18. Who?

Burung gagak mati dengan darah segar di sekelilingnya sukses membuat aku dan Ayudia berteriak histeris. Bahkan, beberapa detik setelah teriakan kami berdua, seseorang mengetuk pintu kamar. Aku yang masih syok lantas menatap Ayudia yang masih mematung di tempatnya. Meski masih dalam keadaan kaget, aku mencoba membuka pintu dengan tangan bergetar. Kulihat, seorang laki-laki dengan jaket hitam dan mengenakan topi berwarna senada berdiri tepat di depan kamar. Aku nggak berani menyapanya karena ... aku sama sekali nggak mengenalnya dan dia ... terlihat begitu misterius.

Aku terus menatapnya tanpa berani mengucapkan sepatah katapun. Anehnya, laki-laki itu bukan menatapku, tetapi justru menatap ke dalam kamarku. Lalu, sesaat, aku melihat senyum tipis di sudut bibirnya. Karena penasaran, aku mencoba mengikuti ke mana arah pandangnya. Dan yang kulihat hanya kotak yang terjatuh dengan Ayudia yang masih tampak syok. Aku pun kembali mencoba memusatkan pandangan pada laki-laki itu, tetapi dengan sangat tiba-tiba, dia sudah menghilang. Aku tentu saja kaget banget, maka aku segera keluar dari kamar dan mencari keberadaan laki-laki misterius itu. Tepat di ujung koridor, dia berbelok dengan langkah yang begitu cepat. Aku mencoba untuk mengejarnya, tetapi aku yang sangat lemah dalam hal berlaribenar-benar nggak bisa mencapainya.

"Siapa, sih?" gumamku pada diri sendiri. Jujur, aku kesal karena nggak bisa bertanya apa-apa padanya. Sementara dia ... meski hanya menyunggingkan senyum tipis, tapi entah mengapa dia terlihat begitu puas saat tatapannya mengarah ke dalam kamar tadi. "Apa ... dia yang mengirim kotak itu?" gumamku lagi.

Tanpa menunggu waktu lama, aku segera bergerak menuju lobi dan mencari keberadaan wanita yang sempat mengantarkan kotak itu kepadaku. Beruntung saat pintu lift terbuka, aku langsung melihat keberadaannya. Segera aku menyusul dan memanggilnya.

"Permisi," ucapku saat berada di hadapannya.

"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?"

Aku menghela napas panjang terlebih dahulu sebelum menjelaskannya, karena saat ini napasku benar-benar seperti sudah mau habis.

"Saya mau bertanya, soal paket yang tadi."

"Paket?" tanya pegawai hotel itu dengan ekspresi bingung. Namun, tidak lama dia lalu paham dan menepuk tangannya sekali. "Oh, paket yang tadi saya antarkan ke nona?"

"Iya, benar. Saya mau bertanya soal pengirimnya. Apa yang mengirim paket itu seorang laki-laki?"

"Iya, benar, Nona."

"Apa dia memakai topi hitam dan jaket hitam?"

Pegawai itu tampak berpikir sejenak sebelum menggeleng dengan sangat yakin. "Seingat saya, bukan, Nona. Dia tadi memakai kemeja berwarna biru dan nggak memakai topi."

Aku mengerutkan kening bingung. Otakku berputar dengan cepat mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan terkait pengirim paket itu. Tetapi aku sama sekali nggak menemukan bukti yang kuat terkait si pengirim itu. Tapi aku benar-benar curiga dengan laki-laki yang tadi.

"Kalau boleh tahu, ada apa, ya, Nona?"

"Hah? Oh, mmm itu. saya dikirimi paket aneh yang berisi burung gagak yang sudah mati," jelasku dengan nada pelan agar nggak ada yang bisa mendengarnya.

Wanita itu pun menutup mulutnya menggunakan kedua tangan dengan ekspresi terkejut. "Maaf, Nona. Saya benar-benar nggak tahu kalau itu paket misterius." Dia menatapku dengan tatapan bersalah dan segera membungkuk meminta maaf. Aku jelas panik dong. Dan karena nggak mau hal ini sampai menghebohkan hotel, aku segera menahannya yang siap membungkuk lagi.

"Stop. Stop. Ini bukan salah Anda."

"Saya akan meminta CS untuk membersihkan kamar nona."

"Boleh. Tapi jangan sampai orang lain tahu soal ini," pintaku. Pegawai itu mengangguk cepat kemudian berlalu untuk menemui cleaning service. Sementara aku segera kembali ke kamar karena teringat bahwa aku meninggalkan Ayudia yang masih syok di kamar yang pintunya nggak sempat aku tutup.

Sesaat setelah aku sampai di kamar, kotak itu masih tergeletak di lantai, hanya saja keseluruhan kotaknya sudah tertutupi puluhan tisu sehingga gagaknya yang mati nggak terlihat lagi.

"Are you okay?" tanyaku pada Ayudia yang terduduk di pinggir kasur dengan wajah pucat.

"No. I'm not okay. Tapi, udah agak mendingan setelah gue memberanikan diri buat nutupi kotak itu."

"Lo tenang. Gue udah manggil cleaning service buat bersihin ini."

Tidak lama, suara ketukan di pintu terdengar, kali ini aku lebih berhati-hati saat membukanya. Waspada saja, siapa tahu yang datang bukan orang yang diinginkan. Tapi ternyata yang datang itu adalah cleaning service. Maka buru-buru aku melebarkan daun pintu dan mempersilakan cleaning service itu masuk setelah dia menjelaskan bahwa dia diminta untuk datang ke kamarku.

Aku membiarkan cleaning service itu masuk dan mengurus bangkai burung itu dengan segera. Namun, saat di tengah dia sedang sibuk membersihkan bangkai itu, tiba-tiba laki-laki yang kutaksir berusia sekitar dua puluhan tahunan itu memperlihatkan secarik kertas kepadaku dan Ayudia. Aku nggak berani mengambilnya karena terlihat ada noda darah di sekitarnya, maka ... aku meminta cleaning service itu untuk membacakannya saja.

"Isinya ... jangan coba-coba mendekat dengan mereka," ujar cleaning service itu membacakan. "Hanya itu."

"Hanya itu?" Dia mengangguk yakin, lalu aku memintanya untuk mengarahkan surat itu kepadaku, dan benar saja. Yang tertulis di sana hanya satu kalimat misterius itu.

"Apa nona mau menyimpannya?"

"Nggak, nggak perlu. Tolong dibuang saja," ucapku cepat.

Setelah membersihkan kotak itu, laki-laki itu kemudian pamit dengan membawa paket berikut surat aneh itu.

Aku terduduk lemas setelah mengunci pintu rapat-rapat. Pikiranku berkecamuk mencoba menebak siapa pelakunya. Tapi aku sama sekali nggak kepikiran siapa-siapa, dan hal itulah yang membuat aku merasa frustrasi.

"Yu, menurut lo ... siapa pelakunya?" tanyaku dengan nada pelan

Ayudia terlihat menelan salivanya dengan sedikit susah payah, meski tatapannya lurus ke arah ubin kamar, aku tahu dia juga sedang berpikir keras terkait pelakunya. "Gue juga nggak tahu. Dan gue bener-bener nggak bisa menebak siapa pelakunya."

"Sama." Aku kemudian membaringkan tubuh di atas kasur dengan tubuh menghadap ke arah plafon. "Perasaan kita nggak kenal siapa-siapa di sini. Kita juga nggak punya musuh. Kenapa bisa ... ada orang yang berniat seperti itu ke kita."

"Mungkin kuncinya ada di pesan itu."

"Pesan apa?"

"Pesan yang ada di surat berdarah tadi."

Aku kembali mengingat isi surat yang dibacakan cleaning service tadi, dan seingatku, di sana sama sekali nggak ada tanda pengirim atau semacamnya. Lantas, bagaimana kami bisa tahu siapa pengirimnya hanya dengan melihat dari isi surat itu?

"Seingat gue, di surat itu nggak ada namanya."

"Benar, tapi ... di surat itu tertulis jangan deketin mereka. Nah, yang dimaksud mereka di sini ... siapa?"

Aku memejamkan mata rapat-rapat, mencoba kembali berpikir keras terkait isi surat itu. "Mereka ... mereka ... mereka?" Aku menghela napas panjang karena merasa kesal sendiri. "Yu, apa kita lagi di posisi yang menakutkan?"

"Sepertinya begitu."

***

TBL TBL ADA YANG BISA NEBAK NGGAK SIAPA PELAKUNYA???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top