II. Chapter 52: Gua Naga
Setelah kira-kira beberapa menit melangkah semakin ke dalam hutan, sinar rembulan juga semakin tenggelam dari antara rimbunan pohon di atas kepala mereka. Guo Fen mendapati sebuah gua dengan dinding bebatuan di samping kanan dan kirinya. Tanah hutan semakin ke dalam semakin turun. Guo Fen merasa ia sedang menuruni gunung. Di depannya, pria tua yang memakai baju serba putih dan rambut putih juga berhenti di bibir gua.
"Sebenarnya kau mau bawa aku ke mana?"
Pria tua itu menoleh, lalu mengernyit ke arah Guo Fen. "Kau tidak ingat tempat ini?"
Guo Fen mengerjap bingung. "Aku tidak ingat? Aku bahkan tidak tahu ada tempat seperti ini," katanya seperti menuduh.
Ia mendongak, memperhatikan bibir gua yang sangat besar dan gelap. Samar-samar terdengar suara kelelawar memenuhi bibir gua. Ia sedikit curiga sebenarnya pria tua ini hendak membawa dirinya ke mana? Tapi ia tidak bisa pergi begitu saja sekarang karena selain tidak tahu arah, ia tidak mau melawan pria hebat ini.
"Keluarkan pisau es tadi," ucap pria tua itu. Guo Fen dengan ragu mematuhi. Karena penerangan hanya samar-samar, Guo Fen bisa melihat pisau kristal itu menyala di tangannya. Ia sedikit terpaku, ketika pisau itu bersinar, ada serbuk cahaya yang tipis dan berupa asap muncul dari sana. Asap itu melayang ke udara, membukakan jalan ke arah gua dan membelah gelap menjadi terang.
Guo Fen terlalu kaget melihat keanehan itu.
"Apa itu barusan?" tanya Guo Fen pelan.
Pria tua itu tersenyum kecil. "Aku sudah bilang kan, kalau aku tahu darimana pisau es itu? Sekarang dia sedang menunjukkan jalan ke arah saudaranya."
Guo Fen masih memegangi pisau di tangannya, ia mengerutkan alis lalu menatap pria tua itu. "Apa sih maksudmu? Saudara apa?"
"Pisau es ini berasal dari Kolam Es Embun Pagi yang ada di dalam gua ini. Tidak banyak orang yang bisa menemukan tempat ini. Tanpa petunjuk pisau es, kau tidak akan menemukannya."
"Lalu?" pikiran Guo Fen masih lebih banyak dikuasai keraguan, jadi ia berusaha mungkin menyerap informasi yang ada sambil pelan-pelan mempercayai pria tua ini.
"Pisau es ini merupakan pusaka yang ditinggal Dewa Naga. Aku tidak tahu kau bisa mendapatkan ini darimana, tapi aku tidak peduli. Karena sekarang aku pun sudah tahu kalau kau adalah penaklukan pisau dan pedang ini."
Pria tua itu berjalan sedikit ke gua. Masih dengan sedikit kerut tipis di kening, Guo Fen menyahut, "kalau begitu apa hubungannya pedang ini dengan Dewa Naga yang kau sebutkan?"
"Pisau es dari Kolam Embun Pagi adalah pusaka keramat yang hanya bisa ditemukan oleh penakluk tersebut. Yang membuatmu menjadi orang yang bisa membuka pedang ini adalah karena kau ditakdirkan oleh Dewa Naga itu sendiri."
Guo Fen tergelak remeh. Ia mengusap wajahnya dan baru sadar kalau bekas air mata yang tadi masih sedikit membekas. Samar-samar, kesedihan terhadap kematian Rong Mei kembali memberkas. Membuat pisau di tangannya semakin bersinar. Guo Fen menyaksikan itu dalam diam dan terpekur. Sedikit tidak mempercayai kalau pisau yang selama ini ia gunakan punya kekuatan semacam itu.
"Kau sedang melawan rasa sakit. Pisau itu menyuruhmu pergi," kata pria tua itu.
Guo Fen melirik gua dan cahaya tipis yang mengarah ke dalam sana. "Bagaimana dia tahu?"
"Kau selama ini bertarung dengan pisau itu. Dia bagaikan hatimu sendiri. Pisau memang hanya sebuah benda, tapi pisau Es Sisik Naga berbeda. Dia memahami pemiliknya dan menjaga hatinya untuk semakin tegar."
Guo Fen seolah mendengar sebuah legenda menjadi nyata di depan matanya. Tapi ia tidak bisa berkutik lagi karena mungkin, legenda itu memang sebuah kekuatan magis yang unik. Guo Fen tidak mampu menyangkalnya.
Tanpa mengatakan apapun, Guo Fen meneguhkan hatinya. Dalam rasa penasaran yang mengikat juga, ia pun turun ke dalam gua. Dasar gua tidak terlalu jauh. Dia hanya sedikit melompat ke bawah dan sudah berdiri di lorong gelap yang tidak ada cahaya kecuali serbuk cahaya dari pedang. Guo Fen mengangkat tangan, lalu mengikuti arah cahaya. Pria tua itu menyusul di belakangnya tanpa mengatakan apa-apa.
Ketika melewati lorong gua, Guo Fen hanya bisa merasakan udara semakin menipis dan dinding-dindingnya semakin menyempit. Tapak Guo Fen hanya menyentuh permukaan dinding gua yang lembab. Ia terus berjalan hingga menemukan ujung cahaya. Ia sedikit berhenti sebentar, lalu menoleh. Di belakangnya, pria tua itu menghilang.
Jantung Guo Fen seketika berhenti sejenak. Ia mengerjap panik dan takut kalau dia sedang ditipu. Tapi sebuah suara kembali muncul. "Jangan takut, aku hanya mendadak harus pergi karena ada urusan. Terus ikuti sinar itu, kau tidak dalam bahaya apapun."
Guo Fen memandang sekitar, berharap bisa menemukan pria itu lagi, tapi ia hanya menghela napas keras. Seharusnya ia sudah menduga kalau pria itu seperti hantu atau roh gunung. Gunung Zainan memang sangat misterius. Tapi Guo Fen tidak menduga kalau ada roh pendekar yang bisa bicara padanya secara langsung dan mengarahkannya menggunakan pisau kristal.
Dengan terpaksa, Guo Fen pun mengikuti cahaya itu terus sampai tiba di sebuah belokan yang ternyata tangga menuju ke bawah. Tangga itu mengelilingi lingkaran gua yang lain. Di dasar gua—tepatnya di kolam yang memancarkan sinar terang kebiruan itu, Guo Fen bisa melihat seolah-olah ada bintang yang memenuhi dasar gua. Jantungnya sedikit bertalu-talu, tapi matanya terlalu terpukau untuk melewatkan pemandangan ini.
Dinding-dinding gua yang terbuat dari batu terkena bias sinar kolam. Dasar gua cukup besar. Ada sentuhan magis yang tak pernah Guo Fen rasakan sebelumnya di tiap langkah ia berpijak. Ketenangan merasuki pikiran, matanya terpaku pada setiap keajaiban di bawahnya.
Di tangannya, pisau es itu bergetar pelan. Guo Fen memegangnya erat-erat, tapi pisau es itu tidak berhenti bergetar. Seolah dirasuki kekuatan, pisau itu menarik tangan Guo Fen untuk turun ke kolam di bawah gua. Hati-hati Guo Fen melewati tangga yang melingkar tinggi. Posisinya dari lorong gua tadi sedikit jauh ke bawah.
"Kesedihan itu harus dikeluarkan. Pisau itu akan menuntunmu ke tujuan selanjutnya. Dewa Naga hendak menemuimu lewat saudara pisau es itu." Suara pria tua itu menggema di antara dinding-dinding gua. Guo Fen sesekali merasa konyol, tapi ia dengan jelas mendengar semua itu.
"Sekarang, lepaskan pisau itu." Pria itu kembali berujar.
Guo Fen sudah berdiri di pinggir kolam. Air di dalam sana begitu tenang dan bercahaya biru. Guo Fen tidak bisa melihat ke dalam kolam karena dasar kolamnya sangat bercahaya. Dengan gerak pelan, Guo Fen pun melepaskan pisau itu di tangannya. Pisau terbang di udara, melesat cepat tercebur ke dalam kolam seolah ada yang menariknya.
Guo Fen terkesiap kaget. Ia melongok, menatap khawatir ke dalam kolam. Di permukaan air, dia melihat seberkas cahaya berkilau seperti bintang. Cahaya itu berputar-putar dan membuat permukaan air kolam bergolak. Guo Fen melotot, ketika cahaya itu melesat terbang keluar kolam, air kolam meledak, Guo Fen terlempar ke belakang, air bersimbah ke mana-mana terkena energi besar yang entah apa.
Di atas kolam, cahaya tadi melayang. Beberapa detik, titik sinarnya luruh. Seperti mencair dari es yang membeku di sekitarnya. Pisau es melesat terbang sendiri, suaranya menerjang pendengaran Guo Fen. Dengan refleks, ia melihat bayangan pisau itu melesat ke arahnya dan Guo Fen segera menangkapnya.
Ia bangkit berdiri dan menyimpan pisau es itu ke saku lalu kembali mendongak melihat ke cahaya yang tadi luruh di atas kolam. Air menetes-netes dari cahaya yang pelan-pelan menghilang dan sebuah pedang panjang berwarna biru kristal muncul melayang di udara. Ketika Guo Fen hendak bergerak mundur, pedang itu menerjang ke arahnya dan Guo Fen menyingkir. Pedang itu menancap di lantai gua dan permukaannya yang tadi bercahaya, meredup pelan.
Guo Fen terpekur, ia menemukan dirinya terpukau sendiri.
"Aku hanya bisa membantumu sampai di sini. Sekarang, jagalah pedang itu. Niscaya, segala kesedihan yang kau anggap sebagai rasa putus asa, bisa membuatmu bangkit lagi. Jangan tanya kapan kau bisa bangkit, tapi hiduplah lebih lama lagi bersama teman barumu."
Kata-kata pria tua tadi terasa begitu pahit. Guo Fen bisa merasakan tenggorokannya tercekat, kembali teringat oleh kematian Rong Mei. Tapi ia sadar ia sudah tidak bisa mengelak lagi. Pedang kristal berwarna biru itu masih bertengger di sana. Menaratapi Guo Fen yang menghela napas keras, menahan sesak di dada.
Guo Fen pun bangkit dan menarik pedang itu dengan tangan kiri. Dari permukaan pedang, cahaya menyala sekali, lalu kembali meredup. Bersamaan dengan sinar yang meredup itu, dada Guo Fen seolah terasa ringan.
Pria tua tadi benar. Bahkan Rong Mei lebih benar.
Dia harus tetap hidup.
Guo Fen tidak akan menyia-nyiakan kematian Rong Mei.
Bahkan walau semua terasa begitu sulit, Guo Fen harus tetap hidup.
Dia sudah berjanji.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top