22. Serasi

MAKASIH UDAH MAMPIIIIIR :)

BTW, KALIAN KAGET NGGAK TIBA-TIBA DAPET NOTIF CERITA BARU? HEHEHE

INI BUKAN CERITA BARU, YA. AKU CUMA NGUBAH JUDUL AJA KARENA KURANG SREG SAMA JUDUL AWAL. HEHEHE

UDAH AKU INFOIN KOK DI INSTAGRAM AKU. 

.


.


.


HAPPY READING ^_^


.


.


.

Aku masih sangat kaget dengan kelakuanku tadi pagi di depan gedung SBK. Aku merutuki kebodohanku yang sama sekali nggak mempertimbangkan perilaku yang harus kuambil, apalagi di tengah banyak fans dan wartawan seperti tadi.

"Hhh, dasar bodoh," keluhku pada diri sendiri.

"Kenapa lo?"

Aku mendongak dan menemukan Ayudia dengan dua cangkir di masing-masing tangannya. Saat ini, kami berdua sudah berada di hotel. Karena setelah insiden tadi, Ayudia benar-benar menarikku dan membawaku sejauh mungkin dari kepungan orang-orang.

"Gue nggak apa-apa."

"Kirain nyawa lo ketinggalan di sana." Ayudia meletakkan secangkir teh hangat di hadapanku. "Lagian kenapa juga lo nekat banget, sih?"

Aku menghela napas panjang dan menyesap teh yang masih hangat itu. "Gue refleks. Nggak kepikiran juga kalo di situ lagi banyak banget orang."

Ayudia ikut menyesap tehnya lalu kembali menatapku. "Gue berharap banget semoga lo nggak masuk berita atau semacamnya, deh."

Oh, iya. Aku lupa tentang itu. Apa karena itu juga tadi Janu langsung menutupi wajahku dengan masker?

Hahaha, jangan kegeeran kamu, Lav.

"Semoga, deh."

Tapi aku nggak pernah kepikiran bahwa Janu ternyata nggak jauh beda sama Ji Hyun. Maksudku, kemarin saat Chen berada di kamarku dan Ayudia, dia sempat cerita juga bahwa Janu itu ternyata punya hubungan yang nggak begitu baik dengan ibunya alias tante Hina. Alasannya ya karena Janu marah sama tante Hina yang sejak Janu kecil selalu disibukkan dengan pekerjaannya. Alasannya memang cukup klise, tapi nggak menutup kemungkinan juga di balik masalah itu ada masalah lain yang nggak diketahui dan nggak berhak untuk diketahui selain Janu dan keluarganya sendiri.

"Tadi Chen ngirim pesan ke gue, dia nanyain kondisi lo," ujar Ayudia. "Gue lihat tadi, Chen kayak marah gitu pas lo kedorong sama bodyguardnya."

"Iya, gue lihat juga."

"Tapi Janu langsung nahan dia. Tapi untung juga, sih. Soalnya kalo sampe Chen ngamuk bisa panjang urusannya." Aku mengangguk setuju dengan Ayudia. Lagipula, aku di mata orang-orang yang ada di sana pasti beranggapan bahwa aku hanyalah salah satu dari fans fanatik yang nggak tega melihat idolanya jatuh. Dan ... tentu saja harus segera disingkirkan karena takut membahayakan idolnya.

Aku menghela napas panjang memikirkan hal itu. Kesal juga rasanya. Tapi ya sudahlah, toh sudah berlalu. Dan tentu saja aku berharap nggak masuk tv dan diberi gelar fans fanatik oleh orang-orang. Sumpah, itu nggak lucu banget.

"Ngomong-ngomong, Lav. Gue sempet terkesima lo sama Janu." Aku menaikkan sebelah alis. Ayudia lantas memperbaiki posisi duduknya dan semakin mendekat ke arahku. "Masa lo nggak salting sih pas Janu makein lo masker?" Ayudia menaik-turunkan kedua alisnya, sepertinya dia sedang menggodaku.

Aku tersenyum tipis menanggapi. "Gue nggak sempet salting karena lagi syok. Lagian, bisa-bisanya gue salting di saat situasi lagi kayak gitu."

"Ya kali, kan? Hahaha. Tapi, anggaplah itu sebagai jackpot buat lo karena selama ini lo cuma seringnya dicuekin sama Janu."

"Apa itu pantas disebut jackpot?" gumamku tetapi masih bisa didengar oleh Ayudia.

Ayudia menepuk pelan lenganku. "Gue yakin banyak yang pengin di posisi lo saat itu."

"Udahlah. Lo tahu kan gue ini lagi berusaha untuk nggak banyak berharap sama Janu? Lo tahu kan kalo Janu udah nolak gue? Apa lagi yang harus gue lakuin selain nyadarin diri bahwa gue ini emang nggak pantes sama dia," jelasku. "Hal pertama yang harus gue sadari adalah, gue ini cuma seoang fans, dan dia ... adalah seorang bintang."

Ayudia berdeham pelan lalu menyesap kembali tehnya. "Sangat disayangkan banget, sih. Soalnya lo udah sejauh ini. Tapi ... ya mau gimana lagi, ya, kan? Nggak baik juga kalo dipaksakan." Ayudia tersenyum. Aku mengangguk perlahan, menyetujui ucapannya. "Kira-kira, Ji Hyun sekarang kondisinya gimana, ya? Chen nggak ada ngasi kabar?"

"Nggak ada. Tadi gue cuma ngasi tahu kondisi lo abis itu dia nggak bales lagi. Apa gue telpon Chen aja?"

"Jangan, jangan. Kita ... harus mengatur jarak sama mereka."

"Tapi lo sadar nggak sih, Lav. Lo ngomongnya kita harus ngasi space mulu sama mereka, tapi selalu aja ada kejadian yang ngebawa lo kembali lagi ke mereka?" Aku terdiam, memikirkan ucapan Ayudia barusan yang ternyata ada benarnya juga.

"Kalo gue kata ... itu cuma kebetulan aja, sih."

Ayudia berdecih. "Gue sih nggak percaya sama yang namanya kebetulan. Karena gue yakin lo tahu bahwa apapun yang terjadi di dunia ini itu bukan karena sebuah kebetulan, melainkan ... karena takdir. Atau ... hal yang memang harus terjadi."

"Gue setuju. Tapi, pertemuan singkat mungkin bisa dikatakan adalah sebuah kebetulan."

"Tapi lo sama Janu nggak ketemu sesingkat itu."

"Dahlah, gue mau mandi."

***

"Lav, malam ini lo mau makan apa? Gue kok kayak pengin makan yang pedes-pedes, ya?"

"Setuju."

"Gimana kalo kita makan Jjampong?"

"Hmmm, kedengarannya enak. Bolehlah." Ayudia mengambil jaketnya dan bersiap-siap. "Mau ke mana lo?"

"Ya beli Jjampong lah. Ke mana lagi?"

"Gue ikut kalo gitu."

"No. Lo nggak usah ikut. Lagian deket kok. Tadi gue lihat kedai deket sini. Lima belas menit doang gue udah balik."

Aku menatap Ayudia untuk meyakinkannya, tapi tetap saja dia kekeh ingin pergi sendiri. Aku yang tadinya ingin mengambil jaket jadi mengurungkan niat.

"Kalo ada apa-apa langsung telpon gue," ujarku sebelum dia menghilang dari balik pintu.

"Siap, bos."

***

Sudah dua puluh menit setelah kepergian Ayudia, dia nggak kunjung kembali. Aku juga mencoba meneleponnya tapi nggak diangkat-angkat. Tentu saja aku jadi khawatir, pikiran negatif bahkan langsung mendominasi pikiranku.

"Kemana, sih?" gumamku setelah kembali mencoba menghubungi Ayudia untuk yang kesekian kalinya. "Apa terjadi sesuatu dengannya? Apa gue susul aja, ya?"

Aku segera mengambil jaket, dompet, dan ponsel lalu berniat untuk menyusul Ayudia, tapi saat aku membuka pintu, sosok Ayudia muncul dengan wajah terkejutnya.

"Lo, mau ke mana?" tanyanya.

"Lo nggak tahu ini udah lewat berapa menit? Udah dua puluh menit, Yu. Bikin khawatir aja."

Ayudia tersenyum kecut dan melontarkan maaf berkali-kali. Dia lalu menarikku untuk masuk dan menutup pintu. "Tadi gue lihat berita tentang Ji Hyun waktu di SBK tadi. Dan lo juga ada di sana."

"HAH?"

"Tenang, tenang. Untungnya mereka nggak ngekspos muka lo karena keburu make masker. Dan lo tahu apa yang gue temuin di internet setelah berita itu muncul?" Aku menggeleng pelan. "Foto-foto lo sama Janu yang saling tatap. Hahaha."

Aku menatap Ayudia dengan kening berkerut. Foto aku dan Janu? Kok bisa para netizen itu salah fokus ke aku, bukannya ke Ji Hyun? "Ck. Ada-ada aja."

"Lo nggak seneng? Lo tuh sebenernya fansnya Janu atau bukan, sih?"

"Maksud gue, mereka tuh ... ah sudahlah."

Percuma menjelaskan panjang lebar ke Ayudia yang nggak tahu sejak kapan sangat mendukung aku bersama dengan Janu. Lebih baik aku makan Jjampong yang masih hangat ini. Menikmati pedasnya yang sepedas mulut netizen.

"Eh, Lav. Hp lo, ada chat dari tante Hina."

Aku melirik ponsel yang baru saja aku simpan di atas meja.

Tante Hina

Saya melihat foto kamu bersama Janu. Sangat serasi.

"Percuma serasi kalau nggak serasa, tante," gumamku pelan.

***

SERASI NGGAK TUH. WKWKWK

JANGAN LUPA FOLLOW INSTAGRAM AKU (windyharuno) UNTUK INFO LAIN MENGENAI CERITA AKU :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top