Bab 19
Setelah melewati hari yang menegangkan di dokter tadi. Gendhis bisa bernafas lega sekarang. Kontrasepsi yang digadang-gadang orang itu menyakitkan ternyata tidak begitu. Alat itu cuma kecil dan besarnya hanya sepaku.
Gendhis melihat kepuasaan dan kelegaan di mata Emran. Pria itu memang berniat dari awal menunda memiliki anak. Toh benar juga yang pria itu katakan. Gendhis mengurus diri saja tidak mampu apalagi harus ditambah satu bocah kecil. Yang ada Emran malah repot nanti.
"Ini kartu debit yang aku sudah tambahkan isinya. " Emram menyodorkan sebuah kartu platinum. "Gunakan ini untuk membeli pakaian, perlengkapanmu dan juga mengganti lingerie yag ku robek kemarin." Gendhis baru tahu jika gaun minim yang Pamela beri itu namanya lingerie.
"Untuk apa Bang? Bajuku masih banyak."
"Kau butuh merubah penampilan. Aku menyukai gaya berpakaianmu waktu ke kantor kemarin. Siapa yang Mendandanimu?"
"Seorang teman yang kebetulan bekerja di salon samping toko." Tak mungkin bilang kalau yang membantunya adalah seorang waria. Lelaki macho seperti Emran pasti alergi dengan sosok Pamela.
"Ajak dia berbelanja dan memilih pakaian. Sepertinya dia tahu banyak tentang mode."
Setelah memasang alat kontrasepsi, mengganti penampilan lalu apa lagi yang Emran minta. Gendhis senang menjadi lebih baik dan cantik tapi ia lebih suka jika Emran menerimanya apa adanya. Seketika Gendhis diserang sedih. Begini rasanya di atur. Apa Emran sebenarnya lebih menyukainya gadis seperti Fiona . Cantik, modis dan bisa dipamerkan di hadapan orang. Gendhis lalu menatap ke bawah. Hari ini ia memakai celana jeans dan juga kemeja biru kotak-kotak hijau. Bandingkan dengan Emran yang berdandan layaknya eksekutif muda. Ia kalah jauh, penampilannya sepertinya terbanting.
Pantas saja waktu di klinik. Ia jadi tontonan orang. Gendhis layaknya gadis muda yang butuh uang, yang digandeng Om-om. Apa lagi kumis dan jenggot Emran belum dicukur. Kelihatan tambah jauh jarak usia mereka.
"Apa Abang gak suka penampilannya yang sekarang. Abang malu?"
"Bukan begitu." Emran gelagapan, sepertinya Gendhis salah paham dengan maksud dan tujuannya. "Aku suka dengan dandanannu yang sederhana tapi apakah kau tidak mau memakai gaun yang cantik lalu berdandan?"
"Buat apa?"
"Sekarang kau pemilik toko. Pergaulannya harus luas. Apalagi kau akan sering ku ajak ke acara penting. Tak mungkin kau tidak berdandan?"
Bagaimana ia bisa lupa kalau kehidupan keduanya sudah berubah drastis. Emran sekarang adalah pemilik gelanggang dan penyelenggara acara pertarungan di televisi. Belum lagi ada beberapa usaha yang pria itu dirikan. Pergaulan Emran akan sangat luas. Ia sebagai istri harus mengikuti dan memadankan diri. Melelahkan tapi mau bagaimana lagi, yang suaminya katakan benar. "Iya tentu saja." Tapi tetap saja ada yang mengganjal di pikirannya.
"Boleh aku menanyakan sesuatu?"
"Tanyakan saja kalau ada yang mengganggu pikiranmu. Sebagai suami istri kita harus sering mengobrol."
"Kemarin Abang menyuruhmu pergi karena Fiona datang. Apa hubungan kalian berlanjut?"
Gendhis menanyakannya dengan perlahan dan pelan, namun Emran menanggapinya dengan tawa keras.
"Itu yang mengganggumu? Apa kau cemburu?"
Gendhis komat-kamit. "Sebagai istri apa ia tak boleh cemburu pada suaminya sendiri." jawabnya ketus.
"Hubunganku dengan Fiona sudah putus sebelum kita menikah. Kita bertemu karena masalah pekerjaan. Fiona meminta pekerjaan karena membutuhkan uang. Kebetulan salah satu tempatku menyediakan lowongan. Hanya itu saja." Tidak mungkin bilang ke Gendhis secara jujur. Bisa-bisa sang istri mengatakan ia jahat karena memaksa Fiona bekerja di klub malam.
"Oh begitu..." Gendhis lega sekaligus menyimpan kekhawatiran. Lega karena Emran tidak ada hubungan dengan Fiona, masih khawatir karena dengan begitu mereka akan sering bertemu. "Abang tidak menyesal melepas gadis secantik Fiona?"
"Tidak. Fiona tidak pantas untukku. Tuhan memberiku dirimu yang jelas berkali-kali lipat lebih baik. Fiona cuma masa lalu dan kau Masa depanku."
Jawaban itu membuat harapan dan jiwa Gendhis melambung. Untuk apa juga selama ini ia merasa kecil jika dibandingkan dengan Fiona. Pamela saja mengatakan ia lebih baik, sekarang di tambah Emran mengatakan hal yang serupa. Ia lebih segalanya dibanding Fiona. Dengannya Emran akan menyongsong masa depan, Emran jelas-jelas memilihnya. Gendhis harusnya menambah kepercayaan dirinya, toh Emran miliknya bukan lagi calon suami Fiona.
💮💮💮💮💮💮💮💮💮💮
Gendhis membuka pintu tokonya sambil membawa beberapa bungkusan dari toko pakaian diikuti Pamela di belakangnya. Keduanya sehabis pulang dari berbelanja, memilih pakaian yang akan mengubah Gendhis. Pamela senang dimintai tolong oleh teman barunya itu sekaligus heran karena suami Gendhis cukup memanjakan wanita muda itu.
“Kamu belanja sebanyak ini?”
“Iya tapi tenang aja. Aku juga beli sesuatu buat kamu.” Satu paper bag ia serahkan ke Mita, paperbag itu isinya sepatu. Katanya sang sahabat membutuhkan sepatu untuk ke pesta pernikahan saudaranya.
“Makasih Ndhis. Sepatunya pasti mahal.”
“Udah kayak sama siapa aja.”
Pamela memilih duduk di sofa yang tersedia setelah mengambil minuman dingin pada Showcase. “Aku penasaran sama suamimu, sekaya apa dia? Apa kamu itu di nikai sama aki-aki?”
“Enak aja kalau ngomong!”
“Bang Emran tuh umurnya baru tiga puluh, belum tua. Dia ganteng, pekerjaannya mapan sama gagah.” Tambah Mita yang dulu pernah menjadi penggemar berat Emran.
“Gimana sih kalian bisa nikah dulu? Waktu nikah kamu umur berapa?”
“Kami tetangga sejak kecil, rumah kami sampingan. Ibuku kawan baik ibu Bang Emran.” Latar belakang keduanya menikah dan pernikahan di bawah tangan mereka sebaiknya Pamela tidak tahu. “Aku nikah pas masih sekolah.”
“Oh nikahnya karena dijodohin?”
“Bisa dibilang begitu. Bang Emran waktu nikah belum sesukses sekarang. Kami menjalani semuanya dari nol.”
“Kalian sudah nikah berapa tahun?”
“Kurang lebih hampir enam tahun.”
“Selama itu?” Pamela jelas terkejut. Rata-ratamenikah muda tak akan bertahan lebih dari dua tahun. “Selama itu gak ada anak?”
“Gak ada. Dulu karena kita masih susah dan aku masih sekolah.” Bagaimana mau punya anak mereka berhubungan intim saja baru-baru ini. “Sekarang pun kita masih menunda punya momongan. Kemarin aku pasang alat kontrasepsi.”
“Eh beneran kalian nunda punya anak?” Mita juga heran setelah sesukses dan semapan sekarang. Sahabatnya itu juga belum menginginkan keturunan.
“Heem. Katanya Bang Emran masih sibuk dan banyak yang mesti di capai. Aku masih muda juga.”
“Lelaki pekerja keras dan perfectionis banget. Idaman.”
Gendhis langsung melirik Pamela tajam sebab ia mencium bau pelakor. Satu calon pelakor yang kemarin saja sudah membuatnya sering terkena darah tinggi. “Jangan coba-coba godain suamiku ya!”
“Ih siapa? Kenal dan ketemu aja belum.”
“Ada baiknya gak usah ketemu.”
“Tapi mana mau Kak Emran sama Pamela yang punya otong!”
Pamela berdiri karena tersinggung dengan yang Mita ucapkan. “Apa lo bilang! Gue ini perempuan walau luarnya kagak.”
Mita memajukan bibir, sudah tahu begitu kenapa Pamela tidak mengikuti kodratnya saja. “Gue mau ke depan ada yang beli!”
“Teman lo itu mulutnya gak kekontrol. Lemes banget!”
“Namanya juga Mita.”
“Gue tersinggung kalau ada yang bilang gue lakik walau iya. Gue punya hati kayak perempuan, sensitif. Gue kerja keras supaya bisa ngumpulin duit buat ke Thailand buat operasi ganti kelamin.”
Mulut Gendhis menganga lebar, impian yang membagongkan, tidak terpikirkan bahwa keinginan Pamela menjadi perempuan itu secara keseluruhan. Gendhis merinding membayangkan bagaimana sakitnya di bedah lalu ganti organ. “Gue juga mau punya pasangan yang menerima gue apa adanya. Dulu gue punya pacar bule tapi kita putus karena beda pandangan. Gue juga pingin punya anak, yang lahir dari bibit gue. Gue agak kaget waktu lo bilang masang alat kontrasepsi. Gue iri sama lo, bukan sama lo saja tapi semua perempuan terutama yang cantik.”
Impian yang sulit terwujud. “Penjaga lo yang depan itu cakep juga. Siapa namanya?”
“Dia Bima, sudah punya istri.”
Wah kacau otak Pamela kalau sampai naksir anak buah suaminya. “Kenapa lakik ganteng mesti punya pemilik sah?”
Untungnya Panggilan Emran memutuskan obrolan mereka yang tak tahu arah ini. “Suami gue nelpon, gue angkat dulu.”
Gendhis bergegas ke pintu samping, Emran menghubunginya setelah makan siang. Ada apa gerangan? Apa pria itu merindukannya?
“Iya Bang?”
“...”
“Oke bang nanti aku siap jam setengah delapan.”
“....”
“Iya jangan khawatir. Iya...”
Gendhis tersenyum senang dan hampir menjerit girang. Emran mengajaknya ke pesta koleganya. Hubungannya menunjukkan kemajuan pesat sekarang. Emran mau memperkenalkannya sebagai istri di depan umum. Gendhis harus berdandan cantik malam agar tak mengecewakan. Setelah ini ia akan dikenal sebagai Nyonya Emran. Menyebutkan nama resminya saja sudah membuat pipinya seperti kepiting rebus.
🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒🍒
Jangan lupa vote dan komentarnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top