LANGIT JINGGA
"Bunda, lihat ada pesawat! Dadah pesawat ... dadah!" Langit—jagoan cilikku—terlihat begitu bersemangat melambai-lambaikan tangan ke angkasa. Binar bahagia terpancar jelas di kedua mata jernihnya. Celotehan dan tawa riang tak henti mengalir dari bibir mungil itu.
"Wat ... wat, Nda!" Putri kecilku—Jingga—pun tak mau kalah, dia bergerak aktif dalam gendonganku, tangan mungilnya menepuk-nepuk pipiku.
Kucium gemas pipi tembamnya, aroma harum bedak bayi bercampur minyak telon menggelitik indera penciumanku. "Kakak sama adek seneng?" tanyaku seraya membelai puncak kepala Langit.
Pagi ini aku sengaja izin kerja demi membawa kedua buah hatiku jalan-jalan ke bandara. Sudah berkali-kali, Langit mengajakku ke sini untuk melihat pesawat yang sangat disukainya.
"Bunda, besok besar Langit mau jadi pilot kayak Ayah. Nanti Langit ajak Bunda, Ayah sama Dek Jingga jalan-jalan ke bulan." Sejak berumur kurang dari setahun, Mas Pras—ayah anak-anak—memang sudah mengenalkan pesawat pada Langit.
"Wah, asyik ... Dedek Jingga juga ikut?" Kupandang sepasang manik hitam bersinar yang berada tepat di depan mataku.
"Tut ... tut!" Jingga mengangguk dengan kencang, hingga rambut berkuncir duanya membelai lembut wajahku.
Langit menarik tangan kananku, "Ayah kapan pulang, Bund? Langit kangen." Bocah empat tahun itu menatapku penuh harap untuk segera bertemu dengan Sang Ayah.
Kuhirup udara sebanyak mungkin hingga memenuhi rongga dada. Entah berapa ratus kali ia menanyakan ayahnya, tapi aku tak mampu menjawabnya. Memang sedari kecil, Langit lebih dekat dengan Mas Pras ketimbang denganku. Beda dengan Jingga yang tak mau pisah sedikit pun dari ketiakku.
"Sabar, ya, Kak. Bunda janji sebentar lagi kita akan ketemu sama Ayah." Kubelai lembut puncak kepala Langit, kuberikan senyum menenangkan yang selalu bisa meredam rindunya pada Mas Pras.
Namun, rupanya kali ini senyumku belum mampu mengalahkan rasa rindu yang membuncah di dadanya. Kulihat bibir mungil jagoanku mengerucut lucu, dan binar itu sedetik hilang dari bola mata bulatnya.
"Kakak, mau es krim?" pancingku.
Binar itu kembali muncul, disertai anggukan antusiasnya. Bahkan si kecil Jingga pun ikut mengangguk.
"Es tim ... es tim, Nda," sahut Jingga dengan suara cadelnya. Di usianya yang ke delapan belas bulan, sudah banyak kosa kata yang dapat diucapkan, walau kadang terdengar belum jelas.
"Yuk, kita ke swalayan. Bunda belikan es krim. Hayooo ... siapa yang mau?"
"Kakak mau, Bunda!"
"Dedek!dedek!"
Mereka kembali bersemangat, celotehan itu kembali bergema di telingaku. Sekilas kutatap langit berhiaskan awan putih berarak.
"Sebentar lagi, Mas," gumamku lirih, bahkan aku yakin Jingga yang sedang memeluk bahuku pun tak mendengarnya.
***
"If you happy and you know It clap your hand ... If you happy and you know It and you really want to show It ... If you happy and you know It clap your hand ...."
Terdengar suara nyanyian riang Langit, yang diiringi tepuk tangan Jingga. Hanya dengan mendengar tawa mereka, membuat hatiku hangat. Aku sangat menyayangi kedua buah hatiku, bahkan aku rela melakukan apa pun demi melihat senyum terkembang di bibir mereka.
"Kak Langit, telurnya mau dimasak apa? Omelet kayak biasanya mau?" tanyaku dari dapur. Kujulurkan kepala mencari sosok Si Sulung yang sedang berjoget dengan Jingga.
"Iya, Bund," jawabnya tanpa menoleh padaku.
Mataku terpaku pada botol putih yang tadi kubeli di swalayan. Kuraih botol itu dengan tangan gemetar, menggenggamnya erat agar tangan ini tak melepaskannya lagi.
"Kak ... telurnya pake irisan daun bawang, ya." Entah mengapa suaraku terdengar bergetar. Kugigit bibir dalamku hingga terasa anyir di lidah. Kutuang setetes-dua tetes hingga sepuluh tetes cairan bening ke dalam adonan telur. Dan ribuan tetes cairan bening lain jatuh dari balik kelopak mataku.
"Bunda sayang sekali sama kalian. Bunda sayang kalian. Bunda sayang kalian ...." Entah berapa kali kalimat itu kuulang, seolah hanya kalimat itu yang mampu terucap dari bibirku.
Sesak. Walau telah menghirup udara sebanyak mungkin, tapi rasa sesak itu terus menghimpit. Membuatku harus meremas kuat dada ini.
Kututup botol putih yang masih tersisa separuh, lalu memasukkan ke dalam kantong celana jin yang kupakai. Kuhapus jejak air mata di pipi sebelum meletakkan dua piring omelet ke atas meja makan.
"Kak Langit, maem dulu, yuk."
Kudengar langkah-langkah kaki kecil berlarian menuju ruang makan. Tanpa kusuruh, Langit sudah membasuh kedua tangannya terlebih dahulu, sebelum duduk di kursi makannya. Sedangkan Jingga, kubopong dan kubasuh tangannya, lalu mendudukkan di high chair miliknya.
"Bunda, Kakak yang mimpin doa, ya," pintanya.
Aku tersenyum, rasa bangga membuncah dari dalam dada. Betapa pintarnya putraku ini. "Boleh. Yuk, dimulai."
"Ya Tuhan, berkatilah rezeki yang Engkau berikan kepada kami, jauhkan kami dari murka-Mu. Sayangilah ayah bundaku seperti mereka menyayangiku. Aamiin."
Kurasakan setitik air kembali menetes di pipiku. Segera kuhapus sebelum Langit melihatnya. Aku memilih menyibukkan diri dengan menyuapi Jingga, demi menghilangkan pikiranku yang mulai kalut. Aku harus kuat dan bersabar, tak lama lagi kita semua akan berkumpul kembali sebagai keluarga yang utuh.
"Bund, kok rasanya pahit?"
Kubelai lembut rambut Langit yang halus dan harum. "Maafin Bunda, ya, Kak. Tadi Bunda lupa nggak masukin gula. Minum dulu biar pahitnya hilang." Kuangsurkan segelas air putih kepadanya.
"Maafin Bunda, ya, Kak. Maaf." Bisikku di telinganya, saat kulihat dia kembali menyuapkan omelet ke dalam mulut.
***
Kedua tubuh mungil yang berada di pangkuanku masih terasa hangat. Kembali kupeluk erat tubuh yang telah terbujur kaku itu, menciumi setiap incinya, mengunci wajah-wajah tak berdosa mereka dalam ingatanku.
Bersimpuh, kupandang langit jingga dari balik jendela kamar. Kulihat senyuman Langit dan celoteh riang Jingga di ujung cakrawala.
"Mas Pras, maafkan aku. Aku tidak sanggup hidup di dunia ini tanpa kamu ada di sisiku. Aku tak sanggup bertahan lebih lama lagi tanpamu. Cukup enam bulan aku bertahan. Cukup enam bulan kucoba menahan tangis."
Perlahan kuletakkan Langit dan Jingga di atas lantai berdampingan. Kurasakan kedua tubuh itu mulai mendingin, kukecup sekali lagi kedua kening mereka. Menutup kedua mata mereka. Aku—ibu kandungnya sendiri—telah membunuh .... Tidak! Aku tidak membunuh mereka! Aku mengirim mereka ke pelukan Mas Pras.
"Bahagiakah sekarang kamu di sana, Mas? Telah kukirimkan Langit dan Jingga terlebih dahulu untuk menemanimu. Langit begitu merindukanmu, tak henti-hentinya ia menanyakanmu. Aku tak sampai hati untuk mengatakan bahwa kau telah pergi ke surga. Aku yakin saat ini dia sedang tertawa di pelukanmu. Sedangkan Jingga, dia sudah bisa berlari, Mas. Kau tak akan kesepian lagi sekarang."
Kuambil botol putih dari dalam saku, lalu kuteguk seluruh isinya. "Bunda sayang Kak Langit. Bunda sayang Dek Jingga. Tunggu Bunda di sana, ya, Nak."
Sekilas kulihat ketiga orang yang paling kusayang tersenyum di balik langit jingga. Menanti detik-detik kebersamaan kami kembali. Menyambut kehadiran jiwaku. Merengkuhku dalam dekapan hangat mereka.
***TAMAT***
Solo, 16 Oktober 2017
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top