I. Chapter 7 : Kepergian Ayah
Sepulang dari Sekte Macan Salju, Bai Lianhua mendapati sekitar rumahnya terasa sepi. Ia mengecek kamar ibunya, pintunya ditutup dan dikunci. Meja makan sudah bersih. Ayahnya juga tidak ada di sana. Oh, apakah masih melukis wanita cantik yang tadi datang? Bai Lianhua pergi ke studio ayahnya berada. Bangunan kecil yang berdiri di samping rumah itu ternyata masih terang. Tanda kalau ayahnya masih melukis di dalam. Tapi waktu Bai Lianhua mengetuk dan masuk, ia melihat ayahnya sedang berkemas.
"Ayah? Kenapa kau berkemas malam-malam begini? Besok pagi mau pergi ke suatu tempat?"
Bai Junhui terlihat sibuk dengan tas keranjangnya. Sementara di atas meja, ada beberapa gulung kertas dan peralatan lukis. Kotak-kotak kuas dengan beragam cat juga berbaris rapi. Tas keranjang Bai Junhui masih belum diisi apa-apa. Bai Lianhua memandangi ayahnya yang tersenyum lebar.
"Xiao Hua, mulai besok ayah akan melukis di Istana Kota. Ayah akan menutup toko lukis di pasar sementara dan memulai karir baru di sana."
Bai Lianhua lantas bergembira. Sejak dulu ayahnya selalu bercita-cita ingin menyebarluaskan hasil lukisnya sampai ke kaisar. Ia juga bercita-cita ingin menjadi pelukis istana. Selain dapat uang yang banyak, ayahnya pernah bilang kalau kerja di istana pasti dapat jabatan dan uang pensiun. Itu berarti masa tua ayahnya bisa terjamin oleh pemerintah. Berita bagus, dong!
"Tapi... bukankah kita pergi bersama ke Istana Kota? Wanita cantik tadi bukannya bilang begitu? Oh, ibu bagaimana?"
Bai Junhui sedikit meringis. Ia berjongkok di depan Bai Lianhua. "Itu masalahnya, Xiao Hua. Ibumu tidak bisa melihat kesempatan bagus ini sebagai jalan baru untuk ayah. Wanita cantik tadi bilang, kediaman yang bisa dihuni hanya disewa untuk ayah. Tidak bisa membawa kerabat yang lain. Maka dengan menyesal ayah hanya bisa mempersiapkan diri sendiri. Omong-omong, kau darimana? Larut malam begini baru pulang?"
"Aku dari pondok nenek teratai."
"Lain kali, ketika ayah pergi, jangan pergi terlalu larut lagi. Jaga ibumu. Dia pasti sedih ayah tinggalkan begini. Tapi ayah janji akan mengirim uang setiap bulan. Ayah yakin, hasil lukisan ayah pasti bisa dijual lebih mahal jika di Istana Kota. Orang-orang di sana tahu nilai sebuah seni. Kau tenang saja, pasti ayah bisa sukses di sana."
Kata-kata ayahnya terdengar meyakinkan. Selama ini Bai Lianhua tidak pernah dikecewakan oleh ayahnya. Setiap hari Bai Junhui selalu mengajarkan cara melukis, membaca puisi, menulis kaligrafi, belajar tatakrama yang baik, Bai Lianhua tidak pernah menganggap ayahnya seorang seniman yang egois. Jadi ketika Bai Junhui meyakinkan anaknya semudah itu, Bai Lianhua juga percaya.
Tidak tahu-menahu soal niat lain yang mengikat hati Bai Junhui sendiri.
"Baiklah, ayah. Apa kau akan pulang setiap bulannya?" tanya Bai Lianhua.
Bai Junhui membereskan alat-alat lalu memasukkan semuanya ke dalam tas keranjang. "Tentu, Xiao Hua. Pokoknya kau jangan khawatir. Sebagai anak, kau hanya perlu menjaga ibumu baik-baik. Latihan membaca dan menulis kaligrafi terus supaya nilaimu sama tingginya seperti anak-anak pejabat lain di akademi istana kota. Oke? Oh, sama satu lagi. Jangan sering-sering ke pondok nenek teratai malam-malam. Ingat loh, malam-malam begini tidak baik anak perempuan sendirian keluar rumah."
Kata-kata perpisahan itu entah kenapa membuat Bai Lianhua sedih. Ia meratapi ayahnya yang sudah mengangkut tas keranjang ke punggung dan memandang lama. Bai Junhui memeluk putrinya itu sambil mengelus puncak kepalanya. Melihat Bai Lianhua sudah berlinang air mata, Bai Junhui mengusap-usap kepalanya terus.
"Anak baik, ayah menyayangimu. Jangan khawatir. Semuanya pasti berjalan baik. Ayah akan pulang setiap bulan, jadi tunggu ayah, ya?"
Bai Lianhua jarang menangis. Tapi di dunia ini, hanya Ibu, Ayah, dan nenek teratai yang ia pedulikan. Dari dulu ayah selalu mengajarkan Bai Lianhua belajar, cara memegang kuas, menceritakan beberapa dongeng dan mengajak Bai Lianhua jajan sate daging merah di pasar. Kadang-kadang juga hanya ayahnya yang senang mengajak Bai Lianhua ke festival musim gugur dan festival lampion. Bai Junhui juga senang mengajaknya naik perahu di sekitar sungai sambil mendengarkan para seniman jalanan melantunkan puisi sambil memainkan kecapi. Memenuhi langit malam festival dengan meriah sekaligus indah.
Lantas, setelah ayahnya pergi, apakah Bai Lianhua bisa mendapatkan hal itu lagi? Ia jadi menangis tersedu-sedu lagi. Tapi dari luar terdengar suara langkah kuda dan roda kereta yang ditarik. Bai Junhui bangkit dan berjalan ke luar.
"Ah, Nona Gao. Tunggu sebentar, ya." Bai Junhui kembali menarik Bai Lianhua ke kereta kuda di depan rumah. Tidak ada yang tahu kalau dari balik jendela rumah Yao Yupan ikut mengintip kepergian suaminya itu. Bai Lianhua mengusap air matanya, melihat ke arah wanita cantik yang sedang memeluk sebuah gulungan. Gulungan itu pasti hasil lukisan ayahnya tadi. Kusir kereta memindahkan beberapa tas keranjang ayahnya ke dalam kereta, lalu Gao Renwei melongok dari dalam kereta.
"Xiao Hua, jangan khawatir. Ayahmu akan pulang setiap sebulan sekali. Aku akan menjaganya dengan baik di sana. Sementara kau menjaga ibumu di sini. Bagaimana? Kita bisa saling berjanji."
Gao Renwei melihat ekspresi sedih Bai Lianhua juga tidak tega. Ia mengacungkan kelingking. Tapi Bai Lianhua tidak mengacungkannya. Dia sedikit tidak suka dengan Gao Renwei. Jika seperti ini, ayahnya pergi karena dia, bukan? Tapi melihat ayahnya begitu senang, Bai Lianhua tidak bisa melarang ayahnya. Ia juga ingin melihat ayahnya membawa kabar gembira dari Istana Kota nanti. Bukankah hebat kalau ayah benar-benar bisa menjadi pelukis istana?
"Xiao Hua, ayah harus pergi." Bai Junhui mengusap kepala Bai Lianhua untuk terakhir kali. Dengan penuh pengertian, Bai Lianhua menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk. Ia harus merelakan ayahnya hari ini. Toh, ayahnya juga kembali satu bulan lagi.
"Baik. Ayah juga harus istirahat yang cukup. Aku akan berjanji menjaga ibu dengan baik. Kau tenang saja."
"Anak pintar." Lalu Bai Junhui naik ke kereta dan Gao Renwei melambai sambil tersenyum manis. Kusir melucut kuda, kereta berangkat. Bai Lianhua berdiri di depan rumah, memandangi kereta ayahnya yang semakin terlihat mengecil. Dari kejauhan, kepala Bai Junhui melongok, pria itu melambaikan tangan sambil berseru, "cepat istirahat! Jangan lupa besok masih sekolah!"
Bai Lianhua menangis lagi. Ia melambai kecil lalu buru-buru masuk ke rumah.
Studio lukis ayah sudah kosong.
Meja makan di rumah juga kosong.
Dalam beberapa detik, suasana di rumah jadi terasa amat asing.
*
Besok paginya, sebelum berangkat ke akademi, Bai Lianhua melihat ibunya tidak menyiapkan sarapan. Wanita itu berjongkok di depan kayu bakar di halaman depan. Api berkobar di depan mukanya, seperti sedang membakar sesuatu. Ketika Bai Lianhua mendekat, ia terkejut dan menghentikan ibunya yang sedang membakar semua peralatan lukis dan beberapa gulungan lukisan milik ayahnya.
"Ibu! Apa yang kau lakukan!" Bai Lianhua mencegahnya, tapi Yao Yupan malah terjerembab di tanah dan menangis tersedu-sedu.
"Xiao Hua, kau sudah dibohongi ayahmu! Ayahmu tidak akan pulang sebulan sekali! Ayahmu tidak akan pernah pulang kembali!" Yao Yupan menangis keras sambil melempar-lemparkan gulungan lukisan secara brutal ke api yang membara. Bai Lianhua bingung, ia ingin menghentikan perbuatan ibunya itu lebih dulu sebelum bertanya.
"Ibu, kau jangan membakar semua barang-barang ayah. Nanti dia melukis pakai apa? Pula itu lukisan pesanan orang-orang, bukan?"
"Aku tidak peduli! Dia sudah memilih wanita cantik itu ketimbang kita. Xiao Hua, apa yang semua ayahmu katakan semalam itu bohong." Yao Yupan menangis keras. Ia menenggelamkan kepalanya ke lutut lalu menangis terus. Bai Lianhua menatap ibunya dengan hati pedih sekaligus gusar. Setengah hati ia percaya kalau ayahnya begitu tulus. Tapi setengah hati ia juga tahu kalau wanita cantik—Nona Gao yang menemani Bai Junhui semalam sedikit menyebalkan. Walau secara teknis, Bai Junhui pergi gara-gara dia, tapi, apakah benar Bai Junhui bakal meninggalkan Yao Yupan?
Seketika Bai Lianhua bingung dan hanya mengelus-elus pundak sang ibu supaya berhenti menangis. Bai Lianhua dengan cekatan menyiram kobaran api supaya ibunya berhenti membakar lukisan-lukisan ayah lagi.
"Ibu, aku harus berangkat ke akademi. Kau berdiam diri dulu di rumah, nanti setelah pulang, kau baru ceritakan padaku, ya?"
Masalah tentang nenek teratai seketika terlupakan. Pikiran Bai Lianhua sudah terfokus ke ibunya yang menangis terus. Hatinya juga sedikit tidak tenang. Apakah benar ayahnya berbohong? Istana Kota memang tidak jauh dari Kampung Shanyi, tapi apakah Bai Lianhua bisa ke sana sendiri dan memeriksa ayahnya?
Selama belajar di akademi, Bai Lianhua sama sekali tidak berkonsentrasi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top