Bab 26
Gendhis sudap menyiapkan diri jika dimarahi. Kini ia duduk menunduk seolah anak kecil yang ketahuan makan permen padahal giginya berlubang. Mitha sudah diantar pulang oleh Bima sedang Pamela tak tahu nasibnya bagaimana. Ponsel Gendhis disita Emran hingga tak bisa menghubungi si banci pemilik salon.
“Pergi tanpa ijin ke klub malam. Gendhis yang sekarang sudah mengalami kemajuan.”
Sebagai tanggapan, Gendhis mengerucutkan bibir. Berpura-pura kesal agar hukumannya dikurangi namun tubuh Emran tetap berdiri kokoh, menandakan jika pria itu benar-benar akan bertindak tegas.
“Abang lupa umurku sudah dua puluh tahun lebih. Aku bebas minum alkohol karena usiaku kelewat delapan belas tahun, aku terikat hukum juga dan aku sudah nyoblos saat pemilu.”
“Yang kamu lakukan terlalu bahaya. Kamu lupa pernah diculik?”
Gendhis menggeleng tapi beberapa hari di bawah pengawasan pengawal hidupnya serasa berada di ruangan sempit. “Aku pergi Cuma sebentar.” Dan lagi-lagi sang istri Cuma beralasan. “Tempat itu rame. Mana ada yang berani nyulik aku secara terang-terangan.”
Bukan itu saja yang Emran khawatirkan. “tempat itu berbahaya, berbau mesum, banyak pria mata keranjang yang bisa melecehkan perempuan polos seperti kamu.”
“Perempuan polos?” alis Gendhis terangkat satu. “Aku sudah nikah. Aku sudah bisa bedain lubang pantat sama vagina. Aku sudah tahu hubungan seks itu apa, kita sering kan ngelakuinnya.” Pernyataan Gendhis membuat wajah Emran merah padam.
“Di sana tadi kamu ngajak Mitha juga.”
“Aku jaga dia terus, di samping dia juga gak berpindah tempat. Malah aku heran kenapa abang bisa di sana. Abang kenapa ke klub malam bukan mau menemui Fiona kan atau mau minum?” Sekarang keadaan terbalik, kenapa Gendhis yang seolah jadi pihak berwajib dan Emran yang menajdi tersangka. “Atau Abang main perempuan karena gak puas punya istri ingusan?”
Pikiran Gendhis melalang buana karena terserang cemburu. Kalau dipikir Emran seperti melarang istrinya datang ke klub malam namun pria itu malah jadi pelanggan di sana. Tak adil kan? Seorang suami menginginkan istri baik, patuh dan menjadi teladan tapi tidak menuntut dirinya menerapkan pada dirinya sendiri. Gendhis tak suka peraturan yang begini. Seolah dosa hanya milik si wanita, aib juga menempel pada sosok perempuan.
“Kenapa sekarang jadi kamu yang marah. Klub malam itu salah satu bisnis punya abang. Wajar Abang ke sana buat ngecek.”
Perlahan kemarahan Gendhis surut namun digantikan muka cemberut. Gendhis menyelamatkan rasa malunya dengan menaikkan dagu dan menyilangan kedua tangan di bawa dada. Tapi pikirannya kembali mendapatkan pencerahan. “Abang bisnis klub malam?”
“Iya. Keuntungannya besar. Bukannya abang pernah cerita?”
Gendhis menggaruk rambut mencoba menggali memori. “Aku tidak ingat. Abang tidak bisnis narkoba kan? Abang bukan germo atau Abang juga bisnis buat pabrik minuman keras.”
“Abang pernah mencoba bisnis itu keuntungannya menyenangkan namun resikonya bisa...” Emran mnegernyitkan hidung. “membuatku bangkrut.”
“Abang pernah jadi germo?”
“Bukan. Yang Bisnis narkoba.”
Gendhis memijit kepala, seolah itu akan menjadi beban berat toh bisnis narkoba juga telah suaminya tinggalkan tapi yang membuatnya cemas ambisi suaminya untuk balas dendam bahkan menjadi penghancur untuk sang ayah kandung. Gendhis senang dengan kemajuan hidup mereka tapi kadang berpikir bahwa tumpuan awal adalah sesuatu yang rentan akan luka batin.
“Itu semua sudah berlalu.” Emran memberikan elusan pada lengannya.
“Seberapa besar Abang membenci ayah abang. Apa rasa benci itu dapat menghanguskan segala rasa sayang yang abang miliki?”
“Kamu ngomong Apa. Dendam itu seratus persen urusanku, yang paling penting lakukan yang aku perintahkan. Latihan dan jaga diri baik-baik. Jangan menghilang, atau bahkan kabur dari para penjaga. Aku sungguh takut ayahku akan melakukan hal yang nekat.”
Gendhis menumpukkan tangannya ke atas tangan sang suami. “Apa Abang tidak mau menghentikan dendam ini? Kita bisa hidup damai, hidup kita sudah sangat berkecukupan.” Emran malah berpaling seolah usulannya tak patut dilontarkan.
“Hidup yang ku inginkan jauh dari kata cukup.”
Jantung Gendhis berdetak kencang, niatnya menyentuh sang suami ia urungkan. Di antara mereka seperti ada sekat. Gendhis takut punggung yang tegak berdiri untuknya ini akan menghilang, meninggalkannya. Ambisi Emran akan menenggelamkan kebahagiaan mereka, menjadi jembatan bayang-bayang yang akan menjadi duri. Mampukah cintanya menarik Emran atau cintanya ikut pupus seiring karier Emran yang menanjak jauh. Kata orang semakin tinggi pencapaian maka akan semakin banyak kehilangan.
“Kenapa?” tanya Emran yang merasa dipeluk dari belakang. Gendhis tersenyum tipis seolah yang di hadapannya adalah batu yang sulit dikikis.
“Aku hanya ingin memeluk.”
“Kalau bisa melakukan hal lebih kenapa puas hanya memeluk?” Emran tersenyum geli sambil menepuk-nepuk tangan Gendhis. Ucapan Emran itu adalah sebuah kode. “Kau juga belum ku hukum karena kabur ke Klub malam.”
Bahasa cinta mereka dijelaskan dengan sentuhan intim dan hubungan panas. Gendhis paham ini tak akan cukup, ia ingin mendapatkan tubuh serta hati Emran tapi semuanya butuh proses. Sampai kapan ia akan terus bertahan atau sampai kapan Emran akan bosan.
🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓
Emran tak menyangka pria ini akan cepat berkunjung karena insiden semalam. Darius berani muncul dengan senyum cemerlang dan gerakan tubuh yang penuh percaya diri seolah ruangan ini memang miliknya. Emran tak mau menggunakan tangannya untuk melayangkan tinju namun itu akan berfungsi jika diperlukan.
“Kau berani datang? Aku cukup terkejut karena melihatmu di klub malam.”
Darius Cuma mengangguk pelan seolah memahami apa yang Emran khawatirkan. “Aku kembali karena ingin mengambil tempatku.”
“Tempatmu yang mana?”
Darius merentangkan tangan di sandaran sofa. “tentu saja gelanggang ini.”
Klaim Darius hanya Emran tanggapi dengan tawa meledek. “Kau tidak punya hak atas gelanggang ini.”
“Ayahku pemilik tempat ini. Aku mewarisinya sebagai anaknya.”
“Ayah yang mana? Aku membeli gelanggang ini secara sah dan pria yang kau maksud ayahmu telah ku beri uang sepadan sebelum meninggal. Aku juga yang merawatnya, membayar seluruh biaya rumah sakitnya. Kau di mana saat itu?”
Darius terperanjat, kini duduknya tak santai lagi. Amarahnya mendidih, berani Emran mengambil tempat ini dan memanfaatkan pria yang sekarat.
“Lagi pula mana bisa kau buktikan kalau dia ayahmu. Ibumu tidak menikah dengannya kan?”
Darius berdiri, ia marah karena ibunya sudah disinggung. “Jaga ucapanmu. Aku putranya, wajah kami mirip. Semua orang tahu itu.”
“Tak ada yang bisa menjamin kalau ayahmu hanya memiliki dirimu sebagai anak. Siapa tahu kau punya banyak saudara lain ibu. “Itu tak Darius ragukan. “Gelanggang ini milikku. Kalau ada yang berhak atas peninggalan ayahmu ini tentu saja anaknya yang sah, di mana akte kelahirannya harus ada nama pemilik gelanggang terdahulu.”
Darius memang sudah menduga akan kalah, walau seribu saksi ia ajukan ia akan tetap mudah dipatahkan oleh Emran dengan mengajukannya di persidangan. Pasti ada cara lain namun untuk mengemis, harga dirinya terlalu tinggi. “Kau sangat serakah.”
“Jika gelanggang ini keadaannya sama seperti dulu apa kau mau menuntut hakmu? Tidak kan?”
“Yah aku tidak munafik. Tempat ini berharga milyaran setiap bulannya kan? Belum lagi masukan anggota member yang menjadi petarung. Kau sudah punya aset terlalu banyak. Tak bisa kah kau memberikan hakku?” Mungkin dengan berbicara dengan sedikit lembut akan membuat Emran
mau memberi Darius bagiannya.
“Pemilik sebelumnya tak menuliskan wasiat apa pun dan ia menunjukku sebagai pemilik tempat ini secara sah di mata hukum jadi jangan mengharapkan hal yang sia-sia. Aku tidak akan memberimu uang sepeser pun,” ucap Emran tegas.
Darius memalingkan muka. Hampir saja ia meludahi wajah Emran yang congkak itu. Namun ia tak mau menyerah begitu saja, pasti ada cara lain.
Emran berpikiran lain, Darius seorang yang tidak berguna dan tukng berfoya-foya, tak ada gunanya memberi orang ini uang karena pastinya akan menambah sikap malasnya yang semakin parah.
“Adikmu yang kemarin itu cantik.”
Mata Emran memicing, ia tahu Darius mulai mengorek kelemahan dan juga mengusik hidupnya. Sungguh ia tak bodoh sebelum pria ini menemuinya, pastilah Darius sudah menyiapkan amunisi. “Jangan ganggu dia.”
“Dia sangat dijaga ketat bukan? Namanya Gendhis yang berarti manis seperti gula,” ucapnya sambil menjilat bibir dan tanpa menunggu lama Emran langusng mencengkeram kerah bajunya. Darius memang tak sebanding dengannya namun tindakan Emran yang gegabah bisa dimanfaatkan.
“Jangan mendekatinya. Jika aku tahu kau akan muncul di hadapannya lagi maka aku tak segan-segan untuk membunuhmu.”
Darius malah tertawa, ia menganggap ancaman Emran bukan hal yang mesti dikhawatirkan. “Kau juga dapat salam dari ayahmu. Bukannya nasib kita sama, sama-sama anak haram!”
Emran menghempaskan tubuh Darius dengan kasar ke sofa. “Pergilah, sebelum kesabaranku habis. Kita tidak sama.”
“Kau tidak punya ayah sehingga mengambil ayahku?”
Emran berkacak pinggang, matanya melotot. Ancaman itu tak mampu mengusir Darius pergi. “Terserah katamu. Jangan temui Gendhis, pergilah sejauh mungkin karena kau akan mati jika masih tetap di sini.”
Darius membenahi jasnya yang kusut lalu pergi dengan raut wajah angkuh. Walau ia tak memiliki kekuasaan seluas Emran namun ia bisa pastikan bahwa pria ini akan sangat menyesal berurusan dengannya.
🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉🍉
Jangan lupa love dan komentarnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top