7. Ayudia yang bikin emosi
"Jadi pacar Lee Janu, mau?"
Aku masih berdiam diri di kasur seraya menatap plafon dengan pikiran yang penuh. Tepat pukul tujuh malam, supir tante Hina mengantar aku dan Ayudia kembali ke hotel, karena Lee In Ha dan Lee Janu memang tidak jadi pulang ke rumahnya alias aku nggak jadi ketemu dia. Tapi meski demikian, hal itu nggak berarti aku pulang dengan pikiran tenang, karena sebelum aku dan Ayudia meninggalkan rumah besar itu, tante Hina meminta sesuatu hal yang sukses bikin aku dan Ayudia hampir jantungan.
Jadi pacar Lee Janu? Apa tante Hina sedang bercanda? "Iya, pasti bercanda."
"Ya nggak mungkinlah, Lav."
Aku menoleh ke arah Ayudia yang sedang memakai sheet mask-nya. Dia kemudian menatapku dari cermin, tentunya dengan tatapan sewot.
"Lo sadar nggak sih? Ini tuh ... terlalu mudah."
"Maksud lo?" Ayudia ikut bergabung denganku di kasur. Hanya saja bedanya dia sudah memakai piyama, sementara aku masih memakai baju yang kupakai sewaktu ke rumah tante Hina tadi.
"Maksud gue ... gue tahu dan sadar banget kalo gue ngefans sama Lee Janu itu, tapi gue bener-bener nggak nyangka kalo Tuhan bakal bikin cerita kayak gini di kehidupan gue. Lo ngerti kan maksud gue?"
Ayudia menghela napas pelan lalu memeluk boneka berbentuk pisangnya. "Gue ngerti, kok. Cuma, yaaa ... lo jangan melulu stuck di pikiran itu aja. Lo yaa i mean kudu jalanin juga."
"Ya tapi gue masih nggak nyangka, Yu. Bayangan gue sewaktu mau ke Korea ini sama sekali nggak kesampean kalo bakal kayak gini ceritanya." Aku menutup mata beberapa saat. "Lo tahu nggak, sih? Jantung gue sampai sekarang masih nggak baik-baik aja setelah ucapan tante Hina tadi?"
"Hmmm." Ayudia ikut memejamkan matanya. "Jadi?"
"Nggak usah nanya-nanya dulu. Gue juga bingung mau gimana sekarang."
"Lo tahu nggak apa yang sering bikin orang bingung?" Aku menoleh ke arah Ayudia yang masih memejamkan kedua matanya. "Itu karena sebenernya dia mau, tapi dia mikirin sesuatu yang hasilnya ... nggak, ini nggak mungkin bisa terjadi. Gituu."
Aku terdiam. Mencoba mencerna ucapan Ayudia yang menurutku tentu saja ada benarnya.
***
Tubuhku rasanya lumayan segar setelah mandi. Meski cuaca sedikit dingin, tapi aku masih bisa menolerirnya. Tepat setelah aku keluar dari kamar mandi, aku melihat Ayudia sedang sibuk memasukkan mi ke dalam mulutnya. "Gue pikir lo lagi tidur. Malah makan mi. Tapi kok gue juga mau, ya?" Ayudia menanggapi ucapanku dengan gumaman kecil. "Apa cuma gue yang ngerasa kalo kita di Korea ini udah kayak anak kos? Tiap hari makan mi. Makan enak cuma pas di rumah tante Hina." Aku tertawa kecil seraya mengambil air panas dari dispenser untuk menyiram mi.
"Tapi setelah ini, sepertinya kita nggak bakal makan mi lagi."
"Kenapa? Udah bosan lo?"
"Nggak, sih. Cuma–" Ucapan Ayudia terinterupsi karena tiba-tiba ponselku yang ada di atas meja berdering. Aku menyimpan mi yang sudah kusiram air panas itu di atas meja lalu melihat siapa yang menelepon.
"Tante Hina?" Aku yakin nada suaraku saat menyebut nama tante Hina terdengar aneh. Dan aku yakin Ayudia setuju denganku setelah melihat ekspresi kagetnya saat kusebut nama tante Hina. Ayudia mengisyaratkan agar aku segera mengangkat telepon itu. Tapi aku butuh beberapa detik untuk menarik napas panjang sebelum benar-benar menerima panggilan itu.
"Ya Tuhan, ada apa lagi ini?" gumamku. "Y-yeobuseyeo, Imo. Ne? Menerima? Nomor? A–oh, iya, Imo. Sampai jumpa."
Aku mencoba mengatur napas dengan pelan lalu jatuh terduduk di atas kursi yang ada di dekatku. Aku menatap Ayudia yang masih sibuk dengan mi-nya. Sementara aku ... merasa seperti sedang ditendang ke dunia khayalan.
"Apa aku lagi di dunia mimpi?"
"Kenapa, sih?"
"Yu, gue ... bener-bener nggak ngerti. Itu tante Hina kenapa?"
"Emang tante Hina kenapa?"
"Dia nelpon dan bilang kalo ... dia seneng banget karena gue nerima tawaran dia buat jadi pacar Lee Janu." Aku mengerjap sesaat dan menatap layar ponselku yang masih menyala. Satu pesan masuk dari tante Hina terlihat di layar pop-up benda tipis itu. Aku lalu meng-kliknya dan melihat sebuah nomor yang menurut keterangan dari tante Hina adalah nomor ponsel Lee Janu. "T-tapi, kapan gue ngasi tau kalo gue nerima tawarannya itu?"
"Lo baca deh chat yang ada di atas."
Aku mengikuti arahan Ayudia, dan duniaku terasa runtuh saat itu juga.
Imo, sepertinya aku tertarik dengan tawaran imo
Kedua mataku sukses membulat sempurna. Bagaimana bisa? "Ayu! Jangan bilang ini perbuatan lo!"
"Jadi, kalo bukan perbuatan gue, perbuatan siapa menurut lo?"
Mulutku terbuka perlahan, tidak menyangka jika Ayudia akan semenyebalkan ini. Bagaimana bisa dia sampai berpikir sejauh ini? Aku aja masih berpikir panjang sampai sekarang, dia malah dengan mudah mengiyakan tawaran tante Hina seolah tawaran itu akulah yang menyetujui.
"Lo ... astaga, Yu! Lo apa-apaan, sih?! Duh! Gimana ini?" Aku mencengkeram kedua sisi rambutku frustrasi. Selain itu, aku juga semakin bingung bagaimana akan menghadapi tante Hina.
Kedua bahu Ayudia terangkat seolah dia masa bodoh dengan masalah yang baru saja dia buat. Sebenarnya dia ini sahabat aku apa bukan, sih?
"Ya abisnya, lo mikir terlalu lama."
"Tapi nggak gitu juga kali, Yu! Main nerima-nerima aja lagi," keluhku.
Ayudia menyimpan sumpitnya tepat di sebelah cup mi-nya. Dia lalu menatapku denga serius. "Nggak usah kelamaan mikir, Lav. Terobos aja udah. Lagian ... lo udah dikasi jalan buat deket sama Lee Janu. Lo tahu Lee Janu kan? Bias kesayangan, kecintaan lo! Yang lo bela-belain pengin beli tiket konsernya kalo ke Indo, yang tiap comeback lo selalu beli albumnya dan ngarep dapet photocard-nya. Heeiii! Sadar! Sadar! Kembali ke realita."
"Justru karena gue ada di realita, gue mikir, Yu. Nggak selamanya nerobos takdir bisa baik-baik aja," ujarku pelan. Seketika tenagaku terasa habis.
Ayudia mengibaskan tangannya. "Jadi lo mikir kalo nggak nerobos, lo selamanya bakal berada di jalan yang mulus? Nggak, Sayang. Pas balik ke Jakarta, lo bakal nyesel karena udah nolak tawaran dari tante Hina. Dan alhasil lo koar-koar sana-sini mamerin bahwa lo sebenernya pernah diajak sama mama seorang Lee Janu buat jadi pacar bias lo itu? Yang ada lo dikira halunya ketinggian, Lav!"
Sebenarnya, aku pengin banget marah sama Ayudia. Tapi, lagi-lagi ucapannya itu ada benarnya.
"Dahlah! Nangis di pojokan aja gue mah!"
Aku beranjak dari posisiku dan memilih untuk tidur dengan harapan setelah bangun nanti, semua akan berlalu sebagai mimpi.
"Lo nggak makan mi?" tanya Ayudia.
"Udah nggak napsu gue."
Aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Memejamkan mata rapat-rapat dan mencoba untuk tidur. Tapi deringan ponsel kembali membuat firasatku jadi semakin buruk.
"Lav, ini ... Lee Janu beneran ngechat elo?"
***
Wkwkwk yang sabar, Lav😄🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top