4. Jalan-jalan
Jika ada kesalahan menyangkut destinasi wisata di Korea, atau kesalahan di penulisan lain silakan banget untuk dikoreksi, ya. Karena aku pun belum pernah ke Korea dan semua aku riset cuma melalui inet😁
.
.
.
"Hah? Anaknya artis?"
Aku nggak heran sama respon Ayudia barusan. Karena jika saja aku sedang nggak dalam mode jaga image di depan Tante Hina, respon aku bakalan sama seperti Ayudia. Atau ... mungkin juga bakalan lebih heboh lagi.
"Iya, katanya sih gitu. Tapi nggak tahu juga sih, bisa aja kan tante Hina ngomong gitu biar aku dateng ke rumahnya."
"Dateng? Ke rumahnya?" ulang Ayudia.
Aku menatap Ayudia yang sedang menikmati bungopangnya seraya menatapku dengan kening berkerut. "Iya, dia ngajak ketemu lagi. Karena tadi itu kita ketemunya singkat banget. Dan ... yaa gitu, deh. Tante Hina pengin cerita-cerita juga kenapa dia bisa kenal sama mama," jelasku.
Ayudia mengangguk pelan. "Oh, gitu. Ya udah, sih. Dateng aja. Menurut gue nggak mungkin juga tante Hina mau bohong, kan? Dan ... gue kudu ikut, sih."
Aku nggak berkomentar lagi, karena menurutku Ayudia memang harus ikut. Berjaga-jaga saja, apalagi kami ini pendatang. Meski dia teman mama, aku tetap harus waspada. Kita nggak pernah tahu niat orang, kan?
***
Meski hari ini cuaca lumayan dingin, aku dan Ayudia tetap kekeh ingin berkeliling. Lagipula, jika menunggu cuaca nggak dingin lagi, itu mustahil. Karena saat ini memang tengah musim gugur dan cuaca nggak menentu.
"Kita mau ke mana dulu, nih?"
Aku membuka note di ponselku dan mencari daftar tempat wisata yang sudah kususun bersama Ayudia sewaktu berada di Indonesia, dan pilihan pertama jatuh pada Seoul Namsan Tower.
"Namsan Tower," ujarku yang langsung disambut antusias oleh Ayudia. Dia bahkan mengeratkan jaket yang saat ini dipakai pertanda dia sudah sangat siap berkeliling dan menikmati Seoul di sore hari. Sengaja kami memilih waktu sore, karena pagi tadi kami berdua memilih beristirahat dulu. Sesuai rencana, kami berdua benar-benar akan menghabiskan waktu berkeliling hingga malam, jadi kami benar-benar butuh tenaga ekstra.
"Ya udah. Yuk, kita otw."
Aku mengangguk cepat, nggak sabar juga ingin melihat keindahan Namsan Tower di musim gugur begini. Pasti cantik banget.
***
Kami berdua turun dari taxi dan membayar tarif yang dikenakan. Setelah itu, kami berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan yang ternyata lebih indah dari perkiraanku. Di sini benar-benar banyak pepohonan. Tidak sia-sia kami memilih datang di saat musim gugur begini.
"Cari gembok cinta dulu, yuk." ajak Ayudia seraya menarik tanganku mencari lokasinya. Gembok cinta merupakan salah satu tempat yang ada di Namsan Tower yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan dari luar negeri maupun warga Korea itu sendiri. Di sana, kita bisa membeli sendiri gembok yang kita inginkan dan memasangkannya. Menurut artikel yang aku baca, konon katanya, jika sepasang kekasih menggantungkan gembok di gembok cinta itu, maka cinta mereka bisa abadi selamanya. Soal kebenarannya, aku juga kurang tahu. Karena itu sudah menjadi ritual tersendiri di gembok cinta ini, maka nggak heran saat aku dan Ayudia sudah sampai, beribu-ribu bahkan sepertinya puluhan ribu gembok langsung terlihat meski itu dari jauh.
"Waah, gila, sih. Ini keren banget," ujarku kagum. Mataku bahkan nggak berkedip selama beberapa detik.
"Mana gembok lo?"
"Nih." Aku memperlihatkan gembok berwarna ungu yang tadi kubeli di toko aksesoris pada Ayudia. "Punya lo mana?"
"Ini." Ayudia kembali menarikku agar segera mendekat ke arah sekumpulan gembok itu dan mulai mengeluarkan ponselnya. "Lo dulu, deh."
"Tapi ini nggak pa-pa kan kita masang gembok meski nggak punya pasangan?" tanyaku diiringi kekehan kecil. Ayudia langsung tertawa mendengarku.
"Lo memohon aja, supaya ketemu dan jodoh sama Lee Juna. Hahaha."
Aku mendengus pelan. Hal itu suatu ketidakmungkinan, kan? Pasalnya, aku adalah satu orang yang nggak percaya hal-hal demikian. Tapi, iseng juga nggak apa-apa kali, ya? Siapa tahu benaran jadi kenyataan.
Source by Google
***
Setelah menikmati dan berfoto-foto ria di tempat gembok cinta, aku dan Ayudia pun memutuskan mengunjungi beberapa destinasi lain yang ada di sekitaran Namsan Tower, salah satunya taman Namsan. Di sana aku dan Ayudia lagi-lagi dibuat kagum karena pemandangan yang luar biasa indah. Angin sejuk khas pegunungan langsung menyambut kami saat itu juga. Taman Namsan ini adalah taman terbesar yang ada di Seoul. Berbagai jenis pohon, tumbuhan, dan hewan bersejarah ada di taman Namsan. Nggak heran kalau tempat ini sangat ramai pengunjung. Termasuk turis dari luar negeri seperti aku dan Ayudia. Ketakjuban aku dan Ayudia nggak berhenti sampai di situ, karena sekarang musim gugur, banyak daun-daun berguguran yang semakin menambah keaesthetic-an tempat ini.
"Gue laper, nih. Cari makan dulu, yuk!" Ayudia memegang perutnya dengan ekspresi memelas. Saat itu juga tentu saja aku setuju, karena aku pun merasakan hal yang sama.
Karena kami tidak tahu restoran di luar Namsan, aku pun mengusulkan untuk makan di Restoran The Dining Place. Setahuku di sana menyuguhkan kuliner khas Eropa seperti pizza, salad, steak, dan lain-lain. Ayudia langsung mengiyakan dan segera menarikku ke resto itu.
Kami berdua memesan lumayan banyak makanan. Berjam-jam mengelilingi Namsan Tower benar-benar menghabiskan energi kami. Tidak heran jika sekarang di hadapanku sudah ada banyak macam makanan. Ada satu porsi pizza, tiga appetizer, dua steak, satu risotto dan dua salad. Masa bodohlah kalau kami berdua kelihatan kalap, yang terpenting untuk saat ini adalah kondisi perut yang sudah menagih jatah.
Saat aku dan Ayudia sedang sibuk melahap makanan masing-masing, tiba-tiba ponselku berbunyi. Satu chat dari Nini masuk.
Nini
Kak, lagi sibuk nggak? Bu Lia mau nelpon katanya.
Segera aku mengunyah makanan yang ada di mulutku dan menelepon Nini. Hotspot punya Ayudia memang sengaja tidak dimatikan karena mewanti-wanti mama atau bunda Ayudia yang setiap jam bakalan menelepon seperti sekarang ini.
"Halo, Ni. Ibu mana?" tanyaku setelah tersambung pada Nini. "Oh, iya. Aku tunggu."
Dari seberang, aku bisa mendengar Nini memberitahu ibu kalau aku sudah tersambung dengannya. Setelah itu, ibu benar-benar mengambil alih ponsel milik Nini.
"Kenapa, Bu? Iya, ini lagi jalan-jalan bareng Ayudia. Hmm, lagi makan. Ibu lagi apa? Nyantai? Bapak mana? Oh, gitu. Hmm, kata Nini ibu mau nelpon? Kenapa? Mau nitip oleh-oleh? Tante Hina? Iya, udah, kok. Kemarin udah ketemu. Dia ... cantik banget, Bu. Aku ragu kalo tante Hina beneran temen Ibu." Aku tertawa pelan karena di seberang sana ibu tentu saja tidak terima dengan ucapanku. "Iyaa, tante Hina juga ngasi aku coat dan syal. Harganya mahal banget, Bu! Aku sampe kaget. Nggak ada tuh buat Ibu. Haha."
Kembali aku mengunyah steak yang baru saja aku masukkan ke dalam mulut. "Tante Hina ngajak ketemu lagi, tapi ... nggak enak rasanya. Aku malu, nanti malah dikira pengin dikasi barang mahal lagi. Hmm, nanti kita lihat, deh, Bu. Soalnya aku sama Ayudia juga lagi pengin jalan-jalan dulu. Oke, Bu. Udah dulu, ya. Iyaaa, nanti kukabari kalo jadi ketemu tante Hina. Hmm, dah."
"Siapa?"
"Ibu. Dia mau kita ketemu tante Hina lagi."
"Gue sih oke-oke aja."
Baru saja aku akan membalas ucapan Ayudia, kembali ponselku berbunyi. Kali ini nama tante Hina tertera di sana.
"Duh, tante Hina nelpon, nih, Yu."
"Ya udah, sih. Angkat aja buruan."
Nggak ada pilihan lain selain menerima telepon itu. "Yeoboseyeo, Imo. Oh, iya, Imo. S-Saya sedang berada di luar bersama sahabat saya." Aku sedikit mengerutkan kening saat resto ini tiba-tiba memutar sebuah lagu sehingga suara tante Hina tidak terlalu terdengar olehku. "Maaf, Imo. Saya nggak mendengar jelas suara Imo karena ... restonya sedang memutar musik. Ya? Lagu baru anak Imo? Oh, iya. Sampai jumpa, Imo."
Sambungan dimatikan karena tante Hina juga sedang berada di luar, dan suaraku juga nggak begitu jelas katanya. Setelah memastikan sambungan terputus, aku mencoba mendengar lagu yang diputar di resto ini.
"Lo, bukannya ini lagu TCN?"
***
Namsan Tower saat musim gugur
(Source by kkday.com)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top