5. Terkejut? Jelas!
Setelah menghabiskan waktu hampir seharian di Namsan Tower, aku dan Ayudia memutuskan untuk kembali ke hotel. Tentu saja masih dengan pikiran yang berkelana sehabis mendengar tante Hina yang mengaku bahwa lagu TCN yang terputar di resto tadi adalah lagu milik anaknya.
"Lo ... yakin tante Hina ngomong kayak gitu?" tanya Ayudia yang sepertinya juga masih nggak menyangka dengan apa yang tadi kuceritakan padanya.
Aku mengangguk pelan seraya menyandarkan punggung di sofa. "Yakin, gue nggak salah denger, Yu." Mata yang tadinya kupejamkan kembali terbuka. "Atau ... mungkin juga tante Hina salah denger kali, ya? Dia ngira itu lagu anaknya padahal bukan? Iya nggak, sih?"
Ayudia yang tadi sibuk mengoleskan night cream di wajahnya kini berjalan mendekat ke arahku dan ikut duduk di sampingku. "Tapi ... bisa aja itu juga beneran, kan? Makanya gue pengin banget lo nerima tawaran tante Hina buat ketemu lagi. Lagian, nggak akan sia-sia karena anaknya kan artis."
"Lo bener. Tapi ... apa bener tujuan kita ketemu tante Hina karena cuma penasaran siapa anaknya itu? Kok rasanya ... yaaa gitu, deh."
"Kalo kata gue, sih. Itu salah satu keuntungan kenalan sama temen mama lo, sih. Lagian kan anggep aja lo lagi bersilaturahim gitu. Nggak ada salahnya juga, kan?"
Ucapan Ayudia ada benernya juga, sih. Apa aku iyain aja, ya? "Ya udah, deh."
"Oke. Lo tinggal ngehubungi tante Hina aja dan ngatur mau ketemu jam berapa."
"Sok ngartis banget, ya?"
Ayudia terkekeh pelan kemudian beranjak dari posisinya. "Gue laper lagi, nih. Lo mau makan mi nggak?"
"Boleh. Tapi gue mau yang pedes."
***
"Lav, sini. Mi-nya udah mateng."
Aku bangkit dan bergegas menuju Ayudia yang sudah menyiapkan dua mangkuk mi di atas meja berukuran sedang yang ada di tengah kamar. Aroma mi seketika menguar di seisi kamar, dan hal itu sukses membuat perutku berbunyi minta diisi lagi.
"Gue lupa beli kimchi," ujar Ayudia saat aku sudah bergabung dengannya di meja.
"Nggak masalah, sih."
Kami berdua pun hanyut bersama mi masing-masing. Saat aku menyuapkan suapan ketiga, ponselku tiba-tiba berbunyi.
"Tante Hina," gumamku.
"Angkat, Lav. Angkat. Buru."
Aku men-dial panggilan itu segera. "Halo, Imo. Iya, ini saya lagi di hotel sedang makan. Imo juga sedang makan? Oh, ini ... saya makan mi, Imo. Hehehe. Iya, soalnya cuma mi yang bisa disajikan dengan cepat. Besok? Ummm ... b-boleh, Imo. Saya? Umm, makanan apa aja, Imo. Iya. Aduh, saya jadi merasa nggak enak. Takut merepotkan Imo. Nggg ... sekitar pukul dua belas siang? Oh, mmm boleh, Imo. Oke, Imo. Nee~, sampai jumpa."
"Wooooaaah, ada yang dapet calon mertua orang Korea, nih," ujar Ayudia saat aku memutuskan panggilan itu.
"Jangan ngomong sembarangan, ih. Lagian, kita juga belom tau anaknya itu cewek atau cowok, kan?"
"Eh, iya juga, sih." Ayudia menggaruk jidatnya. "Etapi ... bukannya tante Hina sempet bilang kalo lagu yang keputer tadi itu lagu anaknya? Terlepas dari bener itu lagu anaknya atau bukan, ya kali tante Hina ngga bisa bedain suara yang nyanyi itu cewek atau cowok? Dan ... kesimpulan gue ... anak tante Hina itu jelas cowok. Gimana menurut lo?" jelas Ayudia panjang lebar.
Aku mencoba mencerna ucapan Ayudia yang ... ternyata setelah dipikir-pikir ada benarnya juga. Nggak mungkin tante Hina ngga bisa bedain suara cowok dan cewek. Apalagi di lagu TCN tadi.
"Ck. Dahlah. Nggak usah musingin itu. Lanjut makan aja udah paling bener."
Ayudia terkekeh lagi. "Terus, tante Hina bilang apa aja tadi?"
"Nggak ada hal penting, sih. Cuma yang pasti besok siang supirnya bakal ngejemput kita. Dan ... tante Hina juga sempet nanya. Mau makan apa? Tapo gue cuma bilang terserah. Ya kali gue banyak mau."
"Aduh. Tante Hina beruntung banget sih nggak dapet gue. Kalo dapet gue mah udah gue sebut satu-satu makanan yang gue penginin."
Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Ayudia. "Lo ... bener-bener, ya? Gue jadi sangsi mau percaya lo itu keturunan crazy rich Indonesia apa bukan." Ayudia tertawa lepas, hampir saja mi yang ada di mulutnya menyembur ke arahku. "Dih, ngakaknya nggak berkelas banget lagi. Besok jangan sampai lo kayak gitu di depan tante Hina. Bisa jelek image gue."
"Idih, yang mau pedekate."
Aku hanya bisa berdecak dan nggak lagi menggubris ucapan Ayudia.
***
"Yu, bangun lo. Kebo banget, sih. Ini udah pukul sepuluh. Kita harus siap-siap sebelum supir tante Hina dateng."
"Bentar, Lav. Lima menit lagi."
"Astaga, cepetan. Nggak ada lima menit-lima menitan. Buruaaan!"
"Ya Tuhan, anak ini. Udah macem ibu kost galak aja, ish!"
Ayudia bangun dari posisi nyamannya dengan kedua mata setengah terbuka. Rambut sebelas duabelas lah sama singa.
"Buruan mandi. Ini gue buat nasi goreng."
"Ngapain buat nasi goreng segala? Kan kita bakalan makan siang di rumah tante Hina." Ayudia kini muncul di sampingku dan mengambil sendok untuk mencicipi masakanku.
"Lebih baik kita dateng dengan kenyang, daripada dateng dengan perut kosong. Lagian, kan belum tentu kita langsung makan kalo dah nyampe di sana."
"Hmm, bener juga. Ya udah, gue makan dulu, deh."
***
Ternyata, tante Hina bukan tipikal orang yang suka ngaret. Terbukti, supirnya saja sudah stay di depan hotel tepat pukul dua belas siang. Sementara Ayudia masih sibuk dengan blush on-nya.
"Buruan, Yu. Nggak enak sama supir tante Hina. Ini dia udah nelpon, katanya dia udah ada di depan hotel.
"Iya, iya. Ini gue tinggal masukin hp ke tas."
Aku keluar lebih dulu dan membiarkan Ayudia yang menutup pintu kamar. Buru-buru aku menekan tombol lift yang untungnya langsung terbuka. Di luar sana, aku melihat Ayudia yang masih kuwalahan memasang sepatu sneakers-nya. Segera kutekan lagi tombol lift agar pintu tetap terbuka.
"Thanks," ujar Ayudia saat akhirnya dia berada di dalam lift.
***
Tidak perlu waktu lama untuk menemukan supit tante Hina, karena dia benar-benae stay di depan hotel seolah sedang menjemput majikannya. Oh, apakah saat ini aku bisa disebut majikan?
Jangan mimpi, Lavina.
"Annyeonghaseyeo. Benar dengan Nona Lavina?"
"Annyeonghaseyeo. Iya, benar, Pak."
"Saya supir Nyonya Hina, ditugaskan untuk menjemput nona. Mari." Supir tante Hina itu kemudian membuka pintu belakang mobil dan mempersilakan aku dan Ayudia masuk ke dalam.
Selama berada di dalam mobil, aku benar-benar hanya bisa diam dan sesekali hanya bisa melirik ke arah Ayudia yang juga tengah melirik ke arahku. Benar-benar terasa canggung. Tapi, melihat pemandangan ke luar jendela membuat perjalanan nggak begitu membosankan. Bahkan, aku nggak menyangka saat ini kami sedang memasuki pekarangan yang luasnya kebangetan.
"Lav, ini kita di mana?" tanya Ayudia dengan nada berbisik.
Aku mengerutkan kening karena ikutan bingung. "Setahu gue, kita lagi dibawa ke rumah tante Hina. Dan ... kayaknya ini rumahnya. Lagian ... kenapa lo kaget gitu, sih? Rumah lo juga gede, kan?"
"Gue juga manusia biasa kali, Lav. Meski punya rumah gede, kalo liat rumah gede lainnya juga bakalan takjub."
Aku nggak menggubris ucapan Ayudia lagi, karena saat ini mobil milik tante Hina berhenti tepat di depan sebuah pintu yang kuyakini adalah pintu utama.
"Mari." Seseorang yang lain membuka pintu dari luar dan mempersilakan kami untuk keluar. Aku dan Ayudia kemudian mengikuti kemana laki-laki yang jika kutaksir berusia sekitar 30-an tahun itu membawa kami, hingga kami sampai di satu ruangan yang sangat luas. Jika dilihat dari perabot yang ada, sudah pasti ruangan ini adalah ruang tamu. Sofa berukuran besar mengisi ruangan ini, tidak lupa meja kayu yang berukuran sedang ada di tengah-tengahnya. Beberapa bunga mawar berwarna putih dan pink ada di masing-masing sudut ruangan. Sepertinya, tante Hina suka bunga mawar. Maybe.
Saat aku dan Ayudia tengah sibuk memperhatikan isi ruangan, laki-laki itu mempersilakan kami duduk dan berkata akan memanggil tante Hina. Jujur, pertemuan kali ini sukses membuat aku deg-degan. Padahal aku sudah ditemani Ayudia.
"Nee, kansahamnida," ucapku dan Ayudia hampir bersamaan. Laki-laki itu membungkuk sedikit dan kemudian pergi. Di saat itulah aku dan Ayudia saling menatap dan mengeluarkan ekspresi penuh kekaguman.
"Gila, ini rumah apa istana negara? Gede banget!" seru Ayudia.
"Nggak ngerti lagi gue. Gue sampai nggak tahu mau ngomong apa."
Ayudia nggak sempat membalas ucapanku, karena tante Hina tiba-tiba muncul dengan senyuman lebarnya.
"Selamat siang," sapa tante Hina.
"Selamat siang, Imo." Aku membalas senyuman itu. "Ah, saya datang bersama sahabat saya, Imo. Namanya Ayudia."
"Aaa, Ayudia. Salam kenal, Ayudia."
"Salam kenal, Imo."
Tante Hina mengangguk pelan lalu meminta kami untuk mengikutinya. Sambil mengekor di belakang tante Hina, mataku nggak henti-hentinya memperhatikan semua ruangan yang kami lewati.
"Ayo, silakan duduk. Kita makan sambil ngobrol. Nggak apa-apa, kan?" tanya Tante Hina.
"Ah, nggak apa-apa, Imo."
"Kalo gitu, silakan duduk. Pokoknya, kalian berdua harus habiskan makanan ini."
Kedua mataku memelotot melihat banyaknya makanan yang disediakan tante Hina. Ini sih bukan luch untuk tiga orang, lebih tepatnya ini untuk sekompleks.
"Terima kasih banyak atas jamuannya, Imo. Ini ... banyak sekali," ucapku penuh takjub.
"Iya, sengaja imo menyediakan semuanya. Karena ... imo juga nggak tahu kamu suka yang mana." Tante Hina terkekeh. "Ayo, Lavina, Ayudia. Kita makan."
"Iya, Imo." Kami mulai sibuk mengambil makanan di atas piring masing-masing. Dan disuapan pertama, entah kenapa Ayudia tiba-tiba tersedak sampai terbatuk cukup lama.
"Heh, kenapa lo? Minum, minum." Aku menyodorkan gelas yang berisi air putih pada Ayudia. Tanpa menunggu lama lagi, Ayudia langsung meminumnya hingga menyisakan seperdua gelas.
"Ada apa? Makanannya terlalu pedas, ya?" tanya tante Hina khawatir. Dia bahkan berdiri dan menepuk punggung Ayudia dengan pelan.
"Ah, a-aniyeo, Imo."
"Terus, lo kenapa?" tanyaku penasaran.
"Gue kaget, Lav. Lo liat deh foto-foto di sana."
Aku mengikuti arah pandang Ayudia dan hampir saja ikut tersedak. Di dekat lorong menuju ruang makan, ada sebuah bufet minimalis yang di atasnya berjejeran beberapa bingkai berukuran sedang dan kecil. Tapi, bukan itu yang membuat aku terkejut, melainkan foto-foto yang ada di dalam bingkai itu.
Seperti tahu kami sedang melihat ke arah foto-foto itu, tante Hina lantas angkat bicara. "Kenapa? Ada sesuatu di foto anak saya?"
"Ah, anak Imo?"
"Iya. Namanya Lee Janu."
***
To be continue
***
Wkwkwk kebayang nggak gimana ekspresi Lavina? 😄🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top