17. Teror

Sejak semalam, tidurku benar-benar tidak nyenyak karena aku benar-benar kepikiran terkait bagaimana caranya aku ngasi tahu tante Hina perihal aku yang akan berhenti mendekati Janu. Berkali-kali aku bahkan mengutuk diriku karena berani banget menerima permintaan tante Hina itu tanpa berpikir panjang.

"Lo kenapa, deh?" tanya Ayudia saat dia sudah bangun dan mulai melipat selimut miliknya. "Gue nyadar loh kalo lo semalem nggak bisa tidur. Tapi gue terlalu ngantuk buat nanya ini itu ke lo. Ada apa, sih?"

Aku memejamkan mata sejenak dan menarik napas panjang. "Gue bingung gimana mau ngungkapinnya ke tante Hina."

"Ngungkapin apa?"

"Ya gue harus berhenti ngejar-ngejar Janu."

"Ya ampun, lo tinggal bilang aja. Gue tahu tante Hina bakal ngerti."

Ayudia berjalan menuju dapur dan mengambil air minum untuk dipanaskan. “Lo mau kopi?” tawarnya.

Aku mengangguk cepat. Aku benar-benar membutuhkan minuman hangat dengan harapan agar mood pagiku bisa lebih baik lagi.

“Oke, gue bakalan ngasi tahu tante Hina ntar. Tapi gue butuh kopi dan mandi air hangat dulu keknya.”

“It’s okay. Take your time, beb.”

Aku tersenyum mendengar ucapan Ayudia, beruntung dia ada di sini. Setidaknya rasa khawatirku bisa tersalurkan. Ayudia memang sebermanfaat itu sebagai sahabat.

***

Setelah meminum kopi buatan Ayudia, perasaanku bisa dibilang jadi lumayan membaik dibanding beberapa menit yang lalu. Karena beberapa barang di kamar terlihat berantakan, aku pun memutuskan untuk membereskannya, sementara Ayudia memilih untuk mandi terlebih dahulu.

Hari ini kami berdua kembali mengagendakan untuk jalan-jalan berkeliling Seoul, tepatnya di Gangnam-gu. Untuk agenda hari ini aku dan Ayudia akan mengunjungi kuil Bongeunsa dan Starfield Library. Khusus di daerah Gangnam-gu, aku sudah mengatur waktu kunjungan, perhari aku dan Ayudia sepakat untuk mengunjungi dua lokasi wisata. Ada sekitar enam lokasi wisata yang akan kami kunjungi di Gangnam-gu, yang berarti kami akan berkeliling di Gangnam-gu selama tiga hari berturut-turut. Sebenarnya ada banyak banget lokasi wisata di Gangnam, tapi sangat nggak memungkinkan untuk kami berdua mengunjungi semuanya. Apalagi waktu kami di Korea benar-benar terbatas. Nggak mungkin kami hanya berkeliling di Gangnam saja meskipun rasanya pengin banget.

“Lo udah beres-beres belum? Kalo udah, buru mandi gih,” ujar Ayudia sesaat setelah dia keluar dari kamar mandi. Aku yang memang sudah menyelesaikan pekerjaanku lantas bergegas masuk ke dalam kamar mandi dan melakukan ritual pagiku.

***

“Gila, sih. Gue udah nggak sabar banget keliling Gangnam,”ucap Ayudia dengan kedua tangan dikepal penuh semangat. Aku yang melihatnya hanya bisa tersenyum memaklumi. “Eits, tapi lo udah nelpon tante Hina belum?”

“Belom.”

“Loh, kok gitu? Lo berubah pikiran?”

“Nggak lah. Ini gue mau nelpon.” Jujur, saat ini tanganku sudah dingin sedingin es batu, tapi bagaimanapun juga aku tetap harus memberitahu tante Hina. Semoga semuanya berjalan lancar.

Meski tanganku sudah gemetaran, aku berusaha menekan tombol panggilan di layar ponselku. Aku kemudian menatap Ayudia dengan tatapan gusar saat nada sambung sudah terdengar. Namun, beberapa detik menunggu, teleponku tak kunjung diangkat. Bahkan saat aku mencoba menelepon untuk yang kesekian kalinya pun tante Hina tidak juga mengangkatnya.

“Kenapa?” tanya Ayudia saat melihatku mulai putus asa.

“Tante Hina nggak ngangkat teleponnya.” Keningku mengerut. “Apa lagi sibuk, ya?”

“Bisa jadi. Ini kan jam-jam kerja.”

Aku mengangguk setuju dan akhirnya memutuskan untuk menelepon nanti saja saat kami berdua kembali dari Gangnam. “Ya udah, deh. Kita pergi dulu aja. Nanti aku telpon ulang.”

“Oke.”

***

Kami berdua sudah sampai di Gangnam, dan tentu saja dengan penuh kebahagiaan kami berdua melompat-lompat kegirangan. Masa bodoh jika kami dianggap orang katro, tapi ya gimana dong. Kami benar-benar senang sekarang. Nggak lupa kami pun mengambil foto di setiap spot foto yang kami jumpai. Bahkan belum ada sejaman kami berkeliling, sudah ada berbagai macam jajanan yang kami coba.

“Kita mau ke mana dulu, nih?” tanya Ayudia saat aku

“Ke Starfield Library dulu aja, deh. Gue pengin liat buku-buku di sana kayak gimana.”

“Emang jiwa-jiwa seorang editor tuh nggak bisa dikesampingin lagi, ya?”

Aku terkekeh seraya menarik tangan Ayudia. “Buruan.”

***

Satu kata ketika aku mulai memasuki Starfield Library. WOW. Perpustakaan ini benar-benar luas, dan buku-bukunya benar-benar banyak. Aku sampai nggak tahu mau bilang apa saking kagumnya sama perpustakaan ini. Lumayan banyak orang saat ini, dan ... di sini benar-benar hening. Ayudia yang ingin berbisik pun langsung mengurungkan niatnya karena takut kedengaran.

Kami bertahan di Starfield Library hanya sekitar dua puluh menit. Kami berdua hanya berkeliling dan melihat-lihat buku yang ada. Bayangkan saja, di sini ada tiga rak buku raksasa dan aku yang memang pecinta buku benar-benar merasa sangat nyaman berada di sini. Apalagi ruangannya benar-benar aesthetic dengan warna cokelat dan emas serta dilengkapi dengan hiasan bergambar bintang, benaran sukses bikin aku pengin berlama-lama. Tapi Ayudia yang sepertinya capek berkeliling perpustakaan yang isinya hanya buku ini lantas mengajakku berkeliling sebentar di Coex Mall dan membeli beberapa aksesoris dan baju.

Starfield Library

Pict by travel-stained.com

Kuil Bongeunsa

Sourch by google

Setelah puas mengelilingi Coex Mall, kami pun bergerak menuju Kuil Bongeunsa yang jaraknya nggak begitu jauh dari COEX Mall, kami hanya perlu berjalan kaki beberapa menit dan sampai. Sesampainya kami di kuil itu, lagi-lagi aku dibuat tercengang dengan keindahan patung Budha yang menjulang tinggi. Di Bongeunsa ini terdapat dua belas kuil yang isinya berbeda-beda, dan karena berbeda itu pula, aku dan Ayudia memutuskan untuk mengunjungi satu persatu hingga waktu menjelang sore.

Aku dan Ayudia benar-benar puas hari ini, berkeliling di Starfield Library dan kuil Bongeunsa benar-benar bukan pilihan yang salah. Bahkan saking indahnya, kami sampai lupa makan siang dan hanya melakukan foto di setiap sudut kuil itu.

“Gue baru nyadar kalo kita belom makan siang,” keluh Ayudia saat kami berada di bus untuk kembali ke hotel.

“Bener, gue juga baru nyadar sekarang setelah perut gue keroncongan minta diisi.” Aku mengelus pelan perut karena benar-benar ngerasa lapar. “Kita makan apa ntar?”

“Ntar kita beli jajangmyeon aja.”

“Gue setuju.”

Karena nggak mau terlalu menghayati kelaparan ini, aku memutuskan untuk mengeluarkan ponsel dan mengecek notif yang masuk dan sama sekali nggak kulirik saat asyik berwisata tadi. Beberapa pesan masuk dari ibu, teman-teman di penerbit, dan ... “Tante Hina?”

“Kenapa?” tanya Ayudia saat mendengar aku menyebut nama tante Hina.

“Tante Hina abis nelpon dan ngirim chat. Dia nanya kenapa tadi aku nelpon dia.”

“Ya udah, lo telpon lagi aja.”

Aku melirik Ayudia dengan kening berkerut. “Nggak bisa dengan kondisi gue yang sekarat begini. Nggak bakal konsen gue. Yang ada otak gue mau bilang apa, mulut gue bilang hal lain. Nanti aja abis kita makan.”

“Bener juga. Yang ada lo yang mau bilang nolak permintaan tante Hina bisa berujung minta cepet-cepet dinikahi sama Janu, ye?”

“HEH.”

Ayudia terbahak sampai membuat beberapa orang berbalik menatapnya. Aku sampai harus menunduk malu karena tingkah anak satu ini.

***

Setelah turun dari bus, kami benar-benar mencari kedai yang menjual Jajangmyeon. Tapi sebelum menemukannya, aku memutuskan untuk membeli Corndog untuk mengganjal perut. Pasalnya aku benar-benar udah nggak bisa lagi menunggu Jajangmyeon matang sementara perutku sudah benar-benar minta diisi. Kan nggak lucu juga kalau aku dan Ayudia pingsan berjamaah di tengah jalan. Duh, ngebayangin aja bikin aku malu duluan.

Setelah menghabiskan satu buah Corndog, barulah aku merasa benar-benar hidup meskipun rasanya jelas beda jika yang mengisi benar-benar makanan berat. Kami juga sudah menemukan kedai yang menjual Jajangmyeon dan berhasil kami bungkus sebanyak tiga bungkus. Ya kali aja kami pengin nambah.

Buru-buru kami mengambil piring sesaat setelah sampai di dalam kamar, bahkan tas masih tersampir di bahu kami, tapi masa bodohlah. Urusan perut nggak bisa ditunda-tunda.

“Enak banget ini mah,” ujar Ayudia setelah menyuapkan suapan pertama ke mulutnya.

Aku udah nggak bisa berkata-kata lagi karena Ayudia udah menyuarakannya. Namun, di tengah kami sedang menikmati Jajangmyeon yang masih hangat ini, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar. Aku melirik Ayudia dan dia hanya mengunyah mie-nya dengan khidmat tanpa peduli siapa yang mengetuk pintu kamar kami. Aku pun berinisiatif untuk membukanya.

Tepat di depan pintu kamar, seorang wanita yang kutebak adalah pegawai di hotel ini berdiri dengan senyuman lebarnya. Di tangannya terdapat sebuah kotak berukuran sedang. Kemudian dengan menggunakan bahasa Korea, aku bertanya.

“Ada apa?”

Masih dengan mempertahankan senyumannya, wanita itu menyerahkan kotak yang ada di tangannya. “Ini ada paket untuk nona.”

“Paket? Dari siapa?”

“Saya kurang tahu. Tapi dia hanya menyerahkan ini lalu pergi begitu saja.”

Karena aku terlalu malas untuk bertanya-tanya lebih jauh, aku pun menerimanya dan wanita itu bergegas pergi.

“Siapa, Lav?” tanya Ayudia setelah aku kembali.

“Ini, ada paket. Cuma, pegawai yang nganterin itu juga nggak tahu siapa yang ngirim ini.”

“Loh, kok gitu?”

“Apa nggak apa-apa kita buka? Siapa tahu mbaknya salah kasi kan?”

Ayudia melongok melihat kotak yang kutaruh di atas meja lalu menunjukkan sebuah tulisan. “Bener kok ini buat ... lo dan gue?”

Benar, di bagian atas kotak itu jelas tertulis namaku dan Ayudia berikut dengan nomor kamar kami. “Apa ini dari tante Hina, ya?”

“Coba buka, deh.”

Aku pun mencoba membuka kotak itu, namun cukup sulit karena semua sisi kotaknya ditutupi dengan plastik dan lakban dengan sangat erat. Aku sampai harus mengambil pisau untuk membukanya.

Saat kotak itu berhasil terbuka, aku dan Ayudia benar-benar kaget dan refleks berteriak. Aku bahkan membuang kotak itu ke lantai dengan sangat keras.

“A-apa itu?”

***

APAAA? APAAAA?

 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top