SRIKANDI

1980

"Mbak Sri, ditimbali [1] Bapak," ucap Kunthi—adik semata wayangku–dari ambang pintu kamar yang telah terbuka.

Aku meletakkan pulpen di atas meja, lalu mengambil pembatas buku–yang kubuat sendiri dari kelopak mawar kering–sebagai penanda halaman terakhir yang telah kubaca.

"Bapak di mana, Nduk [2]?" tanyaku sembari membenahi rok lilit batik selutut yang kupadankan dengan kemeja krem berlengan sesiku.

"Di ruang keluarga, Mbak. Koyone [3] Bapak bakal marah sama Mbak Sri. Ono opo tho [4], Mbak?" tanya Kunthi dengan setengah berbisik.

Kulihat dahinya berkerut serta jemarinya sibuk meremas ujung kaus yang dipakainya. Aku hafal betul dengan tingkah gadis empat belas tahun ini, dia pasti merasa cemas akan amarah Bapak yang bakal meluap.

Kemarahan Bapak bukan tanpa alasan, aku sadar betul penyulut emosi beliau. Ya, semua disebabkan oleh diriku. Kuembuskan napas panjang lalu kuberikan seulas senyum untuk menenangkan Kunthi.

"Ndak ada apa-apa, Kun. Wes, Mbak Sri mau ke ruang keluarga dulu. Kamu boleh di sini. Itu, Mbak punya buku baru kalau kamu mau baca." Kutunjuk baris paling atas dari rak buku bersusun lima di sudut kamar yang telah penuh dengan koleksi bukuku.

"Wah, Mbak Sri bisa dapet buku Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya karya Sulastin Sutrisno?" ucap Kunthi setelah mengambil buku yang kumaksud, "Bukane buku terjemahan dari surat-surat Raden Kartini ini susah didapet, Mbak? Mbak Sri pancen [5] hebat. Aku ikut baca di sini, yo, Mbak. Nek tak bawa ke kamar, takut ketahuan Bapak. Nanti bisa dimarahi seperti dulu."

Aku mengangguk sembari menutup pintu kamar. Semoga Kunthi tidak mendengar amukan Bapak padaku. Semua orang tahu, bagaimana mengerikannya ketika Raden Mas Singodimejo marah.

Kuambil oksigen sebanyak-banyaknya untuk menenangkan debar jantungku. Tak bisa kuingkari, perasaanku pun berkecamuk menanti putusan dari Bapak. Kulihat Bapak tengah duduk sembari menyeruput kopi hitam kesenengannya.

"Bapak, nimbali kulo [6]?" tanyaku setelah memantapkan diri untuk berpegang teguh pada keputusanku, apa pun konsekuensi yang akan kuterima.

"Lungguho, Nduk. Bapakmu arep ngomong bab penjalukmu wingi [7]." Ibu menepuk kursi di sebelah kanannya.

Kini kami bertiga—Bapak, Ibu dan aku—tengah duduk melingkar, mengelilingi meja bundar yang terletak di tengah ruangan. Ibu berada di sebelah kiriku, dan Bapak di kananku.

Berpatokan pada adat kebiasaan serta norma kesopanan—yang masih sangat dijunjung tinggi dalam keluarga kami—aku duduk menunduk dalam diam, menunggu dipersilakan untuk bicara.

Ya, begitulah kaum wanita di desaku, kami dilarang untuk menatap lawan bicara. Kami pun tidak berhak untuk adu argumen dengan pria. Karena bagi mereka, derajat perempuan jauh di bawah kaum laki-laki.

Kulihat dengan ekor mata, Bapak meletakkan cangkir kopinya sembari berdehem. Mungkin beliau sedang mengatur strategi guna menghadapi kekeraskepalaanku. Tubuhnya yang tinggi tegap, dengan tulang rahang yang tegas, ditambah kumis hitam lebat, membuat Bapak terlihat tak tersentuh. Jarik dan beskap hitamnya semakin mempertajam aura wibawa yang menguar dari dalam diri Bapak.

"Sri." Suara Bapak penuh dengan ketegasan, membuatku sedikit merinding.

"Njih [8], Pak?"

"Bapak tetep ndak setuju dengan permintaanmu. Kamu itu anak wedok [9], bakalane kamu itu ngurus suami sama anak-anak, jadi buat apa sekolah tinggi-tinggi. Kamu sudah lulus SMA, umurmu sudah tujuh belas tahun, wes cukup umur untuk nikah. Ilmumu, yo, wes cukup untuk bekal jadi seorang ibu. Ora perlu kuliah opo kui?"

"Kuliah keguruan, Pak," tambahku.

"Nggo ngopo kuliah guru? Opo arep mulang? Bukane wes ono guru soko pemerintah.[10]"

Baiklah, sekarang saatnya aku memperjuangkan hak untuk menimba ilmu. "Njih, Pak. Sri memang bercita-cita untuk menjadi guru. Sri kepengin mengajar anak-anak di desa kita supaya lebih berpendidikan dan lebih maju. Memang pemerintah memberi kita sekolah dan guru, tapi jarak tempuhnya jauh dan berbahaya, Pak. Anak-anak desa lebih sering membolos, apalagi kalau musim hujan, mereka harus menyeberang sungai yang arusnya deras.

"Terlebih kaum perempuan kita, yang selama ini hanya dipandang sebelah mata. Kebanyakan dari mereka hanya lulusan SD. Padahal Sri pengin mereka memiliki ilmu yang sama dengan laki-laki. Perempuan bukan cuma bisa kerja di sumur, dapur, kasur. Namun, juga harus punya wawasan luas, Pak.

"Setelah Sri lulus, Sri bisa mengabdikan diri di desa kita, Pak. Sri bisa mengajar anak-anak, sehingga mereka ndak perlu menempuh perjalanan jauh untuk belajar." Kukeluarkan semua pemikiran yang selama ini masih ditentang Bapak.

Kudengar beliau mendengkus keras. "Artine, kowe nekad milih sekolah ning Jogja, lan kowe bakal nolak lamarane Kang Masmu? [11]"

Mas Dharma—seorang pedagang kain batik berdarah biru dan berwajah rupawan—aku berteman dekat dengannya, bahkan padanyalah aku meminta pertimbangan soal rencanaku untuk melanjutkan kuliah di Jogja. Dan, dia sangat mendukung keputusanku.

Mas Dharma sudah menerka akan ketidaksetujuan Bapak. Dia bilang akan mencari cara agar Bapak mengizinkanku pergi. Namun, aku tak menyangka, kalau melamarku adalah solusi yang tawarkannya. Karena bagiku, Mas Dharma tidak lebih dari sekadar sahabat dan kakak lelaki.

"Pak, nyuwun pangapunten [12], Sri ndak pernah menganggap Mas Dharma lebih dari seorang, tapi—"

Aku berjingkat kaget, saat Bapak menggebrak meja bundar di depan kami, hingga cangkir kopinya pun turut terguling.

"Opo karepmu, Sri? Kurang opo si Dharma? Bagus, gemati, sopan, bibit bebet bobote jelas. Opo maneh sing mbok jaluk? Bocah ora nduwe roso syukur [13]!" cecar Bapak dengan suara naik dua oktaf.

"Sing sareh [14], Pak," ucap Ibu untuk meredam amarah Bapak.

Aku menunduk—bukan berarti aku kalah atau mengalah—demi menunggu emosi Bapak reda. Kudengar Ibu mengangsurkan segelas air bening ke Bapak.

"Uwes tho, Nduk. Manuto karo bopo biyungmu iki. Ibu sudah ndak muda lagi, sudah kepengin nggendong cucu. Dadi, terima lamarane Dharma yo, Nduk. Ora usah menyang Jogja. Opo kowe wes ora tresno karo ibumu iki? [15]" bujuk Ibu dengan berlinang air mata.

"Ampuni Srikandi, Bu." Aku bersimpuh di kaki Ibu sembari memeluk surgaku. "Ndak pernah sedikit pun rasa sayang Sri pada Bapak dan Ibu itu luntur. Sri ndak pengin jadi anak durhaka, Bu. Tapi, Sri juga ndak mau cuma berdiam diri di rumah, Bu. Sri kepengin menuntut ilmu, untuk bekal berumah tangga nantinya."

"Ibumu yang cuma lulusan Sekolah Rakyat juga bisa mbesarin kamu dan Kunthi. Ibumu juga bisa ngurus rumah tangga!" sahut Bapak yang masih teguh dalam pendiriannya.

Kuangkat wajah menatap kedua orang yang sangat berarti dalam hidupku. "Njih, Pak. Sri tahu, perjuangan Ibu dalam keluarga kita. Sri juga kepengin seperti Ibu, mengurus keluarga dengan kasih sayang dan kelembutan. Tapi, bukankah lebih baik kalau Sri juga mempunyai ilmu yang mumpuni, yang bisa Sri praktikkan langsung ke anak-anak kelak?

"Dan, Sri juga bisa membagi ilmu yang Sri miliki ke sekitar. Bapak dan Ibu pasti mengetahui, masih banyak anak-anak di desa kita yang buta huruf. Bukankah itu sangat disayangkan. Sri mohon, Pak, izinkan Sri menimba ilmu ke Jogja."

Ibu membelai puncak kepalaku dengan lembut, bekas air mata masih tergurat di kedua pipinya. Sinar matanya yang teduh seolah memberi semangat padaku. Bolehkah aku berharap kalau Ibu telah memberikan restunya?

Kudengar desahan keras dari Bapak. "Bapak nandang wirang, yen kowe nolak lamarane Dharma [16]."

Aku tersenyum lalu berkata, "Sri ndak pernah bilang, kalau Sri nolak lamaran Mas Dharma, Pak. Memang, bagi Sri, Mas Dharma itu sudah seperti kakak kandung sendiri. Namun, Sri bersedia menerima lamaran Mas Dharma."

"Alhamdulillah. Matur nuwun Gusti Pangeran," ucap Ibu sembari memelukku.

Ya, demi orang tuaku, demi cita-citaku, aku sanggup berkorban apa pun. Lagipula Mas Dharma orang yang sangat baik. Tidak susah untuk jatuh cinta padanya. Aku yakin bisa berbakti dengan tulus padanya. Aku juga yakin, Mas Dharma sangat bisa diandalkan, dia sosok yang tepat untuk dijadikan kepala keluarga dan ayah bagi anak-anaknya kelak. Mas Dharma sendiri pun tidak keberatan dengan perasaanku, dia sendiri yang mengatakannya padaku kemarin.

"Bapak bakal ngrestui olehmu nuntut ilmu nyang Jogja, yen kowe nrimo Dharma dadi bojomu. Tapi, kowe kudu eling, Nduk. Ojo lali marang niatmu, gunakno ilmu sing mbok peroleh kanggo hal sing migunani. Selalu bersikap sederhana, ojo dumeh,[17]" pesan Bapak padaku.

Aku mengucap syukur tak terhingga pada Gusti Allah, Sang Maha Pemberi Nikmat. Aku berjanji, tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan-Nya padaku. Akan kuabdikan seluruh hidupku demi kemaslahatan masyarakat desa. Aku berjanji.

***

2017

"Bu," Suara Mas Dharma menyadarkanku dari lamunan, "sebentar lagi acara akan dimulai. Sibu harus pidato kata sambutan, tho? Ayo kita masuk, Bu."

Aku menoleh pada suamiku, tak lupa seulas senyum kuberikan secara sukarela untuknya. Kupeluk lengan kokoh yang telah menuntunku selama 37 tahun.

Rasanya baru kemarin aku pergi menuntut ilmu ke Jogja. Namun, tak terasa puluhan tahun telah kami lalui bersama. Seperti janji yang pernah kami ikrarkan, Mas Dharma dan aku mengarungi biduk rumah tangga kami dalam cinta kasih dan kepercayaan. Berbagai pasang surut kehidupan telah kami lewati. Manis getirnya sebuah ikatan pernikahan pun telah kami cicipi.

Sedari awal kami menikah, Mas Dharma selalu mendukung setiap pemikiranku. Kalau pun aku khilaf, maka dengan lembut dia akan mengingatkanku. Mas Dharma selalu mendampingi saat aku menuntut ilmu di Jogja. Sampai pada akhirnya aku kembali ke Solo, dan mulai mendirikan yayasan ini pun, dia tak pernah membiarkanku berjalan seorang diri.

Ya, yayasan pendidikan yang kubangun dari hasil jerih payah dan buah pemikiran kami berdua. Yayasan yang memayungi anak-anak kurang mampu agar tetap bisa memperoleh ilmu. Yayasan yang mengajarkan tentang arti penting seorang perempuan di dalam kehidupan. Yayasan yang menjadi cita-citaku dalam meneruskan perjuangan R.A. Kartini.

Perjuangan beliau tidak boleh terhenti, harus ada Kartini-Kartini muda yang meneruskannya. Dengan semangat yang tak pernah luntur, perjuangan nan gigih tak pernah putus asa telah diteladani oleh seorang wanita bernama Raden Ajeng Kartini dalam mengangkat derajat wanita. Karena wanita juga harus berprestasi, wanita bukan kaum lemah yang tak bisa apa-apa. Perempuan adalah tiang dari sebuah negara. Oleh karena itu, perempuan Indonesia haruslah kokoh, tegak berdiri tak terpengaruh hujan badai yang menerjang. Diriku hanyalah secuil arang yang turut serta mengobarkan semangat Sang Pejuang Emansipasi wanita. Jika saat itu aku menyerah, maka arang yang kupunya takkan menyala. Kini tubuhku telah renta, tapi aku selalu berharap semangatku tak pernah padam.

SELESAI
================================
Keterangan:
[1] Ditimbali : dipanggil
[2] Nduk : panggilan untuk anak perempuan
[3] Koyone : sepertinya
[4] Ono opo tho : ada apa sih
[5] Pancen : memang
[6] Nimbali kulo : memanggil saya
[7] Duduk, Nak. Bapakmu mau bicara perihal permintaanmu kemarin
[8] Njih : iya
[9] Wedok : perempuan
[10] Untuk apa kuliah guru? Apa mau mengajar? Bukankah sudah ada guru dari pemerintah?
[11] Artine, kowe nekad milih sekolah ning Jogja, lan kowe bakal nolak lamarane Kang Masmu? : artinya, kamu nekat memilih untuk sekolah di Jogja, dan kamu akan menolak lamaran Masmu?
[12] Nyuwun pangapunten : Mohon maaf
[13] Opo karepmu, Sri? Kurang opo si Dharma? Bagus, gemati, sopan, bibit bebet bobote jelas. Opo maneh sing mbok jaluk? Bocah ora nduwe roso syukur : apa maksudmu, Sri? Kurang apa si Dharma? Tampan, sayang, sopan, bibit bebet bobotnya jelas. Apa lagi yang kamu minta? Anak tidak tahu rasa bersyukur
[14] Yang sabar
[15] Uwes tho, Nduk. Manuto karo bopo biyungmu iki. Ibu sudah ndak muda lagi, sudah kepengin nggendong cucu. Dadi, terima lamarane Dharma yo, Nduk. Ora usah menyang Jogja. Opo kowe wes ora tresno karo ibumu iki? : sudah, Nak. Nurut sama bapak ibumu ini. Ibu sudah tidak muda lagi, sudah berkeinginan untuk menimang cucu. Jadi, terima lamarannya Dharma, ya, Nak. Tidak usah ke Jogja. Apa kamu sudah tidak sayang pada ibumu ini?
[16] Bapak nandang wirang, yen kowe nolak lamarane Dharma : Bapak mendapat malu, kalau kamu menolak lamarannya Dharma
[17] Bapak bakal ngrestui olehmu nuntut ilmu nyang Jogja, yen kowe nrimo Dharma dadi bojomu. Tapi, kowe kudu eling, Nduk, ojo lali marang niatmu. Gunakno ilmu sing mbok peroleh kanggo hal sing migunani. Selalu bersikap sederhana, ojo dumeh : Bapak akan merestuimu menuntut ilmu ke Jogja, asalkan kamu menerima Dharma menjadi suamimu. Tapi kamu harus ingat, Nak, jangan lupa akan niatmu. Gunakan ilmu yang kamu dapat untuk hal yang berguna. Selalu bersikap sederhana, jangan sombong.

================================

"Jangan mengeluh tentang hal buruk yang datang ke hidupmu. Tuhan tidak pernah memberikannya kepadamu. Kamulah orang yang telah membiarkannya datang."
R.A. Kartini

Solo, 16 Oktober 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top