II. Chapter 50 : Puncak Misterius
Kenang-kenangan hilir mudik menyerbu pikiran Guo Fen hingga ia tidak sadar sudah jalan sampai ke ujung tebing–tepatnya Gunung Zainan dekat Kampung Shanyi. Untung saja malam itu sudah sangat larut. Ketika ia melewati perbatasan kampung, sudah tidak ada penjaga kampung dan keadaan pinggir tebing sudah sangat sepi. Hanya ada obor di dekat sisi gerbang perbatasan yang berkobar menyala.
Kalau di siang hari, Guo Fen tidak akan berani menginjak kaki di sini lagi. Entah bandit atau orang-orang bisa mengenalinya dan membawanya ke bandit yang masih mencari-cari Guo Fen. Dia pun memanjat pinggiran tebing yang tak rata, menyambut sinar bulan yang terang dari balik gumpalan awan. Malam cerah, tapi hati Guo Fen diterjang badai. Ia melangkahkan kaki lebar-lebar ketika sudah sampai di puncak tebing. Melewati jalan berbatu besar dan masuk ke hutan Poxiao.
Dari atas langit, Elang pos masih mengikuti Guo Fen.
Guo Fen jadi ingat ketika pertama kali ia bertemu Rong Mei. Ketika gadis itu menyelamatkannya dari para bandit, dan mengobati kakinya yang terkena pecut si kembar bandit. Walau dari luar matanya yang sipit terlihat begitu ganas, tapi dia sebenarnya sangat manja. Bahkan waktu Bai Lianhua datang, Rong Mei menangis semalaman.
Dari luar saja kelihatannya seperti es, tapi ketika Guo Fen mencari tahu lebih, Rong Mei tidak lebih seperti sosok bunga mawar di musim dingin.
Rong Mei pernah bercerita, kalau dulu, waktu masih kecil, dia tidak lebih dari seorang budak. Setiap pagi Rong Mei disuruh berburu dan memasak. Bai Lianhua hanya mengajarkannya sekali tapi Rong Mei sudah harus bisa. Kalau tidak, Bai Lianhua akan menghadiahinya hukuman dengan membawa satu gentong air sambil memanjat tebing. Bai Lianhua bilang, itu untuk melatih kekuatan Rong Mei sekalian bayaran karena sudah dibesarkan.
Meski Bai Lianhua waktu itu terkesan galak, tapi ada sisi lembut wanita itu yang kadang-kadang membuat Rong Mei sangat menyukainya. Membuat Rong Mei menemukan celah untuk menyelinap ke hati Bai Lianhua, begitu pula sebaliknya. Sejak saat itu, Rong Mei dibesarkan tanpa sosok ayah dan ibu, hanya ada guru di hidupnya. Pedang dan panah adalah teman-temannya, bahkan saat Rong Mei ingin mencoba mempercantik diri, dia tidak pernah mampu.
Karena Bai Lianhua selalu mengajarkan pada Rong Mei, menjadi cantik, bukanlah kepuasan diri. Tapi tuntutan sosial yang tidak akan ada habisnya. Lalu Bai Lianhua hanya sering menceritakan kalau sosok permaisuri adalah orang yang harus dihindari karena wajah cantik belum tentu hatinya sebening itu. Sampai Rong Mei tumbuh remaja dan besar, dia lebih fokus pada ilmu bela diri dan taktik membunuh yang diajarkan Bai Lianhua untuk hidup.
Setiap malam, Bai Lianhua selalu menyuruh Rong Mei mengenakan pakaian merah dan topi untuk ikut bersamanya. Ada hari-hari di mana pejabat licik berdiskusi di sebuah tempat. Obrolan mereka tidak lebih dari saling menjadi nomor satu. Kadang-kadang juga, ketika Bai Lianhua sedang dalam suasana hati yang bagus, dia akan langsung menemui para pejabat dan para pejabat itu akan ada yang membutuhkan bantuannya.
Tak lain dan tak bukan adalah membunuh.
Rong Mei belajar banyak gaya membunuh dari Bai Lianhua. Dia mampu menebar teror dengan menyisipkan bunga lotus putih di setiap jasad, dan membuat orang-orang sadar akan keberadaan pemegang keadilan. Walau caranya salah, tapi Bai Lianhua ingin dirinya didengar oleh Bai Naxing. Tapi saat itu Rong Mei masih belum tahu kalau niat Bai Lianhua ke sana. Dia hanya melihat bunga lotus putih yang menjadi teror, adalah simbol paling indah untuk menutup penderitaan.
Kalau dipikir-pikir lagi, pantas saja dulu Rong Mei bisa dengan cekatan dan yakin menusukkan pedangnya pada para bandit yang hendak menangkap Guo Fen. Dari kecil saja Bai Lianhua sudah membesarkan Rong Mei dengan pedang, bukan dengan buku. Wanita yang dibesarkan oleh dendam, diberi makan penderitaan, selamanya akan mengangkat pedang untuk melihat keadilan. Itu juga yang turun ke darah Guo Fen hingga sekarang.
Dia memegang erat-erat giok lotus, lalu air mata jatuh ke atasnya. "Kenapa aku sampai ke sini? Kakak Rong, kau sudah menjadi arwah, apa kau yang mengarahkanku?" gumamnya tipis. Guo Fen mendongak, berusaha melihat langit hitam dari antara lebatnya pohon-pohon di sekitar. Tapi sebuah suara tiba-tiba menyerbu telinga Guo Fen.
"Tidak ada kesedihan yang berujung kesesatan. Kemarilah."
Suara itu terdengar setenang air dan menggema pelan terbawa angin. Menderu lembut sampai membuat Guo Fen seperti terhipnotis. Tapi dia sadar betul suara itu berasal dari dalam hutan. Suara laki-laki yang berat tapi begitu tenang. Siapa dia?
Sedikit curiga, Guo Fen memasukkan giok lotus ke sabuk, lalu baru ingat kenapa ia melangkah sampai ke Gunung Zainan. Ia ingin mengunjungi makam ayahnya.
Tapi, suara barusan... siapa?
Ketika ia ingin mengeluarkan pisau es dari sabuk, di belakang semak-semak terdengar suara langkah seseorang. Guo Fen berbalik, mengacungkan pisau dan beberapa meter dari balik pohon, dia melihat seorang pria berpakaian sederhana mengenakan kain penutup kepala berwarna putih dan baju serba putih serta rambut putih menatap ke arahnya. Guo Fen kaget hingga ia terlonjak ke belakang.
"Si... siapa kau?"
Pria tua itu tersenyum tipis. "Maaf membuatmu kaget," katanya sambil melangkah keluar dari semak belukar lalu berjalan dengan tongkat di sebelah tangan, menghampiri Guo Fen.
Guo Fen bangun dan menatap pria itu penuh curiga. "Siapa kau?" tanyanya lagi.
Pria itu mendongak, menunjuk ke arah langit di mana Elang pos masih melebarkan sayapnya, terbang pelan berputar-putar di langit. "Aku melihat ada elang besar. Kupikir akan ada bandit yang hendak menyembunyikan mayat di sini. Tapi ternyata kau."
Sejenak, Guo Fen tidak bisa berkata-kata. Ia memperhatikan pria tua itu dan tidak menemukan ancaman. Walau kelihatannya renta, tapi Guo Fen bisa merasakan tenaga dalam pria itu begitu terpancar. Guo Fen dulu memang pernah tinggal di hutan Poxiao, tapi ia tidak pernah menemukan guru atau dewa-dewa yang muncul seperti hantu di sekitar sini. Maka ia kaget betul waktu melihat ada orang asing di sini.
"Kenapa dengan elang itu? Apa mengganggumu?"
Pria itu tersenyum hangat. "Tentu tidak. Aku bukan siapa-siapa, hanya penjaga gunung di malam hari. Kau mungkin tidak pernah mendengar. Tapi Gunung Zainan ini sangat besar dan sangat misterius. Puncaknya bisa menyentuh sinar bulan yang paling terang, tapi di pinggir tebing dipenuhi embun tebal yang membuat tidak semua orang bisa mencapai puncak gunung ini. Bahkan orang-orang kekaisaran tidak pernah mampir ke sini."
"Penjaga gunung? Aku baru tahu ada penjaga gunung. Apa kau semacam hantu?"
"Tidak, tidak. Tapi mungkin kau tertarik pada sesuatu. Maaf kalau aku lancang, tadi aku tidak sengaja mendengar kau seperti baru saja kehilangan seseorang. Apa ada yang meninggal dan membuatmu sedih?"
Guo Fen melengos. Ia tidak berniat menjelaskan. Tapi pria tua itu tertawa pelan. Suaranya begitu lembut sampai Guo Fen samar-samar bisa mendengar tawa Rong Mei ketika ia masih hidup.
"Tidak masalah kalau tidak mau bilang. Tapi aku jamin perasaan sedihmu bisa sedikit terobati jika kau ikut denganku."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top