26. Sakit

Rajin update karena disemangatin kalian🤩

.

.

.

Happy reading😍

.

.

.

Masih dengan tangan gemetaran, aku duduk di bangku khusus untuk menunggu dokter yang menangani Janu. Tentu saja di sampingku ada tante Hina yang sesekali terlihat menyeka sudut matanya. Kami berdua belum ada yang ingin membuka suara karena masih diliputi rasa kaget.

Dari kejauhan, aku mendengar suara langkah tergesa. Aku menoleh dan menemukan Ayudia yang berjalan dengan cepat menghampiriku, di tangannya terdapat sebuah kantong yang kuyakini merupakan pakaian yang kuminta. Aku meminta Ayudia untuk membawakanku pakaian yang baru karena saat ini baju yang kukenakan dipenuhi dengan darah Janu.

"Lav," panggil Ayudia saat melihat kondisiku yang sepertinya terlihat kacau. Dari tatapannya, aku bisa melihat banyak hal yang ingin dia tanyakan, tetapi berusaha untuk ditahan dan memilih untuk menggenggam tanganku yang terasa semakin dingin. "Lo ganti baju dulu. Biar gue yang nemenin tante Hina."

Aku mengangguk pelan dan berdiri dari posisiku untuk pamit sebentar pada tante Hina. "Ahjuma, aku pamit ganti baju dulu, ya."

"Oh, iya, Lavina. Silakan."

Aku beranjak menuju kamar mandi dan segera mengganti pakaianku. Setelah itu, aku memutuskan untuk bergerak ke mesin kopi yang kebetulan berada nggak jauh dari posisiku saat ini. Aku mengambil tiga gelas kopi dan membawanya ke depan ruang operasi.

"Ahjuma," panggilku seraya menyerahkan segelas kopi pada tante Hina. "Diminum dulu, Ahjuma."

Satu gelas yang lain kuserahkan pada Ayudia dan satunya lagi kugenggam seraya menikmati rasa hangat yang dihasilkan oleh kopi itu. Aku benci suasana ini. Suasana yang tadinya terasa hangat karena tante Hina bisa mengobrol bebas denganku kini berubah seolah kami sedang berada di ruangan dingin yang berhasil membungkam mulut kami.

"Lavina, Janu nggak akan apa-apa, kan?" tanya tante Hina dengan nada pelan. Aku mengalihkan tatapan dari gelas yang kugenggam mengarah ke tante Hina. Dari raut wajahnya yang pucat, aku bisa melihat kekhawatiran di sana. Aku menggenggam tangan tante Hina, mencoba menyalurkan kekuatan padanya.

"Aku yakin Janu nggak apa-apa, Ahjuma."

Tepat setelah mengatakan hal itu, seorang dokter keluar dari ruang operasi bersama dengan rekannya yang lain. Tante Hina, aku, dan Ayudia refleks berdiri dan menghampiri dokter itu.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?" tanya tante Hina dengan cepat.

"Ibu tidak usah khawatir, meski lukanya cukup dalam, untungnya benda tajam yang digunakan tidak sampai melukai organ vital, dan operasinya berjalan dengan lancar."

Aku menarik napas lega. Pun dengan tante Hina yang langsung terduduk di lantai dengan ekspresi satu tangan menutupi wajahnya. Isakan pelan terdengar, dan aku segera mengelus punggungnya –menenangkannya.

"Aku sudah bilang, kan, Ahjuma. Janu nggak apa-apa." Tante Hina mengangguk pelan dan menggenggam tanganku.

***

"Lo udah ngehubungi manajernya Janu?" tanya Ayudia.

"Gue nggak berhak, sih. Karena itu tugas tante Hina."

"Hmm, bener juga. Tapi yang lain udah pada tahu kalau Janu ada di rumah sakit?"

"Kayaknya belom, deh."

"Kok lo nggak ngabarin mereka?"

Aku menarik napas panjang. Saat seperti ini aku terlalu takut untuk mengambil keputusan. Aku takut kalau aku keputusanku akan berdampak sama member yang lain karena entah mengapa aku merasa jika sebenarnya yang ingin dilukai orang yang kukenali itu adalah aku, bukan Janu. Saat itu hanya kebetulan Janu melindungiku, jadi sekarang bukan aku yang tergeletak nggak berdaya.

"Yu, gue beranggapan kalo orang yang nyelakain Janu itu sebenernya orang yang sama dengan orang yang ngirim paket misterius itu," ucapku pelan karena nggak mau tante Hina sampai tahu.

"Kok lo bisa beranggapan kayak gitu?"

"Nggak tahu, feeling gue aja."

"Kalo emang itu bener, sebenernya ada masalah apa sih sama tu orang? Demen banget nyelakain orang." Ayudia mengepalkan kedua tangannya –gemas dengan orang itu.

"Jangan sampai Ji Hyun tahu," gumamku memperingatkan Ayudia.

"Wae?"

"Karena gue nggak mau Ji Hyun berurusan sama orang itu lagi."

"Terus lo mau bilang apa kalo dia nanya kenapa Janu bisa ada di sini? Seandainya kecelakaan yang menimpa Janu itu karena ketabrak atau semacamnya –gue bukan mau doain ya, ini cuma perandaian, lo bisa bohong. Tapi ini dia kecelakaan karena ditusuk sama orang. Lo mau bohong gimana?" Ucapan Ayudia ada benarnya, tapi aku benar-benar khawatir kalau sampai Ji Hyun tahu alasan di balik kecelakaan yang menimpa Janu –meskipun belum jelas juga siapa pelakunya. "Lagian tante Hina juga nggak bakalan bohong."

Aku terdiam, bingung juga mau gimana.

***

Sekitar tiga jam menunggu Janu, akhirnya dia sadar juga. Untungnya dia nggak tidur terlalu lama kayak di drama-drama, yaaa i know aku korban drama banget, tapi ya namanya juga khawatir.

"Kamu ini, bikin eomma khawatir aja," ujar tante Hina sesaat setelah Janu tersadar.

Nggak tahu karena efek obat bius atau karena terlalu malas mendengar omelan tante Hina, Janu memejamkan mata dan membuang muka ke arah lain. Sekitar lima menit mengomel, akhirnya tante Hina berhenti dan beralih menggenggam tangan anaknya itu.

"Janu, kamu mau makan apa? Eomma buatin."

"Nggak ada, Eomma. Aku cuma pengin minum."

Tante Hina dengan sigap mengambilkan gelas yang ada di atas nakas dan membantu Janu untuk meminumnya. Aku yang melihat hal itu kemudian secara diam-diam memilih untuk keluar dari kamar dan menemui Ayudia yang menunggu di luar kamar.

"Gimana keadaan Janu?"

"Kayaknya udah mendingan."

"Terus, lo mau gimana sekarang?"

"Umm, rasanya nggak enak juga kalo tiba-tiba pengin pulang."

"Lo laper nggak? Mau makan sesuatu? Kalo lo mau gue ke kantin deh."

"Dengan senang hati."

***

Berada di luar kamar hampir setengah jam, akhirnya tante Hina keluar dengan raut wajah yang sedikit berbeda dengan beberapa menit yang lalu, ketegangan yang sempat menghias wajahnya kini berubah dan nggak memperlihatkan ketegangan itu lagi.

"Lavina, apakah saya boleh minta tolong sama kamu?"

"Oh, tentu saja, Ahjuma."

"Saya mau titip Janu dulu, boleh? Saya mau pulang dulu. Mau ganti pakaian dan mau masakin makanan buat Janu."

"Oh, itu ... b-boleh, Ahjuma."

"Oke, terima kasih, ya."

"Ne."

Aku menarik napas panjang sebelum masuk ke kamar Janu. Harus punya stok kesabaran yang banyak jika ingin berhadapan dengan Janu.

Aku membuka pintu kamar di mana Janu dirawat dan menemukan Janu sedang menatap keluar jendela. Sejujurnya aku nggak suka suasana ini, tapi mau bagaimana lagi?

"Kamu tenang saja, aku akan berusaha meminta seseorang dari agensi kamu untuk datang dan aku segera pergi. Atau ... kalau kamu masih bisa tahan, minimal sampai ibumu datang."

***

Waktu terasa berjalan begitu lambat dan tante Hina juga nggak kunjung datang. Sementara Ayudia kubiarkan untuk pulang lebih dulu karena jelas sekali dia kelihatan capek. Dia jelas menolak, tetapi aku memaksanya dengan dalih akan pulang sesegera mungkin. Aku juga memintanya untuk membeli beberapa makanan karena dipastikan sepulang nanti aku bakalan lapar lagi. Pasalnya, makanan yang dibeli di kantin tadi hanya berupa roti sandwich yang nggak mengenyangkan. Ya mohon maaf, karena perutku perut Indonesia, jadi harus makan nasi baru bisa merasa kenyang.

Karena merasa mengantuk, aku pamit pada Janu untuk membeli kopi. Setelah mengambil kopi, aku berjalan-jalan sebentar untuk menghilangkan rasa jenuh dan bosan. Dan karena takut nyasar, aku memutuskan untuk kembali ke kamar Janu, namun aku kaget banget karena nggak menemukan keberadaan Janu di kamar. Aku kemudian berkeliling di sekitar kamarnya namun nihil. Aku sama sekali nggak menemukannya.

"Aduh, kemana sih dia?"

Aku melihat taman yang cukup luas di belakang rumah sakit dan mencoba mencarinya di sana. Tapi tetap saja dia juga nggak ada di sana. Aku semakin panik. Terpikir kemudian biasanya orang-orang akan ke balkon saat jenuh, dengan harapan bisa menemukannya di sana, aku bergegas ke sana.

Kulihat pintu balkon sedikit terbuka dan dengan segera aku membukanya. Angin yang meski sepoi tapi terasa sangat dingin langsung menerjangku. Aku refleks memeluk tubuh sendiri dan mengedarkan pandangan di sekitar balkon.

"Janu," gumamku saat melihat Janu berada di pinggir balkon dengan arah pandangan menuju pada lampu kota yang menghiasi Seoul. Dari sini, kita bahkan bisa melihat banyak gedung pencakar langit. Benar-benar indah. Tapi terlepas dari keindahan kota Seoul dilihat dari tempat ini, aku menghampiri Janu. "Kamu gila, ya? Di sini dingin banget, dan kamu itu sedang sakit."

"Rasa sakit ini nggak sesakit dulu."

"Maksud kamu?"

***

JANU SETENGAH-SETENGAH, AH. NGGAK ASYIK.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top