9. Pertanyaan macam apa itu?


"WHAT????! LEE JANU NGAJAK KETEMUAN???" teriak Ayudia setelah aku memberitahunya perihal pesan yang baru saja dikirim oleh Lee Janu. Aku sampai harus menutup kedua kuping karena suara Ayudia yang terlalu nyaring. "Demi apa, Lav? Woiiii! Lee Janu! Bias kecintaan lo!"

"Gue tahu, tapi bisa nggak suara lo dikecilin? Yang ada ntar tetangga kamar pada protes ngedengerin teriakan lo," ujarku mengingatkan. Tapi, bukannya mengindahkan ucapanku, dia justru sibuk dengan keterkejutannya sampai aku pusing melihatnya bolak-balik di depanku.

"Lav, gue saranin lo pake coat yang dibeliin sama tante Hina! Terus ... lo bawa baju yang kece, kan? Kalo nggak, lo harus beli. Iya! Harus beli. Cepetan siap-siap, gue temenin lo beli."

Aku menghela napas panjang lalu menyandarkan punggungku pada sandaran kursi. "Bentar, deh. Lo tenang dulu bisa? Di sini kan yang diajak ketemu gue, tapi kok yang pusing malah elo?"

"Heh! Lo punya kepribadian ganda? Lo tadi malem dapet chat dari Lee Janu aja udah hampir mirip cewek yang dikutuk jadi es tahu! Sampai nggak bisa berkata-kata gitu. Sekarang malah sok-sok kalem gitu. Ayo, Lav. Kamu nggak bakalan disalahin kok kalo berekspresi dikit."

"Gue cuma nggak mau berekspektasi terlalu jauh, Yu. Lo tahu kan, dia itu seorang idol. Sementara gue? Cuma seorang editor."

Ayudia tertawa kecil seraya menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya bahkan dilipat di depan dada. "Lav, nggak ada kata 'cuma' di kamus Tuhan. Mau lo seorang Office Girl, CEO, dan sebagainya juga kalo nama lo udah tertulis buat ngejalani takdir ini yaa ... lo bisa apa selain ngejalanin? Gue setuju sih lo nggak berekspektasi terlalu tinggi tentang pertemuan lo nanti. Tapi, setidaknya lo juga kudu ninggalin kesan baik lah. Emang cuma pas ketemu atasan lo aja lo harus rapi dan terlihat cantik? Nggak lah. Lo paham soal first impression kan?" Aku mengangguk. "Nah, masa lo mau ketemu seorang idol biasa-biasa aja? Kalo pun lo nggak akan lanjut, setidaknya lo bisa dia ingetlah, bahwa dia pernah ketemu lo sebelumnya."

"Untungnya?"

"Untungnya ya lo pernah ketemu bias kecintaan lo itu dengan status sebagai calon pacar lah!"

Aku nggak lagi menanggapi ucapan Ayudia karena saat ini aku benar-benar ngerasa ... gamang. "Apa gue batalin aja, ya?"

"Gila kali lo, Lav. Kesempatan, nih! Aataga."

"Tau, ah! Pusing! Mau berak aja gue."

"HEH!"

***

Semua schedule hari ini kami batalkan karena menunggu kepastian dari Lee Janu. Hampir saja aku goyah dan memilih untuk berkeliling Seoul sambil menunggu kepastian darinya. Tapi Ayudia jelas menolak rencana itu karena dia nggak mau aku kelabakan dan jadi ribet jika tiba-tiba Lee Janu memberi kabar terkait pertemuan kami di saat kami tengah menikmati pemandangan Seoul. Yap, Ayudia memang tipikal yang seperti itu. Dan aku hanya bisa mengikut karena jujur aku pun nggak senang jika kesenanganku terganggu. I mean, Lee Janu bukan pengganggu, tapi menginterupsi suatu hal yang kulakukan itu rasanya ... aneh saja.

"Beneran lo ikut ya kalo Janu udah ngasi tahu tempat ketemunya," ucapku masih memastikan pada Ayudia agar dia ikut bersamaku bertemu dengan Lee Janu.

"Gue ikut kalo Ji Hyun ikut," jawabnya dengan nada cuek.

"Heh, jangan gitu, dong! Mau lo liat gue mati kutu?"

"Ya ngapain juga sih gue ke sana? Jadi obat nyamuk?"

"Nggak gitu, tapi ... meskipun dia itu bias gue, ya tetep aja ... nggak enak rasanya dateng sendirian. Gue yakin dia juha nggak sendiri. Kalo nggak dateng bareng Ji Hyun, kemungkinan kan dia dateng bareng member lain." Aku masih mencoba merayunya. "Gue traktir besok, deh!"

"Okey!"

"Giliran denger kata traktir aja cepet!"

"Kenapa? Nggak ikhlas lo?"

"Terpaksa ikhlas."

"Yaudah, sih. Nggak mau gue."

"Iya, iya. Ikhlas kok!"

Ayudia tertawa dengan sangat puas, membuatku hanya bisa menatapnya dengan tatapan datar karena ... entah kenapa dia terlihat sangat menyebalkan hari ini.

***

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan aku bersama Ayudia benar-benar hanya menghabiskan waktu di hotel tanpa ke mana-mana.

"Apa Janu lupa, ya?" tanya Ayudia.

"Maybe."

"Lagian lo kenapa nggak nyoba hubungi dia, sih? Tanya kepastian gitu lo!"

"Udah. Cuma emang belom diba–" Belum sempat menyelesaikan ucapanku, ponsel yang saat ini tergeletak mengenaskan di atas meja tiba-tiba berdering. Itu bukan deringan pertanda sebuah pesan baru yang masuk, melainkan dering pertanda ada telepon. Aku melirik layar sejenak dan seketika mataku membulat sempurna. Nama Lee Janu tertera di sana. Dengan tangan gemetar, aku meraih ponselku.

"Yu, Lee Janu nelpon!"

"Hah?! Buru angkat!"

Aku berdeham pelan kemudian mengangkat teleponnya. "Y-yeoboseyeo?"

"Hai. Benar dengan Lavina?"

"B-benar."

Aku melirik ke arah Ayudia yang memberikan kode agar jangan gagap saat bicara. Tapi, aku benar-benar nggak bisa. Ini ... benar-benar Lee Janu?

"Oke. Dua puluh menit lagi Saya selesai latihan. Ayo bertemu di dekat Han River."

What? Di Han River?

"Di Han River?"

"Iya. Sampai jumpa."

Tidak masalah dia langsung menutup teleponnya. Hanya saja, aku terlalu terkejut karena diajak bertemu di ... sungai Han?

"Apa gue nggak salah denger? Lee Janu ngajak ketemu di Sungai Han? Malem-malem gini?" tanya Ayudia setelah aku menaruh ponsel di atas meja.

"Iya. Dia ngajak ketemu di Sungai Han. Gue nggak tahu apa motivasinya, tapi ... mungkin aja karena di sana sepi dari wartawan atau ... fans-nya, jadi dia ngajak ketemunya di sana."

"Apa nggak ada tempat lain, ya? Di sana nggak ada nyamuk, kan?" Ayudia terkekeh pelan. Membuatku menoleh dengan tatapan lelah. "Nggak kebayang kalo lo jadian sama dia dan tempat kencan favorit kalian adalah sungai Han."

Kali ini tawa Ayudia pecah. Tapi aku membiarkanya karena aku lebih memikirkan pembahasan apa yang nantinya akan muncul saat bertemu Lee Janu.

"Berhenti tertawa dan bantuin gue mikir mau bahas apa nanti sama Janu!"

"Sorry, sorry." Ayudia berdeham pelan. "Apa, ya? Umm, tanyain aja kesibukannya sekarang apa, atau makanan kesukaannya?"

"Apa nggak terlalu cepet nanyain soal makanan kesukaannya di pertemuan pertama? Lagian, kok kayak canggung banget?"

"Bener juga, ya. Hmm. Tapi, kalo dipikir-pikir, nanti pembicaraan lo juga bakalan ngalir, kok. Lo ngikut aja dia ngomongin apa."

"Ya tapi gimana kalo dia itu aslinya tipikal orang yang nggak bisa nyari topik pembicaraan?"

Ayudia mengacak rambutnya sebal. "Bikin pusing aja, ih!"

Sekarang giliran aku yang terbahak melihat Ayudia frustrasi. Dia bahkan menatapku dengan sebal sekarang.

***

Tante Hina

Lavina, apa Lee Janu sudah menghubungimu? Imo sudah memberikan nomor kamu padanya.

"Yu, tante Hina ngirim chat."

"Ngomong apa?"

"Tante Hina nanya, apa Janu udah ngehubungi gue?"

"Oh, ya udah. Lo bales aja."

Seperti ucapan Ayudia, saat ini aku sedang sibuk membalas pesan dari tante Hina.

Iya, Imo. Tadi dia menghubungiku. Kami akan bertemu nanti.

Tante Hina

Wah! Bagus. Imo harap kalian berdua cocok!🧡

Aku tersenyum tipis saat melihat emotikon love yang disisipkan tante Hina pada pesannya. "Bahkan tante Hina make emot love warna orange. Tahu aja kalo warna lighstick anaknya itu orange."

"Masa, sih? Ih, tante Hina lucu, deh." Aku mengangguk menyetujui ucapan Ayudia. "Kita berangkat sekarang?"

"Yuk! Gue juga udah selesai, nih."

Setelah memastikan nggak ada lagi yang tertinggal, aku dan Ayudia bergegas keluar kamar dan mencari taksi yang membawa kami ke Han River. Aku dan Ayudia sudah bertekad untuk sampai di sana lebih dulu dibanding Lee Janu. Simpel saja, karena aku tipikal orang yang lebih percaya diri jika sampai lebih dulu di lokasi perjanjian.

Aku tidak begitu memperhatikan berapa lama aku dan Ayudia melalui perjalanan karena terlalu fokus pada jalanan yang begitu indah di malam hari. Kami baru sadar saat mobil yang kami tumpangi berhenti dan supir itu memberitahu kami bahwa kami sudah sampai.

Angin malam yang sedikit menusuk menyapa kami saat keluar dari mobil. Selain itu, beberapa spot foto yang cantik banget juga tersedia di beberapa sudut. Nggak heran kalau di beberapa spot itu dikunjungi oleh beberapa muda mudi bersama dengan pasangan atau temannya itu.

"Kita ketemuannya di mana, ya? Ini masih lumayan rame lo," ujar Ayudia saat kami perlahan memasuki kawasan sungai Han.

"Nggak tahu. Dia belum ngehubungi lagi."

Selagi menunggu telepon atau pesan dari Lee Janu, aku dan Ayudia memutuskan untuk mengambil beberapa foto di sudut sungai Han. Gila sih ini, pemandangannya nggak main-main. Kalau saja ponselku nggak berdering, mungkin memory card ponselku sudah penuh karena nggak mau berhenti foto.

"Eh, Lee Janu nelpon!" seru Ayudia seraya menyerahkan ponselku. "Angkat! Angkat!"

"Halo," sapaku.

"Saya sudah sampai. Kamu di mana?"

"Saya juga sudah sampai. Saya lagi foto-foto di pinggir sungai. K-kamu?"

"Saya ada di tempat yang nggak ada spot fotonya."

"Duh, di mana itu?" Oke. Aku benaran nggak tahu harus ke mana kalau mau mencari tempat yang nggak ada spot fotonya.

"Kamu di mana? Biar kujemput."

"Eh? Nggak pa-pa? Nanti kamu ketahuan lagi."

"Nggak akan kalau kamu nggak teriak."

"O-oke."

"Sekarang kamu di mana?"

"Saya lagi di ... pinggir yang ada spot foto love-nya."

"Kamu kirim fotonya saja. Karena spot foto gambar love ada banyak."

"Oke."

Sambungan kami terputus. Dan dengan begitu aku segera mengambil foto dan mengirimkannya pada Lee Janu.

"Kenapa? Dia udah dateng?" Aku mengangguk pelan. "Terus kenapa kita nggak ketemu?"

"Dia mau jemput ke sini."

"HAH?! KOK ..."

"Ssst! Jangan berisik. Gue juga udah bilang takut ketahuan sama orang-orang. Tapi dia bilang nggak akan selagi kita nggak berisik." Ayudia mengangguk paham.

"Lavina?"

Aku menoleh dengan cepat saat mendengar namaku disebut. Suara itu ... apakah itu suara Lee Janu?

"I-iya."

"Ayo."

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang barusan terjadi. Namun, tiba-tiba kurasakan Ayudia menyenggol lenganku hingga aku tersadar dan refleks mengikuti ke mana Lee Janu melangkah. Cukup jauh, karena dari tempat kami sekarang ini penerangan yang ada lumayan minim sehingga siapapun yang lewat nggak akan mengenali wajah Lee Janu.

Aku benar-benar gugup sekarang. Saking gugupnya, aku sampai kesusahan bahkan untuk menelan salivaku sendiri.

"Kamu benar Lavina, kan?" tanyanya lagi. Aku mengangguk pelan–mengiyakan. "Kamu benaran mau jadi pacar Saya?"

***

Mau nggak, ya?🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top