1
Catatan:
sumimasen: permisi, maaf.
sake: alkohol khas Jepang.
gomennasai: maaf
watashi: aku, saya
Yoroshiku onegaishimasu: salam kenal, mohon bantuannya.
Urusai: Berisik. (kalau konteksnya ke percakapan lebih ke "diam".)
Kami-sama: Tuhan
itadakimasu: Selamat makan.
Wanita itu tersenyum, tangannya terulur memegang pipi penuh bulu milik seorang pemuda yang menopang tubuhnya. Dari mulut si wanita terlihat sisa-sisa muntah darah akibat meminum cawan berisi sake yang ternyata telah tercampur racun. Sake yang seharusnya untuk pemuda itu.
"Tidak, Ryoko... Jangan tinggalkan aku...."
Sekali lagi, Ryoko hanya bisa tersenyum. Tangannya mengusap air mata yang jatuh di pipi pemuda itu.
"Jangan... menangis. Aku tidak pergi kemana pun, tapi... aku selalu di hatimu," ucap Ryoko. "Jagalah dirimu... sampai... kita bertemu lagi nanti."
Mata Ryoko terpejam, tangannya terjatuh di samping badannya. Saat itu juga si pemuda membelalakkan mata dan suara teriakan memilukan terdengar. Wanitanya pergi hingga ia harus menunggu agar mereka bertemu kembali.
Fany terbangun dengan dahi berkerut dan bibir mengerucut. Ingatannya kembali pada sebuah mimpi yang telah menghampirinya selama seminggu ini. Siapa Ryoko? Mengapa wanita itu harus mati dengan cara mengenaskan? Dua pertanyaan yang selalu dipikirkannya tidak akan pernah mendapat jawaban karena ia harus bergegas. Dirinya ada kelas pagi bersama Profesor Yamada.
Satu jam kemudian Fany sampai di kelas, ia melihat para lelaki bergerombol di meja urutan depan. Entah sedang membicarakan apa Fany tidak peduli. Ia hanya melewati mereka hingga seseorang tiba-tiba menarik lengannya. Wanita berkacamata itu hanya menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya, merasa tidak pernah melihat pemuda jangkung itu. Mungkin mahasiswa pindahan baru seperti dirinya.
"Hm... sumimasen, bolehkah aku berkenalan denganmu?"
Dengan perlahan Fany melepaskan genggaman pemuda berhidung mancung itu. "Jika kau ingin mengajak orang lain berkenalan, sebaiknya perkenalkan dirimu terlebih dahulu."
Pipi pemuda itu memerah, ia merasa malu dengan tindakannya. "Aaa... gomennasai." Setelah menggaruk-garuk hidungnya yang tidak gatal kemudian ia berkata, "Ehem. Watashi wa Sato Shori desu. Yoroshiku onegaishimasu."
Fany hanya menangguk lalu menanggapi, "Takizawa Fany desu. Yoroshiku." Kemudian ia berjalan meninggalkan pemuda itu. Terdengar bisik-bisik para lelaki yang memuji tindakan Shori, tetapi Fany tidak ambil pusing. Dirinya hanya butuh duduk di tempatnya untuk kembali membaca buku sebelum Profesor Yamada datang.
Meskipun Fany duduk di bangku belakang, bentuk bangku yang berundak membuatnya dapat melihat dengan jelas sang profesor yang tengah menjelaskan sebuah grafik mengenai tingkat perdagangan. Sesuatu hal yang sudah tidak asing lagi bagi Fany karena ia mahasiswi Jurusan Ekonomi Bisnis.
Selama penjelasan sang profesor, ingatan Fany kembali melayang pada mimpinya pagi tadi. Sesekali matanya melirik ke bangku tempat Shori duduk. Pemuda itu terasa tidak asing bagi Fany, tetapi tetap saja itu hanyalah sebuah dugaan. Nyatanya ia baru mengenalnya hari ini dan darimana asal Shori ia tidak peduli.
Setelah tiga jam mendapat perkuliahan, Fany membawa kakinya menuju kantin. Ia merasa lapar karena tadi hanya sarapan dengan segelas susu. Setelah mendapat paket makanan, ia segera mencari tempat duduk. Dilihatnya Ryza berada di pojok ruangan dekat jendela. Gadis berkulit coklat itu tengah memfokuskan pandangannya pada sebuah buku yang cukup tebal berwarna hijau, dengan sampulnya bergambar keluarga priyayi era kolonial sedang menaiki kereta kuda.
"Ryz," ucapnya.
Ryza mendongak kemudian membenarkan letak kacamatanya. "Hai, Fan! Udah keluar nih?"
"Barusan. Lagi baca apa?"
"Oh, ini Bumi Manusia karyanya Pramoedya Ananta Toer. Kamu harus baca, wajib pokoknya! Kalau di Jepang judulnya menjadi 'Ningen no Daichi'."
Fany hanya menaikkan kedua sudut bibirnya kemudian mengucapkan itadakimasu dan memulai makan. Ia memang suka membaca, hanya saja bukan buku berjenis sastra seperti milik Ryza—mungkin karena wanita Indonesia itu mengambil Jurusan Sastra. Ia lebih menyukai buku-buku berbau keuangan yang memang searah dengan jurusannya.
Dalam keheningan di antara mereka dan hanya terdengar suara sumpit yang beberapa kali menyenggol mangkok, Fany merasa seperti diawasi. Ketika ia mencoba melihat ke seluruh penjuru kantin, tidak ada orang yang mencurigakan. Para mahasiswa yang berada di kantin terlihat biasa-biasa saja. Makan atau berbincang dengan sesama temannya, bahkan ada yang menekuri buku seperti Ryza.
Ia kembali melanjutkan makan, menghabiskan satu mangkok sup tofu berkuah bening. Setelah selesai merapikan alat makan dan mengembalikannya ke petugas kantin, gantian dirinya yang kini menekuri buku tentang investasi. Selama membaca, pikirannya melayang kembali ke mimpi semalam. Sesosok—mungkin seseorang—itu terasa dekat dengannya. Lalu ia teringat akan pemuda baru di kelas tadi. Pemuda yang terasa tidak asing padahal ia baru mengenalnya tadi dan lucunya pemuda itu berani mendekatinya. Sedangkan para lelaki di jurusannya tidak ada yang berani karena sifat Fany yang sangat kaku.
"Aku menemukanmu... Ryoko."
Fany kembali mengedarkan pandangan, tidak ada siapapun yang terasa mencurigakan. Bahkan kantin tampak lebih lengang kemudian ia mencoba memanggil Ryza yang masih setia dengan bukunya.
"Ryz, tadi dengar ada suara?"
Ryza kembali mendongak, menatap wanita blasteran Indonesia-Jepang itu. "Suara apa? Dari tadi aku tidak dengar sama sekali. Mungkin kau salah dengar saja."
Ia menggaruk kepala, tidak tahu harus menjawab apa. Rasanya malu karena mungkin memang ia hanya salah dengar.
Tiba-tiba Ryza berdiri, wanita itu pamit karena kelasnya akan segera dimulai dan beranjak meninggalkan Fany seorang diri. Fany kemudian menyandarkan kepala di meja, merasa hari ini aneh dari biasanya. Mungkin ia butuh istirahat karena terlalu lelah belajar untuk menghadapi kuis pada kelas berikutnya. Setelah mengecek jam tangan, ia memutuskan untuk masuk ke kelas mumpung Bapak Nagase belum datang. Ah, dosen muda satu itu selalu bisa mencuri perhatian para mahasiswi—kecuali Fany—padahal galaknya minta ampun.
Dan sialnya, kini Fany harus duduk bersebelahan dengan Sato Shori karena bangku yang tersisa hanya itu. Shori sangat cerewet, sedikit-sedikit bertanya padahal Fany sedang fokus mendengar penjelasan Pak Nagase sebelum soal kuis dibagikan.
"Urusai! Kau sangat mengganggu," ucap Fany dengan nada berbisik tanpa melihat ke arah Shori.
Tanpa sepengetahuan Fany, lelaki itu menaikkan sebelah sudut bibirnya. Tidak lagi bicara, tetapi memandangi wanita berambut sepunggung itu sangat lekat. Seakan telah menemukan miliknya.
"Kau tidak pernah berubah." Shori menopang dagu dengan satu tangan dan pandangannya masih mengarah ke Fany.
Seketika Fany mengarahkan pandangannya ke Shori dengan menaikkan salah satu alisnya. Sedangkan pemuda itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Kami-sama, tolong buat kuis ini segera selesai sehingga aku bisa menghindari lelaki ini.
Dan Fany semakin dibuat terheran-heran karena Shori tengah menahan tawa, terlihat dari bibirnya yang mulai berkedut-kedut. Apanya yang lucu?
Selesai kelas, Fany hendak menuju perpustakaan utama Keio University dan ternyata lelaki tengil itu mengikuti. Bahkan sampai duduk di sampingnya padahal tidak membaca apa pun, hanya terus memandangi Fany.
Fany menutup buku dengan kasar dan langsung menghadap Shori. Matanya menatap lurus dengan muka yang sudah memerah hendak marah.
"Sato-san, jika Anda tidak memiliki kepentingan apa pun, tolong pergi dan jangan ganggu saya," ucap Fany pelan dan dalam. Berusaha mengintimidasi agar lelaki itu segera pergi dari hadapannya.
"Iie, aku suka memandangimu dan lagi pula aku rindu padamu Fany-chan. Atau harus kupanggil Ryoko?" Shori mengatakannya sambil tersenyum dengan mata menyipit.
Fany mengerjapkan mata beberapa kali. Darimana lelaki tengil itu tahu nama Ryoko? Dan mengapa memanggilnya dengan nama Ryoko? Siapa sebenarnya wanita bernama Ryoko itu?
"Aaa... mungkin kau lupa karena sudah beberapa abad berlalu. Mungkin dua atau tiga abad," katanya. "Entahlah, aku sendiri sudah lupa. Sudah cukup tua untuk mengingat. Setidaknya aku masih mengingatmu, Takizawa Ryoko."
Wanita yang memiliki kulit seputih susu itu segera berdiri dan mengembalikan buku ke tempat semula. Ia merasa akan gila jika terus meladeni ocehan Shori, meski dirinya sendiri juga penasaran. Siapa Shori? Dan bagaimana bisa mengenal wanita dalam mimpinya itu? Ah, dan yang paling membuatnya bertanya-tanya adalah bagaimana bisa nama marga Ryoko sama dengan dirinya?
Ia mempercepat langkahnya. Tahu jika Shori mengejar di belakang, memanggil-manggil dan berusaha memberi penjelasan. Hanya saja Fany terlalu lelah untuk mendengar karena pikirannya sudah penuh dengan jadwal dan tugas untuk keesokan harinya.
Masih berkecamuk dengan pikirannya, tanpa sadar Fany menyeberang jalan tidak melihat lampu lalu lintas yang sudah berubah warna. Sebuah truk pengangkut barang menabraknya hingga kesadarannya hilang ditelan kegelapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top