KUPU-KUPU MALAM
"Brengsek!" umpatku seraya membanting pintu kamar hotel murahan yang menjadi saksi pergumulanku dengan bangkotan tambun berbau bacin semalam. Pagi ini aku benar-benar kecolongan. "Sial!"
Kuseret paksa tubuhku yang masih dalam pengaruh obat—entah obat apa yang dimasukkan laki-laki keparat itu ke minumanku. Kakiku terasa lemas, kepalaku kliyengan, perutku seperti diaduk-aduk dan yang jelas selangkanganku nyeri. Membuat jalanku sempoyongan.
Aku harus membuat perhitungan dengan Beni, laki-laki itu tidak pernah becus mencari klien untukku. Kemarin dia dapat laki-laki tua berkelainan seksual yang memaksaku berdandan seperti anak SD setelah itu dia baru bisa orgasme. Kali ini Beni memberiku bangkotan tambun tak tahu diuntung yang membawa sekompi pasukan untuk mengobok-obok seluruh tubuhku.
Sebenarnya tak masalah buatku, mau sekampung pun bisa aku layani. Asalkan bayarannya sepadan. Namun, betapa kagetnya diriku saat terbangun dengan tubuh penuh peju tanpa mendapati uang sepeser pun. Kuulang sekali lagi, tanpa-uang-sepeser-pun. Mereka hanya meninggalkan secarik catatan berisi ucapan terima kasih. Itu artinya semalam aku kerja rodi.
"Beni!" teriakku lantang dari depan pintu rumahnya.
Kugedor pintu dari seng bekas yang mulai berkarat. Hari ini aku harus buat perhitungan dengannya. Kalau perlu kusunat lagi burungnya sampai habis, jika dia tidak mau tanggung jawab.
"Brengsek loe, Ben! Keluar loe!" Kugedor lebih keras. Aku tak memedulikan protes para warga yang terganggu akibat ulahku di pagi buta seperti ini. Kepalaku terasa mau meledak jika mengingat kejadian yang menimpaku.
Pada teriakan kelima baru kudengar seseorang membuka pintu dari dalam. Dengan tampang tak berdosa, Beni menyuruhku masuk. Aku bersiap memukul lelaki bertubuh penuh tato itu dengan tas tanganku, bahkan kalau perlu menggebuknya dengan batu atau kayu. Namun, aku kalah cepat. Walau baru bangun tidur, Beni berhasil mengunci tangan kananku ke belakang tubuh, hingga rasanya persendianku lepas.
"Lepasin! Brengsek loe, Ben! Bisa kerja nggak? Cari pelanggan yang bener! Pelanggan loe semalem brengsek, nggak bayar sesen pun!"
"Sori, Lin. Gue nggak ada niat jahat, sebenernya—"
"Nggak ada niat jahat? Jadi loe udah tahu kalau mereka bakal main keroyokan dan gue nggak dapet bayaran?" emosiku semakin meluap. "Bajingan loe, Ben!"
Aku memberontak, melepaskan diri dari cengkeramannya. Setelah berhasil, kupukul pria tak beradab itu secara membabi buta. Bahkan kalau tak ingat akan hukuman penjara, tentu aku sudah membunuhnya.
"Tunggu dulu, Lin. Dengerin gue dulu." Beni menangkis setiap pukulanku, tapi dia tak berusaha membalas. "Hendro tahu di mana Putri."
Seketika tubuhku membeku. "Putri?"
"Dia ngasih tahu gue di mana Putri tinggal, dengan syarat ...."
"Tubuh gue?"
Beni mengangguk.
"Loe tahu di mana Putri?"
Lagi-lagi Beni mengangguk.
Jika semenit yang lalu tubuhku serasa dipenuhi bara api yang siap membakar apa pun di dekatku, maka ucapan Beni layaknya air es yang mengguyur puncak kepalaku. Membawa efek yang lebih dahsyat dibanding badai Catrina sekali pun.
Tubuhku luruh, jasadku lunglai, kakiku tak lagi sanggup menopang beban tubuh. Tanganku bergetar hebat. Air mataku turun tanpa perlu komando dari syaraf pusat.
Putri Maharani. My baby girl. Oh, pasti saat ini dia bukan lagi seorang bayi. Dua puluh tahun aku terpisah darinya. Namun, rasanya sudah lebih dari seabad aku kehilangan sumber kebahagiaanku. Pusat duniaku.
Dua puluh tahun lalu mereka—keluarga mendiang suamiku—mengambil dengan paksa bayi yang baru saja kulahirkan. Memisahkanku dengan Putri, satu-satunya peninggalan Mas Dion. Bahkan aku belum sempat menyusui Putri, Bu Broto—mantan mertuaku yang sangat kejam—telah merebutnya, membawa Putri kabur entah ke mana.
Selama hampir dua tahun hidupku seperti orang gila. Tak kenal waktu, tak peduli siang malam, tak memikirkan hujan badai, bahkan lalai untuk sekadar mengisi lambung. Hanya satu tujuanku, menemukan Putri.
Namun, semuanya tak mendapat hasil. Secuil pun informasi tentang keberadaan Putri tak pernah kudapat. Mereka menghilang seolah ditelan bumi. Meninggalkanku seorang diri, terlunta-lunta tak memiliki sanak saudara, pun tak berumah.
Hingga akhirnya Beni menemukanku hampir tewas setelah diperkosa preman pasar. Aku sudah tak berniat hidup. Sebotol pembasmi serangga telah siap kutenggak jika tak ada Beni yang menamparku. Menyadarkanku akan arti hidup.
Miris. Beni menyelamatkanku dari kematian, tapi dia juga yang mendorongku masuk ke jurang berjudul pelacur. Mau tak mau aku harus menjajakan diri, mengangkang demi sesuap nasi, menjual desah dan lendir penuh dosa demi mengumpulkan pundi-pundi uang.
Aku menerapkan teori simbiosis mutualisme pada para pengguna jasaku. Mereka butuh tubuhku untuk memuaskan nafsu binatangnya, dan aku membutuhkan rupiah mereka untuk mencari Putri. Aku tak lagi mengindahkan dosa maupun norma sosial. Bagiku hanya Putri.
Dalam tiap sujudku—tolong jangan menceramahiku akan arti dosa dan neraka, aku sadar diri, tubuhku telah berlumur dosa yang tak termaafkan—aku selalu memohon untuk dipersatukan kembali dengan Putri. Hanya itu. Kalau pun setelahnya aku harus mati dan membawa seluruh dosa ke dalam kubur, aku tak peduli.
***
Maura Salsabila—nama yang mereka sematkan untuk Putri Maharani. Putriku tercinta. Pantas aku tak bisa melacak keberadaannya, rupa-rupanya mereka telah mengubah identitas putriku. Mengganti nama pemberian Mas Dion dengan pilihan mereka sendiri.
Dua puluh tahun aku kehilangan tiap detik kebersamaan kami. Aku tak dapat melihatnya tumbuh dan berkembang. Aku tak bisa menyusuinya. Aku tak bisa memeluk, menggendong dan meninabobokannya. Aku tak bisa melihat dan membimbingnya berjalan. Aku tak bisa mendengar kata pertamanya. Aku tak memiliki kesempatan untuk mendengarnya memanggilku Ibu.
Kuterduduk di balik pohon beringin besar di halaman kampus Maura. Kepalaku terasa berdenyut, keringat dingin membasahi dahi dan punggungku. Mungkin karena beberapa hari ini aku jarang mengisi perut.
Sudah seminggu, aku mencari Maura di kampus, dengan harapan dapat melihat putriku barang sekejap. Memang aku belum pernah bertemu dengan Maura, aku tidak tahu bagaimana rupanya. Namun, aku yakin bisa mengenali putri yang kulahirkan dengan taruhan nyawa.
Persetan dengan protes yang dilayangkan Beni, karena seminggu ini aku menolak melayani tamu. Aku tak lagi butuh duit haram itu, yang kubutuhkan hanya Maura.
"Ibu? Ibu baik-baik saja?"
Kudongakkan wajah saat sebuah suara merdu menyapaku. Mataku membelalak, jantungku seolah berhenti berdetak, napasku tercekat di tenggorakan.
Tepat di hadapanku berdiri seorang gadis ayu berjilbab hijau. Melihatnya mengingatkanku akan Mas Dion. Semua yang ada di wajah Mas Dion seolah dipindahkan ke sosok gadis berlesung pipit yang kini tengah menunduk di depanku. Matanya, hidungnya, garis wajahnya, semuanya milik Mas Dion.
Sekali melihat pun aku mengenalinya. Maura, putri yang sangat kurindukan. Bayi mungilku yang kini telah berubah menjadi sesosok remaja cantik. Rasanya aku ingin memeluknya erat, kalau perlu aku culik agar keluarga Broto tak lagi merebutnya dariku.
Tubuhku masih membatu sampai sentuhan Maura di bahuku membawa kesadaranku kembali.
"Ibu sakit? Ada yang bisa saya bantu?"
Ibu. Maura-ku memanggilku ibu. Kuulurkan tangan untuk membelai wajahnya. Maura tampak terkejut, dia menarik wajahnya menjauh dariku. Oh Tuhan, putri yang seharusnya dapat kupeluk kapan pun, kini bahkan menghindar dari sentuhanku. Membuat tanganku mengambang di udara, lalu jatuh lunglai di pangkuanku.
"Oh, maaf, Bu. Saya hanya terkejut."
Bibirku kelu, mengucap namanya pun tak sanggup kulakukan. Hatiku bergolak, antara keinginan untuk memeluknya atau harus berlari menjauh.
"Bu." Lagi-lagi kulit lembutnya membelai punggung tanganku. "Sepertinya Ibu kurang enak badan. Sebaiknya kita cari tempat yang lebih nyaman, ya, Bu."
Maura memapahku, menuntun ke arah penjual es campur yang tak jauh dari tempatku terduduk.
"Ibu duduk di sini dulu, ya. Saya carikan air mineral dulu supaya Ibu lebih enakan." Maura membalikkan badan, bersiap meninggalkanku.
"Jangan!" Kucekal pergelangan tangannya.
Maura terkejut mendengar teriakanku. Sekilas kulihat dia memandang tangannya. Aku tidak berniat melepaskan tanganku, karena tidak mau dia pergi. Aku takut tak bisa melihatnya lagi.
"Ibu ... Ibu tidak apa-apa, Nak. Hanya kecapekan. Istirahat sebentar juga baikan. Bisa temani Ibu sebentar?"
Senyum putriku begitu tulus, senyum Mas Dion. Kulepas genggamanku saat dia mengangguk. Maura menarik kursi lalu duduk tepat di depanku. Dia memesan dua mangkuk es campur, lalu kembali tersenyum menatapku.
Pandanganku tak lepas sedetik pun dari dirinya. Kupuaskan dahagaku dengan mengamati setiap detail putriku tercinta. Mata beningnya memancarkan kerendahhatian dan kecerdasan. Tutur katanya begitu sopan. Tingkah lakunya sangat lembut.
"Kamu cantik sekali, Nak, kamu juga sangat baik. Orang tuamu pasti bangga denganmu."
Maura tersenyum. "Terima kasih, Bu. Saya berharap bisa membanggakan mereka. Walau saya belum pernah bertemu dengan mereka, Bu, tapi saya selalu berusaha menjadi putri yang mereka impikan."
"Memangnya," aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "orang tuamu ke mana, Nak?"
Sinar bening itu pun memudar, berganti kabut kesedihan saat Maura membeberkan perasaannya. "Ayah sudah meninggal sejak saya dalam kandungan, Bu. Sedangkan ibu saya ... saya tidak tahu, Bu. Eyang bilang Ibu meninggalkan saya sejak saya lahir."
"Meninggalkanmu?" cicitku tak percaya. Kurang ajar Si Broto, dia memfitnahku.
"Saya yakin ada alasan mengapa Ibu berbuat demikian. Saya yakin Ibu meninggalkan saya dengan terpaksa, oleh karena itu sampai kapan pun saya akan tetap menyayangi dan menghormati beliau. Karena tanpa beliau, saya tak akan ada di dunia ini. Saya hanya berharap kebahagiaan beliau di mana pun beliau berada. Semoga Allah selalu melimpahinya dengan rezeki dan kasih sayang. Kalau diizinkan oleh Allah, saya ingiiin sekali bertemu beliau sekali saja." Kulihat matanya memancarkan kesungguhan dan harapan. "Maaf, ya, Bu. Saya malah asyik cerita sendiri. Entah kenapa saya merasa dekat dengan Ibu, nyaman rasanya bercerita pada Ibu."
Aku terpekur mendengar penuturannya. Tanpa kusadari, air mataku telah membanjir. Betapa mulia hatimu, Nak, bahkan pada Ibu yang kautahu telah menelantarkanmu pun hatimu masih terbuka lebar untuknya. Lalu bagaimana mungkin aku tega menghancurkan hidupnya jika sampai tahu siapa aku sebenarnya?
Memiliki ibu seorang pelacur sangat tidak dapat dibanggakan. Mengaku pada Maura sama saja aku menghancurkan hidupnya. Membunuh angannya tentang seorang ibu.
Kuusap air mataku menggunakan ujung selendang yang tersampir di pundak. Maura terlihat bahagia dengan hidupnya sekarang, sanggupkah aku merusaknya? Tegakah aku membiarkannya tahu siapa aku sebenarnya? Ibu kandungnya yang seorang penjaja seks.
Tanganku mengepal erat, mataku terpejam rapat saat kubayangkan betapa terlukanya Maura jika tahu kerendahan martabat ibunya.
Kumemicing sejenak, menarik napas panjang sebelum akhirnya kuputuskan suatu hal. Aku tak pantas menjadi ibunya. Maura telah tumbuh dengan baik, dia menjadi wanita sopan dan sholehah, dan aku tidak ingin merusak masa depan anakku.
"Ibumu pasti bangga, Nak. Ibumu ... sangat bangga ... jika melihatmu saat ini." Air mataku tak dapat lagi kutahan. Dorongan untuk kembali membelai wajahnya pun tak bisa kuurungkan.
Maafkan Ibu, Nak. Ibu akan selalu menyayangimu. Ibu akan selalu mendoakan kebahagiaanmu di setiap tarikan napas dan detak jantung Ibu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top