8. Janji nggak deg-degan?

Janji nggak deg-degan? 😄

.

.

.

Kedua mataku membulat sempurna saat mendengar nama Lee Janu disebut. Aku nggak salah dengar, kan?

"Beneran dia ngechat?" tanyaku dengan nada terkejut. Aku segera bangkit dari kasur dan berlari menuju Ayudia yang saat ini memegang ponselku.

"Lo baca sendiri, deh."

Aku merebut benda pipih itu dari tangan Ayudia dan membaca pesan baru yang masuk. Pesan itu dari nomor baru, tapi di awal pesan itu jelas sekali tertulis nama Lee Janu.

(+82)142536***

Annyeong! Saya Lee Janu. Ibuku memberikan nomormu padaku.

Hanya itu, tetapi benar-benar sukses membuat kedua kakiku jadi lemas selemas-lemasnya. Aku bahkan nggak bisa berkata-kata lagi.

"Elah, malah bengong lu. Buruan dibales lah!" ucap Ayudia seraya menyenggol lenganku.

"Yu, ini beneran nggak mimpi kan?"

"Nggak. Bales nggak? Atau mau gue lagi yang bales?"

Aku refleks menjauhkan ponsel dari jangkauan Ayudia. Tentu saja agar dia nggak lagi sembarangan membalas atau mengirim chat ke orang. Cukup kali ini saja. Karena ... masalah kali ini cukup besar menurutku. Aku bahkan sampai bingung bagaimana car menyelesaikannya.

"Duh, gue bingung mau bales apaaaa!"

"Lo bilang aja, annyeonghaseyeo! gitu kek. Apa kek. Ya Tuhan! Lo kan editor, nih. Ya lo pake lah cara pedekate ala novel-novel yang pernah lo revisi. Gimana, sih?"

"Bentar, gue inhale exhale dulu." Aku berusaha menenangkan diri sebelum membalas pesan Lee Janu! Lee Janu pemirsa! Ya Tuhan, tolong ini jantungku sudah nggak keruan lagi rasanya.

"Jangan kelamaan. Yang idol itu dia, bukan lo. Mumpung lagi online dia."

"Ya Tuhan. Oke, oke."

Aku segera mengetikkan balasan kepada Lee Janu, benar-benar singkat. Hanya annyeonghaseyeo seperti kata Ayudia. Tapi, baru saja aku mengirim pesan itu, Lee Janu yang gantengnya nggak ada obat itu tiba-tiba langsung offline. Benar-benar sukses membuat gondok, tetapi ... perasaanku jadi sedikit lebih tenang. Setidaknya, aku bisa mengistirahatkan pikiran dan perasaanku yang entah kenapa hari ini seperti sedang naik rollercoaster.

"Dia ngebales nggak?" tanya Ayudia saat melihatku menaruh ponsel di atas meja dengan sangat lemas.

"Dia lagi offline," jawabku singkat.

"Yaaah! Sayang banget!"

Aku melirik Ayudia dengan tatapan sinis. Apa dia nggak nyadar kalau dia itu penyebab semua ini? "Heh! Sayang banget, sayang banget. Jantung gue nih yang sayang banget tau! Udah bekerja keras banget hari ini gara-gara lo."

"Idih! Kok gue? Justru lo harus bersyukur karena gue udah dengan ikhlas dan baik hati udah bantuin lo selangkah lebih dekat bias lo. Tanpa gue, lo nggak akan bisa sampai di titik ini," ucap Ayudia bangga. Sementara aku hanya mendengus mendengarnya.

Nggak ada gunanya berdebat dengan Ayudia saat ini. Aku hanya ingin istirahat dari penatnya kehidupanku hari ini.

"Gue mau tidur. Semoga nggak ada gangguan dulu, deh." Aku bergegas menuju kasur yang sedaritadi terlihat sudah memanggil-manggil. Namun, sebelum benar-benar merebahkan diri, aku menoleh ke arah Ayudia yang sedang sibuk meneguk air minumnya. "Please, lo jangan ambil gerakan yang aneh-aneh dulu. Araseo?!"

"Ne, chagia~" balas Ayudia dengan nada mendayu-dayu dan kedua mata berkedip cepat. Aku yang melihatnya hanya bisa memutar kedua bola mata.

***

Cuaca pagi ini terasa lebih dingin dibanding kemarin. Hal itu pula yang menyebabkan aku dan Ayudia sampai saat ini masih setia memeluk guling dan menarik selimut hingga menutupi tubuh kami. Aku sudah sadar 99%, sementara Ayudia masih menutup rapat kedua matanya. Aku nggak tahu dia tidur jam berapa, karena setelah aku memberinya peringatan, aku benar-benar masuk ke alam mimpi.

Masih mencoba mengumpulkan niat untuk bangun, aku menatap langit-langit kamar cukup lama. Potongan-potongan ingatan tentang kejadian kemarin kembali terputar.

"Jadi, yang kemarin itu beneran bukan mimpi?" gumamku sedikit lemas. Aku baru ingat, seharian kemarin aku nggak pernah memberi kabar pada ibu.  Dan sekarang, aku hanya bisa menatap ponselku tanpa berani mengaktifkannya. Aku terlalu takut untuk melihat balasan dari Lee Janu. "Hah! Pede banget lo, Lav! Dia itu sibuk. Nggak mungkin bales chat secepat itu!"

Setelah meyakinkan diri, aku meraih ponsel yang kuletakkan di atas nakas lalu mengaktifkannya, tapi yang kulihat, wifi milik Ayudia nggak tersambung dengan ponselku. Mungkin dia lagi ngisi baterai ponsel.

"C'mon, wake up, Lavina! Hari ini adalah hari yang indaaaah!" ujarku penuh keyakinan. Karena kata orang, memberi afirmasi positif pada diri sendiri itu baik bukan?

Selagi ponsel Ayudia mengisi baterai, aku memilih untuk keluar mencari sarapan yang enak untuk pagi ini. Sekalian jalan-jalan pagi, kan?

Pagi ini aku pengin banget makan sandwich. Beruntunt di seberang hotel ada toko roti yang terlihat mulai ramai. Wangi rotinya bahkan sudah tercium meski jaraknya masih lumayan jauh. "Aduh, perutku jadi keroncongan gini."

Saat aku membuka pintu berbahan kaca itu, wangi roti yang baru dipanggang langsung menyerbu indera penciumanku, dan hal itu benar-benar membuat perutku jadi keroncongan. Untungnya, di toko ini juga menjual berbagai aneka minuman, jadi aku tidak perlu lagi sibuk mencari minuman yang cocok untuk sarapan kali ini.

Setelah membayar empat sandwich dan dua cup americano, aku bergegas kembali ke hotel karena perutku sudah nggak bisa lagi diajak kompromi. Mereka sudah minta diisi secepatnya. Sebenarnya bisa saja aku makan sambil jalan, tapi karena kebiasaan aku yang nggak suka makan sambil jalan, jadi aku harus bersabar sampai benar-benar berada di dalam kamar. Lagipula, nggak enak juga kan kalau makan sendiri? Ayudia pasti juga bakalan ngomel terus kalau kutinggal makan.

Aku membuka pintu kamar dengan sedikit susah payah, dan setelah terbuka, pemandangan Ayudia yang masih tertidur menghiasi pandanganku. "Woi, bangun, woi!" Ayudia hanya bergumam nggak jelas. "Gue beli sandwich sama americano, nih. Buat sarapan. Hari ini kita bakal keliling Seoul lagi, kan? Usahakan perut terisi dulu."

"Hmmm. Gue mau cokelat panas."

"Nggak ada cokelat panas. Cuma ada americano. Cepetan bangun."

Ayudia menghela napas pelan lalu mencoba bangkit dari posisinya. "Isi sandwich-nya apa aja?"

"Gue beli yang sandwich chicken teriyaki sama tuna mayo. Lo suka tuna, kan?"

"Ih, pengertian banget, deh. Mana dibayarin lagi."

"Nggak gratis, kok. Lunch ntar lo yang traktir."

Ayudia melirikku sewot. Tapi dia nggak berkata apa-apa, dia hanya sibuk memakan sandwich-nya.

"Eh, gue lupa ngaktifin hp. Lo nggak ngehubungi ibu?"

"Belom lah? Kan hp lo lagi lo charge."

"Bentar, gue aktifin dulu." Ayudia bangkit dan mengambil ponselnya yang di-charge di atas nakas. Dia lalu mengaktifkan ponsel berikut wifi-nya. Tidak lama, ponselku yang kutaruh di samping bingkisan sandwich milikku berbunyi beberapa kali. Tentu saja aku langsung kaget dan sedikit ... deg-degan. Bayangan balasan pesan dari Lee Janu menghantuiku.

"Dari siapa? Kok hp lo ngga dicek?" tanya Ayudia setelah duduk kembali di kursinya.

"Gue ... nggak berani," jawabku gugup.

"Why? Karena Lee Janu? Astaga. Sini gue yang liat."

"Jangan! Jangan! Biar gue aja."

"Setrauma itu ya lo?" Ayudia tertawa nyaring, membuat aku sukses mendengus dengan sebal. Buru-buru kuambil ponselku dan mengecek notifikasinya dengan perasaan campur aduk.

(+82)142536***

Ayo bertemu hari ini. Setelah latihan, nanti Saya hubungi lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top