WHITE HOUSE
Sebeeel!!!
Meme pikir aku apaan? Perawan tua? Halloooo ... aku baru du-a-pu-luh sem-bi-lan. Oke ... oke ... hampir tiga puluh, tapi masih dua hari lagi. Terus kenapa kalau tiga puluh belum nikah?
Dosa? Enggak 'kan. Memangnya kalau aku nikah terus ngaruh ke kurs Dollar 'gitu? Enggak juga 'kan. So What?
Dasarnya pada resek aja. Ini udah tahun 2017, Mem. Jamannya oppa-oppa berwajah cantik wira-wiri di TV. Bukan lagi jaman film Siti Nurbaya yang dijodoh-jodohin atau Suzana di malam satu Suro.
Aku bukannya nggak mau nikah. Mau pake banget. Cuma nggak sekarang juga keles. Terus nggak usah pake acara ngenalin sama si ini yang kerja itulah atau si itu yang punya anulah. Apalagi sampai repot-repot ngejodohin aku sama cowok, yang katanya, prince charming of the year.
Aku nggak peduli seganteng atau setajir apa pun dia. Ehem, oke ... jujur, tentu saja peduli. Siapa sih yang nggak mau sama cowok model Babang Lee Min Ho atau CEO kaya raya kek cerita-cerita baper di Wattpad? Cuma caranya yang salah, Mem.
Iya ... aku sih yakin ini idenya Meme—sebutanku untuk nyokap, karena panggilan mama sudah terlalu mainstream. Untung aja tadi malam Bang Rafli keceplosan kalau besok di hari ulang tahunku, Meme bakal ngejodohin aku sama anak temen SMA-nya. FTV banget nggak sih?
Nih, sekalian aku sempurnain skenario FTV kalian. Aku minggat. Yep, aku pergi dari rumah nggak pamit. Jadilah sekarang aku berdiri di sini. Di depan my lovely white house.
Astaga. Sudah tujuh tahun lebih aku nggak ke sini. Sejak Pepe–ayahku tercinta–berpulang ke pelukan Sang Pemilik segala, kami memilih untuk eksodus ke Jogja. Meninggalkan segala kenangan indah kami bersama Pepe.
Nggak ada yang berubah dari si putih—ralat—Si hitam ini, sih. Idiiih, kata Meme ini rumah dititipin ke Mbah Joyo. Lhah, kok ancur begini? Catnya berubah warna. Tadinya putih bersih, sekarang jadi abu-abu monyet. Gerbangnya pun mulai karatan. Kubuka gembok dengan susah payah, mungkin karena sudah lama nggak dibuka jadi seret 'gini. Nanti kalau Mbok Yem—mantan asisten rumah tangga kami dulu—datang, aku suruh minyakin deh.
Tadi sebelum ke sini, aku sengaja ke rumah Mbok Yem dulu. Minta tolong untuk bantuin bersih-bersih rumah. Nggak ada yang berubah dari Mbok Yem, hanya uban yang menghiasi kepalanya semakin banyak. Atau aku harus bilang kalau rambut hitamnya yang berkurang?
Astaga part dua! Ini taman apa hutan? Kenapa ada pohon segedhe ini di taman? Perasaan dulu di taman ini cuma ada berbagai tanaman bunga dan rumput gajah. Taman ini tempat kesayangan Meme. Sampai aku mikir kalau taman ini anak kandung Meme, sedangkan aku cuma anak pungut.
Gimana enggak, tiap pagi-siang-sore selalu dibelai, disayang, bahkan Meme nggak malu bersenandung untuk tanamannya. Kata-kata Meme yang masih aku inget, bahwa mereka itu juga makhluk hidup yang punya jiwa. Jadi, sudah semestinya kita juga memberi mereka kasih sayang. Kalau tanaman dirawat dengan penuh cinta, pasti mereka akan tumbuh dengan cantik.
Iya juga, sih. Bunga warna-warni selalu menghiasi taman ini, membuatnya tampak indah. Semua karena kerja keras Meme. Coba kalau sekarang Meme di sini. Yakin, pasti suara tujuh oktaf-nya bisa terdengar sampai radius dua kilometer. Besok aku harus manggil Mbah Joyo buat ngerapiin taman, sekalian ngecat ulang tembok depan.
Aku menaiki tangga menuju pintu utama. Pegangannya goyang-goyang. Ini juga harus dibenerin. Nggak aman kalau Ray–anak Bang Rafli–main lari-larian di sini.
Baru berdiri di depan pintu rumah, sudah membuat berbagai memori indah itu kembali berputar di bioskop dalam kepalaku. Kuusap lembut pintu yang bertuliskan 'Happy Family'. Jangan bayangkan kalau ada sebuah hiasan indah yang menempel di sana. Itu cuma ukiran tangan. Hmmm, mungkin lebih tepatnya hasil karyaku dengan Bang Rafli.
Kalau nggak salah, waktu itu Bang Rafli kelas lima SD dan aku satu SD. Pepe baru mbenerin roda depan sepeda Bang Rafli di taman. Nah, emang dasarnya abangku satu itu suka iseng. Dia ngambil obeng dari kotak peralatan Pepe. Eh, diajakinnya aku bikin kejutan buat Pepe sama Meme.
Bagi kami berdua, mengukir sebuah kata 'Happy Family' adalah sebuah prestasi besar. Namun, lengkingan Meme menyadarkan kami bahwa kenyataan tak selalu seindah yang dibayangkan. Sampai sekarang pun, aku masih ingat bagaimana ekspresi terkejut Meme saat melihat ukiran abstrak di pintu. Pernah nonton film Scream? Nah, 11-12 kek topengnya lah.
Kalau Pepe, sih, cuma ketawa sambil geleng-geleng. Lhah, Meme? Ceramah dua hari dua malem. Tapi anehnya, Meme juga yang ngelarang waktu Pepe mau mengganti pintu depan.
Kuputar handle pintu. Sejenak kututup mata, kembali memutar memori yang tersimpan. Setiap pulang sekolah, entah bagaimana caranya, Meme pasti sudah berdiri di balik pintu untuk menyambut kami. Dengan senyum dan pelukan hangatnya. Biasanya aroma kue dari oven atau masakan dari dapur ikut menyapa. Membuat cacing-cacing di perut semakin belingsatan.
Astaga part tiga!
Bau apa ini? Kututup hidung dengan telapak tangan. Apak dan pengap. Sebentar, sepertinya ada tikus mati. Aku bergidik ngeri, jangan sampai ngelihat, deh. Aku bisa mual muntah ini.
Kubuka lebar pintu dan jendela, supaya ada sirkulasi udara. Mencoba menyalakan lampu dari saklar di dekat jendela. Thanks God! Nyala. Untung, deh, aku nggak perlu gelap-gelapan di dalam rumah.
Terlalu lebay 'kan kalau aku bilang astaga lagi. Cuman aku bingung harus milih kata apa lagi untuk ngungkapin keterkejutanku.
Sarang laba-laba menghiasi seluruh langit-langit rumah. Debu di lantai kalau dikeruk bisa untuk bikin adukan semen. Sorry, lebay lagi.
Aku menghentikan langkah. Ini siang hari, kan? Aku menoleh ke luar. Matahari masih menyapa ceria. Amaaan. Setan dan teman-temannya nggak mungkin nongol di siang hari. Cuma sekedar memastikan saja, aku nggak mau kalau cerita ini tahu-tahu berubah jadi genre jadi horor. No no no .... Big no!
Nggak ada yang berubah sejak kami tinggalkan. Beberapa barang memang sengaja tidak kami bawa. Aku masuk lebih dalam lagi. Membuka jendela yang terhubung dengan kebun belakang, yang kini jadi hutan belantara.
Pantesan tadi begitu pintu terbuka baunya ampun-ampunan. Pohon mangga di belakang sedang berbuah, beberapa jatuh dan membusuk. Andai Pepe masih di sini, tentu saat ini beliau sedang sibuk memanen mangga. Aku dan Bang Rafli asyik berebut memunguti mangga yang jatuh. Sedangkan Meme menguleg sambel rujak di dapur. Setelah itu kami akan menggelar piknik di bawah pohon.
Aku penasaran, apakah ukiran itu masih ada di batang pohon. Jangan nuduh! Kali ini Pepe yang sengaja nulis di sana. Tentu saja setelah itu kami bertiga harus mendengar pidato dari Miss lingkungan hidup.
Aku tersenyum mengingat betapa marahnya Meme, dan terharu akan perlindungan Pepe.
Selamanya Pepe selalu ada dalam hati kami. Dan aku yakin, di manapun Pepe berada, rasa sayangnya pada kami tetap utuh. Kurasakan pipiku basah. Sengaja kubiarkan terus basah oleh aliran deras air mata yang tertumpah. Sudah lama aku nggak pernah nangis. Ternyata dengan menangis, sesak yang kurasa di dada sedikit berkurang.
Setelah tangisku reda, kembali kulangkahkan kaki menuju ruang makan. Meja ukir Jepara yang dikelilingi empat kursi masih mendominasi ruang makan.
Bagi kami, ruang makan adalah pusat dari rumah ini. Bukan ruang keluarga. Aneh, ya? Mau gimana lagi, kami berempat lebih senang makan dibanding nonton TV.
Pulang kantor, Pepe juga lebih memilih duduk di kursi makan sambil nyemil sayur atau buah. Begitu pula aku dan Bang Rafli. Kalau kami bertiga sudah mulai membuat rusuh di meja makan, Meme pasti ikut nimbrung. Gantian Mbok Yem yang geleng-geleng dari dapur.
Duduk lagi di kursi ini, membuat mataku kembali hangat. Pepe, aku kangen. Kalau Pepe masih di sini, pasti beliau bisa menengahi perselisihanku dengan Meme.
Nggak pernah sekali pun aku melihat Pepe marah. Kalaupun kami nakal, Pepe akan mengajak kami bicara berdua. Bicara dari hati ke hati seperti seorang teman. Pepe juga yang paling bisa meredam ceramah tak berkesudahan dari Meme.
Bagiku Pepe adalah lelaki terhebat sedunia akhirat. Serius. Bahkan salah satu alasan kenapa sampai saat ini aku belum nikah pun, karena belum ketemu pria sepertinya. Aku bukan pengidap electra compleks. Cuma sedikit terobsesi akan sosok Pepe. Sayangnya sampai sekarang belum ketemu.
Aku tersenyum miring, menyadari kebodohanku selama ini. Sudah tahu nggak bakal ada cowok seperti Pepe, masiiih saja berharap ketemu.
Apa itu? Mataku terpaku pada satu benda yang terselip di lemari buffet. Aku berjalan mendekat, penasaran dengan benda itu.
Kutarik perlahan, hidungku langsung disambut oleh kepulan debu. Kukibas-kibaskan tangan ke udara untuk menghilangkan debu yang beterbangan. Album foto? Dahiku berkerut. Kok bisa di sini? Aku celingukan mencari kain lap. Tak ada rotan, akar pun jadi. Aku bersihkan album itu dengan ujung kaos.
Astaga part .... Masih ada yang inget udah sampe berapa? Lupakan.
Ini kan album yang dulu dicari Meme berminggu-minggu, sampai seluruh kardus diobrak-abrik. Ternyata ketinggalan di sini. Aku lupa kapan terakhir kali buka-buka album foto. Maklum lah, sekarang album foto pindah ke medsos. Dikit-dikit upload, sebentar-sebentar ganti DP. Akhirnya lupa sama teknologi yang namanya album.
Kubuka lembar pertama. Foto Bang Rafli waktu bayi, persis kaya Ray, pipinya tembem. Terus di bawahnya ada foto Meme baru menggendong Bang Rafli. Pasti Pepe yang ngambil fotonya.
Di lembar selanjutnya ada foto Meme baru hamil sambil nggandeng Bang Rafli. Nah, dari dalam kandungan saja aku udah eksis. Meme kelihatan cantik banget pakai dress polkadot tanpa lengan. Wiiih, si Meme ... rambutnya oeeey ... kaya iklan shampoo.
Rupanya dari Meme-lah kecantikanku berasal. Ha ha ha ... PeDe bener. Memang, kok, nggak sedikit yang bilang aku cantik.
Ini siapa??? Aku lihat Meme baru mandiin balita, cewek, item, kurus. Jangan bilang kalau ini aku! Mataku membelalak ngeri melihat foto itu. Tolong ingatkan aku untuk membakar foto ini. Jangan sampai ada yang lihat masa kelamku. Hitam kelam.
Kubalik lagi album foto. Bang Rafli ulang tahun ke-8. Meme baru masak, ini pasti diambil diem-diem sama pepe. Lalu, ada foto kami berempat piknik ke grojogan sewu. Aku senyum-senyum sendiri melihat isi album itu.
Sampai di lembar terakhir, mataku terpaku pada foto di sana. Sebenarnya biasa saja. Cuma foto keluarga dua belas tahun lalu. Sepulang acara wisuda S1 Bang Rafli, Pepe bilang sekalian foto studio aja, mumpung udah dandan. Gayanya biasa banget, Meme dan Pepe duduk di kursi. Bang Rafli berdiri di belakang Meme, sedangkan aku berdiri di belakang Pepe. Gaya foto yang kakunya ampun-ampunan. Banyak foto keluarga lain yang lebih artistik.
Namun, bukan karena foto itu yang bikin aku menitikkan air mata. Tapi tulisan di bawahnya. Tulisan tangan Pepe yang kaya cakar ayam. Cuma sebaris kalimat sederhana.
'Tidak peduli seberapa besar masalah yang sedang kita hadapi, kita harus tetap bersama dalam cinta. Karena kita keluarga.'
Aku merasa saat ini Pepe sedang bicara padaku. Menegurku. Mengingatkanku bahwa kami keluarga. Aku menangis tergugu. Pepe seolah memberitahu bahwa sikapku yang pergi dari rumah adalah salah. Maafin aku, Pep.
Ddrrrt ddrrrtttt
Kurasakan ponsel dalam saku celana bergetar. Kuambil dan kulihat nama yang tertera di layarnya.
My Meme Calling
Kubersit air mata di pipi. Makasih, Pep, sudah ngingetin aku. Kugeser tombol hijau. Sedetik kemudian kudengar rentetan pidato dari wanita yang paling hebat sedunia akhirat.
I Love My Family.
***
Aku ketawa sendiri baca cerpen ini.
Astaga, ancur minaaaah....
Ini cerpenku dari jaman rambut nenek masih item, setelah kubaca ulang bikin ngekek....
😂😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top