Bab 20

Gendhis untuk acara malam ini sengaja memakai gaun yang dibelinya besama Pamela. Gaun cantik berwarna pink lembut, yang bermodel turtle neck yang talinya hanya melingkar leher. Gaun yang panjangnya se atas lutut mempunyai bawahan rok sepan yang membentuk lekukan tubuh. Wajah Gendhis yang dipoles make up natural itu tambah menawan ketika rambutnya disanggul lalu di pasangi mahkota mutiara sederhana. Gendhis nampak memukau sesuai umur. Kakinya yang jenjang, tak lupa Pamela pilihkan sepatu berwarna transparan dengan hiasan permata berkilauan. Di tangannya terdapat tas kecil senada dengan warna busananya.

Emran hanya menganggukkan kepala ketika melihatnya dari atas sampai bawah sambil menyuruhnya masuk. Suaminya nampak puas dengan gaun serta dandanannya walau Gendhis lebih senang jika Emran memberinya pujian.

Pesta di adakan di sebuah hotel bintang lima yang megah. Hotel yang khusus untuk acara ini di dominasi warna merah maroon nampak elegan, sedang Gendhis seperti wanita muda yang baru saja menginjakkan kaki ke tempat baru. Ia menengadahkan kepala lalu melihat dekorasinya dengan takjub. Berapa banyak uang yang dihabiskan untuk mengadakan acara seperti ini. Pasti penggagasnya sangatlah kaya.“Yang di undang ke sini orang-orang penting ya Bang?”

“Iya. Banyak media yang akan meliput.”

Gendhis semakin berdebar sekaligus berkecil hati. Penampilannya akan disorot dan ia akan dikenal sebagai istri seorang penyelenggara acara TV. Apa penampilannya cukup pantas namun semakin ia melihat pakaian tamu yang datang, ia semakin merasa kerdil dan sang suami tahu betul kegelisahannya.

“Tenang. Karena kita bukan kaum selebritis jadinya tak akan menjadi sorotan.”

Tak lama kemudian seorang kolega Emran datang memberikan pria itu jabatan tangan akrab. Gendhis semakin asing, tak ada yang ia kenal dan juga merasa tak seharusnya datang ke sini.

“Oh iya ini kenalkan asiten baruku namanya Gendhis. Untuk sementara ia menggantikan asitenku yang cuti.”

Bagai disiram air dingin, sudah canggung kenapa pula harus dikenalkan sebagai asiten bukan istri. Itu alasan Emran tak menggandeng tangannya seperti pasangan lain. Kecewa sudah, harapannya yang melambung tinggi terpaksa diletuskan ke udara tapi mau protes tidak enak hati. Tentu sulit seseorang yang sesukses Emran sudah punya istri padahal di KTP saja tulisannya masih singgel.

“Masih muda ya asistenmu, dia fresh graduation kah?”

“Iya,”

Senyum tulus Gendhis paksakan ketika berjabat tangan. Kalau Cuma ditenteng sebagai asisten lalu apa tujuan Emran membawanya ke sini. Andai butuh teman, Emran harus membawa orang lain bukan dirinya.

Pandangan Emran menuju ke pintu penyambutan, di sana ada seorang pria paruh baya yang membawa tongkat kayu sedang berjalan bersama istri dan juga putranya. Emran di sergap kecewa, rasanya ingin menendang tongkat pria itu dan juga menyingkirkan lelaki itu dari pesta ini.

Ferdinant Ang cukup terkejut mengetahui Emran di undang juga. Tak heran juga sebab anak haram itu kini berubah menjadi seorang bos sekaligus penyelenggara acara penting di televisi. Kemajuan Emran membuatnya terkejut tapi tak heran juga. Anak haram itu telah makan asam garamnya hidup, tinggal di daerah kumuh dan punya darah pelacur membuat Emran belajar banyak dan berkembang pesat tapi sampai mati pun Ferdinant tak akan mengakuinya sebagai anak. Celakanya meja mereka bersebelahan sehingga, mau tak mau keduanya harus berpapasan.

🦁🦁🦁🦁🦁🦁🦁🦁🦁🦁
 

 Apa kabar?” Emran tak basa-basi. Ia tak mau menghormati orang yang telah menghancurkannya ini. “Ayah..” ucapnya pelan.

Ferdinant geram walau ia tahan. Istri dan anaknya memang tahu dari lama siapa Emran tapi tidak dengan beberapa orang di sekitar sini. Emran berani terang-terangan menantangnya, sedang Gendhis yang senantiasa menjadi pendamping setia Emran tentu terkejut bukan main. Ia pernah mendengar siapa ayah kandung sang suami namun tidak bertemu secara langsung. Gendhis hanya tahu kalau Ibu Emran dihamili oleh lelaki kaya, itu pun menurut gosip orang kampung. Munah sediri tak pernah menjawab jika Gendhis bertanya. Emran dulu memang dikenal sebagai anak haram makanya tak banyak dari tetangga mereka yang mendekat atau pun menolong.

“Beraninya Kau..” semuanya tertahan, Ferdinant takut jadi tontonan tapi Emran tersenyum puas.

Salah satu anak Ferdinant hendak maju namun mata tajam sang ayah menghalangi. Pria paruh baya itu memilih membereskan Emran sendiri. “Pelajaran dariku tak membuatmu jera malah makin besar kepala. Kau berani datang ke tempat yang sama denganku.”

“Aku diundang.”

“Panitianya sungguh bodoh hingga tak teliti. Mereka tak tahu dari mana kau berasal. Lumpur patutnya diinjak bukan diajak bergabung.”

Emran mengepalkan tangan. Ini baru pembalasan pertama, akan ada pembalasan yang lebih menyakitkan bahkan mampu membuat Ferdinant masuk ke liang lahat lebih cepat. “Apakah pesta ini milikmu hingga kau menentukan siapa yang diundang dan tidak? Kita sama-sama tamu, tamu penting.”

Ferdinant sudah marah dan hendak mengacungkan jari tapi ditahan sang istri karena keakraban Emran dan Ferdinant sudah menjadi tontonan. Keduanya menunjukkan ekspresi yang sama-sama emosi dengan otot leher yang hampir ke luar. “Kita tidak sejajar bahkan tidak akan pernah menjadi sejajar!”

“Aku akan melampauimu bahkan saat itu terjadi kau Cuma akan jadi penonton. Jadi banyak-banyaklah minum obat dan jaga kesehatan supaya kau bisa melihatku menginjak-nginjak harga dirimu, ayah...”

“Bang...” Gendhis sejak tadi memegang lengan sang suami. Takut mendera sebab rombongan Ferdinant sudah siap maju menyerang.

Emran menengok ke belakang, sesaat ia lupa juga mengajak Gendhis. Awalnya ia datang untuk memperkenalkan Gendhis pada kemajuan dan perubahan dunianya bukan menunjukkan gadis itu asal usulnya yang bobrok. Ia dapat dengan mudah merubuhkan rombongan Ferdinant tapi Emran memilih mundur duluan ke tempatnya, mengalah demi Gendhis dan ia tak mau menjadi sorotan wartawan karena berkelahi di tempat umum. Nama baiknya harus dijaga agar karier yang ia bangun tetap meningkat.

💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮

Sepulang dari acara Emran banyak diam, membuat Gendhis takut. Emosi suaminya sungguh menakutkan, ia ingat saat Emran memperkosanya sehingga pernikahan keduanya harus terjadi. Ah semuanya sudah berlalu, saatnya mereka menyongsong hari yang baru tapi Gendhis jadi kepikiran tentang ayah kandung Emran. Tak apa ia bertanya tapi bukannya suami istri harus berbagi semua hal baik susah atau bahagia.

“Kita berhenti dulu ya. Abang mau beli minuman.” Karena Emran menyadari bahaya menyetir sambil memendam emosi. Gendhis mengangguk lalu mengikuti Emran turun mobil.

Mereka duduk di bangku sebuah taman, Emran memegang botol minuman ringan dingin yang sisa setengah sedang Gendhis memegang sebotol yogurt yang diminumnya sedikit.

“Pesta tadi buat kamu terkejut ya?’’

“Heem. Selain ketemu orang baru, abang juga ngenalin aku sebagai asisten. Kenapa begitu?”

“Lebih baik begitu, kehidupanmu akan aman. Yang menjadi pasanganku akan terbebani, aku juga tak bisa senantiasa menjagamu jika ada musuhku yang menyakitimu.” Gendhis menunduk karena malu. Emran selalu memikirkan dirinya dulu di banding kepentingan lain. Sang suami pandai memilih jalan terbaik untuk mereka dan menyelesaikan segalanya dengan kepala dingin serta pikiran panjang.

“Musuh itu termasuk pria tua tadi? Apa benar dia ayah kandung Abang?”

“Iya. Kamu gak percaya?”

“Bukan. Cuma kaget saja.”

“Ya sewajarnya kamu gak percaya. Dia gak pernah menengok Abang. Asda di kehidupan Abang saja enggak. Abang tahu waktu diajak Ibu ke rumahnya, itu pun di usir.”

Gendhis memegang tangan sang suami lalu menatap matanya lembut. Mereka berdua mempunyai ayah yang kejam, bedanya Gendhis sempat serumah dengan sang ayah sedang Emran tidak. “Abang di usir?”

“Itu pun gak sekali terakhir waktu Abang mau masuk kuliah. Kamu ingat kan Abang pernah luka ringan, itu karena keamanan kantor ayah kandung abang mukulin Abang.”

Senyum tipis Emran nampak getir. Ia ingat bagaimana Ferdinant memperlakukannya seperti anjing. Perlakuan itu tetap sama sampai sekarang saat ia sudah dapat sejajar dengan pria itu. “Dia tega melakukan itu sama darah dagingnya sendiri.”

“Baginya Abang Cuma kotoran yang mencoreng nama baiknya.” Alangkah malangnya nasib Emran dianggap hama, tidak diakui dan mungkin coba untuk disingkirkan. Gendhis semakin trenyuh dan berusaha agar sang suami mau berbagi derita dengannya. “Dia bahkan sempat membuat usahaku yang dulu bangkrut tapi aku tumbuh menjadi lebih kuat karena itu.” Gendhis semakin mengeratkan genggaman. Emran tak akan hancur untuk kedua kalinya walau itu mungkin terjadi, Gendhis akan jadi orang pertama tempatnya bersandar dan juga orang yang tidak akan pernah meninggalkannya.

Tapi suasana romantis serta menyedihkan ini harus berakhir karena hujan turun. Emran langsung menarik tangan Gendhis untuk berteduh di dalam mobil namun Gendhia malah lebih kuat menariknya.

“Kita harus masuk mobil supaya enggak basah.”

Tapi terlambat, Hujan datang cepat dan lebat hingga mengguyur keduanya. “Abang ingat kita waktu di kampung main hujan-hujanan. Abang pulang sekolah lari dan aku malah main hujan-hujanan. Aku suka plorotan di selokan sama teman-temenku awalnya abang ngelarang tapi akhirnya abang malah ikut gabung.”

Kenangan indah sebagai seorang anak. Saat itu Emran juga kalut karena bea siswanya tidak disetujui. Penyebabnya klise, ia anak ibu tanpa surat pernikahan. Kini mereka mengulanginya lagi, berlarian di bawah hujan menikmati air dingin, melepas tawa seolah tanpa beban. Posisi mereka bukan anak kecil tapi dua orang dewasa yang dapat bercumbu di bawah payung langit yang memuntahkan air.

🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦🐦

Gendhis tersenyum setelah memarkirkan mobilnya. Ia ingat kejadian semalam saat hujan dan setelahnya. Emran memberinya ciuman manis dan sensual lalu keduanya berakhir dengan percintaan panas di dalam mobil Untunglah saat keamanan tidak menggrebek mereka. Semakin memahami Emran membuatnya semakin bahagia. Sedikit-sedikit ia bisa membuka tabir kehidupan yang Emran berusaha tutupi.

“Kenapa datang kamu telat Ndhis. Pamela sudah ke sini dua kali. Bencong ituh nanyain kamu.”

“Ya wajar datangku telat kan aku punya suami yang kalau malam minta diurusin dan paginya minta minta dibikinin sarapan.”

Mita mengernyit tanda jijik. Gendhis sekarang jadi genit semenjak Emran sering pulang ke rumah. “Iya yang punya suami...”

Gendhis Cuma tersenyum lalu berganti baju dan mulai bekerja. Walau ia pemilik toko namun Gendhis tak boleh bermalas-malasan. Tokonya lumayan ramai, ia ada rencana untuk menyewakan lahan depan toko. Lahan parkir yang lumayan luas bisa disewakan untuk foodcourt atau food truk. Tapi bagaimana kalau dia saja yang membuka usaha itu sendiri, kan banyak sekali friendces sekarang ini.

“Gimana kalau aku ngembangin toko ini. Semisal ada stan cemilan atau minuman yang lagi ngetrend di depan.”

Mitha yang sedang memberi label harga menengok. “Kalau itu gue setuju, tapi lo harus nambah karyawan terutama lakik. Kasihan Pak Bima di depan suka ngangkat barang yang dateng. Kan berat banget tugasnya dobel-dobel.”

“Itu sudah pasti. Kira-kira kita butuh berapa orang?”

“Lima, tiga lakik dan dua perempuan.”

“Kok banyak banget.”

“Iya iyalah. Kan gue bakal jadi manager sama pengawas. Capek kali jadi buruh terus.”

Gendhis malah tertawa tapi yang Mita inginkan ada benarnya jika terlalu banyak usaha maka waktu Gendhis akan terbagi-bagi hingga tak fokus pada toko.

“Ada barang datang Mbak.”

Bima mendorong pintu kaca dengan sikunya sambil membawa kardus diikuti seorang kurir yang memakai seragam orange. Gendhis berdiri mengatur dimana barang harus di letakkan namun matanya menyipit ketika mengenali siapa sales yang membawa barang di belakang Bima.

“Yudhi?”

“Gendhis!”

Mita sama terkejutnya, ia tak menyangka akan bertemu kawan SMA mereka.

💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐




 
 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top