Penantian Adikku

"Siapa yang sedang kau tunggu?" tanyaku ke saudara kembarku itu.

"Aku tidak tahu," jawab kembaranku sambil memandang kereta yang sudah pergi.

"Ayo kita pulang ... nanti papa dan mama marah," kataku dan mulai menarik tangannya yang lebih kecil.

"Tapi ... tapi ...," dia menarik tangan kecilnya dari jemariku, "aku harus menunggunya di sini, dia akan menjemputku."

"Nanti kita dimarahi. Ayo kita pulang," desakku mencoba membujuk adik perempuan kembaranku itu.

"Kau pulang saja dulu. Aku mau menunggu di sini," katanya dengan suara kecilnya—dia kadang-kadang memang sangat keras kepala.

Akhirnya kami menunggu sampai malam, hingga kereta terakhir pergi dari stasiun itu. Dan sesuai perkiraanku, kami pun kemudian dimarahi habis-habisan oleh kedua orangtua kami. Dua anak SD kelas 5 yang belum pulang hingga larut malam. Karena aku anak yang lebih tua dan anak lelaki, maka semua ceramah diberikan kepadaku; kakak yang bandel, kakak yang tidak bisa menjadi panutan adiknya. Aku hanya bisa menunduk saat dimarahi oleh kedua orangtuaku—adik kembarku hanya menangis di sampingku merasa bersalah. 

***

Malam itu adikku menghembuskan napasnya pelan. "Dia tidak datang hari ini." 

Aku bertanya lagi, "Siapa dia?"

"Aku tidak tahu."

Aku mengernyit mendengar jawaban itu. "Kenapa dia ingin menjemputmu?" aku bertanya bingung ke adikku itu.

"Aku tidak tahu," jawabnya lagi.

"Kalau begitu ... dia tidak akan datang, dan tak akan menjemputmu. Karena kau tidak tahu siapa dia, dan dia juga tidak kenal kamu," kataku yang merasa kesal dengan jawabannya.

"Aku tahu dia akan menjemputku!" kata adikku penuh percaya diri.

"Kau tahu dari mana?" tanyaku masih setengah jengkel.

"Karena aku tahu!" katanya dengan sangat yakin—mungkin bagi orang lain yang mendengar jawaban adikku akan mengganggapnya sedikit gila, tapi dia adalah kembaranku, dan aku merasa sangat yakin bahwa dia benar-benar tahu hal tersebut—mungkin ini bisa dibilang firasat anak kembar.

"Jadi kapan dia akan menjemputmu?" tanyaku sedikit menyindir.

"Sehari setelah ulang tahun kita," jawabnya langsung. "Di stasiun itu," lanjutnya lagi memberitahuku, "aku akan menunggunya hingga dia datang menjemputku," adik perempuanku berkata seperti itu sambil tersenyum manis kepadaku.

***

Sejak hari itu, di setiap tahun—sehari setelah ulang tahun kami berdua—adikku menunggu di peron tersebut tanpa hasil. Tapi dia sangat yakin, dan selalu yakin kalau 'orang itu' akan datang.

Lalu umur kami pun bertambah dan terus bertambah, masa-masa SD terlewati, SMP-SMA pun sudah terlewati. 

Walau aku menjadi anak remaja pria yang nakal, aku selalu menemani adikku menunggu di peron tersebut—dari kejauhan tanpa terlihat olehnya.

Mungkin karena dia adalah kembaranku, selalu ada sesuatu yang saling tarik-menarik diantara kami berdua—jadi aku tak bisa mengacuhkannya, seperti mengacuhkan yang lainnya. 

Aku melihatnya menghembuskan napas. 

Entah orang seperti apa yang ditunggunya?

***

Kami berdua pun semakin bertambah dewasa, dan akhirnya memiliki kehidupan kami masing-masing—suami, istri dan anak. Sehari setelah ulang tahun kami berdua, adikku selalu menghilang dari keluarganya. Dia meminta izin kepada suaminya untuk melakukan hobinya sendirian. 

Aku tahu, dia sebenarnya masih terus menunggu di peron itu. 

Aku selalu melihatnya saat melewati stasiun tersebut dengan mobilku—saat akan pergi kerja maupun pulang dari kantor. 

Adikku masih di sana, 

masih menunggu.

***

Suatu hari, aku menceramahinya tentang hobi uniknya selama ini—karena suaminya alias adik iparku meminta tolong padaku. 

Memintaku untuk menasihati istrinya. Menasihati adikku yang terus menunggu orang yang tidak jelas itu—entah orang itu benar-benar ada di dunia ini atau tidak. 

Sebenarnya, ini sudah ketiga-kalinya, aku menegur tentang keunikannnya itu. 

Tapi tetap saja, seperti angin yang berhembus, kata-kataku seperti air yang terlepas dan jatuh dari genggaman tangannya. 

Dia menatapku perih, berkata pelan tapi yakin, dan cukup terisak, "Dia akan datang."

Dia pun kembali menunggu di tahun berikutnya sehari setelah ulang tahun kami.

***

Beberapa tahun setelahnya, adikku diceraikan oleh suaminya. 

Suaminya bercerita padaku bahwa dia tidak sanggup—benar-benar tak sanggup lagi, menahan kecemburuan kepada 'orang yang tak terlihat itu', yang selalu ditunggu oleh istrinya tersebut.

Dia sudah berusaha semampunya untuk mengerti. "Aku bertanya padanya, 'Apa kau mencintainya, lelaki yang selama ini selalu kau tunggu?' " cerita adik iparku itu.

Adik iparku tersenyum miris saat mengingat jawaban istrinya, "Dia menjawab tidak. Dia tidak pernah mencintai pria itu. Dia bilang dia hanya mencintaiku selama ini. Dia bilang, tidak sedikit pun memiliki perasaan seperti itu kepada pria yang ditunggunya ... dia hanya merasa harus menunggu orang tersebut."

Adik iparku kembali terdiam. "Lalu aku bertanya lagi padanya ...," mengingat kembali semua pembicaraan tersebut. " 'Lalu kenapa kau harus menunggunya? Tidak cukupkah hanya dengan kehadiranku saja?' " tanya adik iparku itu ke istrinya.

Dia mengingat saat istrinya mulai menggeleng pelan dan terlihat sedih saat menatap wajahnya. " 'A-aku harus ... harus menunggunya. Aku tidak tahu kenapa aku menunggunya, tapi aku tahu aku harus menunggunya. Karena dia benar-benar akan menjemputku. Dan aku akan pergi bersamanya.' "

Adik iparku menarik napas saat mendengar jawaban istrinya, "Istriku alias adikmu itu, mengatakan ...  kalau orang itu akan datang untuknya dan dia harus, benar-benar harus, harus menunggunya. Dan dia akan mengikuti pria itu."

Aku melihat adik iparku yang menutup matanya dan menghela napas untuk kedua kalinya. "Aku merasa ..., a-aku tidak sanggup lagi ... aku tidak bisa lagi bertahan." Dia menatapku nanar, "Keputusan untuk berpisah ini sangat berat untukku, tapi aku benar-benar tak bisa lagi, tak tahan lagi. Aku merasa, aku tidak pernah cukup untuknya."

"Aku sudah mencoba bertahan selama dua belas tahun ini. Mencoba bersabar—tanpa penjelasan," kata adik iparku lagi sambil menegak minumannya. "Tapi aku hanya seorang manusia—manusia biasa," ucapnya kelam.

 Aku tak bisa menyalahkannya. Karena aku juga merasakan apa yang juga dirasakan oleh adik iparku selama ini—perasaan lelah akan kekeras-kepalaan adikku tentang 'orang itu'

Tapi yang namanya hubungan darah, tak bisa ada kata 'cerai' atau 'putus', terlebih lagi dengan adanya sebuah kata 'kembar'.

Hal itu lah yang membuatku tak bisa mengacuhkan adik perempuan kembaranku begitu saja.

***

Tahun setiap tahun berganti.

Setiap aku pergi dan pulang kerja, aku selalu melihatnya menunggu di peron itu seorang diri.

 Aku hanya melihatnya sebentar, lalu melaju mobilku pergi dari sana. 

Sepertinya tanpa sengaja, hal itu pun kemudian menjadi ritualku setiap tahun. 

Sehari setelah ulang-tahunku, aku selalu berhenti di statiun kereta itu dan mengamatinya dari dalam mobilku walau cuma sebentar.

***

Musim berganti lagi, bulan juga berganti, tahun di kalender terus berubah. 

Aku sudah semakin tua dan telah memasuki masa-masa pensiunku. 

Kulitku yang dulu masih terlihat kencang, saat ini sudah terdapat banyak kerutan. Rambutku yang hitam, saat ini pun sudah memutih dan hampir membotak. Gigiku pun sudah serapuh jelly dan terdapat tongkat untuk membantu jalanku saat ini. 

Tetapi ingatanku masih berfungsi dengan sangat baik, tidak seperti kakek-kakek seumuranku yang selalu mengoceh-oceh seperti anak kecil.

Hari ini aku berumur 89 tahun. Semua merayakan ulang tahunku; baik dari anak-anakku, para cucu-ku maupun cicit-ku. Yang tidak ada hanya belahan jiwaku, yang sudah meninggalkanku setahun yang lalu. Semua terlihat bahagia berkumpul bersama, dan terdengar sorak sorai cicit-cicit kecilku. 

Lalu aku teringat adik kembarku, yang sudah sangat lama tak pernah kukunjungi lagi. 

Aku pun mengajak anak pertamaku menghampiri bibinya sore itu. Anak lelakiku menyetir mobil menuju ke rumah adikku, bersama diriku yang menenteng cake kecil mungil.

"Bibi-mu juga ulang tahun hari ini, Papa akan merayakan dengannya hari ini. Sudah lama sekali kami tidak merayakan ulang tahun kami bersama," kataku lagi ke anakku itu—anakku hanya tersenyum penuh pengertian.

***

Kami pun sampai ke rumah mungil milik adikku—rumah yang sangat jauh berbeda dari rumahku saat ini. 

Rumah kecil yang terlihat sepi dan suram—tidak terdengar satu pun suara berisik anak kecil—terlalu tenang dan sepi. 

Ya, walau kami kembar, ternyata alur kehidupan kami jauh berbeda. 

Aku tahu itu, karena aku selalu memerhatikannya. 

Setelah adikku bercerai, suaminya menikah lagi dengan orang lain. Setelah anak-anaknya dewasa, mereka langsung pergi meninggalkan rumah itu, dan memiliki keluarga sendiri—anak-anak itu sangat jarang mengunjungi orangtuanya yang masih hidup dan berada di rumah tersebut. 

Aliran dana selalu diberikan kepada adikku setiap bulannya. 

Tapi apa hanya itu yang dibutuhkan oleh kami, kakek dan nenek yang sudah tua renta ini? Hanya setumpuk lembaran uang yang tidak bisa diajak bicara?

Itulah salah satu hal yang jelas-jelas membedakan kehidupan kami. 

Walau aku sudah tua renta dan tak berdaya. Aku masih memiliki keluarga yang mendukung ketidak-mampuanku. 

Sementara dia ..., 

dia adalah orang tua renta yang harus diungsikan jauh-jauh dari keluarga anak-anaknya karena sudah tidak berguna. 

Apa kehidupan memang seperti ini? Aku pun tidak tahu,  batinku sambil menghela napasku yang sudah berat.

***

Aku mengetuk pintu. Adikku berdiri di sana membuka daun pintu. Dia terlihat lebih tua dari diriku, umur kami sama tapi terlihat sangat berbeda. 

"Siapa?" tanyanya sambil memicingkan matanya sedikit. "Kakak?" tanyanya lagi. 

Dengan mulutku yang sudah berkerut banyak, aku tersenyum kepadanya, "Hai Anna ...."

Dia pun mempersilakan aku masuk ke dalam rumahnya—terlihat perabotan sepi tapi terlihat bersih.

"Duduk ... silakan duduk ... duduk dulu, Kak. Kenapa ke sini?" tanyanya lagi—aku dapat menangkap kegembiraan di dalam matanya.

"Selamat ulang tahun!" kataku lagi sambil memeluk dirinya. 

"Iya ... selamat ulang tahun, Bibi!" ucap anakku menimpali sambil memperlihatkan cake yang sudah ditaruh lilin menyala di atasnya. "Papa dan Bibi 'kan ulang tahun hari ini. Kalian berdua juga sudah lama tidak pernah merayakannya bersama," kata anakku sambil memperlihatkan foto masa kecil kami berdua saat masih SD—entah darimana dia mendapatkannya.

"Oh! Aku ulang tahun hari ini?" tanyanya lagi, yang rasanya baru mengingat kembali hari itu.

"Iya! Kalian berdua berulang tahun hari ini!" kata anakku semangat.

"Ayo ... kita rayakan kecil-kecilan di sini. Aku sudah membawa kamera dan kue ini," Anakku kemudian menyanyikan lagu selamat ulang tahun kepada kami berdua, dan dia pun mengambil foto kami berdua. Kami mendengar nyanyian dan ucapannya yang riang. Aku memerhatikan wajah adikku yang tersenyum senang melihat anakku dan diriku, dia terlihat bahagia—aku senang bisa melihatnya seperti itu.

Kemudian setelah itu, adikku ingin mengambil minuman untuk kami, "Oh ya, mau minum apa?"

"Tak usah repot-repot, Bibi. Biar aku saja," kata anakku dengan sigap menghampiri dapur. Membiarkan kami berdua duduk di antara meja makan.

***

"Sudah lama ya," kataku membuka pembicaraan, "sudah lama kita tak pernah merayakannya berdua." Aku mengingat sewaktu kecil, kami selalu berdua merayakannya.

"Iya," jawabnya senang mengingat hal tersebut sambil memandang beberapa photo.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyaku lagi

"Baik," katanya masih tersenyum. 

"Aku senang, kita bisa merayakannya berdua lagi." 

Dia terus tersenyum melihat photo-photo itu. Perhatianku teralih di atas meja, beberapa kartu ucapan ulang tahun ada di sana. Anak-anaknya hanya mengirimkannya sebuah kartu ucapan—yang hanya berisi kertas dan tinta. Entah kenapa hatiku merasakan kesedihan dan kepedihan yang dirasakan olehnya saat melihat kartu itu sekilas. 

"Ini ... aku bawa teh hangat," suara anakku mengejutkanku. Dia menaruh cangkir-cangkir teh itu di hadapan kami berdua. Kami pun kemudian duduk bertiga. "Bibi, kau mau gula berapa sendok?" tanya anakku.

"Biar aku sendiri saja," jawab adikku tersenyum pada keponakkannya, kemudian menuang tiga sendok makan gula dalam minumannya. 

"Bagaimana kabar Bibi?" tanya anakku lagi.    

"Baik" jawab adikku pelan.

Aku pun menyeruput teh hangat itu tanpa gula, karena aku memang tak suka manis. Anakku seperti bibinya, menyukai teh yang manis. "Tehku belum dikasih gula, bisa aku minta tiga sendok gula?" tanya adikku tiba-tiba. 

"Kau sudah pakai tadi," kataku mengingatkannya.

"Benarkah? Tapi aku merasa, aku belum memasukan apa-apa ke dalam teh ini," katanya lagi. 

Aku memandangnya tanpa berkata apa pun, hanya memandang wajahnya yang polos sama seperti waktu kami masih kecil, sewaktu kami masih SD. 

"Oh ya, ada apa kalian ke sini? Kenapa kalian ke sini?" tanyanya lagi. 

Ya, itulah salah satu penyakit kami. Penyakit orang tua renta, kataku dalam hati. 

Penyakit itu pun akan datang kepadaku, tapi ternyata hal itu datang lebih cepat ke adikku. Penyakit yang tidak akan disukai oleh umur-umur yang jauh lebih muda di bawahku—oleh orang-orang yang lebih sehat, yang lebih muda, yang akan menganggap bahwa kami sudah tidak berfungsi lagi, tidak berguna lagi dan menganggap kami seperti barang yang merepotkan untuk diurus.

Aku menatap wajah adikku dengan hati yang penuh rasa berkabut di dalam hati. "Hari ini ... hari ulang tahun kita berdua, Anna," kataku masih menatap wajahnya yang berkerut—kerut-kerut yang tak bisa berbohong, kerut yang sudah memperlihatkan dengan sangat jelas, apa saja yang sudah hilang dari kami.

"Oh, karena itu ada kue di sini?" dia menatap kue yang sudah dipotong dan dimakan separuh itu. "Oh ya, kalian mau minum apa?" tanyanya lagi kepada kami yang masih memegang gelas teh kami masing-masing.

Setelah adikku lelah dan tertidur, kami pun pulang ke rumah kami.

Perasanku hari itu,

hanya seperti kegembiraan yang hampa.

***

Hari ini adalah hari minggu, keramaian terdengar di dalam rumahku ini. Celoteh bawel anak-anak kecil yang berteriak-teriak. Aku melihat cicit-cicitku yang tertawa dan melihat sekilas padaku, lalu mereka berlari lagi. 

Aku memandang ke depan jendela dan teringat kepada adikku lagi. Adikku yang sudah tidak sekuat dulu, tidak seriang dulu, dan tidak se-semangat dulu. Salah satu cucu perempuanku yang sudah beranjak dewasa melihatku yang sedang berdiri di dekat jendela, terlihat wajah penasaran di dalam dirinya.

"Kenapa, Kek?" tanyanya.

Aku melihat wajahnya, dan wajahnya terlihat hampir sama persis seperti adikku—saat dia masih muda. "Aku teringat bibimu, adikku ... aku merasa, aku harus bertemu dengannya sekarang."

"Kalau begitu, ayo! Aku akan mengantarmu," kata cucuku itu sambil memerlihatkan kunci mobil barunya kepadaku. 

Akhirnya, aku pun berada di dalam mobilnya, setelah cucu-ku meminta izin kepada orang tuanya. 

Kami pun berangkat menuju ke rumah adikku semalam. Dalam perjalanan ke sana, aku meminta cucu-ku memutar balik—bukan ke arah menuju rumah adikku, tapi menuju arah stasiun kereta di dekat rumahku dulu. 

Aku merasakannya—merasa dia sedang berada di sana. 

Cucu-ku pun memutar balik dan menuju stasiun kereta itu. 

Walau adikku sudah pikun, entah kenapa aku merasakan dorongan yang sangat kuat, kalau dia sekarang berada di sana—dia tidak akan pernah lupa hari ini, maupun tempat itu.

Aku pun turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam statiun menghampiri peron yang sama—yang setiap tahun adikku hampiri untuk menunggu orang itu

***

Dengan langkah-langkahku yang terbatas, aku berjalan pelan—aku menyuruh cucu-ku membeli minuman di mini mart tidak jauh dari sana—aku ingin menghampiri adikku sendirian. 

Kaki-kakiku melangkah ke tempat biasa yang pernah kudatangi bersama adikku. 

Aku melihat dia di sana. 

Berdiri sendiri, dan terlihat cantik dalam rupa seusianya. 

Aku melihat matanya yang sedang menunggu, 

menunggu kedatangan 'orang yang ditunggunya.'

Aku pun menghampirinya perlahan. "Apa dia akan datang?" tanyaku lagi ke dirinya.

Dia menatap peron yang kosong itu, menunggu dengan yakin. "Iya," senyumnya dengan tenang dan percaya diri tanpa memandangku.

"Kapan?" tanyaku lagi.

"Hari ini!" jawabnya lugas

"Kau yakin?" tanyaku lagi yang sudah tahu jawabannya.

"Sangat yakin!" Akhirnya dia menatapku dan tersenyum manis padaku.

Aku menatapnya lagi. Kami saling bertatapan, saling mencoba mengerti sekali lagi—seperti dulu. "Ayo kita duduk, keretanya belum sampai," kataku sambil membawanya duduk di bangku putih kecil tidak jauh dari tempat kami berdiri menunggu. kami duduk berdampingan. 

Di bangku kecil putih yang sudah terkelupas catnya itu, kami berdua duduk menunggu. 

Bangku ini sudah ada sejak kami masih kecil—bangku yang sama yang selalu kami duduki saat adikku menunggu orang yang harus ditunggunya. 

Akhirnya aku duduk di sana lagi bersamanya—bersama adik kecilku ini. 

Selama ini, bangku itu sudah kosong dari kehadiranku, hanya adikku yang mendudukinya seorang diri selama ini—selama bertahun-tahun. "Aku akan menemanimu menunggunya ... sama seperti dulu," kataku lagi kepadanya, dan dia hanya tersenyum lembut padaku.

Kami duduk diam. Dia lalu memengang tanganku yang sudah berkerut, dengan tangannya yang sama—kerut-kerutan di tangan kami berdua terlihat jelas. Walau terlihat banyak orang yang berlalu-lalang. Beberapa orang yang saling bercanda, tapi hanya terasa sebuah keheningan diantara kami berdua—keheningan total.  Sebuah waktu yang tak bergerak dan sedang berhenti. 

"Terima kasih," katanya sangat lembut kepadaku.

Aku menoleh menatap dirinya, menatap mata adikku—sepasang buah mata berwarna cokelat muda yang dihiasi oleh semburat-semburat tipis. Di dalam mata itu, aku melihat sebuah kehangatan, kelegaan, dan kepercayaan, yang ditunjukannya untukku.

Suara pemberitahuan dari stasiun bergema, memberitahu kepada kami semua kalau kereta terakhir telah datang.

"Terima kasih ... selalu ada ...," adikku berkata pelan sambil menyadarkan kepalanya di bahuku, "menemaniku ...."

"Tentu saja, aku akan selalu ada ...," aku menutup mata dan mengelus rambut putihnya dengan jemari tuaku, "Kau adikku ...."

"Dia sudah datang ...," kata adikku berbisik lemah dari bahuku. 

"Ya ... aku tahu ...," aku menutup mataku dan mencium keningnya—sama seperti saat kami masih kecil. Adikku menutup matanya tidak bergerak dan tetap bersandar di bahuku. Wajahnya terlihat cantik dan tenang. "Pergilah ...." bisikku pelan kepadanya.

Akhirnya aku tahu, siapa yang telah ditunggunya semenjak kecil hingga saat ini.

Sebuah tetesan cairan bening jatuh dari sudut mataku turut menghiasi kerutan di pipiku. Rambut putihnya dan pipinya masih menempel sedikit hangat di bahuku, tangan berkerutnya pun masih berada di dalam kerutan tanganku yang sudah mulai terasa dingin.

Adikku akhirnya telah dijemput.

|Penantian Adikku|Tamat|v


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top