19. Noona

Terima kasih kepada semua pembaca 5L yang masih setia sampai saat ini. Love you pull


.


.


.


Happy reading


.


.


.

Setelah kejadian paket misterius kemarin sore, hari ini aku dan Ayudia memutuskan untuk tetap tinggal di dalam kamar selama seharian penuh. Untuk list jalan-jalan kami di Gangnam, sementara ini kami kesampingkan dulu karena aku dan Ayudia masih dalam keadaan benar-benar syok dan belum berani untuk melakukan aktifitas di luar selain untuk membeli beberapa makanan ringan atau pun berat. Sebenarnya pihak hotel menanggung makanan kami berdua, tetapi ya ... seperti itulah, terkadang kami juga pengin makan makanan yang lain.

Hari ini aku dan Ayudia benar-benar keluar hanya untuk membeli beberapa camilan, bahan makanan, dan makanan berat lainnya. Setelah itu kami langsung kembali ke hotel dengan perasaan was-was karena takut dikuntit oleh orang misterius itu. Ah, ngebayanginnya saja sukses bikin bulu kudukku merinding dan jantungku berdegup dengan sangat cepat. Selama di perjalanan pulang pun kami berdua terus-terusan berpegangan tangan, saking takutnya.

"Yu, buruan tutup pintunya," ujarku cepat setelah kami masuk ke dalam kamar.

Ayudia dengan cepat menutup pintu itu sampai terdengar seperti sedang membanting pintu. Aku bahkan sedikit berjengkit kaget.

"Nggak ada paket yang aneh-aneh, kan?" tanya Ayudia padaku.

"Untuk saat ini nggak ada. Dan semoga seterusnya begitu." Aku menaruh kantung yang berukuran sedang di atas meja dan mengeluarkan beberapa barang yang diperlukan untuk memasak. "Apa kita perlu melapor ke kantor polisi?"

"Menurut gue, jangan dulu. Kita percayakan dulu sama pihak hotel." Benar. Setelah kejadian kemarin sore, karena aku dan Ayudia masih dalam keadaan yang benar-benar takut, kami berdua memutuskan untuk melapor ke pihak hotel. Tentu saja dengan ditemani oleh pegawai wanita dan petugas cleaning service itu sebagai saksi. Dan setelah memeriksa keadaan di CCTV, pihak hotel pun setuju untuk semakin memperketat keamanan di hotel dan sekitarnya. Meskipun wajah si pelaku nggak tertangkap kamera pengawas, tetapi gelagatnya cukup bisa membuktikan bahwa dia memang sedang melancarkan aksi jahatnya itu.

"Kalo ada yang ngetuk pintu, kamu cek di lubang kecil yang ada di pintu itu dulu, ya, Lav," ujar Ayudia seraya mengunyah tteokboki yang tadi dibeli.

"Hmm, lo juga jangan lupa." Ayudia mengangguk pelan. "Sepertinya hari ini bakalan jadi hari yang cukup membosankan."

"Bener. Lagian, ya, Lav. Setelah gue pikir-pikir dari semalem sampai pagi ini, pikiran gue terus tertuju sama member TCN. Maksud gue, kayaknya yang dimaksud 'mereka' sama pengirim misterius itu adalah member TCN. Iya nggak, sih? Gimana menurut lo?"

Keningku mengerut sedikit, mencoba mencerna ucapan Ayudia. "Hmm, gue juga nggak bisa nyangkal pendapat lo itu. Karena selama kita di Korea, kita emang cuma deketnya sama mereka, kan?"

"Apa itu ... fans fanatik TCN?"

"Bisa jadi."

***

"Lav, belom juga sehari kita di kamar, gue udah bosen aja, nih."

"Sama, dong. Tapi ya gimana, kita nggak bisa kemana-mana kalo keadaan masih kayak gini."

"Tapi ... apa kita berlebihan banget ya nanggepinnya. Maksud gue, ya kita emang kudu hati-hati sama dia, tapi mau sampai kapan kita di kamar terus? Lagian kita cuma perlu ngelakuin apa maunya dia, kan?"

Aku berpikir sejenak dan mengangguk pelan. Yang diucapkan Ayudia ada benarnya juga. Tapi yang jadi masalah adalah ... aku nggak tahu 'mereka' yang dimaksud sama pengirim misterius itu benar TCN atau bukan? "Gimana cara mastiin ya kalo yang dimaksud 'mereka' sama pengirim misterius itu adalah TCN?"

"Kita cuma perlu nggak ngedeketin TCN aja, sih."

"Bener, aku-"

Ucapanku tiba-tiba terpotong oleh panggilan masuk di ponselku, nama Chen tertera di sana. Sejenak, aku bertatapan dengan Ayudia sambil mempertimbangkan apa aku harus mengangkatnya atau tidak. Pikiranku terus bergulat sampai panggilan itu berhenti, namun belum beberapa menit, kembali Chen meneleponku.

"Sepertinya penting nggak, sih?"

"Tapi ... ya udahlah angkat aja. Siapa tahu penting."

Aku segera mengangkat telepon itu sebelum kembali terputus, dan hal pertama yang kudengar adalah suara panik Chen. Aku juga tentu saja langsung ikutan panik, dong.

"Noona ke mana saja, sih? Kenapa nggak ngangkat telepon aku?"

"Aku sedang-"

"Noona, aku sekarang ada di dekat hotel tempat noona menginap, noona bisa keluar sebentar nggak? Ji Hyun terluka."

"HAH? TERLUKA? OKE, WAIT, KAMU DI MANA?"

"Aku ada di belakang gedung hotel."

"Oke, aku ke sana."

Aku segera memutuskan sambungan telepon dan menarik jaket yang ada di atas sofa. Ayudia yang bingung melihat tingkahku lantas bertanya. "Ada apa, Lav? Kok lo keliatan panik gitu?"

"Chen nelpon dan ngasi tahu kalo Ji Hyun terluka."

"Hah? Gimana ceritanya?"

"Gue juga nggak tahu. Gue bakalan ngejemput mereka, karena mereka ada di belakang hotel ini katanya. Dan, lo tolong ke apotek bisa? Cari obat-obatan yang diperlukan," jelasku. "Jangan lupa bawa hp lo, Yu. Karena kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi."

Ayudia mengangguk cepat dan ikut mengambil jaketnya. Kami memutuskan untuk bersama-sama keluar sampai di depan hotel, sampai di sana barulah kami berpisah meski masih dihantui oleh rasa was-was. Posisinya, Ayudia ke arah utara, dan aku ke arah selatan.

Beruntung, gang menuju belakang hotel nggak begitu sepi, masih ada beberapa mobil dan pejalan kaki di sana. Tapi ... di mana Chen dan Ji Hyun berada? "Duh, di mana sih mereka?" Aku mengedarkan pandangan ke seluruh tempat yang ada di belakang gedung hotel, tapi nggak juga menemukan keberadaan mereka. Saat aku sedang fokus mencari, tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggilku.

"Noona."

Aku mencari arah suara itu, ternyata nggak jauh dari posisiku, Chen berdiri dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku segera menghampirinya dengan ekspresi panik. Apalagi setelah melihat Ji Hyun yang terduduk dengan lengan yang berdarah.

"Kamu kenapa bisa kayak gini, sih?" Aku membantu Ji Hyun berdiri, dia meringis pelan saat darah yang mengucur di lengannya masih terus keluar hingga mengenai kaus yang dipakainya. "Kita nggak bisa masuk ke kamar dengan keadaan yang seperti ini." Aku kemudian mengambil ponsel dan meminta Ayudia segera ke belakang hotel saja. Beruntung Ayudia belum masuk ke dalam hotel, jadi dia bisa segera menyusul kami.

"Bagaimana kalau kita bawa ke mobil saja?" usul Chen.

"Bagaimana bisa kamu memilih meneleponku dibanding langsung membawanya ke rumah sakit?"

"Aku panik, noona. Dan ... akan ribet urusannya kalau harus ke dokter."

Aku juga bingung, kenapa dia bisa bilang ke dokter itu ribet, padahala itu adalah pilihan yang tepat dibanding memintaku untuk datang dengan keadaan yang nggak tahu apa-apa dan nggak berdaya seperti sekarang ini.

"Ya sudah, cepat bawa ke mobil. Ayudia juga akan segera datang."

Kami bertiga bersisian menuju mobil Chen yang jaraknya nggak jauh dari posisi tadi. Pikiranku benar-benar kacau sekarang.

Setelah berada di dalam mobil, aku melihat Ayudia sedang celingukan mencari keberadaan kami. Aku keluar sebentar dan memintanya untuk menyusul kami. Kresek yang dipegang Ayudia segera kuambil dan membawanya masuk ke dalam mobil. Namun, tiba-tiba saja kulihat Ji Hyun sudah bertelanjang dada. Aku dan Ayudia jelas kaget. Karena mungkin melihat kekagetan kami, Chen langsung membuka suara.

"Noona nggak akan bisa ngobatin Ji Hyun dengan kaus lengan panjang, kan?"

Benar juga. Oke. Fokus, Lav. Fokus.

"Mana, siniin," ucapku cepat.

Selagi membersihkan lukanya, aku terus mengomeli Ji Hyun, masa bodoh kalau dia ini idol papan atas. Yang jelas, hari ini dia benar-benar sudah sukses bikin jantungku nggak sehat. Saat sibuk mengobati lukanya sambil mengomel juga tentunya, kulihat Ji Hyun menyapukan tangan di sudut matanya. Aku panik, tentu saja. Karena aku benar-benar nggak berniat untuk mengomelinya sampai membuat dia menangis seperti sekarang.

"Ji Hyun-ah. Kamu ... menangis? Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak bermaksud membuat kamu menangis, aku hanya-"

"Dia memang cengeng, noona. Nggak usah khawatir."

"Tapi aku merasa bersalah." Aku menempelkan perekat pada kain kasa yang kutempel di lengan Ji Hyun sebagai finish dari pertolongan pertama ini. "Ji Hyun-ah, maafkan aku."

"Noona nggak perlu meminta maaf. Aku ... hanya merasa tersentuh. Karena ... baru kali ini ada seseorang yang mengkhwatirkanku seperti noona."

***

PANIK BANGET LOH WKWKWK

BELUM JUGA SELESAI PERSOALAN BURUNG GAGAK ITU, MALAH ADA MASALAH BARU. MENGHADEHHH

Luv, 

windyharuno

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top