BAWANG MERAH
"Kasihan sekali Non Putih, padahal baru lima belas tahun, tapi sudah harus kehilangan ibunya."
"Benar, Mbok Sri. Padahal Putih dekat sekali dengan Juragan Putri, pasti Non Putih merasa sangat kehilangan."
Putih. Lagi-lagi si Putih. Kenapa orang sekampung masih saja membicarakan betapa nelangsanya gadis lima belas tahun itu? Kenapa kalau ibunya meninggal? Bukankah dia masih punya ayah yang kaya raya? Lagipula ibunya sudah mati sebulan lalu. Putih saja yang suka cari perhatian. Buat apa dia menangis di teras depan rumahnya seperti itu, kalau bukan untuk mencari muka. Dasar Ratu Drama!
Orang kampung juga bodoh sekali, begitu mudahnya termakan wajah sok polos si Putih. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mereka selalu menuruti keinginan Putih. Bahkan aku yakin, demi melihat senyum Putih, orang-orang bersedia berlutut di kakinya. Terlebih lagi Subroto–ayah Putih–sejak kematian Safitri–ibunda Putih–seolah dunianya berpusat pada Putih.
Dengan harta dan kasih sayang melimpah seperti itu pun, Putih masih dikasihani. Sedangkan aku, apa pernah mereka merasa kasihan padaku? Aku juga anak yatim. Aku tak punya ayah. Sejak lima tahun lalu, lelaki berengsek yang terpaksa kupanggil Ayah itu mati. Kematian yang tak pernah kutangisi. Dia tewas dibunuh teman satu selnya di penjara. Bahkan aku mensyukuri kematiannya. Dia telah membebani hidupku dan Ibu.
Kupingku mulai panas mendengar ocehan para penebar gosip di depanku. Kuberjalan lebih cepat, supaya bisa mendahului mereka.
"Lihat, Mbok. Angkuh sekali si Merah. Apa dia tidak ingat, sama kelakuan bapaknya yang maling itu? Bisa-bisanya dia sombong."
Aku menghentikan langkah, lalu membalikkan tubuh dan menatap tajam kedua wanita yang kini terlihat mengerut. Kutunjuk muka mereka satu per satu. "Jaga mulut kalian! Sudah tua, keriput, bau tanah. Bukannya banyak-banyak berdoa biar tidak cepat mati, malah suka bergosip."
Kulihat muka kedua wanita itu memerah, entah karena menahan malu atau marah. Aku pun tak peduli. Kubalikkan tubuh dan melanjutkan lagi langkahku menuju rumah. Aku bersumpah akan membalas semua perlakuan mereka padaku. Aku akan membalik keadaan. Bagaimana pun caranya.
***
"Merah, baik-baiklah dengan Putih! Bersabar barang sekejap. Setelah Ibu menguasai harta ayah tirimu, kau bebas berbuat apa pun pada Putih. Ibu tak akan melarangmu. Namun, untuk saat ini Ibu minta, kamu lebih menjaga sikap dan mulutmu. Ingat itu, Merah!" damprat Ibu sembari berkacak pinggang di depanku.
Ucapan Ibu semakin membuatku mendidih. Kenapa aku harus selalu mengalah pada Putih? Hanya karena aku menumpahkan semangkuk sup di baju Putih, Ibu sudah menceramahiku seperti ini. Kuakui, aku melakukannya sengaja. Aku tak suka melihat gaun pink yang melambai-lambai itu.
Kupikir setelah Ibu menikah dengan Subroto setahun lalu, hidupku bisa bebas, bergelimang harta dan penuh dengan kesenangan. Aku dapat membalas seluruh perlakuan orang kampung yang pernah memandangku sebelah mata. Kupikir, aku bisa mengalahkan Putih. Merebut semua miliknya. Mengambil apa yang sedari dulu ingin kumiliki. Namun, lagi-lagi statusku yang hanya anak tiri kembali merantai kebebasanku.
Memang kuakui, Subroto tak pernah memperlakukanku dengan buruk. Dia memberiku uang saku yang lebih dari cukup. Dia juga tak pernah lupa memberiku buah tangan–persis seperti yang dia beri pada Putih–setiap pulang dari luar negeri. Subroto memang memanjakanku dengan harta. Namun, bukan itu yang kuinginkan. Perhatian dan kasih sayangnya tetap tercurah untuk Putih. Selalu Putih. Aku tak pernah ada di hati dan pikirannya.
"Merah! Kamu mendengarkan Ibu tidak? Umurmu sudah hampir tujuh belas tahun, dewasalah sedikit. Jangan hancurkan rencana Ibu! Ini semua juga demi kamu."
Kuembuskan napas dengan kasar. "Iya, iya. Merah tahu, Bu!" bentakku sembari keluar kamar.
Dengan menghentak-hentak aku menuju kebun depan. Langkahku terhenti, saat melihat Putih tengah menyirami taman mawar putihnya sembari bersenandung riang. Amarah kembali menggelegak dalam jiwaku. Putih dan tamannya adalah dua hal yang sangat kubenci. Sok suci!
Kedua tanganku terkepal erat, menahan godaan untuk mengobrak-abrik isi taman itu. Taman yang mengingatkanku akan ketimpangan cinta Subroto. Demi putri kesayangannya–di hari ulang tahun Putih ke-16 empat bulan lalu–Subroto membuat sebuah taman yang indah. Dia juga mengadakan pesta megah, dengan mengundang seluruh warga kampung. Putih pun diberinya sekotak perhiasan mewah.
Sedangkan aku, bulan depan aku berusia tujuh belas tahun, tapi tak pernah sedikit pun Subroto menanyakan keinginanku. Tak kudengar rencana akan sebuah pesta untukku.
"Merah?"
Aku terkejut mendengar seseorang memanggil namaku. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa yang ada di belakangku. Namun, demi kesopanan–yang selalu Ibu tekankan–aku membalikkan badan. Memberikan senyum serta salam pada Subroto. Kulihat dari dalam rumah, Ibu berjalan mendekati kami.
"Ayah, sudah pulang?" tanyaku sekadar basa-basi. Aku tak ingin mendapat ceramah lagi dari Ibu.
Kulihat Subroto mengangguk. "Kamu tidak ikut siram-siram di taman seperti Putih?"
Kupaksakan bibir untuk tersenyum, walau sebenarnya aku ingin memaki. Lagi-lagi Putih. Tidak masuk akal, kenapa aku harus mengikuti apa yang dilakukan Putih? Toh itu hanya menyiram bunga.
"Benar apa kata ayahmu, Merah. Sana bantu Putih siram-siram." Ibu pun ikut menimpali ucapan Subroto.
"Baik, Bu." Dengan berat hati aku menuruti perintah Ibu Suri. Semua demi mencari muka di depan Subroto.
Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi. Kesabaranku ada batasnya. Aku tidak sudi lagi dibanding-bandingkan dengan Putih. Setahun lebih aku berpura-pura menjadi orang lain, menyembunyikan sifat asliku. Mengubur seluruh keinginan dan ambisiku.
Aku Merah, bukan Putih. Dan tak akan pernah menjadi Putih. Kalau aku tidak bisa mendapatkan apa yang kuinginkan, maka gadis itu pun tidak boleh memperolehnya. Bawang Putih lah batu sandunganku. Selama dia masih ada di dunia ini, maka hidupku akan seladu ada di bawah bayang-bayangnya. Selama gadis itu masih hidup, Subroto akan selalu menjadi kacungnya.
***
Hari ini aku genap berusia tujuh belas tahun, usia yang cukup untuk mengambil suatu keputusan. Dan, seperti dugaanku, tak ada pesta seperti Putih. Tak mengapa, karena aku sudah menyiapkan pesta untukku sendiri. Pesta kemenangan.
Kusisir rambut hitamku yang terurai sepanjang pinggang. Kutatap wajah yang telah kurias sedemikian rupa, hingga membuat penampilanku berubah. Aku terlihat lebih memesona.
Hari ini aku harus tampil secantik putri dalam negeri dongeng. Kuletakkan sisir di meja rias, lalu kupatut sekali lagi seluruh riasanku. Gaun square neck style berwarna merah darah, kupilih demi menonjolkan tubuh langsingku. Tak lupa kukenakan stiletto merah yang menambah kesan seksi pada tubuhku.
"Mirror- mirror on the wall ... siapa gadis tercantik di dunia?" tanyaku sembari menatap mata angkuh di dalam cermin, bibir penuh dusta serta hati selicik ular. Kesemuanya dikemas dalam satu sosok setulus merpati.
"Tentu saja, Anda, Tuan Putri! Andalah gadis tercantik sedunia," jawabku dengan penuh kepercayaan diri.
Ya, setelah rencanaku berhasil, seluruh dunia akan berada di telapak kakiku. Ketenaran, kecantikan, kekayaan dan yang terpenting adalah Subroto. Tak boleh ada kesalahan sedikit pun. Semuanya harus berjalan sesuai keinginanku.
Kulirik jam dinding, sudah saatnya aku mendapatkan kado terindah. Kusempatkan melirik cermin, sebelum membuka pintu kamar. Hari ini, aku–Bawang Merah–akan menjadi sang pemenang.
"Merah? Ya ampun, cantik sekali. Hari ini kamu terlihat begitu ceria."
Kutolehkan wajah, dan mendapati Putih tengah terkagum akan penampilanku. Kuberikan senyum termanis, tak mengapa lah aku berpura-pura baik lagi. Toh ini untuk yang terakhir kalinya.
"Aku ingin sepertimu yang selalu tampak memesona, Putih," ucapku masih dengan senyum.
"Apakah kamu mau pergi? Oh, iya, selamat ulang tahun, Merah. Aku benar-benar berharap, agar kamu senantiasa sehat, bahagia dan selalu dalam lindungan Tuhan. Aku juga berdoa agar segala apa yang kamu cita-citakan dapat terwujud," ucapnya sembari mengulurkan tangan untuk menyalamiku.
Kubalas uluran tangannya, dan sebagai bonus kuberi Putih pelukan. "Terima kasih, Saudariku. Aku pun berharap yang sama untukmu. Semoga kamu pun selalu bahagia."
Rasanya aku ingin muntah, saat mengatakan kalimat penuh dusta pada Putih. Dengan perlahan, kulepas pelukan kami. Cukup, aku tidak ingin gaunku kusut.
"Di hari bahagiamu ini, apa yang kamu inginkan, Merah? Aku akan memberikannya sebagai hadiah."
Pertanyaan bagus. Sudah kuduga, Putih pasti akan menanyakannya padaku. "Terima kasih, Putih. Tuhan sudah memberi segala yang kuinginkan. Mana pantas jika aku meminta lebih."
"Ayolah, Merah. Aku benar-benar ingin membuatmu bahagia," bujuknya dengan menampilkan wajah sok polosnya.
Aku sengaja memberi jeda, membiarkan Putih berpikir bahwa aku sedang menimbang sesuatu. "Baiklah, jika kamu memaksa. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan, kita bisa membeli es krim sembari berbincang. Kupikir, hubungan kita masih terlalu jauh. Padahal kita ini bersaudara. Itu pun kalau kamu mau."
Kulihat binar di manik matanya. "Jalan-jalan? Kita berdua? Tentu saja aku bersedia. Aku senang sekali, Merah."
"Iya, kita berdua. Hari ini Mbok Nah dan Pak Gik pulang kampung, bukankah lebih baik kalau kita berdua merayakan ulang tahunku di luar? Berganti pakaianlah, Putih. Kutunggu di taman mawar," ucapku seraya mendorong bahu Putih menuju kamarnya.
Bersolek lah, Putih. Segeralah masuk kamar, lalu temukan hadiahku untukmu. Aku tersenyum miring saat melihat Putih masuk ke kamarnya.
"Selamat tinggal, Putih. Semoga kamu bahagia di sana," gumamku sambil kembali melenggang ke taman depan. Menunggu kabar gembira sebagai kado ulang tahunku.
"KYAAAA!!!" Langkahku terhenti. Aku tersenyum puas, saat mendengar teriakan dari dalam kamar si Putih. Berteriaklah sesukamu, tak akan ada yang mendengarmu. Ayah jelas sudah berangkat kerja. Hanya ada aku dan Ibu di rumah ini.
"Selamat jalan, Putih," ucapku lirih sembari melanjutkan derap langkah menuju taman bunga–yang tak lama lagi akan menjadi milikku.
Kupercepat langkahku, saat mendengar teriakan minta tolong dari Putih. Bagaimana pun ada rasa tak nyaman mendengar lolongan gadis itu.
"Bagaimana Putih?" tanya Ibu yang kebetulan berpapasan denganku di depan kamarnya.
"Sesuai rencana, Bu. Dia baru saja masuk kamar. Aku yakin, saat ini lusinan kobra itu telah mengerubutinya." Ibu tertawa mendengar laporanku, wajahnya terlihat semringah.
Namun, kebahagiaan kami tak berlangsung lama. Kudengar teriakan Putih yang mendekat.
"Ibu! Merah! Tolong Ayah ...."
"Ayah?" ucapku membeo.
Putih menarik lengan Ibu dengan paksa. Air mata telah membasahi kedua pipinya. Kuamati, tak ada luka bekas gigitan di tubuhnya.
"Ibu, Ayah, Bu ...," ucapnya terbata-bata.
"Ada apa dengan ayahmu, Putih?" tanya Ibu sembari mengikuti langkah Putih menuju kamarnya.
Aku pun mengekor di belakang mereka. Ada apa sebenarnya? Kenapa Putih masih terlihat segar bugar? Apa dia belum melihat kotak kado di kamarnya? Apa dia belum membuka kotak berisi lusinan kobra itu?
"Ayah digigit ular, Bu," ujar Putih di tengah isak tangisnya.
Ayah? Bagaimana mungkin? Kupercepat langkah, hatiku menjadi tak karuan. Jangan-jangan ....
"AYAH!" Ibu yang pertama berteriak begitu melihat kondisi Ayah.
Aku hanya bisa terpekur, Ayah tergeletak di lantai dengan tubuh membiru, tangan dan kakinya terlihat melepuh karena gigitan ular. Di sekelilingnya tersebar king cobra yang tengah marah. Kepalanya tegak berdiri dengan memipihkan lehernya, memamerkan keangkuhan seekor raja. Kulihat kotak yang kuisi dengan lusinan ular tergeletak di sanping Ayah.
Kupicingkan mata, tubuhku melemas hingga jatuh membentur lantai. Kenapa Ayah? Kenapa bukan Putih? Kenapa semua tak berjalan sesuai rencana? Kenapa di hari bahagiaku, bukan kado teristimewa yang kudapat? Aku malah harus kehilangan sosok yang kuimpikan.
Kutatap Putih yang masih menangis histeris. Semua gara-gara Putih. Seharusnya dia yang berada di posisi Ayah. Aku bersumpah, akan membalasmu. Aku bersumpah, akan membuat hidupmu terasa seperti di neraka. Aku bersumpah!
***
Cerpen lama banget iniiii....
Gak kuedit pun....
Hihihi
Solo, 26 Oktober 2017
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top