sang suami. Menunggu Pamela bisa bangun sendiri. 

“Kenapa lo mukul gue sih Bang? “ Pamela menjerit serta menatap Emran dengan berlinang air mata. 

Emran sadar siapa yang di hadapinya. Ini Pamela dengan potongan rambut pendek. Amarahnya perlahan surut menyisakan ringisan rasa bersalah. Kenapa ia cemburu pada banci salon ini. 

“Sakit Bang.”  Emran membantunya berdiri namun segera Gendhis tepis. Tak boleh ada sentuhan antara Pamela dan suaminya walau keadaan Pamela membuatnya kasihan namun kewaspadaannya tidak terlonggarkan. 

🍗🍗🍗🍗🍗🍗🍗🍗🍗🍗

Pamela selesai diobati dan memilih beristirahat si Salon. Awalnya Emran merasa bersalah apalagi pukulannya membekas, meninggalkan warna merah yang kemungkinan besok akan jadi ungu atau malah biru. Namun ia malah tertawa terbahak-bahak ingat aksi cemburu butanya tadi. 

“Kenapa malah ketawa. Ada yang lucu. Yang abang buat tadi keterlaluan! “

“Mana abang tahu kalau itu Pamela. Rambutnya pendek. “

“Dia sengaja potong rambut karena ibunya dateng. Abang main pukul aja. Untung ibunya udah pulang kalau gak. Pamela mesti bilang apa soal lukanya? “

Emran menunduk sebentar. Tadi saat datang anak buahnya bilang jika sang istri pergi bersama Pamela Cuma diikuti oleh Bima. Emran pikir keduanya memilih belanja untuk menghilangkan suntuk. Namun saat kembali dari makan, ia malah melihat Gendhis bersama pria lain sedang berpelukan pula. Suami mana yang tidak mendidih. 

“Besok aku minta maaf sama Pamela. Abang akan kasih dia uang kompensasi. “ ini yang Gendhis benci dari sosok Emran yang sekarang. Pria ini segala menyelesaikan semuanya dengan uang. 

“Terserah Abang.” Gendhis berlalu, ingin segera pulang. 

“Kau belum memaafkan abang? “

Ia berhenti lalu balik badan. Dagunya naik, tatapannya menantang. “Jangan dikira aku udah maafin abang tentang masalah kemarin. “

“Di antara kita gak ada masalah. Masalah itu kamu yang menciptakannya sendiri. Kita pulang sekarang ke rumah abang yang baru. “

“Abang gak bisa seenaknya. Aku pulang ke rumah lama. “

“Rumah itu sebentar lagi ada yang nyewa.”  lagi-lagi suaminya memutuskan sesuatu tanpa mengajaknya ikut serta. 

Kini giliran Gendhis yang mendidih. “Aku bisa menyewa rumah atau aku bisa tidur di toko. “ baginya menjauh dari Emran adalah pilihan terbaik. 

“Kita perlu bicara.” 

“Di antara kita gak ada masalah. Buat apa kita bicara? “tanya Gendhis memberikan balasan. Dasar pria selalu mau menang sendiri tak peduli perasaannya bagaimana. 

“Ndhis..” panggil suaminya dengan lembut. “Abang tahu kamu masih marah dan mungkin masih mau membahas apa yang kita pertengkarkan kemarin. “

“Kita gak akan menemukan kesepakatan apa pun tentang masalah anak itu. Abang gak mau, apa aku punya pilihan. “ Emran paling tidak bisa melihat Gendhis menangis. Bagaimana ia bisa menjelaskan secara pelan tentang masalah anak. Di mata Gendhis ia yang tidak mau. 

“Abang minta kamu sabar untuk beberapa tahun lagi. Nunggu semua aman. Abang sudah kerepotan menjaga kamu, jangan nambah satu nyawa lagi buat dipertaruhkan. “ Anak itu akan menjadi kelemahan Emran yang paling fatal. Gendhis dapat melindungi dirinya setelah dibekali lalu bagaimana dengan bayi merah yang akan hancur dengan sekali banting. 

“Aku kesepian. Aku pingin punya bayi buat ku timang. “

Emran menghampiri Gendhis memberikan sebuah pelukan dan elusan pada suraunya. Membiarkan tangis Gendhis membasahi bahunya yang masih dibalut kemeja. “Abang tahu, abang juga mau tapi nanti. Semua ada waktunya. “

Gendhis semakin menyurukkan kepalanya pada bahu sang suami. Meluapkan rasa kesedihannya di sana. Mungkin dalam benak Emran ia menuruti apa yang pria itu mau namun Gendhis juga punya rencananya sendiri. Biar saja keinginannya berlawanan arah dengan Emran. Toh kalau dirinya berhasil hamil, apa yang dapat Emran lakukan. 

🍇🍇🍇🍇🍇🍇🍇🍇🍇

Jangan lupa vote dan komentarnya

Gendhis ada di karya karsa sampai tamat.


D

i kbm juga aDa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top