27. Tembok Raksasa
Btw, aku ada cerita baru. Judulnya 920. Mampir, yaawww.
.
.
,
"Sakit?"
"Kamu tidak akan mengerti."
"Bagaimana bisa aku tahu jika tidak kau katakan? Jangan beranggapan semua orang bisa tahu apa yang kamu rasakan jika tidak mengatakkannya."
"Kalau begitu, pergilah."
Aku mengembuskan napas –sedikit lelah karena kejadian hari ini dan tentu saja lelah menghadapi sikap Janu. "Aku akan pergi setelah tante Hina atau dari pihak agensimu datang. Jadi, sebaiknya kamu masuk dan istirahat." Aku sudah bersiap untuk pergi, namun tiba-tiba Janu kembali bergumam.
"Ayahku. Aku merindukannya. Aku ... merindukan dia berada di sampingku." Aku masih terdiam, menunggu Janu melanjutkan ucapannya. "Dia suda berjanji untuk tidak meninggalkanku, namun ... pada akhirnya dia justru pergi di saat aku masih sangat membutuhkannya."
Meski saat ini Janu memunggungiku, aku bisa melihat betapa rapuhnya punggung yang selalu terlihat tegar, kuat, dan gagah saat berada di panggung itu. Bahkan, samar kulihat punggung itu bergetar pelan. Karena diliputi rasa bingung, aku mendekat ke arah Janu dan mencoba menyentuh punggungnya yang masih bergetar itu. Bukannya berhenti, getaran itu justru semakin terasa. Bahkan saat ini isak tangis terdengar di telingaku.
Ada apa sebenarnya?
***
Aku menatap Janu yang saat ini tertidur pulas di atas ranjangnya. Wajahnya masih terlihat pucat. Selepas dia menumpahkan semua kesedihannya, aku membawanya kembali ke kamar meski dengan sedikit pemaksaan. Aku tidak tahu jika ternyata dia bisa dengan kuat menyembunyikan sakitnya di atas panggung bahkan di hadapan para penggemarnya.
Apa semua idol melakukan hal demikian?
Kemudian aku terpikirkan oleh Ji Hyun yang juga harus menanggung masalah lain.
"Sepertinya benar begitu."
Pintu terbuka dan menampilkan sosok tante Hina dengan sebuah kotak bekal di tangannya. Aku berdiri dan menyambutnya.
"Maaf karena Saya terlalu lama," ujar tante Hina seraya meletakkan kotak bekalnya di atas nakas. "Kamu makan dulu, ya."
"Ah, nggak usah, Ahjuma. Saya harus pulang sekarang karena Ayudia sedang menunggu."
"Sekarang?"
Aku mengangguk pelan. "Tadi saya sudah berjanji akan segera pulang jika ahjuma datang."
"Baiklah kalau begitu kamu bawa satu kotak bekal ini. Tadi saya membawa kimchi yang banyak." Aku menerima satu kotak berukuran sedang yang dibawa tante Hina dan nggak lupa mengucapkan terima kasih.
Tante Hina mengelus pelan lenganku. "Terima kasih karena sudah menjaga Janu."
"Tidak masalah, Ahjuma."
***
"Gimana keadaan Janu?" Ayudia memijat pelan kedua bahuku setelah aku membersihkan diri dan berganti pakaian.
"Dia udah mendingan. Cuma harus istirahat aja."
"Member lain nggak ada yang dateng?"
Aku menggeleng pelan. "Sewaktu masih ada gue, mereka belum ada satu pun yang dateng. Nggak tahu sekarang."
Ayudia bergumam nggak jelas dan menghentikan pijatannya di bahuku. "Lo belum makan, kan? Kita makan dulu lah. Gue juga ngiler nih liat kimchi buatan tante Hina."
"Oh, iya. Gue hampir lupa sama kimchinya."
Kami berdua bergegas menuju meja makan dan menikmati makan malam dengan ditemani kimchi buatan tante Hina. Rasanya benar-benar enak. Aku jadi harus tambah beberapa sendok nasi.
"Wah, sepertinya berat badan gue bakalan naik nih," ujar Ayudia yang kembali mengambil kimchi dari kotak bekal yang diberikan tante Hina.
Aku tersenyum menanggapi. "Lo nggak usah khawatir karena lo nggak sendiri. Gue juga gitu. Paling-paling ibu bakalan kaget liat tubuh anaknya pulang-pulang udah melar."
Kami berdua tertawa membayangkan ekspresi ibu. Pasti lucu. Gimana nggak lucu, ibu tuh kalau melihat sesuatu hal yang baru atau berubah, pasti ekspresinya kayak yang heboh gitu. Biasalah, gaya ibu-ibu yang julid gitu. Hadeh.
"Tapi, Yu. Jujur gue tuh udah gedek banget tau nggak sama orang yang bikin Janu masuk rumah sakit." Ayudia menyuapkan sesuap nasi ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya dengan cepat. "Kalo bener dia orang yang sama dengan si pengirim paket misterius itu, kayaknya kita nggak boleh tinggal diem lagi, deh. Ini tuh udah termasuk teror nggak, sih? Kita bahkan diintai kemana-mana bahkan lebih parahnya berniat dilukai."
Aku mengerutkan kening seraya memikirkan tiap ucapan Ayudia yang menurutku ada benarnya. Sebenarnya jika kejadian itu hanya terjadi sekali dua kali, mungkin hal itu masih bisa didiamkan, tapi hal itu sudah terjadi lumayan sering, dan itu berarti hal ini nggak bisa didiamkan saja.
"Apalagi, nih, ya. Dia udah ngelukai Ji Hyun, ngirim paket misterius, sampai ngelukai Janu juga. Apa itu nggak bisa dijadiin sebagai bukti di kepolisian?"
Aku memejamkan mata seraya berusaha untuk mencerna satu persatu kejadian yang terjadi belakangan ini. Dimulai dari pertemuan Ji Hyun dengan rentenir itu, hingga bagaimana dia melukai Janu siang tadi.
"Tapi ... setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya itu orang yang beda, deh, Yu."
"Kok gitu?" Ayudia menghentikan kunyahannya dan menatapku seolah nggak terima dengan spekulasiku.
"Kalo menurut gue, itu orang yang beda. Rentenir itu hanya punya urusan dengan Ji Hyun. Dan dia sama sekali nggak ada hubungan dengan kita. Jadi, nggak ada alasan untuk dia mengganggu kita. Tetapi, kalau dia adalah orang yang berbeda ... bisa jadi dia adalah fans fanatik TCN yang nggak seneng kita ada di dekat para member," jelasku panjang lebar.
Ayudia mengangguk paham. "Gue sama sekali nggak kepikiran sampai di sana, Lav. Tapi spekulasi lo ada benernya juga."
"Jadi, satu-satunya cara agar dia nggak mengganggu kita dan member TCN lagi adalah ... sebisa mungkin kita menjaga jarak dengan para member TCN. Kalau cara itu nggak berhasil dan dia tetep nyoba gangguin kita, nggak ada cara lain selain ngelaporin dia ke polisi."
***
SATU MINGGU KEMUDIAN
Hari ini cuaca lagi bagus-bagusnya. Pagi-pagi sekali aku dan Ayudia memilih untuk berjalan-jalan dan menikmati matahari terbit dengan secangkir kopi hangat.
"Lav, waktu kita di Korea sisa tiga hari lagi. Apa yang bakal lo lakuin?"
"Gue?" Sejujurnya aku memikirkan banyak hal, karena sebulan berada di Korea ternyata nggak menjamin aku bakal mengelilingi semua tempat wisata yang ada. Selain karena tempatnya terlalu banyak, aku dan Ayudia juga entah kenapa dapat banyak masalah juga selama berada di Korea, jadinya kami nggak begitu menikmati waktu jalan-jalan kami. Tapi aku sama sekali nggak menyayangkan hal itu, karena pada akhirnya kami juga bertemu bahkan menjadi teman dari idol kecintaan kami. TCN. Meskipun mereka aslinya di luar ekspektasi, tapi mereka semua baik dan nggak sombong. "Gue ... mau belanja banyak make up-an, terus ... mau beli banyak makanan khas Korea, dan terakhir ... gue pengin ke konser TCN."
"Sebagian besar keinginan kita sama, sih. Tapi ... gue pengin banget foto bareng Ji Hyun. Kemarin-kemarin gue nggak sempet minta foto bareng karena banyak banget insiden aneh. Eh, tapi lo emang nggak mau foto gitu bareng mereka?"
"Kayaknya nggak, deh."
Ayudia memukul keras lenganku dan aku jelas meringis kesakitan. "WAE?" ujar Ayudia nggak terima dengan ucapanku.
"Sakit tahu." Ayudia nggak peduli dengan keluhanku, dia hanya menatapku dengan ekspresi yang nggak terima. "Gue kan udah bilang jauh-jauh hari, gue bakal ngasi space ke mereka supaya mereka aman. Lo sadar nggak sih setelah kita nerapin hal itu, kejadina-kejadian aneh tuh jadi nggak ada? I mean gue nggak ngarepin ada hal aneh terjadi, tapi dari situ kita sadar juga kan kalo ternyata di balik itu semua yang ngelakuin sudah pasti fansnya TCN."
"Lo bener. Tapi aneh juga ya ada orang yang ngefans sampai segitunya. Tapi, btw. Gue kepikiran juga mau ngasi Ji Hyun hadiah, deh."
"Ide bagus. Bisa jadi kenang-kenangan juga untuk mereka."
"Tapi, Lav. Lo ada rencana mau ngasi tau mereka kalo bentar lagi kita balik ke Indo nggak?"
"Kayaknya enggak, deh."
"Jadi lo bener-bener bangun tembok raksasa ya dengan mereka."
***
SEKARANG TEMBOK RAKSASA BUKAN CUMA ADA DI CHINA, TAPI ADA DI HUBUNGAN LAVINA DAN MEMBER TCN JUGA :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top