3. Tante Hina

Aku up setelah dapet 100 vote.

Wkwkwk

.

.

.

Wanita itu tersenyum lebar lalu membalas sapaanku. Aku kemudian dipersilakan duduk dan memesan minuman dan makanan terlebih dulu. Tentu saja aku langsung setuju dengan usulan itu. Pasalnya, aku ke sini juga belum mengisi apa-apa selain air putih ke dalam perutku, maka nggak heran kalau dari tadi warga di bagian tengah itu minta jatah terus.

"Kamu tidak tersesat, kan?" tanya Lee Hina kepadaku. Tentu saja menggunakan aksen Koreanya.

"Oh, umm ... tidak."

Wanita itu mengangguk pelan. Bahkan mengangguk saja dia bisa terlihat elegan. Aku di sini nggak kelihatan seperti pembantunya, kan?

"Kata mama kamu, kamu bisa berbahasa Korea?"

"Iya, benar, imo."

"Hmm, saya suka kamu memanggil saya imo." Hah? Suka? Bukannya wanita paruh baya seperti dia memang dipanggil eomonim, kan? Atau ... aku yang salah? Aduh, gimana ini. "Oh, ya. Kamu ke Korea bersama siapa?"

"Saya datang bersama teman saya."

"Oh, begitu." Kami kemudian terdiam sejenak karena tiba-tiba pelayan datang membawa pesananku. "Ya sudah, kita makan dulu. Karena saya juga belum sarapan tadi."

Aku mempersilakan tante Hina untuk makan lebih dulu, baru setelah itu aku ikut makan. Sesuai yang aku baca, makan lebih dulu dari orang yang lebih tua dari kita itu termasuk tidak sopan di Korea.

"Kamu ternyata sangat cantik," ujar tante Hina seketika. Aku hampir saja tersedak mendengarnya. Beruntung nggak ada Ayudia di sini, bisa-bisa dia mati di tempat karena berusaha menahan tawa. Ya, dia memang sahabat terlaknat.

"Wah, kansahamnida."

"Hmm, kamu mirip sama mamamu. Ngomong-ngomong, apa kabar dia? Saya sempat marah loh sama mamamu itu. Tega sekali dia baru menghubungi saya kemarin. Saya sampai tidak mengenali suaranya. Saya pernah ingin menghubunginya, tapi nomor ponselnya tidak aktif," ujar Tante Hina dengan raut kesal. Tapi, di mataku itu terlihat lucu.

"Mama saya itu ... nggak tahu kenapa sering sekali kehilangan nomor ponsel. Entah itu karena lupa diisi pulsa sampai nomornya terblokir, atau ... karena ponselnya terjatuh ke air sampai ponselnya juga ikut rusak."

Tante Hina tertawa kecil. Kedua mata sipitnya jadi semakin tertutup. "Wah, dia punya kebiasaan yang buruk ternyata."

"Benar, Imo. Tapi, ngomong-ngomong, bagaimana Imo bisa kenal dengan mama saya?"

"Aaah, itu ... panjang ceritanya. Kalau kamu sempat, main ke rumah saya, ya? Nanti di sana saya ceritakan." Aku mengangguk pelan. Pasalnya, aku tidak tahu dan tidak bisa berjanji akan datang ke sana. Apalagi, aku dan Ayudia di Korea ini nggak lama. Banyak juga destinasi yang sudah kami targetkan untuk dikunjungi. "Bagaimana?"

"Ah, itu ... saya tidak bisa berjanji, Imo. Karena ... saya dan sahabat saya ternyata punya jadwal berkunjung ke tempat lain."

"Jangan langsung menolak begitu. Kamu tenang saja, nanti biar supir saya yang mengajak kamu dan sahabat kamu ke manapun kamu mau. Bagaimana?"

Oke. Mendengar ini, sudah pasti Ayudia bakalan senang. Tapi, nggak tahu kenapa aku justru merasa nggak enak. Maksudku, kita baru kenal dan ... rasanya sedikit aneh jika aku langsung menerimanya.

"Kalau begitu ... nanti aku kabari, Imo."

"Oke. Kalau sampai kamu menolak akan saya laporkan pada mamamu," ancam Tante Hina. Meski ekspresinya terlihat bercanda, namun aku juga tidak bisa menganggap dia tidak akan melakukan apa yang baru saja dia ucapkan. Bukannya aku takut atau semacamnya, tetapi jika mama memang memintaku untuk pergi, terpaksa aku akan pergi. Bukankah menolak permintaan orang tua itu dosa?

Aku tersenyum lebar sebagai tanggapan atas ucapan wanita paruh baya itu. Namun, sebelum dia pergi, dia sempat memberiku dua buah bingkisan yang katanya satu untukku dan satu buat Ayudia. Aku tidak tahu apa isinya, tetapi setelah aku diberi bingkisan itu, Tante Hina memelukku sejenak.

"Nanti saya kenalkan kamu ke anak saya. Dia seorang artis, lo."

Mataku langsung membulat mendengar ucapan Tante Hina. Artis? Wah, kesempatan ini, sih. Apa aku harus menyusun ulang jadwal jalan-jalanku bersama Ayudia?

Baru saja aku ingin menanyakan siapa nama anaknya itu, tetapi dia sudah keburu pamit dan pergi meninggalkan aku yang masih diam mematung di tempat.

"Wah, benar-benar beruntung, sih, kalo beneran anaknya tante Hina itu seorang artis." Aku menggigit bibir seraya menebak-nebak asal. Apakah anak Tante Hina itu seorang artis pemain drama atau penyanyi? "Atau yang lebih parahnya, supaya gue mau ke rumahnya, itu cuma akal-akalan tante Hina aja? Aarrgh. Ayudia memang harus tahu ajakan menggiurkan ini."

***

Sesampai di kamar, aku nggak melihat keberadaan Ayudia di kasur. Sepertinya dia sedang berada di dalam kamar mandi. Aku kemudian menaruh bungkusan berisi bungopang –kue ikan di atas meja berikut bingkisan yang diberikan tante Hina. Tadi, setelah aku keluar dari cafe Sunflower dan berjalan-jalan sebentar, aku menemukan salah satu jajanan khas Korea ini. Yang biasanya hanya aku lihat di drama Korea, kini benar ada di hadapanku. Tentu saja hal itu tidak aku sia-siakan. Setelah menaruhnya di atas piring, aku mengambil satu bingkisan dari tante Hina dan membukanya. Ternyata isinya sebuah coat dan syal. Kuperkirakan harganya lumayan mahal karena jenis kainnya lumayan tebal dan halus. Saat ini, di Korea sedang musim gugur, jadi cuacanya sedikit dingin.

"Wah, apa tuh? Abis belanja berapa lo? Sampe beli barang mahal kayak gini?" Ayudia yang baru saja keluar dari toilet langsung menghampiriku dan melihat paper bag yang ada di hadapanku. "Gila lo, Lav. Duit lo nggak cukup sebulan di Korea gue pastiin. Ngapain beli ginian, sih?"

"Tenang dulu, dong. Ini bukan gue yang beli. Tapi dikasi sama Tante Hina."

"Tante Hina?"

"Lah, iya. Temen mamaku itu."

"Hah? Seriusan? Gila banget, heh. Ini harganya jutaan tau."

Aku mengerjap pelan mendengar ucapan Ayudia. Apa? Jutaan? "B-berapaan?"

"Gue nggak yakin. Tapi setahu gue ... sekitaran lima jutaanlah."

"Ngadi-ngadi lo, Yu. Salah liat kali lo."

"Nggak, seriusan. Coba aja lo cek di website resminya."

Karena penasaran, aku pun mengambil ponsel dan segera mengetik website yang tertulis di depan paperbag berwarna pink itu. Seketika, website yang memiliki background bewarna senanda dengan paperbag-nya itu muncul dengan berbagai macam pilihan kategori. Aku mengklik kategori pakaian dan mencari jenis coat yang diberikan padaku. Kedua mataku mengerjap cepat saat menemukan dan melihat harga yang tertera di layar ponselku.

"Beneran, heh. Malahan ini harganya udah hampir enam juta," ujarku terkesima. Karena saking tidak percaya, berkali-kali aku terus mengecek harga dan jenis pakaian yang ada di hadapanku itu, namun aku benar-benar tidak salah lihat.

Ayudia ikut membuka paper bag-nya dan mengeluarkan coat, berikut syal dari dalam tas berukuran besar itu. Dia lalu mencobanya dan benar-benar cocok di tubuhnya.

"Waah, Lav. Sebenarnya, orang macem apa yang baru aja lo temui itu?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top