Pendatang Berhati Baja
—Korea Selatan, 2020.
"Bodoh! Gara-gara kau kita semua terkena masalah besar! Kalau saja kau berdiam di tangga, pencuri itu pasti tidak akan bisa kabur dan menusuk kepala sekolah! Dasar! Gara-gara keparat sepertimu jugalah kita semua terkurung di sekolah ini, sampai satu persatu diwawancara guru BK! ARGH, SIAL!"
Laki-laki itu menendang seseorang di hadapannya yang menunduk dan pasrah menerima segala siksaan. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan ia terima dengan sukarela. Ia lelah dipukuli sebenarnya, lelah dicaci-maki. Tetapi bagaimana ia akan melawan atau sekadar meminta tolong ketika ia tidak memiliki satu pun teman dan kelebihan? Dirinya yang seorang imigran dari Eropa membuat teman-teman sekelasnya memandang dirinya dengan sebelah mata.
"KIM YOOSEOK! APA YANG KAU LAKUKAN?! LEPASKAN TANGANMU DARI RAY ATAU POIN KAMU SAYA KURANGI!" teriakan guru BK membuat Yooseok yang terkejut reflek melepas cengkeramannya. Guru perempuan tersebut menatap tajam Yooseok, membuat yang ditatap sedikit gemetar.
"Saya tidak mau tahu, kalian berdua sekarang ke ruangan saya, atau po—" belum selesai ucapan guru tersebut, Yooseok mendengus dan berlari pergi. Ia sedang malas berurusan dengan 'Malaikat Maut' tersebut. Guru tersebut akhirnya berkata dengan terpaksa, "Ray, kembalilah ke kelas setelah mengambil obat di ruang kesehatan. Bibirmu berdarah. Jangan khawatir soal Yooseok, biar saya yang mengurusnya."
***
Yooseok sebenarnya bisa saja pergi ke ruang BK dan menuruti perkataan malaikat maut, namun ia malas sekali dan memutuskan kembali ke kelas. Hanya untuk menyadari bahwa pelajaran selanjutnya adalah homeroom. Dan saat ia sadar, tepat sekali guru itu masuk dan mengucap salam. Maka dengan terpaksa ia tetap duduk di tempatnya, berusaha menghindari kontak mata dengan malaikat maut tersebut.
"Selamat siang, anak-anak. Saya tahu kalian lelah dengan kejadian tadi, maka saya tidak akan meminta kalian mengisi tes atau apapun itu. Gantinya, saya akan bercerita tentang sesuatu yang seru. Agar kalian fokus mendengarkan, nanti setelah saya bercerita akan ada kuis kecil."
Satu kelas terdiam. Tidak biasanya malaikat maut di hadapan mereka ini bersikap begitu ramah dan baik. Malaikat maut tersenyum, melihat murid-murid di hadapannya ini tak ada yang berkutik. "Kalau begitu, saya mulai saja ceritanya."
***
—Banjarmasin, Indonesia, 2000.
"Andara, hari ini kamu akan masuk sekolah baru ya, siap-siap ketemu teman baru! Apalagi SD beda dengan TK, jadi pasti akan lebih seru."
Andara hanya dapat mengangguk tidak paham atas apa yang dikatakan ibunya. Dirinya tahu ia akan masuk sekolah baru di kota baru, namun sisanya ia tidak paham. Apa itu teman? Seru bagaimana? Namun tak urung Andara menunggu-nunggu momen untuk masuk SD yang katanya gedung dan lapangannya lebih besar daripada TK-nya dulu.
Ia menikmati perjalanan dari rumah ke sekolah barunya dengan riang, berangan-angan bagaimana keadaan sekolah di sana. Sesampainya di sana, ibunya langsung membawanya ke ruang guru terdekat, meninggalkannya sendirian. Andara menoleh bingung pada ibunya yang pergi begitu saja tanpa berpamitan dengannya. Ia ingin mengejar ibunya, namun genggaman erat di bahunya membuat dirinya hanya berdiri tak berkutik. Seolah-olah dirinya membiarkan ibunya lenyap dari hadapannya.
Wanita tua yang ternyata wali kelasnya itu membawanya berjalan menuju kelas, membiarkan Andara kebingungan dengan pikirannya sendiri. Ketika tulisan kelas 1-C terpampang di hadapannya, wanita tua itu berhenti. Menyuruh Andara berdiri sebentar di depan kelas, hingga beberapa menit kemudian ia menyuruh Andara masuk.
Saat Andara masuk, suasana kelas hening. Ia dapat melihat beberapa orang yang berbeda. Apa ya, yang dikatakan ibunya dulu, ris? Rus? Ras? Ah, iya ras. Andara dapat melihat berbagai ras yang hadir di ruangan itu, ada yang bermata lebar dan berkulit agak gelap, ada yang sipit dan putih, ada pula yang seperti dirinya, kulit dan mata standar. "Selamat pagi anak-anak! Wahini kita kedatangan kawan hanyar! Andara, kanalakan ngaran pian lawan kawan-kawan hanyar pian (Sekarang kita kedatangan teman baru! Andara, kenalkan namamu ke teman-teman barumu ini!)"
***
—Korea Selatan, 2020.
Satu kelas mengernyit bingung saat malaikat maut mengucapkan kata-kata tersebut. Apa katanya tadi, piyan? Apa pula itu maksudnya? Namun malaikat maut tersenyum dan bertanya dengan riang, "Kalian pasti tidak paham artinya apa," yang langsung dihadiahi anggukan antusias oleh seluruh murid. Entah karena takut dengan ancaman tadi atau memang ceritanya seru, mereka semua mendengarkan dengan baik.
"Artinya sederhana, cuma menyuruh untuk mengenalkan diri. Nah sekarang bisa ibu lanjutkan ceritanya?" Yang dibalas dengan anggukan penuh semangat.
***
—Banjarmasin, 2000.
Sementara Andara yang tidak paham apa maksud gurunya itu hanya menoleh penuh tanda tanya ke arah gurunya. Wali kelasnya yang mengira Andara hanya kurang percaya diri justru mengangguk menyemangati Andara. Kelas akhirnya hening beberapa menit. Mereka semua tidak tahu harus bereaksi apa kepada Andara yang hanya diam di depan kelas.
"Artinya ... apa?" tanya Andara pelan setelah sekian lama diam.
Wali kelasnya yang akhirnya menyadari bahwa Andara tidak bisa berbahasa Banjar tersenyum maklum dan menjawab bahwa Andara harus memperkenalkan diri di sini sekarang. Andara akhirnya mengangguk paham. "Salam kenal semuanya, namaku Andara."
Satu kelas akhirnya mengangguk-angguk dan sedikit bersorak. Wali kelasnya kemudian menyuruh Andara duduk di tempat yang kosong dan kemudian mempersilakan guru yang mengajar untuk melanjutkan pembicaraannya di depan kelas.
—Banjarmasin, 2001.
"Silakan bentuk kelompok berlima, hancapi lah (segera ya), karena akan didata gasan (untuk) keperluan sekolah. Saya handaknya (mau) kertas berisi ngaran (nama) kalian sudah tuntung (selesai) lima menit lagi. Siapkah? Saya tinggal satumat (sebentar) ke ruang guru ya."
Andara mengeluh dalam hati. Kenapa harus bikin kelompok, sih? Dirinya yang tidak bisa bahasa Banjar tentu akan kesulitan mencari kelompok karena teman-teman sekelasnya dari bayi dibesarkan dengan bahasa Banjar, sehingga menyulitkan komunikasi mereka. Untungnya, di kelasnya itu tak hanya dirinya yang berasal dari luar pulau, ada Riana dari Manado yang agak kurang ramah dan Puput dari Bandung yang sangat betawi. Sayangnya mereka sudah berkelompok, dan Andara mau tak mau akhirnya diam di tempat duduknya karena tidak mengerti harus bicara apa.
Sudah setahun ini Andara sendiri, merasa dikucilkan.
"Pian handakkah sakalumpuk lawan ulun? (Kamu mau tidak, sekelompok sama saya?)" Seseorang berambut ikal panjang yang indah mendekatinya. Andara hanya paham beberapa kata, seperti 'pian' yang artinya kamu dan 'ulun' yang artinya saya, namun ia mengangguk saja, tanpa banyak bertanya meskipun tidak tahu artinya apa. Dalam hati, Andara mengeluhkan mengapa orang Banjarmasin bicaranya cepat-cepat.
Usut punya usut, nama anak itu adalah Ayana, seorang gadis kecil yang sangat ramah dan bisa bahasa Indonesia, yang membuat Andara sangat bersyukur bisa sekelompok dengannya. Setelah Andara bergabung dengan Ayana, mulai banyak yang mendekatinya dan mengajaknya mengobrol meskipun dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.
Andara sangat bersyukur teman-temannya ini mau menerimanya meskipun ia tidak asli Banjarmasin dan tidak bisa bahasa Banjar. Terutama Riana dan Puput yang juga berasal dari luar pulau mengerti keadaan Andara, juga memberikan tips-tips caranya berteman di sekolah ramahnya ini, selain menceritakan pengalaman mereka dan teman-teman yang lain seperti Florens yang memiliki wajah sangat mongoloid dan awalnya sangat sulit bersosialisasi karena teman-temannya yang lain menganggap Florens sebagai orang luar negeri yang aneh. Untungnya Florens sangat supel dan baik hati, sehingga teman-temannya yang lain bisa menerimanya.
—Korea Selatan, 2020.
"Yang bisa menebak lanjutan ceritanya, ibu kasih nilai tambahan di pelajaran Bahasa nanti."
Semua murid saling menoleh satu sama lain, entah karena ragu atau karena bingung ingin menjawab apa. Cerita Malaikat Maut tadi sangat seru dan menghibur, dan mereka baru sadar bahwa guru di hadapannya ini bercerita dalam bahasa Korea dengan sangat fasih meskipun bukan orang Korea asli.
Ketua kelas 11-A mengangkat tangannya, mencoba menjawab. "Ibu berteman dengan Ayana? Menjadi sahabat? Best friend forever?" Jawabannya membuat satu kelas tertawa, termasuk Malaikat Maut.
"Meskipun lucu, tapi itu benar. Omong-omong siapa di kelas ini yang dari luar Korea? Ray dan Karen ya? Oh, sama Yuka. Ray dan Karen Amerika, Yuka dari Jepang. Iya 'kan?"
Satu kelas mengangguk-angguk. Malaikat maut tersenyum lagi. "Bagaimana? Sudah bisa beradaptasi di sini?"
Karen dan Yuka mengangguk sembari tersenyum lebar, sementara Ray diam saja yang membuat perhatian malaikat maut tercurah lebih padanya. "Ya sudah, ibu lanjutkan saja ceritanya. Untuk Jungha, kau mendapat nilai tambahan, ingatkan ibu nanti ya."
—Banjarmasin, 2004.
Dan kebersamaan mereka sebagai satu kelompok membuat mereka menjadi sangat dekat. Andara yang tidak bisa bahasa Banjar tetapi sangat pintar sangat cocok dengan Ayana yang tidak terlalu pintar tetapi kalau urusan bahasa ia jagonya.
Hidup Andara sebenarnya menyenangkan dengan Ayana yang selalu bersamanya empat tahun ini, sampai suatu saat dirinya dan Ayana bermain di taman sore-sore setelah pulang sekolah. Andara dan Ayana asik bermain ayunan bersama, lari-larian. Mereka memutuskan untuk pergi ke rumah Ayana, namun tiba-tiba Andara kebelet pipis, meninggalkan Ayana berjalan sendiri, tanpa bilang-bilang. Kebetulan juga ada toilet umum di taman yang barusan ia lewati.
Bagi Andara sederhana saja, ia hanya pipis sebentar lalu akan kembali, namun tidak bagi Ayana. Ia panik setengah mati mendapati kawannya itu tak ada di sampingnya dan berusaha mencari kemana-mana. Ia pikir Andara jatuh di jalan atau tertinggal dan tersesat. Ayana terlalu panik, sampai tidak sadar bahwa ada mobil yang melaju kencang ke arah ia berdiri. Pengemudi tersebut sedang sibuk menelepon seseorang, kemudian sadar ada seseorang di depannya beberapa detik sebelum ia menabrak Ayana.
BRAK!!!
Suara decitan ban mobil dan tabrakan tersebut sangat memekakkan telinga. Andara yang berada di taman dekat situ buru-buru keluar dari toilet karena penasaran, hanya untuk mendapati sahabatnya itu tergeletak penuh darah di tengah jalan. Sendirian. Pengemudi mobil tersebut sudah kabur saat Andara sampai di jalan, membuat Andara kebingungan apa yang harus ia lakukan.
Andara akhirnya berusaha membawa Ayana ke pinggir, tapi apa daya. Dirinya yang masih kelas lima SD dan lebih kecil dari Ayana sama sekali tidak kuat untuk mengangkat Ayana. Hal tersebut membuat Andara sangat frustrasi dan dilanda kebingungan yang amat sangat. Ia berpikir keras apa yang harus ia lakukan, apa yang bisa ia lakukan.
Untungnya, seseorang keluar dari rumah di depannya. Ia sangat terkejut mendapati seorang gadis tergeletak dan satu gadis berusaha mengangkatnya. "ABAH! ABAH! BANTU SINI! ADA YANG KECELAKAAN! LAKASI! (CEPETAN!)"
Ayana akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat dengan bantuan seorang bapak asing yang baik hati. Andara dalam hatinya berdoa dan berharap semoga Ayana baik-baik saja, semoga Ayana tidak apa-apa, semoga Ayana bisa bertahan ....
Unit Gawat Darurat langsung sibuk, dan Andara yang kaget hanya bisa duduk di kursi tunggu dengan baju penuh darah. Bapak yang menolong tadi mendekati Andara, jongkok di hadapan Andara dan bertanya lembut, "Siapa ngaran kawan ikam tadi? Kenapa ikam di sana? Ikam lihat kada kejadiannya? Kayapa kejadiannya? (Siapa nama temanmu tadi? Kenapa kamu di sana? Kamu lihat tidak, kejadiannya? Gimana kejadiannya?)"
Sementara Andara yang masih syok dan tidak bisa bahasa Banjar hanya menggeleng-geleng pasrah, sampai akhirnya bapak itu lelah.
—Korea Selatan, 2020.
Satu kelas terkejut mendengar cerita malaikat maut. Jungha mengangkat tangannya lagi. "Lalu, bagaimana kabar Ayana sekarang?"
Malaikat maut hanya menggeleng pelan. Wajahnya terlihat sendu. "Itu yang Andara tidak tahu sampai sekarang, melihat Andara yang sangat syok, orangtuanya memutuskan membawa pergi Andara ke kota lain. Menutup mulut rapat-rapat kalau ia bertanya bagaimana kabar Ayana, sampai ia bosan dan akhirnya lupa untuk bertanya."
Kelas hening. Meresapi perkataan malaikat maut. "Sampai Andara diberitahu bahwa Ayana tidak selamat di kecelakaan itu bertahun-tahun kemudian ketika ia kembali ke Banjarmasin untuk liburan."
—Makassar, 2004.
Andara masih syok sebenarnya, tetapi pertemuan dengan seorang kakak cantik yang disebut-sebut ibunya sebagai psikiater membuat hari-harinya kembali berjalan normal. Hanya normal. Karena dirinya kembali sendiri di kota yang baru lagi. Andara sama sekali tidak tahu di mana Makassar itu, ia juga sebelumnya sama sekali tidak tahu di mana Banjarmasin itu. Yang ia tahu hanya kalau mau pergi ke sana harus naik pesawat cukup lama.
Andara belajar cukup banyak dari pengalamannya di Banjarmasin dulu; ia memutuskan untuk belajar bahasa Mangkasara' mati-matian agar setidaknya ia bisa berkomunikasi dengan lancar. Untung bagi Andara, teman-teman barunya bersikap sangat suportif akan keputusannya untuk belajar bahasa Mangkasara' dan membantunya sepenuh hati.
Nilai-nilainya naik secara signifikan, mengakibatkan dirinya diterima di SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi dengan beasiswa. Ia memutuskan menyibukkan diri untuk melupakan kenangan-kenangan tidak mengenakkan yang dulu pernah dialaminya.
—Korea Selatan, 2020.
"Sampai akhirnya Andara dikirim oleh perguruan tingginya ke luar kota, bahkan ke luar negeri untuk mengajar, karena sungguh ia tidak mau lagi melihat ada anak yang down atau depresi. Ia akan merasa gagal menjadi guru kalau sampai ada murid yang dikucilkan, sampai ada murid yang dibully, atau yang lain.
"Ceritanya sampai sini saja. Kalian bisa mengambil pelajarannya sendiri 'kan? Tidak perlu saya jabarkan, pastinya. Dua menit lagi bel, jadi saya tutup pelajarannya sampai sini. Oh iya, tugasnya simpel saja, ceritakan masa-masa SMP kalian di selembar kertas. Yang bisa mengumpulkan hari ini saya beri nilai tambahan di pelajaran bahasa oke? Selamat siang, semua."
Malaikat maut keluar, namun kelas masih hening. Semua masih mencerna cerita dari malaikat maut tersebut. Termasuk Yooseok yang duduk di belakang. Awalnya ia malas dengan guru tersebut, namun entah kenapa ceritanya sangat menarik dan membuatnya mendengarkan hingga habis. Ia sadar, sangat sadar malaikat maut tadi bercerita seperti itu karena dirinya yang tertangkap memukuli Ray, anak asing itu. Dan ia sadar, itu perbuatan yang salah. Semua berkat malaikat maut itu tadi, Guru Andara. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top