II. Chapter 42 : Sosok Wanita Merah
Ketika bangun, Guo Fen merasakan kaki kanannya terasa nyeri. Ia membuka mata dan duduk di atas kasur sambil meratapi ruangan tempatnya berada.
Kamar itu tidak mempunyai dinding kayu yang utuh. Sebagian terbuka dan mengarah langsung ke hutan dan tebing-tebing di luar sana. Jendelanya terlalu banyak dan angin sesekali menderu masuk. Di luar dipasang tenda-tenda dari kain dan ada satu bangunan kecil seukuran sepertinya tapi lebih tertutup dan jendelanya tidak dibuka.
Seseorang melangkah masuk dari pintu yang terbuka. Guo Fen mengarahkan pandangan, menemukan gadis bermata sipit dengan mulut terkatup sedang berjalan ke arahnya. Di tangannya ia memegang cawan kayu besar dan meletakkannya ke lantai. Ia memeras kain putih setelah mencelupkannya ke cairan di dalam cawan itu. Tanpa mengatakan apa-apa dan Guo Fen hanya memandangi gerakan itu tanpa bersuara.
Di dalam cawan itu airnya tidak jernih dan sedikit berwarna kehitaman. Guo Fen sedikit mengernyit, tapi rasa nyeri di kaki kanannya tidak bisa membuatnya bergerak ke mana-mana. Pecut panjang saudara Shao adalah sesuatu yang mengerikan. Kalau di perkumpulan bandit, biasanya pecut itu digunakan untuk menghukum pengkhianat dan membunuh para pengawal istana. Kekuatannya sangat dahsyat. Seperti jarum yang melesat tajam, seperti angin yang bisa membelah nyawa manusia seperti pisau.
Gadis itu memeras kain putih yang kini berubah warna sedikit kehitaman. Lalu tanpa memastikan apa-apa, dia meletakkan kain basah itu dengan kasar ke atas betis Guo Fen. Lantas Guo Fen berteriak.
"Lemah sekali," bisiknya sambil menekan kain itu ke atas betis Guo Fen. Guo Fen tidak mendengar ucapannya karena nyeri dari satu luka itu menusuk-nusuk ke bawah kulit sekujur tubuhnya. Ia berbaring sambil kedua tangannya memegang betis, memohon dan menangis. Apa yang diharapkan dari anak dua belas tahun kalau terluka? Guo Fen sering terluka, tapi luka luar. Jenis luka dari pecut panjang milik saudara Shao ini seperti luka dalam. Di luar kulitnya nampak baik-baik saja, hanya membiru. Tapi waktu kain itu menyerap dan ditekan, Guo Fen merasa ada air dingin yang menyiram luka berdarah.
Ia mengentak, berusaha melepaskan diri tapi gadis itu segera menotok pundaknya dan Guo Fen langsung merasa kebas.
"Kenapa tidak dari tadi saja?!"
Gadis itu menjawab tak acuh, "kau punya tenaga banyak dan aku ingin lihat sebanyak apa. Tapi ternyata bocah kecil sepertimu tidak sekuat itu. Bisa kabur dari para bandit saja sudah bagus. Beruntung aku sedang mencari makanan, kalau tidak kau sudah mati sekarang."
Ia bangkit dan telah selesai mengobati. Guo Fen terdiam, menarik ingus dan mengusap air matanya sambil menahan malu. Gadis itu benar. Walau nampaknya lebih tua sepuluh tahun, tapi dia terlihat seperti gadis yang mandiri dan hebat dalam bela diri. Selama ini Guo Fen tinggal dengan para bandit, jarang menemukan orang-orang yang berkemampuan bela diri seperti itu kecuali para murid dari Sekte Macan Salju dan Sekte Bai di kampung Shanyi. Selebihnya, para bandit menyerang dan membunuh orang-orang untuk merampok dan menjarah barang-barang di kampung dan desa kecil di pinggir pegunungan Zainan dengan bertarung tanpa aturan. Hari ini adalah perjalanan terjauh Guo Fen karena selama ini ia jarang keluar dari kampung bandit.
"Sekarang katakan padaku, apa yang kau ambil dari para bandit itu? Ini, kah?" gadis itu menunjukkan pisau es kecil dari atas meja tempat ikat pinggang Guo Fen berada. Ia baru sadar jubahnya telah dilepas dan tersisa pakaian tipis saja.
"Itu milikku. Aku tidak mencuri apa-apa dari para bandit."
Gadis itu melepaskan totok di pundak Guo Fen, dan sekarang rasa nyeri mulai terasa lagi menyebar hingga ke tubuhnya. Tapi rasanya sedikit reda dan tidak separah tadi. Gadis itu menatap Guo Fen, sekali lagi bertanya, "Tidak ada anak kecil yang lari dari kejaran bandit sebanyak itu jika ia tidak mencuri apapun. Kau sendiri jelas tahu bahwa musuh semua orang adalah bandit. Dan bagi mereka yang tidak memiliki bela diri, tidak akan berniat mencari masalah dengan mereka."
Pisau es dilempar ke sisi tempat tidur, lalu Guo Fen meraih benda itu sambil mengusapnya. Diam-diam bersyukur karena gadis itu masih sempat memungutnya waktu menyelamatkannya tadi.
"Kalau kau tidak mau memberitahu identitasmu, maka lebih baik kau kubunuh saja. Tidak berguna sama sekali."
Guo Fen teringat bagaimana gadis itu dengan mudahnya menghunuskan pedang ke jantung para bandit, lalu menariknya lagi tanpa memedulikan seberapa dingin darah yang muncrat dari tusukannya itu. Guo Fen sering melihat para bandit membunuh, bahkan dia tahu rasanya daging yang ditusuk dengan benda tajam menggunakan tangannya sendiri. Tapi Guo Fen tidak berani membayangkannya lebih karna ia jelas tahu seberapa mengerikannya gadis ini melebihi para bandit.
"Baik, baik. Bisakah kau memaklumi anak kecil? Aku terkena syok, dan sekarang ini masih sulit berpikir," seru Guo Fen sambil menghela napas pura-pura terluka berat padahal ia hanya takut. Ia melirik gadis itu menoleh ke arahnya dengan tatapan dingin. Mata kecil dan sipitnya membuat kilat tajam seperti mata belati. Diam-diam Guo Fen menelan ludah.
"Para bandit itu... tadinya aku tinggal bersama mereka."
Gadis itu masih diam. Menunggunya melanjutkan. Guo Fen bangun untuk duduk dan bersandar di sisi kasur sambil meringis pelan. Ia menatap gadis itu dan bicara sopan, "Dua tahun yang lalu ayahku meninggal di gunung. Ia meninggal karena sakit hati dan akhirnya bunuh diri. Ibuku pergi meninggalkan ayah saat aku umur sepuluh tahun.
"Aku tidak terlalu ingat. Entah karena itu kenangan buruk atau apa, tapi... aku tahu aku bisa bekerja dan berguna. Walau umurku masih sepuluh tahun, tapi aku kuat dan cepat. Aku mengangkut barang di salah satu toko di pasar Huang. Aku mengubur ayahku sendiri dan menangisi makamnya. Setengah bersyukur karena masih ada bos baik yang mau membantuku menguburkan ayahku.
"Hingga akhirnya aku bertemu sekumpulan bandit itu, aku dirawat mereka sampai sekarang."
Kilasan bayangan akan masa lalu—walau ada bagian yang sedikit terlupakan karena memorinya yang masih terlalu kecil, tapi yang Guo Fen ingat adalah bagaimana para bandit, terutama ketua Han begitu terpukau waktu melihat Guo Fen pertama kalinya menjalankan misi bersama Lan Juxiong.
"Mereka merawatmu demi mendapat keuntungan. Ciri khas bandit sekali," kata wanita itu. "Tapi daripada memikirkan itu, kau juga sebenarnya mendapat untung. Kau berhasil mengembangkan bakatmu dalam bertarung. Apa kau tidak menyesal meninggalkan mereka?"
Tangan Guo Fen mengepal. Kilasan tentang darah dan ayahnya membayang dalam kepalanya. "Tidak. Meskipun Ketua Han pernah menemaniku, tapi aku tahu apa yang ingin dan tidak ingin kulakukan. Mereka bilang, nyawa semua makhluk hidup sudah diatur oleh langit. Tapi kita punya hak atas segalanya. Kalau memang begitu, aku pun berhak untuk mengakhiri hubungan ini dan berjalan masing-masing."
Wanita itu tergelak tipis sambil menggeleng. "Kau masih dua belas tahun, tapi ucapanmu seperti orang dewasa."
Guo Fen tersenyum kecut. "Mereka baik, tapi juga kejam. Jadi aku lebih banyak berpikir sebelum melakukan sesuatu. Termasuk rencana kabur ini. Karena konsekuensinya lebih besar jika aku malah menolak membunuh lagi."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top