II. Chapter 46 : Pembunuhan Kepala Pemetik Teh
Guo Fen terpekur. Tidak sadar, kata-kata Rong Mei seperti mengisi satu kendi kecil dalam hatinya yang selama ini terasa membingungkan dan kosong. Kehilangan ayah adalah keadaan paling menyakitkan untuk Guo Fen. Tapi Guo Fen tahu kalau jika ia tetap mengasihani dirinya terus, ia tidak bisa maju dan ia tidak akan bisa belajar membunuh dan melanjutkan hidup. Guo Fen percaya kalau masa depan juga lebih berharga daripada luka. Ada hal berharga yang bisa Guo Fen miliki dari kematian ayahnya. Ada yang membentuk Guo Fen dari luka itu.
"Seseorang bisa sangat kuat ketika ia jatuh terluka. Semakin dalam lukanya, semakin kuat orang itu bertahan." Rong Mei berkata, menambahkan karena melihat Guo Fen terdiam memikir kata-katanya. Rong Mei tidak tahu apakah Guo Fen paham, tapi melihat anak seusia Guo Fen sudah harus memikirkan masalah itu, ia sedikit iba. Diam-diam, Rong Mei jadi bertanya apakah dulu sewaktu kecil gurunya juga merasakan hal yang sama ketika mengasuhnya?
Di saat seperti ini, Rong Mei malah merindukan gurunya yang entah ada di mana.
Tiga jam terlewati. Wang Chu Xie bekerja cukup lama di istana. Malam semakin membayang. Guo Fen duduk di dahan pohon dengan sabar. Hingga beberapa menit kemudian, sebuah kereta kuda membelah jalan di gang pemukiman yang sepi. Lentera di kereta kuda itu menyinar sosok pria yang turun dari kereta, lalu kereta itu pergi ketika pria itu masuk ke rumah.
Dua pelayan memberi hormat, menyambut. Anaknya berseru dan ayahnya terlihat cukup dekat dengannya. Mereka berpelukan dan hati Guo Fen meringis, tidak tega melihat hari ini anak itu harus kehilangan ayahnya. Sama seperti dirinya waktu hari terakhir bersama ayahnya. Dan dorongan luka itu malah membuat hatinya meringis sakit dan sesak. Seolah ia tidak sanggup melihat Rong Mei membunuhnya.
Tapi kembali lagi, Guo Fen harus fokus. Sekarang bukan waktunya mengasihani diri sendiri. Ia melihat Rong Mei berdiri, di depannya menggunakan kekuatan tenaga dalam untuk menggeser satu lingkaran kecil hanya supaya anak panahnya bisa melesat tanpa melewati dedaunan. Gadis itu mulai mengeluarkan busur, meletakkan satu panah langsung. Guo Fen berbisik pelan.
"Apakah satu panah cukup membunuh orang?"
"Ini Panah Lotus. Kau tidak pernah mendengarnya?" tanya Rong Mei.
Guo Fen menggeleng. "Apa itu?"
"Aku meracik racun di setiap ujung panah. Satu panah saja sudah cukup membuat racunnya menyebar dan membunuh orang dalam hitungan detik."
Senjata yang menakjubkan, pikir Guo Fen.
"Kau bilang, Ju Xiong mengajarkanmu panah. Apakah pria yang waktu itu memanahku Ju Xiong?"
"Ya. Paman Lan mengajarkanku. Dan dia yang nyaris membunuhmu."
Rong Mei tergelak pelan, "dia tidak berniat membunuhku. Walaupun busurnya bertenaga dan panahnya cepat, tapi tenaga dalamnya tidak sekuat itu."
Guo Fen sedikit bingung Rong Mei bisa merasakan itu darimana. "Tapi Ju Xiong pemanah jitu dari bandit. Mungkin saat itu dia sedikit kagum dengan kecantikanmu, Kak Rong."
Sedikitpun Rong Mei tidak tersipu, "jangan konyol. Tidak ada pria yang menyukai wanita memegang senjata."
Setelah mengatakan itu, Guo Fen sebetulnya sedikit tidak setuju. Dia kembali menunggu dan setelah beberapa jam lagi, lampu di dekat jendela kamar Wang Chu Xie menyala. Rong Mei bisa melihat pria itu sedang membaca sesuatu di mejanya. Jendela dibiarkan terbuka, dalam hati, Rong Mei tidak perlu repot-repot memberi peringatan. Dia bisa langsung saja membunuhnya.
"Ini, cobalah kau lakukan sekarang." Tiba-tiba Rong Mei menyerahkan busur kepada Guo Fen. Seketika Guo Fen panik.
"A—aku? Sek—sekarang?" Bibir Guo Fen bergetar, ia sedikit ragu. Sama sekali tidak siap, tapi setengah hati dia tidak mau membuat Rong Mei kecewa.
"Aku percaya murid lebih pintar dari gurunya. Maka, sekaranglah waktu yang tepat untuk mulai menghapuskan keragu-raguanmu, Guo Fen."
Sejak awal, kata-kata Rong Mei sangat kuat dan dingin. Seolah Guo Fen tidak mampu membantahnya dan ia terlalu lemah karena dirinya sudah lebih dulu di hidupkan oleh kata-kata Rong Mei tentang masa lalunya. Guo Fen pun menerima busur itu dan menarik napas panjang-panjang.
"Tembaklah sekarang. Bayangkan kalau pria itu adalah ibumu." Ucapan Rong Mei merasuki pikiran Guo Fen. "Tenangkan pikiranmu, bidik."
Guo Fen duduk di dahan pohon, tapi kedua bahunya keras dan tangguh. Ia mengangkat kedua tangan, merasakan besi busur meresap ke permukaan tangannya. Guo Fen menyatukan jiwa dengan busur itu, seperti yang dikatakan Ju Xiong di sesi pelatihannya. Anggaplah busur seperti jantungmu, gunakan panah seperti matamu. Guo Fen sudah lama tidak membidik, tapi ia begitu percaya diri kalau teknik itu masih sangat berguna.
Tapi untuk membayangkan pria itu adalah ibunya... bagaimana Guo Fen bisa?
Hatinya seperti luruh oleh kengerian. Ketika ia mementang busur kencang-kencang sampai talinya menegang, hatinya ikut bergetar. Matanya membidik, dari jauh bahkan dari kegelapan samar-samar, Guo Fen bisa membidik dengan jelas rupa Wang Chu Xie yang sedang membaca dengan tenang di mejanya. Tapi... bagaimana cara Guo Fen mencari sosok ibunya di sana? Bagaimana ia bisa melihat luka itu diterabas menggunakan kebencian?
"Jika kau tidak bisa melakukanya, jangan lakukan." Kata-kata Rong Mei seperti menyambar pegangan Guo Fen. Ia sadar ia sudah mementang busur, tapi tidak lekas melepas panah. Rong Mei pasti bisa lihat keraguan itu.
Aku bisa, gumam Guo Fen sekeras batu. Ia mempercayai kata-kata Rong Mei. Walaupun hatinya selembut bunga peoni di musim semi, tapi ada bagian dirinya yang percaya kalau luka bisa mengubah seseorang menjadi kuat. Bahwa luka dan sakit hati bisa membawa roda kereta kudanya menyambut masa depan yang lebih berharga ketimbang kematian ayahnya.
Guo Fen kembali menegapkan punggungnya, dan ia membidik.
Lewat celah kecil dedaunan pohon, Guo Fen pun melepaskan busur.
Dalam sedetik, panah melesat. Membelah angin tanpa suara.
Lalu Wang Chu Xie pun roboh.
*
"Kau meleset."
"Apa?"
Dari jendela, suara Wang Chu Xie jatuh ke lantai berdebum keras. Tangannya yang menyenggol lilin jatuh dan menimbulkan suara. Guo Fen melihat persis Wang Chu Xie jatuh, tapi bagaimana bisa meleset?
Tanpa mengatakan apa-apa, Rong Mei terbang dan melompat melewati batang pohon menuju kamar pria itu. Guo Fen menyaksikan itu tanpa sadar tangannya gemetar hebat. Mulutnya bisa mengatakan kalau dia bisa membunuh, tapi hatinya tahu kalau ia masih tidak bisa.
Tembakan itu meleset, Guo Fen pun sebenarnya tahu.
Tapi ia menyangkalnya.
Dari jendela di bawah, seorang pelayan terbangun. Kamar anak Wang Chu Xie tetap gelap. Sepertinya dia tidak sadar kalau ayahnya terluka. Waktu Guo Fen merenungi kejadian barusan, Rong Mei sudah membawa Wang Chu Xie ke punggungnya dan menggendong pergi meninggalkan Guo Fen.
Buru-buru, Guo Fen mengikuti Rong Mei, melompat atap-atap tanpa mengeluarkan suara.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top