Bab 10
Untuk menyalurkan amarah karena bertemu ayah kandungnya, Emran meninju sandsack yang tergantung di halaman. Biasanya sore hari yang cerah, ia akan ditemani segelas teh dan juga pisang goreng buatan Gendhis tetapi gadis itu meminta ijin untuk menemani Mitha membeli sepatu sejak siang tadi. Hari sudah sore, istrinya belum juga pulang.
“Mran, bibi bawa makanan buat nanti makan malam. Kalau sama temennya Gendhis lupa diri padahal sudah punya suami.” Munah tahu dari wajahnya, Emran didera resah sebab Gendhis belum juga pulang.
Emran berhenti berolahraga, ia membalas kebaikan mertuanya dengan senyuman tulus. “Makasih Bik. Jadi ngrepotin.”
“Alah kayak sama siapa saja Mran. Bibik simpan makanan ini di dapur, nanti kalau mau makan tinggl dipanasin.” Emran meraih handuk lalu minum sebotol air mineral. Ia beristirahat di kursi depan sembari mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Ponselnya masih kosong tak ada pesan atau nada dering panggilan masuk. Gendhis tak mengabarinya, bahkan mengangkat teleponnya saja tak mau.
“Capek Mran?”
Munah sudah keluar rumah, bergabung duduk. “Biasa Bik. Capek dikit.”
“Bibik mau ngomong sebentar bisa?”
“Bisa. Di dalam atau di sini?”
“Di sini saja.”
Munah menarik nafas, berpikir sejenak untuk mengurai kata yang pas dan pantas agar tak membuat Emran tersinggung. “Bibik mau ngomong masalah Gendhis.”
Emran mengangguk sekilas lalu mencoba untuk menjadi pendengar yang baik. “Bibik minta maaf kalau tingkah Gendhis yang masih kekanakan banyak ngerepotin kamu. Dia masih suka Main dan lupa kewajiban di rumah. Belum lagi anak itu suka jajan. Bibik minta kalau dia minta barang yang aneh-aneh jangan dibeliin.” Emran jadi ingat ketika Gendhis minta motor matic, dia malah membelikan sepeda mini.
“Biasa Bik. Gendhis juga baru tujuh belas tahun.”
“Dia masih muda banget kan kalau dia suka bikin ulah kamu sabar ya. Gendhis anak baik Cuma masih anak-anak.”
“Iya Bik.”
“Maaf gendhis juga Belum bisa melayani kamu selayaknya istri.” Munah paham. Gendhis menghindari sekali berbagi ranjang dengan Emran dengan alasan masih takut. “Walau pernikahan kalian di awali sesuatu yang salah. Bibik berharap pernikahan kalian awet sampai tua. ”
“Minta apa Bik?”
Munah berusaha untuk tetap duduk dan tidak menangis. “Bibik sudah tua. Umur manusia juga gak ada yang tahu. Bibik minta, kalau ada apa-apa sama Bibik. Tolong kamu jaga Gendhis, semenyebalkan dia. Tolong jangan kamu marahi atau kasari.”
Emran terperanjat, ia pernah mengasari Gendhis Cuma sekali dan itu tak akan pernah terulang lagi. “Bibik gak akan kenapa-napa. Bibik mau Emran anter ke rumah sakit buat medical check up.” Tawarannya hanya ditanggapi gelengan pelan.
“Bibik sehat, gak kenapa-napa Cuma Bibik kadang takut meninggalkan Gendhis sendirian. ” Munah meraih tangan Emran untuk digenggam. “Bibik titip Gendhis, dia anak bibik satu-satunya. Jangan pernah buat Gendhis menangis, walau di antara kalian belum ada cinta. Tolong jangan pernah berpikir untuk bercerai.”
Emran seperti tertinju mendengar permohonan Munah. Cerai adalah pilihan pertama setelah menceraikaan Gendhis, pernikahan mereka Cuma didasari rasa tanggung jawab. Setelah Gendhis dewasa, bisa mandiri dan menemukan pria yang tepat, Emran akan dengan senang hati melepasnya. “Iya Bik.” Tak apa mengiyakan sekarang, yang terjadi nanti biarlah terjadi.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Gendhis dengan semangat membawa buku dan menuju ke rumah Emran. Katanya guru les-nya hari ini datang. Gendhis sudah mengajukan beberapa syarat kepada suaminya tentang masalah ini. Orang yang membimbingnya harus seorang ahli dan seorang yang memiliki wajah menarik. Tapi ketika sampai di pintu ruang tamu. Gendhis menengok ke kanan dan kiri. Tak ada guru lesnya.
“Bang guru lesku mana, katanya hari ini sudah ada.”
“Abang yang akan mengajari kamu. Kamu minta guru les yang ganteng, sudah lulus kuliah
dan juga ahli dalam bidang matematika. Abang memenuhi syarat itu.”
Gendhis semakin mengeratkan buku yang ditahan dadanya, satu bibirnya di naikkan satu sebagai tanda tidak setujuan. Orang di hadapannya ini mengira dirinya berwajah menarik. Wah mimpinya ketinggian. “Iya tapi enggak abang juga kali.”
“Gini ya, nanti ketika kamu menghadapi ujian kelulusan. Abang akan beneran cari guru les yang kompeten. Sementera untuk meningkatkan nilai kamu, biar abang yang mengajari.”
Pertimbangan yang dalam. Gendhis sampai memutar otak dan terdiam lama. Ia memnag yakin jika Emran mampu. Menilik dari sejarah pria itu yang selalu mendapat nilai baik ketika sekolah dulu dan itu yang membuat Gendhis anak ingusan jatuh cinta. Bolehlah kalau begitu, di ajari Emran tidak terlalu buruk.
“Oke, aku mau diajari Abang.” Setidaknya Emran akan mengajarinya dengan kesabaran ekstra mengingat kemampuan otak Gendhis hanya bernilai separuh.
Namun setelah satu jam berlangsung, dugaan Gendhis meleset. Emran berkali-kali lebih galak dari wali muridnya di sekolah. Setiap Gendhis mengerjakan soal, dan Emran mengawasinya rasanya seperti waktu berjalan selayaknya siput dengan rumah yang amat besar. Emran melotot ketika jawabannya salah dan bulpen hitamnya itu enteng sekali mencoret-coret.
“Kalau kamu pakai cara ini jawabannya akan salah.”
“Gendhis suka cara yang simpel. Kan abang sendiri yang bilang matematika itu akan terasa gampang kalau kita berlatih dan membiasakan diri mengerjakan soal.” Tapi semakin ia melihat angka, otaknya malah terjerat pening.
“Kamu gak serius mengerjakannya.” Emran hampir putus asa. Ia hanya pernah mendengar jika Gendhis itu tak terlalu cerdas namun Emran kira tak separah ini.
“Kurang serius bagaimana. Aku nurut apa yang Abang bilangin, aku ngerjain apa yang Abang mau. Kalau salah jawabannya yang jangan dimarahin. Kan yang penting udah usaha.”
Emran menilik jam tangannya. Ini hampir jam lima sore, sehabis Maghrib nanti ia ada urusan, mengecek gudang senjata. Meluangkan waktu dengan Gendhis terasa sia-sia. “Oke kali ini kita bikin peraturan, kalau kamu salah ada hukumannya.”
“Apa hukumannya?” jawab Gendhis malas karena otaknya sudah minta ditidurkan.
“Satu kali salah, kamu harus mau Abang cium.”
Niatnya ingin merotasi mata kini matanya malah melotot sempurna. “Itu hukuman macam apa! Kalau aku di sekolah salah disuruh berdiri di depan kelas atau keluar kelas paling parah push up.”
Emran terkikik, kalau hukumannya cuma itu Gendhis akan menajdi semakin malas. Ia menggunakan kelemahan Gendhis yang anti jika ia sentuh. “Kalau itu hukumannya, kamu gak akan maju-maju. Terbukti kan kamu sekolah hampir tiga tahun, gak ada peningkatannya.”
Gendhis mendengus jengkel namun tak punya ide untuk menyanggah. Kalau hukumannya ciuman, tentu dengan terpaksa Gendhis berusaha memeras otak. “Baik. Tapi Cuma cium pipi.”
“Abang setuju.” Emran mengambil buku latihan Gendhis lalu menggerakkan polpoin yang ada di tangannya. “Abang minta kamu kerjain sepuluh soal ini.” Gendhis menaikkan dagu dan menarik buku bang soalnya. Ini kelihatannya mudah dan ia akan berusaha mati-matian mengerjakannya. Lihat saja nanti, pipinya yang mulus ini tak akan jadi sasaran keganasan rambut kecil-kecil yang menghiasi janggut Emran.
Menunggu Gendhis mengerjakan soal membutuhkan kesabaran ekstra. Istrinya begitu lucu, mengerutkan dahi, menggigit ujung bolpoin bahkan mencibir ke arahnya tanpa suara. Itu menandakan jika remaja berusia tujuh belas tahun lebih ini tengah di landa kesusahan. Emran sendiri punya kekhawatiran lain karena takut terlambat datang ke gudang.
“Selesai.”
Otomatis Emran akan meneliti pekerjaannya. Gendhis sudah khawatir setengah mati, berdoa kalau jawabannya benar semua minim yang salah Cuma satu. Ia menhana nafas saat mata Emran mulai menyipit, tapi bahunya turun ketika tahu bolpoin Emran mulai mengeluarkan tintanya membentuk coretan panjang lalu disusul coretan lainnya, totalnya ada lima.
“Salah lima.”
Gendhis cemberut tapi otaknya mulai bekerja menemukan sebuah alasan.
“Mana?” Ia menyipitkan mata. Meremehkan kemampuan Emran dalam memecahkan soal. “Mungkin saja abang boong. Aku kan gak tahu juga jawaban sebenarnya.”
Emran menarik nafas panjang, berusaha sesabar mungkin. Gendhis itu akalnya banyak namun kemampuan akademisnya dangkal. “Janji harus ditepati. Kamu ngerti abang bener. Mana pipi kamu?”
Gendhis melotot sempurna, ia agak ragu mau mendekat tapi kan dia bukan pengecut. Gendhis mengelap pipinya terlebih dulu dengan telapak tangan, tindakan itu membuat Emran tertawa namun pertemuannya dengan Gendhis tak bisa berlangsung lama.
Gendhis memejamkan matanya karena tidak akan tahan jika Emran kecup, namun kenapa ia malah merasakan lehernya ditarik dan wajahnya dihadapkan ke depan namun saat membuka mata semuanya terlambat. Emran mengambil bibirnya untuk dikecup, itu pun bukan kecupan sekali tapi lumatan yang lumayan lama hingga membuatnya kehabisan nafas.
“Ciumannya di rangkum jadi satu.” Itulah kata pertama yang Emran sampaikan setelah ciuman keduanya terlepas. Ketika Gendhis sadar dan menapaki dunia nyata, suaminya sudah melesat pergi, meninggalkannya.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺
Jangan lupa vote dan komentarnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top