I. Chapter 21 : Penculikan Nenek Teratai
Bai Lianhua kembali ke Kampung Shanyi setelah tiga hari beristirahat di Sekte Bai. Selama dua hari terakhir juga Denghou mengajarkan beberapa teknik Belati Jari yang belum disempurnakan oleh Bai Lianhua. Untuk menggunakan teknik Belati Jari ini perlu kekuatan dalam yang besar karena ia hanya akan mengendalikan otot jari dalam menggunakan senjata-senjata kecil.
Kalau kata Denghou, dulu, istri dari pendekar yang mendirikan Sekte Macan Salju-lah yang menciptakan teknik ini khusus untuk perempuan. Karena gerakannya sedikit lembut dan butuh kekuatan yang besar di jari-jari, teknik belajarnya juga sedikit berbeda dari biasanya. Bai Lianhua sudah terbiasa menggunakan otot di sekitar tangan dan kaki selama bertarung. Untuk memusatkan tenaga dalam di sekitar jari merupakan pengetahuan baru.
Setelah tiba di kampung, Pasar Huang menjadi tempat pertama yang Bai Lianhua datangi. Ia sengaja ingin membelikan beberapa makanan hangat untuk dirinya sambil memandangi kultivasi nenek di pondoknya. Nenek Teratai memang tidak bisa diganggu kalau sedang berkultivasi, tapi Bai Lianhua hanya ingin sekedar melihatnya dan melepaskan jarak yang tercipta satu minggu lalu.
Hari sudah malam. Bai Lianhua meletakkan kuda di dekat pohon besar setelah ia mencapai bibir rawa. Ia berjalan melewati jembatan kayu kecil menuju dataran rendah di samping tebing dan di antara pohon-pohon besar. Aroma amis dari rawa beradu dengan aroma musim panas. Air rawa di sekitar pondok juga nampak tenang. Hanya samar-samar suara kodok yang berkecipak di sekitar bebatuan di dalam rawa yang membuat malam di dalam hutan rawa itu sedikit ramai. Dari kejauhan Bai Lianhua melihat di pondok Nenek Teratai ada cahaya lilin yang berpendar terang. Ia sedikit mengernyit bingung.
Apakah nenek sudah selesai kultivasi? Biasanya nenek berkultivasi tanpa menyalakan apapun.
Ia jadi cepat-cepat melangkah ke pondok dan memeriksa.
Di dalam pondok, Bai Lianhua terpekur. Pondok kosong. Hanya ada lilin yang berpendar di atas meja kecil di sudut ruangan. Ia memasuki ruangan dan melihat ruang kecil itu sudah jarang ada barang-barang usang. Entah ke mana barang-barang itu. Tapi pondok itu jadi terlihat lebih kecil.
Sudah lama Bai Lianhua tidak ke sini.
Tapi, kenapa rasanya ada yang tidak benar?
Bai Lianhua meletakkan makanan ke atas meja lalu berlari ke luar, memandang ke sekeliling rawa tanpa rasa curiga.
"Nenek!? Di mana kau? Apa kau sudah selesai berkultiv—"
Belum selesai Bai Lianhua berseru, dari samping kanan—dari arah hutan-hutan tipis, terdengar suara panah membelah angin. Bai Lianhua menoleh, dengan cekatan ia menghindar. Karena malam hari pencahayaan sedikit gelap, Bai Lianhua tidak dapat melihat apapun. Tapi dari bayangan sinar bulan yang terpapar ke batang pohon besar, di atas sana, ia melihat seseorang berpakaian serba hitam dan memakai kerudung sedang mengangkat panah dan kembali mengarahkan padanya.
Gadis itu membelalak. Dari antara gelap, hutan di sekitar rawa hanya diterangi cahaya bulan kebiruan. Ia menyalang, menatap ke arah sumber panah ditembakkan.
Panah dilepaskan. Bunyinya membelah angin. Dengan satu tapak, Bai Lianhua menekan dorongan panah dengan tenaga dalam. Anak panah itu berhenti di udara, terblokir oleh tenaga dalam yang Bai Lianhua kerahkan. Dengan satu kali hentakan, ia menghancurkan anak panah itu.
Penyusup?!
Bai Lianhua berlari cepat menghampiri si pemanah di atas pohon. Anak panah kembali melesat cepat. Menjejak satu senti tepat di belakang langkah kaki Bai Lianhua yang menghindar.
Orang itu pasti tidak punya anak panah lagi. Bai Lianhua mencuri kesempatan untuk berlari cepat dan memanjat pohon. Dengan jurus Cakar Melampaui Batas, dua tangan Bai Lianhua mencengkeram batang pohon erat-erat. Si pemanah kabur.
"Sialan."
Bai Lianhua mengambil tongkat di punggungnya, menekan ujung tongkat dan benda itu memanjang sendirinya. Ia berpegangan ke dahan dan melompati batang-batang pohon sembari mengikuti pemanah itu.
Sambil mengejar, Bai Lianhua berpikir kalau pemanah ini punya kemampuan seperti pendekar. Bai Lianhua bisa merasakan ada energi dalam yang melesat dari anak panah yang dilontarkannya tadi. Tapi tidak merasa yakin karena—kalau dia pendekar, kenapa harus saling menyerang sesama pendekar?
Bai Lianhua khawatir ia tidak dapat mengejar orang itu, jadi ia mengeluarkan Jarum Benang Akar Salju dari sakunya dan melemparkan jarum kecil itu dengan satu tangan hingga menancap beberapa meter jauhnya ke depan si pemanah. Dengan menggunakan jarum benang itu, Bai Lianhua meminjam tenaga dari benang, lalu menghempaskan satu kaki dan terbang di udara. Karena tenaga dalam Bai Lianhua besar, hentakan kaki untuk melompatnya juga jauh. Ia berhasil melewati pemanah yang masih melompat batang demi batang pohon.
Si pemanah terkejut. Ia hendak mengambil jalur lain, tapi Bai Lianhua dengan cepat menyerang ke orang itu menggunakan tongkat. Si pemanah berputar menghindar. Ia melihat serangan Bai Lianhua ganas, jadi tanpa mengambil risiko, pemanah itu meluncur turun dan berpijak ke tanah. Bai Lianhua dengan lembut turun dan berdiri di hadapan pemanah itu.
Di bawah sinar bulan, Bai Lianhua dapat melihat sosok pemanah dari matanya saja.
"Siapa kau? Kenapa kau menyerangku?"
Tanpa menjawab, si pemanah itu kembali melompat ke atas pohon. Bai Lianhua terkejut. Ia menengadah, bersiap memegang tongkat untuk mengejar. Kira-kira lima panah kembali datang. Bai Lianhua melompat dengan satu kaki, berputar ke belakang untuk melakukan gerakan menghindar. Angin menderu di sekitar telinganya ketika ia mendaratkan tubuhnya. Ia hendak mengambil ancang-ancang untuk melompat dan terbang ke arah pemanah itu. Tapi serbuan panah tidak kunjung habis. Ia terkejut, dengan jurus Tongkat Pemisah, ia menggunakan dua tangannya untuk menghalau dan menepis semua serangan panah.
"Siapa kau!? Kalau ingin bertarung, jangan jadi pengecut! Turun dan tunjukkan wajahmu!" suara Bai Lianhua menggema di antara hening malam.
Tidak menjawab langsung, seorang pemanah yang tadi ia lihat di atas batang pohon besar itu muncul dari antara bayangan. Wajahnya tertutup kain hitam dari hidung sampai ke mulut. Ia memakai topi bambu. Ketika matanya terkena sinar bulan, Bai Lianhua langsung tahu kalau itu seorang pria.
"Menyerahlah. Aku dari Organisasi Pendekar yang diutus oleh Putri Mahkota."
Organisasi Pendekar? Gumam Bai Lianhua dalam hati setengah panik. "Mau apa Putri Mahkota mencariku? Terdengar tidak penting."
"Mungkin kau merasa begitu sekarang. Tapi aku ada di sini untuk meretas semua kungfu yang dikira mengandung sihir."
Kungfu mengandung sihir? Maksudnya apa? Apakah mereka ingin melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan kaisar Li Gongyi waktu itu? Apakah mereka tahu kalau dirinya...astaga! Kalau begitu Nenek Teratai...!
Pria itu kembali mengangkat busur, mulai membidik. "Jika kau tidak ingin ikut, maka aku akan membunuh sekarang juga."
"Di mana wanita tua yang tinggal di pondok itu?"
Pria itu terdiam. Tangannya sudah mementang busur, dan sebelum Bai Lianhua diberi jawaban, ia sudah berputar ke samping, menghindar serangan panah.
Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya. Tanpa bertanya pun firasat Bai Lianhua mengatakan kalau pria ini sudah menangkapnya.
Karena posisi pria itu masih di batang pohon, Bai Lianhua pun melompat ke atas dan terbang sambil menghempaskan angin tajam menggunakan dua jari telunjuk dan tengah. Dengan kekuatan energi dalam yang selama ini dilatihnya, angin menghantar energi bagai pisau yang bisa saja memotong apapun. Kekuatan Bai Lianhua lebih kuat ketika ia sedang marah. Pohon besar itu bergetar. Si pria itu juga pintar. Dia bisa silat, ilmu melompat dan terbangnya cukup hebat.
Bai Lianhua tidak menyangka serangannya ditepis begitu. Ia pun melompat lagi dan melemparkan diri ke arah pria itu. Ketika Bai Lianhua mendarat di batang pohon besar, mereka saling berhadapan. Tanpa mengucapkan apapun, Bai Lianhua menyerang duluan. Pria itu miring ke samping untuk menghindar. Tangan kanan Bai Lianhua menebas ke kiri, hendak memotong kepala pria itu. Tapi pria itu merunduk lebih cepat. Ia berputar dan menggunakan sebelah tangan untuk bergelantungan di batang pohon sementara tangan yang lain menyampirkan busur ke bahu. Dengan gerak ringan, pria itu berpindah batang pohon ke batang pohon yang lain.
Bai Lianhua menyaksikan musuhnya ingin kabur. Ia menyibak lengan bajunya lalu melompat menyusul gerakan pria itu.
Batang-batang pohon di sekitar rawa besar-besar dan kuat. Pria itu dengan cepat berpindah ke batang-batang lain. Ia melompat dan bergantungan ke batang lain. Bai Lianhua dengan kakinya yang cepat, menginjak satu batang pohon, melewati pria itu. Melihat jalannya dipotong, pria itu berbalik, dan berputar ke atas dengan satu tangan lalu berdiri tegap di hadapan Bai Lianha yang mencegatnya.
Bai Lianhua menyerang lebih dulu. Ia mencekal pergelangan tangan pria itu, lalu menariknya hendak meninju dengan tangan kiri. Pria itu terkejut dengan tenaga Bai Lianhua. Bai Lianhua tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dia melompat dengan satu kaki, menginjak dada pria itu dengan hempasan kuat lalu menendangnya hingga pria itu terlempar satu meter ke batang pohon di belakangnya.
Karena terlalu kuat, pria itu jatuh dan tersungkur. Bai Lianhua segera menghampiri. Ia menotok pria itu, dan melepaskan kain di wajahnya.
Pria malang itu tidak bisa bergerak, ia bernapas sedikit tersendat-sendat. Kelemahan seorang penembak panah biasanya tidak bisa bertarung jarak dekat.
Berkebalikan dengan Bai Lianhua.
"Katakan padaku, apa yang kau lakukan pada nenek teratai? Kenapa kau menculiknya?"
Pria itu tidak menjawab langsung. Dia berpeluh keringat dan dadanya nampak kesakitan. Kalau tidak salah, Bai Lianhua nyaris mengeluarkan seribu persen tenaganya dan mampu membuat tulang dada pria itu remuk. Jelas saja sekarang dia sulit bernapas.
"Organisasi Pendekar Istana Li Ming adalah tempat bagi para mantan pengikut kaisar Li Gongyi untuk memusnahkan segala jenis kekuatan penyihir dan pendekar. Nenekmu... termasuk salah satunya."
Bai Lianhua sudah menduga.
Tapi bagaimana caranya mereka tiba-tiba bisa menemukan Nenek Teratai?
Dia menarik baju pria itu dan menyuruhnya berbicara tegap. "Katakan di mana dia sekarang? Persetan dengan organisasi bodoh itu!"
Pria itu menyeringai. "Sampai kapanpun aku tidak akan memberitahumu. Kami organisasi pendekar diutus karena ingin membuat lingkungan negara tentram tanpa ada serangan balik dari para pendekar."
"Jelas-jelas kau takut pada kami, jelas-jelas kalian mengakui bahwa kami lebih hebat!" seru Bai Lianhua. Ia tidak segan-segan ingin menghunuskan tenaga lagi untuk memutuskan napas pria ini. Tapi ia tidak bisa. Belum sampai ia tahu di mana neneknya ditangkap.
"Kau memang hebat... tapi sayangnya, itu tidak akan lama."
"Di mana guruku!?"
Meski tahu hal ini sia-sia, Bai Lianhua menggigit bibir bawahnya, berharap nenek teratai tidak dibunuh. Kenapa Putri Mahkota tiba-tiba ikut campur tangan soal urusan ini? Bukankah dia mau menikah bulan depan? Bagaimana pula dia bisa tahu pondok nenek teratai di sini? Tanpa sadar, Bai Lianhua mengepalkan tangannya.
"Nampaknya kau sudah lupa dengan adik tirimu, ya?"
Bai Lianhua membeliak. Ia mencengkeram kerah baju pria itu. "Apa maksudmu?"
"Kau jelas-jelas tidak tahu kalau adik tirimu adalah calon permaisuri yang akan datang."
Apa?
Jadi... putri mahkota itu adalah Bai Naxing?
Kenapa bisa?
Saking terkejutnya, Bai Lianhua hampir tersungkur dan bungkam dalam kepahitan. Jadi waktu di Istana Kota, poster yang ia lihat di papan pengumuman itu...? Tapi bagaimana bisa? Apa yang dilakukan si licik Gao Renwei? Setelah menerima informasi dari seorang pria perut buncit yang ia temui di depan toko Gao Renwei waktu itu, Bai Lianhua pikir Gao Renwei hanya bekerja di istana saja. Tapi ternyata...
Setelah menghancurkan hidup masa kecilnya dengan masalah ayah dan ibunya, sekarang Bai Naxing ingin merebut guru terbaiknya? Bagaimana bisa dia berpikir begitu? Bagaimana dunia sesempit itu?
Dendam yang sempat tidur itu mendadak kembali memuncak dalam dada Bai Lianhua.
"Bunuh saja aku." Pria itu berbisik pelan. Napasnya semakin lemah. Dengan hati yang semakin terbakar amarah, Bai Lianhua pun menarik napas. Ia bangkit lalu tanpa mengatakan apapun, ia menghunuskan tenaga dalam yang terasa panas, lalu menusukkannya ke jantung pria itu. Tenaga dalam itu mengalir dari kedua jari, lalu pria itu tersontak dan jatuh ke tanah.
Dari bawah langit malam yang temaram, Bai Lianhua mendongak. Air matanya jatuh lewat ujung mata.
"Bai Naxing, rencana apa yang sebenarnya ingin kau lakukan padaku? Kurang puas apa kau?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top