I. Chapter 24 : Dendam


    Setelah kejadian itu, Bai Junhui sibuk melukis terus. Bahkan Yao Yupan yang khawatir karena mantan suaminya itu tidak pernah ikut makan bersama lagi jadi bertanya-tanya sebetulnya apa yang terjadi. Awalnya Bai Lianhua tidak ingin memberitahu, tapi karena masalah ini nampaknya tidak bisa ditutupi lama-lama juga, Bai Lianhua pun menjelaskan semuanya.

    "Lalu... apakah ayahmu akan pergi ke sana?" tanya Yao Yupan sedikit khawatir.

    Bai Lianhua menggeleng keras. "Tidak," dengan hati yang sudah dibakar kebencian karena perilaku adik tirinya itu, jangankan datang, untuk melihat dia saja, Bai Lianhua tidak akan mengizinkan ayahnya berhubungan lagi dengan iblis itu.

    "Pantas saja beberapa hari yang lalu, ada kabar kalau Pangeran Li Ming Lao akan menjalankan pernikahan. Selebrasinya heboh sekali. Di Istana Rakyat sudah dipasang beberapa lentera dan hiasan untuk merayakan hari itu. Karena di hari pernikahan itu juga, Pangeran Li Ming Lao akan naik tahta menjadi Kaisar. Tapi... kalau begitu, itu bagus untuk Bai Naxing, bukan?"

    Yao Yupan yang sudah menerima keikhlasan terdalam dalam sebuah hubungan sudah tidak lagi mampu merasakan kebencian. Seperti yang Nenek Teratai pernah bilang, bahwa hati Yao Yupan sudah ikhlas dan tidak lagi ada kebencian yang menyangkut dalam dirinya hingga ia sekarang lahir kembali menjadi sosok wanita yang baru. Yang lebih kuat dan mandiri seperti sekarang. Tapi buat Bai Lianhua, yang selalu menginginkan orang lain terlindung dari kejahatan semacam Bai Naxing, sudah terbakar kebencian lebih dulu dan berpikir kalau melindungi orang-orang saja tidak cukup. Ia harus memusnahkan hati orang-orang iblis sepertinya.

    Ketika itu, dari ruang kamar Bai Junhui, terdengar suara barang-barang berjatuhan. Yao Yupan dan Bai Lianhua bergegas menghampiri dan melihat beberapa perkakas lukis Bai Junhui berjatuhan, menimbun pria itu di antaranya. Yao Yupan terkejut, ia buru-buru meraih pria itu dan menyandarkannya ke dinding. Sementara Bai Lianhua menyingkirkan peralatan lukis, tidak sengaja ia melihat ke arah lukisan hitam di depannya.

    Nampaknya ayah sedang mencoba melukis lagi, pikir Bai Lianhua. Luka yang kemarin pasti habis disekanya di kanvas hitam itu. Hati Bai Lianhua terasa direnggut kembali. Ia berbalik, dan melihat ayahnya yang memejamkan mata dan bibirnya pucat. Dia sudah tidak makan beberapa hari. Seharian sibuk di kamar tidak keluar jika bukan ke kamar kecil. Bai Lianhua meringis sedih. Kenapa ayahnya tidak bisa sembuh seperti ibunya?

    "Maafkan aku, Yao Yupan..." bisik Bai Junhui. Bai Lianhua beringsut ke samping. Ia menahan air matanya dan sesak dadanya.

    Dengan lembut, Yao Yupan menyahut, "maaf untuk apa, Junhui? Kau sudah melakukan kesalahan dan aku jauh lebih dulu memaafkanmu."

    Tangan Bai Junhui gemetar. "Seandainya aku tidak terlahir sebagai pelukis, aku mungkin akan amat bersyukur pernah memilikimu sebagai istriku."

    "Jangan berkata begitu. Tidak ada yang pernah tahu langit akan memberi takdir seperti apa. Kau jangan mengatakan penyesalan berulang-ulang. Itu hanya membuat keadaanmu tidak sehat."

    Bai Junhui membuka mata. Air mata sudah menggenangi pelupuk matanya. Ia tersenyum susah payah. Senyum itu membuat kerut dan mata Bai Junhui menyipit sehingga air mata menetes jatuh melewati pipinya.

    "Yao Yupan..." napas Bai Junhui seperti tersendat-sendat.

    "Ya?"

    "Bisakah aku meminta satu hal darimu lagi? Aku tahu ini sangat tidak masuk akal tapi... bisakah kau pindah dari sini dan jauhi istana Li Ming? Aku tidak ingin Bai Lianhua tersiksa dalam kekuasaan Bai Naxing nanti."

    Yao Yupan jelas mengangguk. Bai Junhui memang tidak mengenal sisi lain Bai Lianhua, tapi jika pun ibunya menuruti itu, amarah dan benci dalam hati Bai Lianhua sudah terlanjur terbakar dan ia tidak bisa mengambil air hanya untuk meredakannya. Karena, sekalipun diredakan, semua itu sudah berubah hitam dan busuk. Bai Lianhua tidak akan bisa mengembalikan hatinya seperti ibunya yang belajar merelakan diri.

    Tidak bisa.

    Beberapa hari kemudian, Bai Junhui jatuh sakit. Bai Lianhua diam-diam merawat dan membantu ibunya yang sibuk bolak-balik pasar untuk mengurus toko. Dalam tidur, Bai Junhui sering menggumamkan kata-kata tidak jelas. Dahinya terus berpeluh keringat. Meski tabib sudah datang dan mengecek kondisinya, tapi tetap saja tidak ada obat ampuh yang membuat Bai Junhui jadi lebih baik.

    Tabib bilang, penyakit hatinya semakin parah.

    Sementara itu, di tengah kampung, semarak pernikahan calon permaisuri dan kaisar akan segera berlangsung. Orang-orang memesan banyak kudapan pada Yao Yupan, tapi hati Bai Lianhua semakin tidak keruan.

    Bai Lianhua tidak tahu apakah Bai Naxing benar-benar membunuh Gao Renwei, tapi semisal itu memang terjadi, ia juga tidak peduli. Tapi yang membuatnya tersiksa adalah, bahwa gara-gara kematian Gao Renwei itu, ayah jatuh sakit. Dan tidak ada yang bisa menyembuhkannya selain Gao Renwei sendiri.

    Saat Bai Lianhua membawakan makanan ke kamar, ia melihat ayahnya duduk di depan lukisan hitam dengan lesu. Di meja, keranjang lukis sudah dikemas rapi. Seolah ia ingin pergi ke suatu tempat. Meski terlihat lemas, pria itu masih mengusahakan sedikit senyum.

"Ayah, kau sudah merasa lebih baik? Kau berkemas untuk apa?"

Bai Junhui menoleh, wajahnya masih pucat.

"Aku ingin ke taman. Kau mau ikut?"

"Tapi, bukankah kau masih sakit?"

"Hanya sedikit. Obat dari tabib cukup membantuku lebih baik."

Mendengar itu, Bai Lianhua sedikit tenang. Tentu saja ia mau ikut ke taman. Dia dan Bai Junhui pun bersama-sama pergi ke taman tempat dulu ia pernah melukis Gao Renwei pertama kali. Bai Lianhua tidak tahu taman ini pernah menjadi saksi bisu Bai Junhui bertekuk lutut pada kecantikan Gao Renwei.

Dengan telaten, Bai Junhui meletakkan penyanggah kanvas kayu di depan danau yang airnya tenang sementara sinar matahari menyiram padang rumput luas itu dengan lembut. Dari belakangnya, Bai Lianhua melihat sosok sang ayah yang terlihat lemah dan bergerak lambat. Ia tidak tahu apakah obat dari tabib benar-benar manjur, tapi—melihat ayahnya begitu jauh dari dalam hati, ia takut sekali jika ayah...

"Ibuku sudah meninggal," kata-kata Bai Naxing kembali tersanggah dalam benak Bai Lianhua seiring ia melamun dalam diam.

"Ayah, apa kau percaya kalau Bai Naxing-lah yang membunuh ibunya sendiri?"

Bai Junhui tidak menjawabnya untuk beberapa saat. Dia sibuk memoleskan warna hijau ke kanvas kayu lalu menjejakkan kuasnya ke air. Sebelah tangannya memegang ujung kain lengannya yang panjang. Meski dari balik punggung Bai Lianhua tidak dapat melihat ekspresi ayahnya, tapi tanpa melihatpun, ia sudah bisa merasakan ayahnya yang langsung bergetar mengingat itu.

"Dia tidak memberitahukannya secara langsung. Tapi entah kenapa aku percaya." Bai Junhui menoleh, tersenyum menatap Bai Lianhua.

"Apa kau tidak latihan hari ini? Bagaimana hubunganmu dengan Nenek Teratai?"

Begitu mengingat Nenek Teratai, beban lain datang menghadang. Masalah Bai Junhui menahannya di momen ini. Tapi Bai Lianhua hanya mengusahakan senyum kecil.

"Dia... baik."

Bai Junhui mengangkat wajah dari kanvasnya, menatap pemandangan danau dan ladang rumput yang luas. Di depannya, langit cerah tanpa awan. Sesekali angin berhembus pelan ke wajah. Mengantar ujung-ujung rumput ilalang bergoyang ke kanan dan ke kiri.

"Aku sungguh tidak pantas untuk menjadi orang penting bagimu, Lianhua," kata Bai Junhui pelan.

Dia terdiam sejenak, menyeka kuas ke kanvas dan gurat tipis berwarna hijau dibubuhkan di sana. Membentuk padang rumput.

"Aku tidak peduli. Walaupun orang-orang melihatmu sebagai pria tidak bertanggungjawab, tapi kau tetaplah ayahku. Dan aku tidak akan ada tanpa kau."

Bai Junhui tertawa pelan. "Dengar, ya, Lianhua. Kau tetaplah putriku yang paling pengertian. Sejak kau sering memantau kediaman kami, aku ingin sekali mengundangmu masuk. Tapi ikatan yang kubuat waktu itu dengan Gao Renwei membuatku sulit sekali untuk melakukanya. Bahkan aku malu seharusnya. Kau begitu putih, kau sangat berlawanan dengan Bai Naxing yang bahkan sangat membenciku. Entah aku hasil reinkarnasi dari siapa, tapi... aku yakin kehidupanku yang dulu, pasti sedang membayar hutang-hutang dosanya padaku sekarang ini. Dan itu tidak masalah."

"Itu memang tidak masalah," sela Bai Lianhua. Ia beranjak mendekat ke ayahnya, "bahkan ketika kau bilang kau lebih mencintai Gao Renwei, aku baik-baik saja. Aku hanya ingin melindungi semua orang yang kusayang. Tanpa memedulikan kesalahan apa yang sudah kau buat waktu dulu."

Bai Junhui tersenyum, ia mengusap kepala Bai Lianhua lembut. "Apa yang nenek teratai ajarkan padamu adalah sesuatu yang baik. Yao Yupan juga mendidik dengan baik. Sayang sekali aku tidak terlibat di dalamnya. Aku hanya orang paling bodoh yang bahkan tidak pantas jatuh cinta."

Bai Lianhua menggeleng. "Kau hanya mengikuti suara hatimu. Dan itu tidak salah. Kata nenek teratai, sesuatu yang berhubungan dengan kata hati adalah sumber murni dari setiap langkah yang langit tunjukkan. Kadang-kadang kita tertutup oleh banyak hal duniawi di dunia ini, tapi dengan bantuan suara hati itu, kau bisa menemukan pelajaran berharga."

Pria itu mengangguk menyetujui. "Benar. Dan sekarang aku sadar kalau jatuh cinta tidak pernah selamanya indah. Cinta... seperti dua belati, Xiao Hua."

Dia mengeluarkan pisau kecil untuk memotong bahan-bahan alami seperti daun, buah-buahan yang menghasilkan warna sebagai sumber warna cat dari lukisannya. Walau kebanyakan pelukis memakai tinta batu berwarna hitam, tapi Bai Junhui selalu punya cara sendiri untuk menuangkan kreativitasnya.

"Mungkin kalau dilihat dari samping dia hanya satu mata belati. Tapi kalau kau melihatnya dari depan seperti ini..." Bai Junhui mengubah sudut pandang pisau menghadap ke depan. "Sebenarnya, mata belati itu ada dua. Dan itu bisa yang bagian atas, dan bawah. Kalau yang bawah tentu dapat melukai orang, tapi yang atas tidak tajam, hanya tumpul. Tapi tumpul itu bukan artinya tidak bisa melukai. Ini adalah tentang kau mau dilukai atau tidak. Kejam, bukan?"

Bai Lianhua seumur hidup tidak pernah memikirkan percintaan. Selama ini sibuk mengikuti ayahnya, memantau kehidupan Gao Renwei si wanita jalang perebut suami orang itu dan sibuk berlatih silat. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan apakah hatinya ini bisa terenggut oleh seorang pria. Karena tanpa sadar, dalam diri Bai Lianhua, ia sangat takut jika suatu hari nanti akan ada wanita seperti Gao Renwei yang merebut kekasihnya seperti yang terjadi pada ibunya. Kalau sudah begitu, bukankah masalah makin repot? Daripada jatuh cinta, Bai Lianhua lebih memilih melihat keindahan lain selain cinta.

Tapi Bai Lianhua hanya diam. Ia tidak tahu apakah ada hal lain yang lebih kejam dibanding cinta di dunia ini kecuali pemusnahan pendekar.

"Ayah, aku harus pergi ke kota Yu Meng. Setelah kau sembuh, aku sudah berjanji pada nenek teratai untuk membantunya menyatukan para pendekar. Aku ingin kau tidak lagi terlibat dengan Bai Naxing—"

Bai Junhui menahan putrinya itu lalu tersenyum, "Xiao Hua, segala yang kau perlukan sekarang ada di tanganmu. Kau tidak perlu mengkhawatirkanku lagi. Malah, aku berharap kau dan ibumu pergi dari kampung ini supaya kau tidak terkena imbas adikmu sendiri."

"Aku tidak akan pergi. Aku harus bersama nenek teratai. Lalu toko ibu juga masih ada." Walau tiap kali membahas nenek teratai Bai Lianhua harus menguatkan dirinya seribu kali lipat. Karena sampai sekarang ia tidak tahu bagaimana kabar wanita tua itu. Sekte Bai juga tidak mengirimkan tanda-tanda apapun.

"Aku tahu, aku tahu. Tapi kau juga harus memikirkan dirimu sendiri. Sekarang, pulanglah. Bantu ibumu di toko. Jangan sampai di kelelahan lagi." Bai Lianhua menatap ayahnya beberapa saat sebelum ia pergi. Ketika berbalik, entah kenapa, jarak yang semakin jauh itu membuat hati Bai Lianhua terasa pedih.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top