THE OTHER
"Ayo, Mawar!" Bang Zaki menarik tanganku kasar.
"I-iya, Bang."
"Mawar Salsabila, cepat!" bentak Bang Zaki, membuatku mengatupkan bibir sambil terus berjalan cepat, berusaha menyamai langkahnya.
"Ki-kita mau ke mana, Bang?" tanyaku saat ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi di jalan Sudirman. Namun, tak ada sahutan dari Bang Zaki.
Bang Zaki—lelaki yang kucintai—semakin tak terkendali, membuatku mempererat pegangan pada pinggangnya. Baru kali ini aku melihat Bang Zaki lepas kontrol, yang aku tahu ia bukanlah orang yang suka mengumbar emosi.
Perasaan was-was melingkupi hatiku, saat kami terombang-ambing mengikuti laju sepeda motor. Keringat dingin sudah membanjiri kening dan punggungku. Rasanya jantungku terjun bebas dari rongga dada, saat motor yang kami tunggangi menyalip sebuah minibus dari ruas kiri jalan. Entah setan apa yang menghinggapi Bang Zaki, hingga melajukan kendaraan sekencang ini.
"B-bang ... a-aku mohon pelankan sedikit! Aku ... aku takut!"
Rupanya amarah telah menutup mata hati dan pikiran Bang Zaki. Tunggu dulu ... apakah ia marah karena melihatku mengobrol dengan Mas Rizky di dalam Swalayan? Bukankah tadi ia juga berada di sana, di sampingku? Apa itu yang membuat Bang Zaki menyeretku dari parkiran swalayan? Memaksaku untuk secepatnya pergi dari sana. Padahal dia tahu, tak ada hubungan apa pun antara diriku dengan Mas Rizky.
Aku mencoba untuk menenangkan diri, memercayakan kemudi motor pada Bang Zaki. Namun, gagal. Hatiku kebat-kebit setiap kami menyalip kendaraan.
Aku membelalak sempurna, saat kulihat dari balik bahu Bang Zaki seorang anak yang tiba-tiba menyeberang tepat di depan kami. Bang Zaki sama terkejutnya denganku, diinjaknya pedal rem kuat-kuat, hingga tubuhku membentur punggungnya yang keras. Kucengkeram erat pinggangnya hingga kurasa nyeri pada buku-buku jari, saat motor kami tak juga melambat. Kupejamkan mata rapat.
Sial! Orang ini benar-benar gila. Rasanya ingin kutempeleng wajahnya biar sadar. Mawar juga bego, cuma bisa pasrah. Woi! Teriak, bego! Biar Zaki sadar.
Aku tersentak, siapa yang menyuruhku untuk teriak? Kusadari jarak kami dan anak itu terlalu dekat, aku yakin tabrakan tak dapat terelakkan lagi. Namun, di detik terakhir, Bang Zaki membelokkan motor ke ruas kanan jalan, menghindari penyeberang jalan itu.
"AWAS, BANG!!!"
Sebuah SUV melaju kencang menuju arah kami. Entah apa yang terjadi, aku tak dapat mengingat detail kejadiannya. Yang aku tahu, sekelebat cahaya putih menampar kedua mataku. Disusul suara tumbukan memekakkan kuping. Tubuhku terlontar dari atas jok motor, jatuh terseret hingga akhirnya punggungku menabrak pembatas jalan. Hanya ada rasa perih dan terbakar yang dapat kurasakan di paha dan lengan kiriku, serta sakit luar biasa pada tulang punggungku. Apa yang terjadi? Kenapa kakiku tak bisa bergerak? Ya, Tuhan ....
"Mbak ... Mbak ...." Kurasakan seseorang menyentuh pergelangan tangan kananku. Samar-samar kulihat orang berkerumun di atasku.
"Pak Dhe, Mbake masih hidup! Cepet panggil ambulans!" Kudengar percakapan mereka dalam kondisi setengah sadar.
"Dalam perjalanan. Koyone sing lanang bablas, Pak. Remuk natap pembatas beton."
Apa maksudnya? Ada apa dengan Bang Zaki? Apanya yang bablas? Apa yang remuk?
"Wes, yang penting selametin mbake dulu. Biar jenazah yang cowok diurus belakangan."
Jenazah? Apa itu artinya Bang Zaki .... TIDAAAK!!! Ini pasti hanya mimpi! Aku tidak mengalami kecelakaan dan aku baik-baik saja. Bang Zaki pun tidak meninggal! Tidak! Aku tidak mau!
Oh, sial! Apa lagi yang wanita goblok ini lakukan? Selalu seperti ini. Mawar yang berbuat dan aku ikut terkena imbasnya. Sedari dulu dia tidak pernah berubah, memilih untuk bersembunyi ketimbang menghadapi kenyataan. Lagi-lagi aku yang harus menyelesaikan semua kekacauan ini.
Aku mengumpat lirih saat kucoba menggerakkan kaki. Aku memicing beberapa saat hingga nyeri yang kurasakan reda.
"Mbak, jangan gerak dulu. Sebentar lagi ambulansnya dateng."
Ini semua gara-gara Zaki. Si brengsek satu itu selalu membuat hidupku sengsara. Syukurlah sekarang dia mati, itu artinya tak ada lagi laki-laki di hidupku. Dasar Mawar bodoh, bisa-bisanya terpesona pada pria macam Zaki. Setelah diperkosa makhluk berjenis laki-laki, bisa-bisanya dia masih percaya dengan mereka.
"Mbak, bisa dengar suara saya?"
Kubuka mata perlahan. "Ya," jawabku lirih dengan suara serak. Mulutku rasanya kebas dan amis.
"Bisa sebutkan namanya, Mbak?"
"Rosa. Rosa Salsabila."
***********************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top