Bab 14

Emran menepati janjinya, membawa Gendhis ke arena gelanggang pada saat gadis itu libur. Gendhis ketika dijemput tambah heran karena mobil Emran sudah ganti menjadi lebih jelek dari yang dulu. Ia sendiri tak apa mau dibawa dengan mobil apa, yang penting tidak disuruh jalan kaki. Cuma heran, sebenarnya setahun ini apa yang terjadi pada suaminya. Menghilang lalu muncul dengan tubuh yang lebih kurus, selain itu beberapa hari ini Emran selalu tidur dengan memeluknya seolah takut kalau akan mengalami mimpi buruk.

“Ini gelanggang yang dibicarakan orang-orang.” Sejak kecil ia tahu gelanggang itu tempat apa.

Teman-temannya dulu sering bercerita, Cuma kan Gendhis tak pernah tahu gelanggang itu tepatnya di mana.
Gelanggang adalah arena tertutup yang luasnya sepertiga stadion. Gendhis mendongakkan kepala ketika mencoba melihat-lihat, mulutnya hampir kemasukan lalat karena takjub. Jadi pekerjaan Emran mengurus tempat ini.

“Abang masih bertarung di sini?”

“Sudah lama pertarunagn bebas ditutup. Ada pertarungan resmi tapi baru akan diselenggarakan tahun depan.”

Emran berusaha menggandeng Gendhis sambil berjalan. Ia menjelaskan sekenanya, agar membuat istrinya paham. “Pertarungan resmi yang akan di siarkan televisi?”

“Iya seperti itu. Ayo kita ke atas, ke kantorku.”

Namun sebelum mereka melangkah menapak tangga. Seorang pria berbadan besar, memakai pakaian santai yang berpotongan rambut cepak datang ke arah mereka sambil menundukkan kepalanya sedikit.

“Siang bos.”

Gendhis mengerutkan dahi lalu menatap Emran dengan intens. Pria ini memanggil Emran bos, apa suaminya pemilik tempat ini.

“Siang. Bagaimana masalah renovasi lantai atas dan persiapan area ring?”

“Barang sudah datang tinggal di pasang.”

“Lanjutkan pekerjaanmu,” perintah Emran sedang Gendhis menatapnya terus seolah anak itu minta diperkenalkan. “Oh iya ini kenalkan Gendhis adikku.” Padahal Gendhis sudah tersenyum ceria siap dikenalkan sebagai istri tapi senyumnya berubah menjadi kering ketika hanya dianggap sebagai adik. Apa salahnya menjadi adik, muka Gendhis juga sangat imut untuk menjadi istri Emran. “Ini Bima, salah satu anak buahku yang mengawasi kontruksi.”

“Senang berkenalan dengan Anda.” Hari menundukkan kepala seolah sedang berkenalan dengan perempuan ningrat. Gendhis yang tidak suka diperlakukan begitu, mengulurkan tangan. Mereka harus berkenalan layaknya seorang teman.

“Aku juga senang mengenalmu.”

“Apakah Anda yang sering memberi bekal untuk bos?”

Gendhis tersenyum, walau tak diakui sebagai istri tapi hasta karyanya di ceritakan. “Masakan Anda sangat enak.”

Ekspresi Gendhis berubah, lalu melempar tatapan tajam ke arah Emran yang sekarang sedang menunduk sambil menggerakkan kakinya. “Bos sering memberikan bekalnya kepada kami.”

“Oh begitu... terima kasih karena menikmati masakanku.” Kali ini Gendhis yang menyeret suaminya ke atas. Emran sungguh pedebah, menerima rantangnya tapi melempar isinya untuk dimakan orang lain.

“Abang gak pernah makan bekal buatanku?” tanyanya menyelidik ketika mereka sudah masuk ruang kerja di lantai dua. Emran duduk dengan tenang karena Cuma disidang seorang anak bau kencur.

“Bukan begitu, tapi aku kasihan pada anak buahku yang Cuma makan di warung pinggir jalan. Mereka kadang menghemat uang makan.” Nyatanya Emran malu jika ketahuan makan bekal. Mukanya saja sudah tergadai ketika di mobilnya ada rantang susun setiap harinya. Tapi hal itu yang membuatnya rindu pada Gendhis.

“Kalau begitu akan ku bawakan rantang banyak agar anak buah abang bisa makan juga. Abang juga tidak bercerita, kalau abang memiliki tempat ini. Apa abang sibuk karena pekerjaan di sini?” karena ditilik sekilas banyak dilakukan renovasi pada gedung ini. Belum lagi akan ada turnamen resmi. Emran pasti memeras kemampuannya untuk mewujudkan bisnisnya.

“Ya terserah padamu. Jangan marah atau bertanya-tanya lagi, jika tak ada kabar dariku. Kau tahu kan pekerjaanku banyak.”

Gendhis mengangguk paham sembari menelisik isi ruangan Emran. Laptop, lemari berkas, lampu, sofa panjang yang mungkin digunakan Emran untuk tidur, kamar mandi dalam, beberapa lukisan di dinding, telepon di meja dan juga berkas, ada maket di dekat sofa juga. Tapi di sini tak ada hal yang aneh, tak ada bau barang perempuan.

“Kenapa kepalamu menengok ke kanan kiri?”

“Tidak...tidak...” Gendhis mengibaskan tangan. Apa yang terjadi pada dirinya? Kalau ada perempuan memang kenapa. Bertemu dnegan Emran kembali mengubah perasaanya menjadi tak karuan. Ia kemudian meletakkan tangan di dada, tak ada detak jantung istimewa. Ini bukan cinta kan?

🐆🐆🐆🐆🐆🐆🐆🐆🐆🐆

Emran dan Gendhis menjalani rumah tangganya dengan normal walau tidak ada hubungan intim di dalamnya. Emran kerap tak pulang, jika Gendhis khawatir gadis itu tinggal menemui Emran saat libur ke tempat gelanggang. Gadis itu membawa banyak makanan untuk di bagi-bagikan ke anak buah Emran. Anak buah Emran bersikap ramah padanya kadang mereka mengajari Gendhis untuk berkelahi. Ia diajari gerakan memukul yang benar, menendang hingga lawan tumbang, melatihnya membanting lawan dan bagaimana cara menghindari senjata tajam saat bertarung dengan jarak dekat. Emran membiarkannya, ia malah senang
Gendhis bisa berbaur dengan tempat ini.

Keceriaan gadis itu menulari penghuni gelanggang yang didominasi kaum pria. Mereka sering menanyakan kapan Gendhis datang lagi namun yang mengganggunya adalah para anak buahnya mengatakan kalau Gendhis itu cantik dan baik. Dilihat dari mana Gendhis bisa dikatakan menawan. Lihat gadis itu tertawanya saja terlalu lebar, hingga bisa jadi sarang nyamuk. Kebetulan Emran mengawasi Gendhis yang sedang mengangkat barbel melalui lantai dua.

Namun ia terpaku ketika melihat Gendhis dari kaca mata yang berbeda. Sejak kapan anak itu tinggi badannya bertambah, dada istrinya pun kini agak besar, bentuk kakinya ramping dan panjang, lekuk pinggang dan pantatnya terlihat proposional. Emran tersentak ketika Gendhis mendongakkan pandangan lalu melambai ke arahnya. Gendhis sudah tumbuh menjadi wanita dewasa dan membuat bagian bawah tubuhnya menegang Cuma dengan melihatnya. Emran membalas sapaaan istrinya dengan senyuman tipis nan canggung lalu berjalan kembali ke ruang kerja.

🐩🐩🐩🐩🐩🐩🐩🐩

Gendhis melihat tanggalan duduk yang ada di meja kamarnya. Angka sepuluh ia beri lingkaran, hari itu adalah tanggal ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Apakah Emran ingat? Gendhis saja ingat karena tanggal ini yang diukir Munah di lemari bajunya. Lima tahun lalu Emran menikahinya secara agama di sebuah masjid, pernikahan mereka sampai sekarang masih rahasia. Orang yang tahu pernikahan mereka sudah meninggal. Tak ada pembicaraan untuk meresmikan pernikahan keduanya sebab hubungan mereka berjalan sebatas adik kakak tanpa saling menyentuh atau melakukan hubungan intim.

Gendhis ingin mewujudkan pernikahan ini menjadi sungguhan tapi bagaimana bisa jika cinta saja tidak ada.
Tidak sulit menyukai Emran, mengingat pria itu punya keunggulan-keunggulan yang tidak mungkin ditolak kaum hawa. Yang membuat Gendhis pusing, ia tak bisa mencapai standart wanita yang Emran inginkan.

Ponselnya berkedip, tampaknya Emran menghubunginya. Gendhis mengangkat teleponnya dengan semangat. Biasanya Emran menelponnya karena ada perlu.
“Iya, kenapa Bang?”

Gendhis mengulum senyum karena Emran akan mengajaknya ke suatu tempat dan menjemputnya sebentar lagi. Pria itu sungguh membuat hatinya hari demi hari melunak tapi kadang Gendhis bingung. Apa Emran baik kepadanya karena juga menyukainya. Ia langsung mengibaskan tangannya di depan muka. Emran baik padanya sejak Gendhis bayi, itu pun karena menganggapnya sebagai keluarga.

🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒🐒

“Ini dimana?”

Emran mengajaknya ke jajaran ruko yang kosong tanpa penghuni. Gendhis berdiri sambil melihat-lihat kemudian menggaruk rambut karena tak tahu tujuan Emran membawanya kemari.

“Ini Di ruko baru, rencananya dua ruko akan abang beli buat kamu.”

“Buat aku?” Gendhis melongo tak percaya, jari telunjuknya mengarah ke dirinya sendiri. “tapi buat apa?”

“Kamu gak bosen jadi karyawan. Abang mau buatin toko buat kamu, supaya kamu bisa jualan sendiri.’

Gendhis menggeleng pelan sebab merasa senang sekaligus terharu. Emran memberinya terallu banyak sampai ia tak bisa berkata apa-apa. Pria ini bertanggung jawab penuh terhadapnya, menjadi suami serta kakak yang baik. Pria ini melimpahinya kebahagiaan tak terkira hingga kesedihannya kehilangan Munah sedikit demi sedikit terkikis. Padahal gendhis tak pernah memberinya apa-apa. Gendhis ingin sekali memeluk Emran dan melakukannya saat itu juga.

“Makasih banyak Bang,” ucapnya sembari memeluk Emran. Emran yang mendapatkan tubrukan dadakan merasa canggung sebab Gendhis yang ada di pelukannya bukan Gendhis seorang anak yang berusia sepuluh tahun atau seorang gadis muda berusia enam belas tahun. Demi Tuhan tinggi Gendhis sekarang hampir mencapai bawah hidungnya. Tubuh Gendhis berlekuk dan terasa empuk ketika bergesekan dengan tubuhnya. Gadis ini menyadari tidak jika bagian bawah tubuh Emran menggembung.

“Abang memberikan ini sebagai hadiah ulang tahun pernikahan kita yang kelima.”Dan Emran di matanya bak seorang dewa. Lelaki ini bahkan ingat hari istimewa mereka. “Ayo kita lihat ke dalam.” Emran sengaja mengajak Gendhis masuk ruko agar pelukan gadis itu terlepas. Beralku baik dengan Gendhis tanpa imbalan, tentu pikiran yang naif namun Emran sudah berjanji untuk tidak membuat Gendhis trauma. Ia akan bersabar menunggu Gendhis siap untuk menjalankan peran sebagai istri seutuhnya.

🦇🦇🦇🦇🦇🦇🦇🦇🦇🦇🦇

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top