2 - Teman Mama

Terima kasih untuk teman-teman yang udah nambahin cerita ini ke library-nya. Jangan lupa vote dan komennya. Biar aku makin semangat nulisnya wkwkwk

.

.

.

"Jadi, besok kita mau kemana?" tanya Ayudia setelah ikut membaringkan dirinya di sampingku. Kedua matanya bahkan memejam saat bertanya.

Aku menarik napas panjang lalu ikut memejamkan mata. Pikiran tentang teman mama kembali terngiang di kepalaku. Harapku, semoga mama bercanda dengan usulannya itu. Pasalnya, aku terlalu malu jika harus bertemu dengan temannya itu. "Nggak tahu, deh. Soalnya tadi mama bilang kalo dia punya temen di sini."

"Terus?"

"Terus, mama ngusulin ke gue buat ketemuan sama temennya itu."

Kurasakan Ayudia bergerak di sampingku, sepertinya dia mengambil posisi menyamping dari posisinya tadi. "Ya bagus, dong. Enak tahu kalo punya kenalan di luar negeri."

"Enak apanya? Yang ada kita bakal diawasi tahu. Salah gerak dikit bakal dilapor sama mama. Mau lo?" ujarku seraya melirik dengan tatapan tidak setuju dengan ucapannya.

Ayudia kemudian bangun dari posisinya dan kemudian menyilangkan kaki. Sudah pasti dia tidak setuju juga dengan ucapanku. Makanya, terkadang aku tuh heran, sebenarnya anak mama itu siapa? Aku atau Ayudia? Pasalnya, Ayudia ini selalu sepemikiran dengan mama, sementara aku? Tentu saja selalu berkebalikan dari mereka.

"Please, deh, Lav. Lo jangan nyia-nyiain kesempatan ini. Ya kali kita bisa hidup berkecukupan selama di sini. Biasanya kan kita bakal ditraktir, atau minimal diajak jalan-jalan keliling Seoul lah. Gratis," ujar Ayudia penuh antusias.

Ayudia dan pemikirannya. "Hidup doang lu yang kaya, pemikiran miskin banget."

"HEH," ucapnya tak terima. "Lo tuh yang nggak bisa melihat kesempatan emas. Yang ada kalo lo disuruh hadep-hadepan di depan berlian asli dan imitasi, ya jelas banget lo bakal kepancing sama yang imitasi."

Aku menatap Ayudia sewot. Bisa-bisanya dia menganggapku demikian. Lagipula, berlian saat dipakai juga nggak bakal keliatan banget mana yang asli dan mana yang imitasi. Ayudia ini memang jagonya mengada-ada.

"Dahlah, liat besok aja. Gue juga nggak bisa ngomong apa-apa sebelum ada kepastian dari mama."

"Gue harap, sih, mama segera ngasi kabar dan nentuin jam ketemuannya."

"Terserah." Aku lagi capek berdebat, penginnya tidur dan nyuekin Ayudia yang nggak tahu kenapa nggak ada capek-capeknya kalo udah ngomong.

***

Aku mengerjap pelan saat merasakan kedua mataku ditimpa cahaya yang entah berasal darimana. Perlahan, aku membuka mata dan menyaksikan langit berwarna biru bercampur orange kekuningan di luar sana. Oh, ternyata sudah pagi. Aku kemudian melirik jam dinding yang ada di atas televisi yang ternyata sudah menunjukkan pukul delapan pagi, barulah saat itu aku melirik ke sisi kasur yang ternyata sudah kosong.

"Udah bangun? Pasti tidurnya nyenyak, ya?" tanya Ayudia selagi mengelap rambutnya menggunakan handuk. Aku belum menanggapinya karena masih berusaha mengumpulkan nyawa. "Gue, nih. Bukannya dapet tidur berkualitas, malah dapet tidur yang terganggu."

"Hmm, kenapa, sih? Masih pagi juga udah ngeluh aja."

"Gue baru tahu kalo lo sekarang tidurnya pake ngorok," ujar Ayudia dengan tatapan aneh.

"Masa, sih? Mungkin karena gue kacapekan kali." Dia menghela napas panjang dan nggak memperpanjang persoalan ngorokku yang mengganggu kualitas tidurnya itu. "Tadi mama nelpon."

Aku yang tadinya malas-malasan, langsung melotot mendengar mama disebut. "Apa katanya? Kita disuruh menikmati waktu selama di sini aja, kan? Nggak ada pertemuan-pertemuan sama temannya kan?" Iya lah. Bayangkan, kamu ke Korea untuk liburan, bukan untuk bertemu ibu-ibu rempong nan membosankan. Jelas teman mama itu seorang 'ibu-ibu', kan? Ya kali dia seumuran aku dan Ayudia. Nggak mungkin, nggak mungkin.

Ayudia tertawa kecil. "Sayangnya, mama udah ngehubungi temennya itu dan bahkan sudah mengatur jadwal ketemu sama lo."

Aku bangun dan duduk bersila. Tatapanku tertuju pada Ayudia yang saat ini sedang mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. "Elo? Bukannya harusnya ... kita?"

"Mwo? Kita? Jelas cuma elo lah, Lav."

"Terus lo?"

"Ya gue mau tiduran karena lo udah mengganggu tidur berkualitas gue semalem."

Aku tertawa kecil, tidak habis pikir dengan tingkah laku aneh perempuan yang sayangnya merupakan sahabatku itu. "Lo ke Korea cuma buat tiduran?"

"Ya nggak. Nanti setelah lo balik, gue bangun dan kita lanjut jalan-jalan." Ayudia mematikan hair dryer-nya dan beralih memakai day cream di wajahnya. "Oh, ya. Nama temen mama itu Lee Hina. Dan ... kalian akan bertemu di ... cafe Sunflower. Katanya, sih deket dari sini. Dan, satu lagi, kalian akan ketemu jam sembilan pagi."

"Bentar-bentar. Kok perasaan gue nggak enak, sih?" gumamku.

"Kalo lo nggak tahu orangnya, nanti gue send fotonya. Biar nggak salah nyapa orang lu."

Ya Tuhan, ini liburan pertamaku di Korea ... dan kenapa harus seperti ini? Harusnya aku ke Namsan, atau paling nggak keliling ke pasar Korea, jajan jajanan kaki lima, atau berkunjung ke lokasi syuting artis Korea. Ini malah dijadwalkan ketemu teman mama. Apa-apaan itu, ya Tuhan.

"Semoga Tuhan mengganti waktu berharga gue ini dengan sesuatu yang luar biasa," gumamku pelan.

***

Ayudia benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik. Dia tertidur pulas di kamar, sementara aku sibuk mencari cafe Sunflower –di mana teman mama itu mau bertemu. Maksudku, ngapain juga, sih, pengin ketemu sama aku? Temannya kan bukan aku? Inginku berkata demikian ke mama, tapi beneran, aku takut jadi Maling Kundang kedua di dunia ini. Lagipula, pasti mama juga punya banyak alasan agar aku bertemu dengan temannya itu. Jadi, tidak ada cara lain selain menerima ajakan itu. C'mon, Lavina. Ini cuma sebentar.

"Lima belas menit cukup kali, ya?" gumamku seraya celingukan masih mencari lokasi cafe itu. "Iya, bener. Nggak usah lama-lama. Paling juga mau bahas soal mama."

Tidak lama setelah aku berkeliling sekitar sepuluh menitan di sekitaran hotel, akhirnya aku menemukan cafe yang dimaksud. Cafe itu benar-benar seperti bunga matahari yang didominasi warna orange dan kuning. Aku suka. Terlebih beberapa interiornya yang justru didominasi dengan warna putih, kontras banget dengan warna orange kesukaan aku itu.

Saat aku memasuki cafe itu, semerbak wangi kopi langsung menyambutku. Benar-benar menenangkan. Apalagi pagi-pagi begini yang memang tepat banget untuk berhadapan dengan kopi dan beberapa lembar roti. Aduh, perutku jadi keroncongan.

Aku celingukan mencari keberadaan teman mama yang kutahu bernama Lee Hina itu. Cukup gugup, karena yang kulihat dari foto yang dikirim mama, dia terlihat modis dan sudah kupastikan dia bukan orang sembarangan. Hal yang pertama kali terbesit di benakku saat melihat fotonya adalah, kenapa mama bisa temenan sama Lee Hina ini? Mama kan rakyat jelata. Oh, i'm sorry mom.

"Lavina?"

Aku menoleh ke arah sumber suara dan menemukan seorang wanita dengan pakaian yang sangat modis. Coat yang digunakan berwarna coral dan dipadukan dengan kemeja berwarna putih di bagian dalam. Bawahan yang digunakan adalahh rok span berwarna senada dengan warna coat-nya. Sementara kaki jenjangnya tertutupi oleh stocking berwarna putih dengan heels berwarna cream. Benar-benar perfect. Kupikir wanita paruh baya super modis hanya ada di dalam drama. Ternyata, di kehidupan nyata juga benar-benar ada.

"Oh? Hai, Eh –maksudku ...." Oke, sepertinya aku harus menggunakan bahasa Korea. Akhirnya satu tahun dua bulanku mempelajari bahasa Korea bermanfaat juga hari ini. "Annyeonghaseyeo."

Gila sih ini, benaran dia teman mama? Kok aku ragu, ya? Soalnya ... cantik banget loh.

***

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top