II. Chapter 49 : Lima Tusuk Panah

Memancing ikan sebetulnya tidak sulit buat Guo Fen yang sudah berusia dua belas tahun. Tapi keinginan untuk ikut ke misi malam ini lebih besar ketimbang memancing ikan sendirian. Alhasil, malam itu Guo Fen buru-buru memancing beberapa ikan dan langsung kembali ke tebing pondok Rong Mei berada. Hari itu malam cerah. Bulan menerangi gelapnya hutan-hutan. Angin sesekali menyerbak pelan. Guo Fen sedang memikirkan akan mencampurkan ikan bakar dengan bumbu apa.

Tapi ketika ia tiba di depan pondok, dari atas langit, seekor burung elang besar melemparkan sesuatu ke tanah. Itu elang pos yang sudah besar. Elang yang biasa menyampaikan pesan untuk misi pembunuhan Rong Mei. Mata Guo Fen menemukan seorang gadis terbaring di tanah dengan lima panah menancap di tubuh.

"Kakak Rong?" ucapan Guo Fen terdengar pelan dan lemah. Ia segera berlari dan tanpa sadar menjatuhkan keranjang berisi ikan hingga berceceran ke tanah. Jantungnya bertalu-talu ketika tangannya membalikkan tubuh lemah Rong Mei ke pangkuannya.

Darah membekas di sekujur tubuh. Rambut Rong Mei yang lurus kusut seperti semak belukar. Guo Fen membeku di tempat, tanpa sadar, jari jemarinya gemetar ketika ia hendak menyentuh panah yang menancap di perut gadis itu. Dari ujung bibir, darah menetes, Rong Mei bernapas tersendat-sendat dan matanya mengatup setengah.

"Kakak Rong... apa yang terjadi?" bisik Guo Fen tenggorokannya tercekat.

"Guo... Fen... ak—aku..." napas Rong Mei semakin bergetar, tubuhnya melawan desakan dari rasa sakit. Dua panah menancap di pundak, satu di perut, satu di betis kaki kanan dan di pinggang. Guo Fen sulit bernapas, pandangannya buram oleh air mata. Apa yang terjadi? Kenapa Rong Mei yang kemarin malam berpamitan untuk tidur karena lelah dan memintanya memancing ikan malah berakhir penuh luka seperti ini? Tidak mungkin Rong Mei mati. Selama dia menjalankan misi, Rong Mei gadis yang pintar dan selalu dapat menjalankan misinya. Jika kali ini ia sampai begini, berarti ada pejabat yang sengaja ingin membunuhnya.

Organisasi Pendekar.

Seketika Guo Fen teringat poster di Pasar Huang tadi pagi dan jantungnya seolah ditusuk pedang tak kasat.

"Kakak Rong..." Guo Fen tidak bisa mengatakan apapun selain menyebut nama gadis itu dan berharap dia terus bicara. "Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa begini? Apakah ini semua perbuatan Organisasi Pendekar?"

"Dengar... kata-kata..ku..." Rong Mei menarik napas susah payah. Sekujur tubuhnya sudah gemetar sekarat. "Jangan... cari... guruku... semua ini... salahku—aku... berpikir bisa... membantu guru... tapi..." Rong Mei bernapas lagi, mulutnya megap-megap, "aku salah... Bai Naxing... bukan... lawanku..."

Mendengar nama itu, refleks Guo Fen menerjang marah. "Kau ke istana? Kau... menyerang Permaisuri Naxing? Untuk apa—"

Dengan sisa kekuatan yang dipunya, Rong Mei mencengkeram tangan Guo Fen. "Tidak boleh... ada yang tahu... kalau aku mati... kau... kau... harus... melanjutkan misi... pembunuhan... kau... harus mulai membunuh... beranikanlah dirimu... jangan tersesat oleh amarah... jangan mengulangi kesalahanku... aku tahu kau lebih pintar daripada aku... kau... lebih baik daripada aku... Guo Fen... berjanjilah..."

Dada Guo Fen sesak. Ia tidak mau kehilangan kakak perempuan yang selama ini memberikan segala yang terbaik untuknya. Meski ia tidak pernah memiliki orangtua, meski ayahnya sudah tiada, tapi selama ini ada Rong Mei yang selalu mengisi ketiadaan itu. Dan sekarang, jika Rong Mei mati, dia harus hidup sama siapa? Dia harus bertahan dengan cara apa? Dia tidak mau sendirian. Dia tidak bisa sendirian. Dia bahkan tidak tahu apakah bisa bertahan kalau bukan karena Rong Mei yang menyelamatkannya dari kejaran para bandit satu bulan yang lalu...

Kepala Guo Fen terasa semerawut. Dia pusing, tapi hatinya terasa ditusuk-tusuk luka dan kesedihan yang mendalam. Di tangannya, tubuh gadis yang selama ini merawatnya harus menghilang selamanya.

"Guo Fen... berjanjilah... kau harus hidup... kau harus... menyampaikan pesan ini..." dari ikat pinggangnya, Rong Mei menyerahkan giok lotus yang diturunkan Bai Lianhua pada gadis itu.

Guo Fen selalu melihat giok lotus putih itu tergantung di ikat pinggangnya. Rong Mei pernah bilang kalau giok lotus itu adalah lencana pemberian gurunya dan lencana itu berisi pesan penting. Tapi Rong Mei tidak pernah bilang pesan penting apa. Sekarang, untuk memikirkan pesan saja, Guo Fen nyaris tidak peduli. Ia hanya bisa gemetar dan menangis ketakutan.

Sambil menangis dan air mata bercucuran, Guo Fen berujar, "bagaimana aku bisa hidup dan menyampaikan pesan? Aku tidak bisa... Kakak Rong... jangan tinggalkan aku..."

Di bawah sinar bulan yang terang, Rong Mei mengusahakan senyum. Matanya yang sipit semakin terlihat seperti garis panjang. "Anak baik... kau memang sangat lemah... tapi hatimu kuat... aku tahu kalau suatu hari, kekuatanmu... adalah satu-satunya tempat sandaran yang kau miliki. Berjanjilah kalau kau harus hidup. Berjanjilah kalau kau semakin kuat dan jangan menjadi lemah hanya karena dendam. Kesalahan... adalah pedoman untuk mempelajari yang lebih baik. Jangan sia-siakan kematianku. Melawan Bai Naxing tidak bisa memakai tenaga, tapi... harus pakai taktik. Dan aku bukan lawannya..."

"Aku akan membunuhnya..." Guo Fen meracau, air matanya menetes-netes. "Aku tidak peduli tapi—"

"Guo Fen..." Rong Mei menyela. Kali ini tubuhnya sudah tidak gemetar. Guo Fen merasa jantungnya berhenti beberapa detik. Ia menatap gadis itu sudah memejamkan mata, "berjanjilah... sampaikan pesan guru..."

Guo Fen ingin bertanya apa maksudnya pesan guru, tapi bibirnya bergetar hebat karena tangis. Setelah mengatakan itu, genggaman Rong Mei terlepas, kepalanya terkulai dan Guo Fen menjerit.

Ikan-ikan yang barusan dipancing, selamanya tidak akan pernah dicicipi gadis itu lagi.

*

Tubuh kaku Rong Mei perlahan-lahan berubah lunak. Meski darah tidak ada lagi yang menetes, tapi napas tidak lagi mengaliri darah gadis itu. Matanya memejam tenang dan Guo Fen sudah membawa gadis itu, mencabuti panah-panahnya dan membersihkan luka. Memberikan pakaian terbaik sebelum menguburkannya di pinggir tebing. Malam itu, suara burung hantu saling sahut menyahut. Memberikan sinyal bahwa kesedihan sedang mendera seorang bocah yang kini resmi tinggal sebatang kara.

Dari antara pohon yang lebat, Elang Pos mengikuti Guo Fen. Air mata Guo Fen sudah habis, dia tidak bisa mengatakan apa-apa selain memandangi Rong Mei yang terpejam dan menutupinya dengan kain dan daun besar di lubang makam sebelum menutupnya dengan tanah. Setelah itu ia berdiri dan duduk di samping gundukan tanah seolah sedang mendampingi Rong Mei untuk kali terakhir.

Di tangannya, ia masih menggenggam giok lotus erat-erat.

Guo Fen seperti kembali mengulang kenangan lama yang paling ia takuti selama ini di kampung bandit. Menyaksikan orang sekarat dan mati di tangannya adalah sesuatu yang mengerikan. Karena lewat mata yang tertutup dan tangis terakhir, ia selalu membayangkan wajah sang ayah lagi. Bersama Rong Mei, Guo Fen berhasil merelakan kematian ayahnya untuk menghadapi semuanya lebih berani lagi. Tapi ketika Rong Mei mati, Guo Fen merasa keberanian yang selama ini ia miliki hanyalah kepalsuan.

Sebenarnya ia masih takut.

Tapi ia pasti akan membalaskan dendam Rong Mei.

Sesuai kata Rong Mei, ia adalah anak yang kuat. Ia pasti menemukan arah kembali.

Namun, ke mana?

Pelan-pelan, Guo Fen menangis lagi. Di malam yang begitu sepi dan hening itu, tak ada yang menemani Guo Fen selain debur luka di hatinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top