DIMANA KASTAKU BERADA

Masa modern, orang-orang bilang adalah saat teknologi telah menjamah ke seluruh sendi kehidupan manusia, seperti Microwave, televisi, Internet. Saat itu mereka sudah tak percaya lagi pada semburan dari mulut dukun untuk menyembuhkan penyakit. Lalu sistem transportasi yang telah meninggalan eksploitasi binatang. Kenyataannya pesawat dan kereta api itu jauh lebih efisien dan cepat.

Kemudian untuk makanan kini semakin nikmat terasa dengan bumbu ajaib yang bernama Monosodium Glutamate. Membayangkan akan betapa riuh dan atraktifnya manusia purba andai memakan keripik kentang dengan baluran bumbu ajaib itu, lalu ada taburan bubuk rumput laut juga. Hm, Yummy...

Bagaimana dengan penampilan? Sihir itu bernama Fashion. Jangan pernah jauh-jauh dari pakem itu atau kalian akan disebut sebagai kaum terbelakang, ketinggalan jaman, kuno, tidak popular, mental terbelakang? Ah tidak, itu berlebihan, lupakan. Dan jika itu yang terjadi padamu maka ucapkan selamat tinggal masa muda bersinar, penyesalan abadi akan merangkulmu seumur hidup.

Mereka bilang modern adalah masa kini dan masa depan, melambaikan tangan sepenuhnya pada masa lalu. Benarkah? Ayolah aku tahu itu semua omong kosong. Nyatanya budaya kasta yang merupakan produk jaman kolonial, budaya sejak jaman kolosal, pun justru merebak, menjalar hingga ke gedung SMA kini.

Aku yakin tentang itu, aku tidak menutup mata.

Tinggi badan 180 cm, kulit putih blesteran, senyum menyilaukan dan rambut pirang terurai, ditambah lagi atlet andalan di salah satu klub olahraga, menjabat kapten tim adalah bonus. Maka beruntunglah itu kriteria yang cukup untuk berjalan di jalur kasta idol sekolah. Pergaulan, banyak teman, pacar cantik? Kenapa tidak? Ah, juga jangan lupakan bisik-bisik dan lirik-lirik pesona dari para gadis di sepanjang lorong gedung sekolah.

Lalu mereka yang lemah terhadap kegiatan fisik atau olahraga tapi memiliki otak cemerlang, seharusnya tidak ragu untuk bergabung sebagai anggota OSIS. Kelompok itu, para penghuni kasta eksekutif, tak kalah juga untuk dielu-elukan dan dipuja-puji banyak orang. Asal tahu saja bahwa kita di bumi belahan timur kawan. Seharusnya di sana tidak akan ada penyesalan selain kebanggaan diri.

Dan terakhir adalah dia yang paling beruntung di dunia, tampan, berwibawa dan pewaris tunggal dari marga bangsawan kaya raya, itu poin utama. Tidak perlu banyak beraksi, tebar pesona maupun memasang topeng melankolis, apapun itu. Cukup berjalan tenang elegan, tataplah semua orang sedingin salju, Cool, Innocent, aku sendiri tidak begitu paham tapi gadis-gadis kadang suka itu.

Sedangkan aku, dimana letak ku dari tiga kasta itu? Tentu saja tidak satupun. Juga tidak seberuntung itu aku berasa di kasta para Fans atau siswa biasa-biasa saja.

Eh tunggu, aku tidak beruntung? Tentu saja posisi ku di sekolah sebagai penghuni kasta terlaknat bukan takdir atau ketidakberuntungan. Asal tahu saja, aku justru menempatkan diriku dengan sengaja di dalamnya. Untuk apa? Tentu saja semua untuk ambisiku, seratus kali penolakan, tercampakkan oleh cinta adalah hal yang harus aku dapatkan.

Cinta? Aku tidak akan pernah membutuhkannya. Aku justru memusuhinya, itu justru terdengar tepat. Pergilah jauh kebahagiaan masa muda, pergilah, aku tak perduli.

Dan menjalani peran ku, di sinilah aku kini, duduk mematung di meja paling belakang kelas. Ketika jeda jam pergantian pelajaran, seketika menjadi sorotan tertawaan beberapa siswa di kelas. Alasannya, tentu saja karena beberapa saat lalu, prolog mengenai kegagalan cintaku untuk yang kesekian kali, begitu cepat menyebar.

Ok, waktu tutup telinga dan jalankan peran... Action!

"Yang benar saya, apa kamu tidak pernah memandang cermin di rumahmu gris? Bukan berarti karena cermin itu tidak retak maka kamu bisa dianggap tampan!"

"Aku curiga justru dia tidak memiliki cermin di rumahnya? Ok, mungkin penampilan buruk mu itu abadi tapi cermin pun tetap dibutuhkan agar kamu selalu membumi."

"Buhahahaha... Penampilan buruk yang abadi, bukankah kamu terlalu jujur di sini Rocky?" Pria otot itu tertawa begitu keras, juga perkataannya didengar ke penjuru kelas. "Liat tampang itu, mungkin aku tidak pernah mengatakan tapi aku sangat bersimpati. Sampai kapanpun Agris tidak akan pernah lepas dari kelas rendahan kan?" Lagi dia mengakhirinya dengan tawa menghina.

Menyebalkan, sungguh itu sebuah simpati? Apa aku tampak seperti idiot?

"Tapi mungkin justru sifat percaya dirinya itu yang harus dikurangi? Seperti seekor domba yang berbangga diri telah masuk ke dalam sarang serigala, percaya diri atau bodoh, itu sangat tipis. Tahu apa itu Overdosis? Yang berlebihan itu memang tidak baik."

"Percaya diri itu seperti pedang bermata dua untuk orang bertampang jelek. Tapi aku harap Agris tetap menjadi Agris yang biasanya. Bagaimana pun hal seperti ini akan selalu menghibur ku."

Mereka berdua duduk tetap di seberang meja ku, begitu dekat sebenarnya. Dan bebas berbicara begitu saja seakan tak melihat keberadaanku. Oh, mungkin melihat tapi sangat tidak perduli.

Puisi-puisi pujian itu, benar-benar dilemparkan tak berjeda. Tidak ada waktu diberikan kepadaku untuk Recovery hati. Mungkin aku sudah tahu akan adanya skenario ini tapi hatiku tetap rapuh dong. Ingin mengabaikan tapi hati itu memang tak akan bisa dibohongi. Itu masih terasa pedih.

Dengan tawa terpingkal-pingkal, Jhonny Bisepta berkata bebas seperti biasa. Tepatnya adalah pria itu memang sosok yang tidak pandai memilih kata. Setiap saat hampir tidak ada kata-kata yang layak keluar dari mulutnya. Beruntungnya dia punya badan besar dan kekar itu. Dua kancing bajunya teratas tak pernah dikait, lengan seragamnya juga dilipat sampai ke pangkal, tahu kan alasannya? Jika saja badannya tidak seperti gorila mungkin sudah lama satu sekolah mengeroyoknya habis.

Lalu namanya, aku tidak tahu bagaimana orang tuanya bisa memberikan nama itu, kebetulan atau sebuah Pashion? Jika aku percaya nama adalah doa maka jelas doa orang tuanya begitu mujarab. Sayangnya, mereka seakan lupa untuk meminta sedikit otak untuknya. Otot-otot itu terlalu banyak menumpuk di sana, hanya menyisakan sedikit ruang di kepala.

Kemudian Rocky Panggabean, pria berkacamata yang seharusnya identik dengan pria baik-baik, perangainya tak beda jauh. Benalu, mungkin itu yang terpikir tentangnya. Menjadi sosok popular karena menempel pada gerombolan geng Ivan dan kawan-kawan. Ah, mulutnya amat lihai menjilat dan jika dipikir-pikir, aku sangat membencinya. Dia cenderung angkuh juga.

"Sudahlah kalian berdua, pelajaran berikutnya akan dimulai... Hei Agris, tolong jangan dimasukkan hati perkataan mereka, ok?"

Ivanka Chalista, cowok blesteran Jerman, pemimpin kasta para Idol, berkata sambil memasang wajah ramah. Juga menyandang kapten klub ekstrakulikuler sepakbola, betapa sempurnanya.

"Berhati mulia seperti biasanya, sosok yang aku suka." Riani berucap sambil tersenyum riang. Menekan kedua pipinya sambil berpose menggemaskan.

Aku justru sebal melihatnya. Ada apa dengan gadis ini?

Tapi gadis itu tepatnya selalu menanggapi semua perkataan Ivanka dengan ekspresi serupa aku kira. Aku menelaah, dia selalu melempar senyum puji pada semua ucakan pria itu, itu mengerikan bukan? Dan tambahan, begitu juga biasanya Rocky berlaku.

"Ah, kalau begitu aku menyesal, tolong maafkan aku Agris."

Sialan seperti dugaanku, dasar anjing penjilat! Apa aku harus percaya pada perkataannya itu?! Tolong sekali-kali biarkan aku salah memikirkanmu!

"Haha... Tidak usah kuatir, aku tidak tersinggung kok."

Tentu saja butuh energi berlimpah untuk memasang senyum palsu bersama ucapan tujuh kata itu. Beruntungnya aku sudah terbiasa dengan itu semua. Sudah satu setengah tahun aku menjalani hal seperti ini, juga satu kelas bersama geng Idol itu. Jadi mungkin bisa dikatakan aku pun sudah tertempa.

"Senyum palsu menjijikkan seperti biasa."

"Senyum palsu? Apa maksudnya?"

Perkataan itu memang untukku kan?

Gadis itu berambut panjang pirang caramel, mendecakkan lidahnya sembari melirikku dan tidak ada lagi kalimat yang keluar dari bibirnya. Aku merasakan hujaman kebencian tepat ke dadaku. Tapi ngomong-ngomong, aku di sini statusnya korbankan? Entah kenapa, sejak hari pengakuan itu, dia tampak sinis dan membenciku. Meski awal kali berjumpa, tak satupun kita bertegur sapa.

Dia merupakan anggota terakhir geng kasta Idol Ivanka, Milia Indarana, amat terkenal dengan sebutan angsa emas. Tentu saja itu merujuk pada penampakan fisiknya yang mempesona. Lalu hingga tahun kedua ini, tidak juga muncul gosip mengenai dirinya yang sudah memiliki pacar, itu membingungkan.

Di sisi lain sudah puluhan pria juga menerima penolakan cinta darinya. Salah satunya tentu saja aku, tidak perlu ku sangkal. Lalu dari sekian, sungguh tidak ada satupun yang menarik hatinya? Tentu saja tak sedikit juga para pelamar yang memiliki kualitas lebih dariku.

Hari itu berjalan biasa hingga jam pelajaran benar-benar usai. Selama itu, bisik-bisik samar tak henti-hentinya ku curi dengar, apa lagi jika bukan tentang ku?

M? Serius? Aku mendengarnya dari seorang siswa membisikkan kata itu bersanding dengan namaku. Itukah penglihatan mereka padaku? Tunggu, jika merujuk dengan kegemaran ku itu, mungkinkah? Tidak, aku menolak! Aku tidak akan pernah mengakuinya, aku yakin bawah tubuh dan pikiran ku sekarang ini masih normal.

Itu jelas asumsi gila mengenai apa yang berlaku untukku. Seharusnya mereka bisa berpikir lebih positif, anggaplah aku adalah seorang pejuang cinta, beres kan? Tapi jika "M" itu pun tersebar menjadi gosip, aku tak perduli juga. Lakukan saja semau kalian.

Tapi aku juga mendengar kata pengemis cinta. Terdengar tak kalah menyedihkan sih tapi setidaknya aku pikir masih lebih baik daripada M.

Namun di antara semua, masih ada juga beberapa orang yang menaruh tangan di pundak ku. Dedi dan Sarjito, mereka dua orang yang sebenarnya bisa dikatakan teman sepenanggungan.

"Apapun kata mereka, kamu tetap Idola ku Agris. Aku akan selalu bersandar padamu."

"Benar, kamu adalah harapan terakhir kami. Aku yakin kelak mentari itu akan tiba ke daratan kita."

"Bagaimanapun pungguk masih punya sayap. Yakinlah jika terus berusaha kamu pasti akan mampu mengepak sampai ke bulan."

"Sebentar, darimana kalian menjiplak kalimat itu? Tapi apapun, terima kasih kawan."

Sambil berucap, aku membalas menepuk pundak mereka. Ku lihat raut wajah mereka berdua, tatapan tegas itu, tidakkah terlalu berlebihan untuk ku? Negara kita sudah lama merdeka dan mereka memasang wajah membara seakan sedang di dalam medan perang?

Kami bertiga berdiri tegap di dalam ruang kelas yang kosong. Semilir angin menyibak rambut-rambut kami, itu terlihat sedikit keren.

Bersama, kami pun berjalan meninggalkan gedung sekolah. Meski sekarang sudah lewat dari jam sekolah, siang itu di sana masih berisik dengan teriakan beberapa gadis di pinggir lapangan. Tatapan mereka tentu saja untuk Ivanka yang sedang lihai meliuk-liuk dengan si kulit bundar. Sementara Sarjito dan Dedi sebaliknya melirik risih, aku mendengar caci maki lirih itu.

"Hei Agris kita berpisah dulu. Aku dan Dedi hari ini ambil arah lain karena ada keperluan mendesak."

"Sampai jumpa Agris!"

"Sampai jumpa kalian!"

Tentu saja aku tahu kemana mereka berdua pergi. Selain tubuh mereka yang bertolak belakang. Dimana Dedi yang cenderung berisi sementara Sarjito kurus tinggi tapi mereka adalah sama. Keduanya sama-sama berkacamata seperti ku dan Otaku akut. Kali pertama berkunjung ke rumah Dedi, aku sempat terkejut dengan bantal panjang yang memuat karakter Meimei Chan, tertidur rapi di ranjangnya. Aku pun memasang ekspresi wajar dan normal, seakan tak menghiraukannya.

Berjalan beberapa langkah dari gerbang sekolah, melangkahi lagi garis-garis putih di atas aspal, di ujung mataku melihatnya, gadis berambut panjang yang sedang berdiri diam di pinggir jalan.

"Weni..."

Aku mengenalnya, seperti Milia yang seorang Idola sekolah, Weni pun tak kalah membunga di sekolah. Salah satu gadis terpintar saat ini, peringkat kedua pada nilai ujian kenaikan kelas, di bawah Dinda Almira sang ketua OSIS saat ini. Dengan otak encer dan wajah rupawan, siapapun akan terpikat tentu saja.

Tiba-tiba saja debaran itu terucap, sedikit terkejut maka aku pun mengusap dadaku. Mataku tak henti memandang namun di sisi lain, tatapan gadis itu tertunduk kosong. Itu terus berlangsung hingga semakin aku menjauh dan sosoknya pun lenyap dari pandangan.

Dan setelah berjalan beberapa lama, tak jauh dari sekolah, aku pun tiba di apartemen sederhana ku. Tidak terlalu besar memang, sekitar 3x6 meter luasnya. Tapi untukku ini cukuplah, bisa lebih berhemat guna melimpahkan anggaran ke sisi lain.

Hidup sendiri mandiri, tidak ada masalah dengan itu. Semasa di rumah dulu pun, tak jarang aku memasak untuk aku dan saudara-saudaraku ketika ayah ibu sedang bekerja. Mencuci baju, membersihkan rumah, bukan perkara sulit untukku karena selaku anak tertua kala itu, aku harus mampu melakukan semua.

Di apartemen kecil ini, di dapur yang menyatu dengan ruang tidur, bau harum masakanku sudah membumbung, menebar ke segala arah. Aku mencium, purut ku pun tak kuasa bergemuruh. Seperti biasa yang berlaku, di meja kecil itu sekarang sudah tertata makanan yang terhampar dan kalori yang berlimpah. Jika diperhitungkan, itu lebih dari tiga porsi makan orang dewasa di sana. Untuk siapa itu semua? Tentu saja untukku seorang.

Seperti yang pernah ku kata, tubuh ini tidak terbentuk dengan sendirinya. Lemak-lemak itu akan cepat memudar jika aku tak lekat menjaga asupan makanan dan aku tidak ingin itu terjadi. Semua makanan itu pun ku lahap, ku kunyah dengan paksaan, ya dengan paksaan. Memangsa tiga porsi makan sekaligus bukan perkara mudah, setelah satu setengah tahun berjalan pun tak juga tubuh ini beradaptasi. Tapi inilah salah satu usaha ku, demi membentuk topeng terburuk di sisa masa remaja ku.

Aku laki-laki yang memang pantas untuk dicampakkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top